Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

Bell’s Palsy
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun oleh :
Putu Ayu Noviyanti 20710143
Jihan Kamila 20710146
Muhammad Iqbal 20710149
Muhammad Faruq Zulkornin 20710157
Norvita Angreani 20710158
Argun Banda Pratama 20710194

Dosen Pembimbing:
dr. Nuryatien Husna,Sp.KFR

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN


REHABILITASI MEDIK
RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan
sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan laporan kasus ini
guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani
kasus kedokteran.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
laporan kasus ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca,
penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kedokteran.

Bangkalan, 25 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Laporan Kasus.......................................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer,
bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s
palsy ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell,
seorang peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot
wajah.
Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap
tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam
mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang
berhubungan dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom
Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari
klinis yang sama (Lowis dan Gaharu, 2012).
Masalah kecacatan yang ditimbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, yaitu
meliputi impairment seperti ketidaksimetrisnya wajah, kaku dan bahkan dapat
terjadi disability seperti ketidakmampuan atau keterbatasan dalam aktivitas
(makan, minum, menutup mata, gangguan bicara dan ekspresi wajah), sehingga
tak sedikit masyarakat awam mengganggap suatu gejala dari Bell’s Palsy sebagai
suatu serangan stroke (Adam, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Bell’s Palsy?
2. Bagaimana anatomi, etiologi, patofisiologi, menifestasi klinis, diagnosa, dan
tatalaksana Bell’s Palsy?
1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi Bell’s Palsy.


2. Mengetahui anatomi, etiologi, patofisiologi, menifestasi klinis, diagnosa, dan
tatalaksana Bell’s Palsy.

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi tentang kasus Bell’s Palsy.
2. Melatih pengambilan diagnosis dan tatalaksana pada kasus Bell’s Palsy.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. J
Umur / Tanggal Lahir : 23 tahun / 18 April 1998
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswi
Agama : Islam
Alamat : Bangkalan
Tanggal pemeriksaan : 06-10-2021
2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama : Mulut mencong ke kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Nn. J 23 tahun konsulan dari poli Saraf RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan dengan diagnosa Bell’s Palsy sinistra dating ke poli rehabilitasi
medik RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada hari ……
Pasien mengeluhkan mulut mencong ke kiri sejak 2 minggu yang lalu.
Keluhan dirasakan terutama saat pasien berkumur-kumur di pagi hari dan
merasakan air keluar dari mulutnya. Dipagi hari saat bangun pagi, mulut pasien
mencong ke kiri. Mata kiri tidak bias menutup sempurna sehingga pasien
merasakan matanya kering, pipinya terasa kencang. Sisi wajah sebelah kiri
terasa tebal, kaku, dan bergerak sendiri. Makan baik, bila minum air sering
keluar dari sisi mulut sebelah kiri. Keluhan nyeri di sekitar telinga kiri.
Keluhan sakit kepala kanan berdenyut, riwayat keluar cairan dari telinga kiri
tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran, rasa makanan berkurang, demam,
batuk dan pilek tidak ada.
Pasien memiliki riwayat menggunakan kipas dan AC secara bersamaan
dalam jangka waktu panjang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat trauma : (-)
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat kolesterol : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat operasi : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : (+) Kakek, Ayah dan Ibu
- Riwayat DM : (+) Kakek dan Nenek
- Riwayat kolesterol : (-)
5. Riwayat Alergi : (+) Debu
6. Riwayat Pengobatan : Minum obat Methylprednisolone sebelum ke dokter
7. Riwayat Sosial : Pasien adalah seorang mahasiswi. Pasien memiliki
kebiasaan menggunakan kipas dan AC secara bersamaan dalam jangka waktu
panjang. Pasien juga sering menggunakan AC mobil langsung menghadap
kewajahnya.
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Cukup
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda Vital
a. Tensi : 150/97 mmHg
b. Nadi : tidak dilakukan pemeriksaan
c. RR : tidak dilakukan pemeriksaan
d. Suhu : tidak dilakukan pemeriksaan
5. Antopometri
a. BB : 75 Kg
b. TB : 166 Cm
c. Body Mass Index (BMI) : 27.22 (Overweight)
6. Kepala dan Leher : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnea (-)
7. Leher : pembesaran KGB (-), trakea letak tengah
8. Thoraks : Cor : S1-S2 normal, murmur -, gallops –
Pulmo : ves +/+, wheezing -/- , ronki -/-.
9. Abdomen : meteorismus (-), hepar dan lien tidak teraba
10. Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
11. Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), capillary refill time <2 detik
2.4 Status Lokalis
1. Manual Muscle Testing (MMT)
Dilakukan untuk menilai fungsi motorik pada otot wajah
a. Otot Frontalis  penderita diminta mengangkat alis
b. Otot Kurogator Supersilii  penderita diminta mengerutkan dahi
c. Otot Orbikularis Okuli  penderita diminta menutup mata
d. Otot Nasalis  penderita diminta untuk melebarkan cuping hidung
e. Otot Zigomatikus  penderita diminta tersenyum
f. Otot Orbikularis Oris  penderita diminta mendekatkan dan menekan kedua
bibir
g. Otot Risorius  penderita diminta menyeringai atau meringis
h. Otot Buccinator  penderita diminta meniup
i. Otot Mentalis  penderita diminta menggerakkan atau menarik ujung dagu
ke atas
Untuk menilai kondisi simetri – asimetri dilakukan evaluasi menggunakan Ugo Fisch
Scale pada 5 posisi

a. Saat istirahat: 20 poin


b. Mengerutkan dahi: 10 poin
c. Menutup mata: 30 point
d. Tersenyum: 30 point
e. Bersiul: 10 point
Terdapat 4 score penilaian:

a. 0%  tidak ada gerakan volunteer dan wajah asimetri total


b. 30%  terdapat bagian simetri pada wajah namun lebih condong kearah
asimetri
c. 70%  fungsi motoric wajah lebih condong kearah simetri
d. 100%  simetri normal atau komplit (Subagiartha, 2001)
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
2.6 Diagnosis
Diagnosis kerja:
Bell’s Palsy
2.7 Penatalaksanaan
1. Medis:
a. Injeksi Kalmeco 1 amp
b. Injeksi neurosambe 1 amp
c. Neurosambe 3x1
d. Lameson 8mg 3x1
e. Alinamin F 3x1
2. Rehabilitasi medis:
a. Diberikan kinesio tape
b. Kompres air hangat di daerah yang lesi
c. Masase pada daerah yang lesi
d. Senam muka
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan
somatosensorik. Serat upper motor neuron (UMN) dari nervus Facialis (N.VII)
berasal dari korteks cerebri hingga nucleus N.VII. Daerah motoric pertama berasal
dari sepertiga bawah girus presentralis, serat ini berjalan kebawah melalui genu dari
kapsula interna ke basis pedunkuli dan kemudian berakhir di N.VII kontra lateral.
Nervus facialis yang menginervasi wajah berasal dari korteks yang kontralateral saja
(Subagiartha, 2001).
Serat-serat lower motor neuron (LMN) berasal dari nucleus nervus
facialis kebawah. Serabut N.VII meninggalkan batang otak bersama N.Oktavus dan
N.Intermedius masuk ke dalam Os petrosum melalui meatus akustikus internus,
sampai di kavum timpani kemudian bergabung dengan ganglion genikulatum sebagai
induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini nervus facialis
bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang menghantarkan
impuls sekretomotorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. Nervus
facialis keluar dari foramen stilomastoidium memberi cabang untuk mempersarafi
otot wajah mulai dari musculus frontalis sampai musculus platysma
(Subagiartha,2001).
Gambar 1. Perjalanan Nervus Facialis (Subagiartha, 2001)
Serabut yang berkaitan dengan penutupan mata dan gerakan volunteer wajah berasal
dari 1/3 bagian bawah dari girus presentralis. Dalam perjalanannya melalui os
temporalis, saraf facialis mendapat asupan dari 3 arteri yaitu (Subagiartha, 2001):
1. a.Cerebelli inferior yang memvaskularisasi saraf pada fossa posterior. Cabang
arteri ini yaitu a.auditori interna yang memvaskularisasi pada nervus facialis di dalam
kanalis auditori interna.
2. cabang petrosal dari a.meningea media memasuki kanalis falopii pada ganglion
genikulatum dan bercabang menjadi cabang-cabang ascenden dan descenden. Pada
cabang descenden berjalan ke arah distal bersana saraf ke foramen stilomastoideus,
sedangkan cabang ascenden memvaskularisasi daerah proksimal dari ganglion
genikulatum.

3. cabang stilomastoid dari a.aurikularis posterior memasuki kanalis fascialis


melalui foramen stilomastoideus dan segera bercabang menhadi cabang ascenden dan
descenden. Cabang ascended berjalan bersama nerus facialis sampai ke batas
ganglion genikulatum. Cabang descenden memvaskularisasi pada saraf ke bawah
foramen stilomastoideus dan bersamaan dengan nervus aurikularis posterior
(Subagiartha, 2001).
Gambar 2. Anatomi Nervus Facialis (Subagiartha, 2001)
3.2 Definisi

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa
adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis,
2012). Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis
biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan
(Munilson dkk., 2012).

Insiden sindrom ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Manifestasi
klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor
yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan
bersifat permanen (Lowis, 2012). Menururt Munilson dkk. (2012) insiden Bell’s
Palsy dilaporkan sekitar 40- 70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.
Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-30 pasien per 100.000 populasi per tahun dan
meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan
wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah
menderita penyakit ini. Biasanya penderita mengetahui ketidaksimetrisan wajah dari
teman atau keluarga atau pada saat bercermin atau berkumur. Pada saat penderita
menyadari bahwa ia mengalami kelemahan pada wajahnya, maka ia mulai merasa
takut, malu, rendah diri, dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada penderita
yang masih aktif dalam bersosialisasi. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya,
apakah wajahnya bisa secepatnya kembali secara normal atau tidak.
3.1 Etiologi

Penyebab pasti dari Bell’s Palsy sampai dengan saat ini masih belum diketahui,

namun terdapat beberapa teori terkait penyebab dari Bell’s Palsy yaitu:

3.1.1 Teori Ischemia Vaskuler

Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan

regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis (Adam, 2019).

3.1.2 Teori Infeksi Virus

Bell’s Palsy dipercaya disebabkan karena proses reaktivasi virus herpes

simplek tipe I. Setelah infeksi akut primer, virus herpes simplek tipe I dalam waktu

lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Proses reaktivasi dapat terjadi

apabila daya tahan tubuh host menurun sehingga dapat terjadi neuritis atau neuropati

dengan proses inflamasi atau edema (Subagiartha, 2001).

3.1.3 Teori Herediter

Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat kanalis falopii yang

sempit sehingga menyebabkan predisposisi terjadinya paresis facialis (Subagiartha,

2001).

3.3 Patofisiologi
Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian
bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan
memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN (upper motor neuron). Ini berarti
bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian
atasnya. Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Lipatan
nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika kedua sudut mulut disuruh
diangkat, maka sudut mulut yang sehat yang dapat terangkat. Otot wajah
bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti. Ciri kelumpuhan
fasialis UMN ini dapat dimengerti, karena subdivisi inti fasialis yang
mengurus otot wajahh di atas alis mendapatkan inervasi kortikal secara
bilateral. Pada kerusakan di lobus frontalis otot wajah sisi kontralateral masih
dapat digerakkan secara volunteer, tetapi tidak ikut bergerak jika ketawa atau
merengut. Perubahan raut muka pada keadaan emosional justru masih bisa
timbul apabila korteks motorik primer rusak. Maka gerakan otot wajah yang
timbul pada keadaan emosional sangat mungkin diatur oleh daerah korteks di
lobus frontalis. Sedangkan gerakan otot wajah volunteer diurus oleh korteks
piramidalis. Penyebab Bell’s
palsy masih belum jelas. Kelemahan wajah unilateral pada Bell’s palsy
merupakan akibat dari edema pada saluran nervus fasialis dan dihubungkan
dengan adanya kompressi, iskemik dan degenerasi dari nervus fasialis. Virus
diduga sebagai agen penyebab Bell’s palsy tetapi kelompok virus Herpes
adalah yang paling sering terlibat. Pada radang virus Herpes simpleks di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga kelumpuhan
fasialis LMN (Mardjono, 2016).
Paparan udara dingin diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke
arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah) (Mardjono, 2016).
3.3 Manifestasi klinis
Bell’s palsy memiliki ciri khas kelemahan wajah sesisi/unilateral yang terjadi
tiba-tiba dan cepat, sering dalam beberapa jam (Zandian et al., 2014). Pasien
juga bisa mengeluhkan kelopak mata ipsilateral terjatuh/menutup, ketidakmampuan
menutup mata dengan sempurna, mata kering karena tidak bisa menutup mata
sempurna, keluarnya air mata berlebihan (epifora), sudut mulut terjatuh,
gangguan/hilangnya sensasi perasa ipsilateral, kesulitan mengunyah disebabkan
kelemahan otot ipsilateral yang menyebabkan makanan terperangkap di mulut
yang terkena, menetesnya air liur, perubahan sensasi di wajah yang terkena,
nyeri di dalam atau belakang telinga, peningkatan sensitivitas terhadap suara
(hiperakusis) pada sisi yang sakit jika mengenai otot stapedius. (Somasundara et
al.,2017).

Gambar 3. Gejala bell’s palsy (Somasundara et al., 2017)

3.4 Diagnosis
Bell’s palsy didiagnosis secara klinis. Ciri yang ditemukan adalah paralisis
fasialis tipe LMN akut, mengenai otot wajah atas dan bawah,yang mencapai
puncaknya dalam 72 jam (Eviston et al.,2015). Skala House-Brackmann merupakan
alat yang digunakan untuk mendokumentasikan derajat paralisis fasialis dan untuk
memprediksi kemungkinan kesembuhan nya. Skala ini menilai gambaran wajah dan
kesimetrisannya dalam kondisi istirahat dan bergerak. Pasien yang masih bisa
menggerakkan wajahnya dan memiliki paralisis tidak komplit, memiliki kesembuhan
yang bagus. Pasien dengan skala 6 House-Brackmann memiliki kesembuhan yang
lama atau tidak komplit (Danner, 2008; Zandian et al.,2014). Skala House-
Brackmann ini digunakan dan diterima secara luas (Zandian et al., 2014). Skala
House-Brackmann I sampai VI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2016):

a. Grade I menunjukkan fungsi nervus fasial normal.


b. Grade II terjadi disfungsi ringan.Cirinya adalah:
1. Terdapat kelemahan ringan saat inspeksi
2. Dapat terjadi sinkinesis ringan
3. Saat istirahat didapatkan normal simetris
4. Terdapat gerakan dahi sedikit
5. Dapat menutup mata sempurna dengan sedikit usaha
6. Ditemukan asimetri mulut sedikit
c. Grade III menunjukkan disfungsi moderat, dengan ciri:
1. Terlihat asimetri kedua sisi dengan jelas dan sedikit kelemahan
2. Terdapat sinkinesis, bisa ditemukan kontraktur atau spasme hemifasial
3. Saat istirahat terlihat simetris normal
4. Terdapat gerakan dahi sedikit sampai sedang
5. Dapat menutup mata sempurna dengan usaha
6.Gerakan mulut sedikit lemah dengan usaha maksimal
d.Grade IVmenunjukkan disfungsi moderat sampai berat, dengan ciri:
1.Terlihat jelas kelemahan dan asimetri
2. Saat istirahat terlihat simetris normal
3.Gerakan dahi tidak ada
4.Mata tidak bisa menutup dengan sempurna
5.Terdapat asimetris mulut dengan usaha maksimal
e. Grade V menunjukkan disfungsi berat. Cirinya adalah:
1.Hanya dapat melakukan sedikit gerakan
2. Saat istirahat terdapat asimetri
3. Tidak ada gerakan pada dahi
4. Mata menutup dengan tidak sempurna
5. Didapatkan sedikit gerakan mulut
f. Grade VI menunjukkan paralisis total. Cirinya adalah:
1.Terdapat asimetris yang luas
2. Tidak ada nya gerakan

3.5 Pemeriksaan Fisik

1. Manual Muscle Testing (MMT)


Dilakukan untuk menilai fungsi motorik pada otot wajah
- Otot Frontalis  penderita diminta mengangkat alis
- Otot Kurogator Supersilii  penderita diminta mengerutkan dahi
- Otot Orbikularis Okuli  penderita diminta menutup mata
- Otot Nasalis  penderita diminta untuk melebarkan cuping hidung
- Otot Zigomatikus  penderita diminta tersenyum
- Otot Orbikularis Oris  penderita diminta mendekatkan dan menekan
kedua bibir
- Otot Risorius  penderita diminta menyeringai atau meringis
- Otot Buccinator  penderita diminta meniup
- Otot Mentalis  penderita diminta menggerakkan atau menarik ujung
dagu ke atas
Untuk menilai kondisi simetri – asimetri dilakukan evaluasi menggunakan
Ugo Fisch Scale pada 5 posisi
 Saat istirahat: 20 poin
 Mengerutkan dahi: 10 poin
 Menutup mata: 30 point
 Tersenyum: 30 point
 Bersiul: 10 point
Terdapat 4 score penilaian:
 0%  tidak ada gerakan volunteer dan wajah asimetri total
 30%  terdapat bagian simetri pada wajah namun lebih condong kearah
asimetri
 70%  fungsi motoric wajah lebih condong kearah simetri
100%  simetri normal atau komplit (Subagiartha, 2001)

Tabel 1. Penilaian Simetris-Asimetris Wajah (Subagiartha, 2001)


Tabel 2. Klasifikasi Penilaian Ugo Fisch Scale (Subagiartha, 2001)
Nilai UFS Derajat
100 Normal

70 – 99 Baik

30 – 69 Sedang

<30 Buruk

B. Pengecapan 2/3 Anterior Lidah


Alat:
- Lidi Kapas
Bahan:
- Cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asam sitrat, 2,5% sodium klorida,
0,075% quinine klorida)
- Air hangat
Cara:
Minta penderita untuk mengulurkan lidahnya kemudian keringkan lidah
penderita sebelum dilakukan test, setelah itu teteskan dengan lidi kapas pada ujung
lidah untuk rasa manis, rasa asam dan asin di samping lidah, dan pahit di belakang
lidah, setiap selesai pemeriksaan untuk satu rasa, minta penderita untuk berkumur
dengan air hangat dan keringkan dahulu kemudian lanjutkan untuk pemeriksaan yang
lain (Adam, 2019)
C. Refleks Stapedius
Pasang stetoskop pada telinga penderita kemudian lakukan pengetukan lembut
pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat
stetoskop. Dikatakan abnormal jika terjadi hiperakusis (Adam, 2019).
Gambar 4. Test Refleks Stapedius (Adam, 2019)
D. Schirmer Test

Test dilakukan menggunakan sepotong kertas filter atau kertas whatman no.41
lebar 5mm dan panjang 30mm diselipkan pada forniks konjungtiva bulbi bagian
bawah, bila bagian yang basah <10mm artinya fungsi sekresi air mata terganggu, bila
>10mm terjadi hipersekresi atau pseudoepifora, dan bila sesudah 5 menit kertas tidak
basah menunjukkan sekresi air mata kurang (Ilyas & Yulianti, 2012).

Gambar 5. Schirmer Test (Adam, 2019).


2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang


perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai
neoplasma ditulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis (Handoko, 2012).

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bell’s palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitude Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis (Handoko, 2012).

2.7 Diagnosa Banding

A. Lyme Disease
Sering terjadi bilateral dan disebabkan oleh gigitan kutu (Erythema
chronicum migrans)
B. Herpes Zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Disebabkan oleh virus varicella zoster yang menyebabkan inflamasi pada
saraf facialis dan ganglion geniculatum terdapat gejala prodromal sebelumnya
seperti sakit kepala, malaise dan demam.
C. Facial Diplegia
Biasa disebabkan karena guillainbarre syndrome atau bisa juga
disebabkan oleh uveoparotid fever (heefordt syndrome)
D. Tumor
Tumor yang menekan saraf facialis dapat menyebabkan facial palsy
seperti meningioma dan cholesteatoma
E. Melkersson-Rosenthal Syndrome
Adalah gangguan yang langka dan penyebabnya tidak di ketahui yang
ditandai dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema
dan lipatan lidah

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Medikamentosa

A. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral dapat diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi pada
saraf. Prednisone dapat diberikan dengan dosis 60-80mg perhari selama 5 hari
dan di tapering off 5 hari selanjutnya (Adam, 2019).
B. Antiviral
Bila diduga Bell’s Palsy terjadi karena infeksi HSV-1 maka dapat diberikan
valacyclovir 1gr per hari diberikan selama 5-7 hari dan acyclovir 400mg 5
kali sehari diberikan selama 10 hari (Adam, 2019).

2.8.2 Non Medikamentosa

A. Modalitas Fisik
 Pemanasan
Pemanasan superfisial dengan infra red.
Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
(Lumbantobing, 2007).
 Stimulasi Listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi
dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.

Diprogram berdasarkan pertimbangan khusus:

Berdasarkan perkiraan prognosa (penilaian klinis dan elektrodiagnosa) jika


baik, tidak dilakukan stimulasi listrik; jika kurang baik atau jelek, diberikan
setelah penderita diberi informasi (Lumbantobing, 2007).

B. Therapeutic Exercise
 Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot (Teixeira, 2008). Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage
sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,
melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema,
meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan
intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah
dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit (Ropper, 2005).

C. Program Terapi Okupasi


Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin (Ropper, 2005).
D. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat
kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan
mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain
itu memberikan penyuluhan bahwa kerjasama penderita dengan petugas yang
merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita (Ropper, 2005).

E. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di
depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan (Ropper,
2005).

F. Program Ortotik – Prostetik


Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y”
plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur (Ropper, 2005).

2.9 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat Bell’s Palsy sebagai berikut
(Mujaddidah, 2017):
A. Regenerasi Motor Inkomplit
Yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau sebagian
muskulus facialis
B. Regenerasi Sensorik Inkomplit
Menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang
pengecapan), disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang berbeda dari
stimulus normal)
C. Sinkinesis
Adalah gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
seperti gerakan elevasi dari sudut mata, kontraksi musculus platysma atau
pengerutan dahi ketika memejamkan mata
D. Crocodile Tear Phenomenon
Timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis akbiat regenerasi yang salah
dari serabut otonom
E. Clonic Facial Spasm
Yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba pada wajah, awalnya dapat terjadi pada
salah satu sisi wajah, kemudian mengenai sisi lainnya.

2.10 Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s Palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1011 penderita Bell’s Palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Penderita Bells’s
Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis adalah:

1. Usia diatas 60 tahun


2. Paralisis komplit
3. Menurunnya dungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
4. Berkurangnya air mata

Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total
dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial (Ropper, 2003)
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagosis

Diagnosis pada pasien ini dapat di tegakan berdasarkan anamnesa dan


pemeriksaan fisik.

Anamnesa:

- Pasien mengeluhkan mulut mencong sejak 2 minggu yang lalu


- Keluhan dirasakan saat berkumur dipagi hari
- Pasien mersakan keluar air sedikit saat minum
- Mata kiri tidak bisa menutup dengan sempurna
- Merasakan matanya kering
- Pipi kiri terasa kencang, tebal, kaku, dan terasa bergerak sendiri
- Nyeri disekitar telinga kiri
- Sakit kepala kadang berdenyut
- Pasien memiliki riwayat terpapar kipas anging dan AC secara bersemaan terus
menerus
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


didapatkan diagnosa Bell’s Palsy. Penatalaksanaan secara konservatfif berguna
untuk mengurangi keluhan pasien, memperbaiki kualitas hidup pasien dan
mencegah komplikasi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pemeriksaan lengkap dan lebih mendalam sehingga laporan


kasus ini dapat menyajikan informasi yang lebih komprehensif dan dapat menjadi
tambahan wawasan bagi pembaca dan penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai