Laporan Kasus Bell's Palsy
Laporan Kasus Bell's Palsy
Bell’s Palsy
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Disusun oleh :
Putu Ayu Noviyanti 20710143
Jihan Kamila 20710146
Muhammad Iqbal 20710149
Muhammad Faruq Zulkornin 20710157
Norvita Angreani 20710158
Argun Banda Pratama 20710194
Dosen Pembimbing:
dr. Nuryatien Husna,Sp.KFR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan
sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan laporan kasus ini
guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani
kasus kedokteran.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
laporan kasus ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca,
penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kedokteran.
Penulis
DAFTAR ISI
Laporan Kasus.......................................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi tentang kasus Bell’s Palsy.
2. Melatih pengambilan diagnosis dan tatalaksana pada kasus Bell’s Palsy.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. J
Umur / Tanggal Lahir : 23 tahun / 18 April 1998
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswi
Agama : Islam
Alamat : Bangkalan
Tanggal pemeriksaan : 06-10-2021
2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama : Mulut mencong ke kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Nn. J 23 tahun konsulan dari poli Saraf RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan dengan diagnosa Bell’s Palsy sinistra dating ke poli rehabilitasi
medik RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada hari ……
Pasien mengeluhkan mulut mencong ke kiri sejak 2 minggu yang lalu.
Keluhan dirasakan terutama saat pasien berkumur-kumur di pagi hari dan
merasakan air keluar dari mulutnya. Dipagi hari saat bangun pagi, mulut pasien
mencong ke kiri. Mata kiri tidak bias menutup sempurna sehingga pasien
merasakan matanya kering, pipinya terasa kencang. Sisi wajah sebelah kiri
terasa tebal, kaku, dan bergerak sendiri. Makan baik, bila minum air sering
keluar dari sisi mulut sebelah kiri. Keluhan nyeri di sekitar telinga kiri.
Keluhan sakit kepala kanan berdenyut, riwayat keluar cairan dari telinga kiri
tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran, rasa makanan berkurang, demam,
batuk dan pilek tidak ada.
Pasien memiliki riwayat menggunakan kipas dan AC secara bersamaan
dalam jangka waktu panjang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat trauma : (-)
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat kolesterol : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat operasi : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : (+) Kakek, Ayah dan Ibu
- Riwayat DM : (+) Kakek dan Nenek
- Riwayat kolesterol : (-)
5. Riwayat Alergi : (+) Debu
6. Riwayat Pengobatan : Minum obat Methylprednisolone sebelum ke dokter
7. Riwayat Sosial : Pasien adalah seorang mahasiswi. Pasien memiliki
kebiasaan menggunakan kipas dan AC secara bersamaan dalam jangka waktu
panjang. Pasien juga sering menggunakan AC mobil langsung menghadap
kewajahnya.
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Cukup
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda Vital
a. Tensi : 150/97 mmHg
b. Nadi : tidak dilakukan pemeriksaan
c. RR : tidak dilakukan pemeriksaan
d. Suhu : tidak dilakukan pemeriksaan
5. Antopometri
a. BB : 75 Kg
b. TB : 166 Cm
c. Body Mass Index (BMI) : 27.22 (Overweight)
6. Kepala dan Leher : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnea (-)
7. Leher : pembesaran KGB (-), trakea letak tengah
8. Thoraks : Cor : S1-S2 normal, murmur -, gallops –
Pulmo : ves +/+, wheezing -/- , ronki -/-.
9. Abdomen : meteorismus (-), hepar dan lien tidak teraba
10. Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
11. Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
2.4 Status Lokalis
1. Manual Muscle Testing (MMT)
Dilakukan untuk menilai fungsi motorik pada otot wajah
a. Otot Frontalis penderita diminta mengangkat alis
b. Otot Kurogator Supersilii penderita diminta mengerutkan dahi
c. Otot Orbikularis Okuli penderita diminta menutup mata
d. Otot Nasalis penderita diminta untuk melebarkan cuping hidung
e. Otot Zigomatikus penderita diminta tersenyum
f. Otot Orbikularis Oris penderita diminta mendekatkan dan menekan kedua
bibir
g. Otot Risorius penderita diminta menyeringai atau meringis
h. Otot Buccinator penderita diminta meniup
i. Otot Mentalis penderita diminta menggerakkan atau menarik ujung dagu
ke atas
Untuk menilai kondisi simetri – asimetri dilakukan evaluasi menggunakan Ugo Fisch
Scale pada 5 posisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa
adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis,
2012). Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis
biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan
(Munilson dkk., 2012).
Insiden sindrom ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Manifestasi
klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor
yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan
bersifat permanen (Lowis, 2012). Menururt Munilson dkk. (2012) insiden Bell’s
Palsy dilaporkan sekitar 40- 70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.
Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-30 pasien per 100.000 populasi per tahun dan
meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan
wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah
menderita penyakit ini. Biasanya penderita mengetahui ketidaksimetrisan wajah dari
teman atau keluarga atau pada saat bercermin atau berkumur. Pada saat penderita
menyadari bahwa ia mengalami kelemahan pada wajahnya, maka ia mulai merasa
takut, malu, rendah diri, dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada penderita
yang masih aktif dalam bersosialisasi. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya,
apakah wajahnya bisa secepatnya kembali secara normal atau tidak.
3.1 Etiologi
Penyebab pasti dari Bell’s Palsy sampai dengan saat ini masih belum diketahui,
namun terdapat beberapa teori terkait penyebab dari Bell’s Palsy yaitu:
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
simplek tipe I. Setelah infeksi akut primer, virus herpes simplek tipe I dalam waktu
lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Proses reaktivasi dapat terjadi
apabila daya tahan tubuh host menurun sehingga dapat terjadi neuritis atau neuropati
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat kanalis falopii yang
2001).
3.3 Patofisiologi
Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian
bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan
memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN (upper motor neuron). Ini berarti
bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian
atasnya. Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Lipatan
nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika kedua sudut mulut disuruh
diangkat, maka sudut mulut yang sehat yang dapat terangkat. Otot wajah
bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti. Ciri kelumpuhan
fasialis UMN ini dapat dimengerti, karena subdivisi inti fasialis yang
mengurus otot wajahh di atas alis mendapatkan inervasi kortikal secara
bilateral. Pada kerusakan di lobus frontalis otot wajah sisi kontralateral masih
dapat digerakkan secara volunteer, tetapi tidak ikut bergerak jika ketawa atau
merengut. Perubahan raut muka pada keadaan emosional justru masih bisa
timbul apabila korteks motorik primer rusak. Maka gerakan otot wajah yang
timbul pada keadaan emosional sangat mungkin diatur oleh daerah korteks di
lobus frontalis. Sedangkan gerakan otot wajah volunteer diurus oleh korteks
piramidalis. Penyebab Bell’s
palsy masih belum jelas. Kelemahan wajah unilateral pada Bell’s palsy
merupakan akibat dari edema pada saluran nervus fasialis dan dihubungkan
dengan adanya kompressi, iskemik dan degenerasi dari nervus fasialis. Virus
diduga sebagai agen penyebab Bell’s palsy tetapi kelompok virus Herpes
adalah yang paling sering terlibat. Pada radang virus Herpes simpleks di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga kelumpuhan
fasialis LMN (Mardjono, 2016).
Paparan udara dingin diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke
arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah) (Mardjono, 2016).
3.3 Manifestasi klinis
Bell’s palsy memiliki ciri khas kelemahan wajah sesisi/unilateral yang terjadi
tiba-tiba dan cepat, sering dalam beberapa jam (Zandian et al., 2014). Pasien
juga bisa mengeluhkan kelopak mata ipsilateral terjatuh/menutup, ketidakmampuan
menutup mata dengan sempurna, mata kering karena tidak bisa menutup mata
sempurna, keluarnya air mata berlebihan (epifora), sudut mulut terjatuh,
gangguan/hilangnya sensasi perasa ipsilateral, kesulitan mengunyah disebabkan
kelemahan otot ipsilateral yang menyebabkan makanan terperangkap di mulut
yang terkena, menetesnya air liur, perubahan sensasi di wajah yang terkena,
nyeri di dalam atau belakang telinga, peningkatan sensitivitas terhadap suara
(hiperakusis) pada sisi yang sakit jika mengenai otot stapedius. (Somasundara et
al.,2017).
3.4 Diagnosis
Bell’s palsy didiagnosis secara klinis. Ciri yang ditemukan adalah paralisis
fasialis tipe LMN akut, mengenai otot wajah atas dan bawah,yang mencapai
puncaknya dalam 72 jam (Eviston et al.,2015). Skala House-Brackmann merupakan
alat yang digunakan untuk mendokumentasikan derajat paralisis fasialis dan untuk
memprediksi kemungkinan kesembuhan nya. Skala ini menilai gambaran wajah dan
kesimetrisannya dalam kondisi istirahat dan bergerak. Pasien yang masih bisa
menggerakkan wajahnya dan memiliki paralisis tidak komplit, memiliki kesembuhan
yang bagus. Pasien dengan skala 6 House-Brackmann memiliki kesembuhan yang
lama atau tidak komplit (Danner, 2008; Zandian et al.,2014). Skala House-
Brackmann ini digunakan dan diterima secara luas (Zandian et al., 2014). Skala
House-Brackmann I sampai VI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2016):
70 – 99 Baik
30 – 69 Sedang
<30 Buruk
Test dilakukan menggunakan sepotong kertas filter atau kertas whatman no.41
lebar 5mm dan panjang 30mm diselipkan pada forniks konjungtiva bulbi bagian
bawah, bila bagian yang basah <10mm artinya fungsi sekresi air mata terganggu, bila
>10mm terjadi hipersekresi atau pseudoepifora, dan bila sesudah 5 menit kertas tidak
basah menunjukkan sekresi air mata kurang (Ilyas & Yulianti, 2012).
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bell’s palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitude Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis (Handoko, 2012).
A. Lyme Disease
Sering terjadi bilateral dan disebabkan oleh gigitan kutu (Erythema
chronicum migrans)
B. Herpes Zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Disebabkan oleh virus varicella zoster yang menyebabkan inflamasi pada
saraf facialis dan ganglion geniculatum terdapat gejala prodromal sebelumnya
seperti sakit kepala, malaise dan demam.
C. Facial Diplegia
Biasa disebabkan karena guillainbarre syndrome atau bisa juga
disebabkan oleh uveoparotid fever (heefordt syndrome)
D. Tumor
Tumor yang menekan saraf facialis dapat menyebabkan facial palsy
seperti meningioma dan cholesteatoma
E. Melkersson-Rosenthal Syndrome
Adalah gangguan yang langka dan penyebabnya tidak di ketahui yang
ditandai dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema
dan lipatan lidah
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Medikamentosa
A. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral dapat diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi pada
saraf. Prednisone dapat diberikan dengan dosis 60-80mg perhari selama 5 hari
dan di tapering off 5 hari selanjutnya (Adam, 2019).
B. Antiviral
Bila diduga Bell’s Palsy terjadi karena infeksi HSV-1 maka dapat diberikan
valacyclovir 1gr per hari diberikan selama 5-7 hari dan acyclovir 400mg 5
kali sehari diberikan selama 10 hari (Adam, 2019).
A. Modalitas Fisik
Pemanasan
Pemanasan superfisial dengan infra red.
Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
(Lumbantobing, 2007).
Stimulasi Listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi
dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
B. Therapeutic Exercise
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot (Teixeira, 2008). Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage
sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,
melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema,
meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan
intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah
dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit (Ropper, 2005).
E. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di
depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan (Ropper,
2005).
2.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat Bell’s Palsy sebagai berikut
(Mujaddidah, 2017):
A. Regenerasi Motor Inkomplit
Yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau sebagian
muskulus facialis
B. Regenerasi Sensorik Inkomplit
Menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang
pengecapan), disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang berbeda dari
stimulus normal)
C. Sinkinesis
Adalah gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
seperti gerakan elevasi dari sudut mata, kontraksi musculus platysma atau
pengerutan dahi ketika memejamkan mata
D. Crocodile Tear Phenomenon
Timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis akbiat regenerasi yang salah
dari serabut otonom
E. Clonic Facial Spasm
Yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba pada wajah, awalnya dapat terjadi pada
salah satu sisi wajah, kemudian mengenai sisi lainnya.
2.10 Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s Palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1011 penderita Bell’s Palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Penderita Bells’s
Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis adalah:
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total
dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial (Ropper, 2003)
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesa:
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran