Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem persekolahan pemerintahan Hindia Belanda untuk rakyat
Indonesia pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan, yakni sekolah
kelas satu (Hollands School). Sekolah-sekolah ini diselenggarakan  untuk
tujuan mencetak pegawai-pegawai pemeerintah, juga pegawai perdagangan
dan perusahaan. Setelah mengalami perubahan-perubahan, masing-masing
sekolah memakan waktu tujuh tahun dan lima tahun. Karena berbagai alas an
yang menyangkut perkembangan di wilayah Asia pada khususnya dan dia
Negara-negara jajahan lain pada umumnya, pemerintah Hindia Belandapun
mengembangkan system persekolahan untuk rakyat secara luas dengan biaya
yang murah.
Pada tahun 1914, pemerintah Hindia Belanda mengubah status
MULO (Meer Unigbreid Leger Onderwijs) dari lembaga kursus menjadi
sekolah lanjutan. Lulusan HIS (Hollands Inlandse School) terbuka mengikuti
MULO sehingga kesempatan bagi kalangan bangsawan Indonesia untuk
meningkatkan pengetahuannya melalui sekolah lanjutan mulai terpenuhi.
Untuk kelanjutan dari MULO, disediakan sekolah lanjutan tingkat atas, yang
terkenal dengan nama AMS (Algemene Middelbare School). Untuk pertama
kali, AMS di dirikan di Yogyakarta pada tahun 1919 dengan klasifikasi
bagian B yang mengkhususkan pada pendidikan Ilmu Pengetahuan
Kealaman. Kemudian menyusul di dirikan AMS bagian A dalam bidang Ilmu
Pengetahuan Kebudayaan. 
Perkembangan sekolah yang semakin merakyat dalam batas yang
cukup jauh  telah merangsang kalangan islam untuk memberikan respon.
Dalam hal ini mereka memikirkan bahwa deskriminasi untuk mendapatkan
kesempatan pendidikan yang seluas-liasnya masih sangat tampak dalam
politik  dan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Akan tetapi, kesadaran
untuk memperbahurui pendidikan islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh,

1
khusunya mereka yang sudah mengenyam pendidikan islam tradisional dan
pendidikan sekolah ala belanda. Dalam pemikiran mereka perlu di tempuh
cara kombinasi, yaitu mata pelajaran tetap diadakan tetapi ditambah dengan
mata pelajaran umum, seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan kebuadayaan, dan , keterampilan-
keterampilan admistrasi dan organisasi. Secara konkret di antara mereka
adalah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mendirikan sekolah islam Mulo
met de Quran dan kemudian sekolah-sekolah islam yang dapat disebut
sebagai madrasah menurut istilah teknis dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
2. Masuknya Pendidikan Agama Kedalam Kurikulum Sekolah Umum
C. Manfaat
1. mengetahui pengembangan sistem dan kebijakan dalam pendidikan
Agama Islam
2. Menjadi kontribusi penting bagi pemerhati dunia pendidikan khususnya
berkaitan dengan studi kebijakan pendidikan Islam
3. memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan rujukan dalam
mencari solusi dari problem kebijakan pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Rumusan final tentang pendidikan agama islam yang digunakan
sebagai nomenklatur di dalam berbagai peraturan perundangan, kurikukum
dan lainnya saat ini, adalah pendididkan yang materi ajarannya terdiri dari
al-qur’an hadis, akidah/akhlak, fikih dan sejarah kebudayaan islam.
Rumusan tentang pendidikan agama islam ini diduga karena
dipengaruhi oleh berbagai literatur yang ditulis oleh ulama di indonesia
dan luar indonesia tentang islam. Di dalam buku al-islam akidah wa
syariah, karangan mahmud syaltoud (mantan syeh al azhar) yang terbit
tahun 1966, terdapat pengertian agama islam ( tanpa kata pendidikan ),
yaitu : huwwadinullah al ladzi ausha bita’ alimihi fi ushulihi wa syara’ ihi
ilan Nabi Muhammad Saw. Wa kallafahu bi tabligihi linnas kaafatan wa
da’watuhum ilaihi. Artinya : islam adalah agama allah yang di wasiatkan
melalui ajarannya yang terdapat pada pokok-pokok dan syariat-syariatnya
kepada Nabi Muhammad Saw., dengan mewajibkan untuk
menyampaikannya kepada segenap umat manusia, serta mengajaknya
kepada islam.
pendidikan agama islam ini mirip dengan yang diberikan Harun
Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid l.
Dalam buku ini, Harun Nasution berpendapat: Islam adalah agama yang
ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepaada masyarakat manusia melalui
Nabi Muhammad Saw.sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai
berbagai segi dari kehidupan manusia.
Selanjutnya Hamka dalam karyanya Pelajaran Agama Islam,
dengan singkat mengartian (pendidikan) agama islam adalah agama yang
diturunkan Tuhan dengan perantaraan Rasul-rasulnya, ialah memberi
pimpinan bagi manusia di dalam usahanya memberi nilai hidupnya sendiri.

3
Pengertian ini sejalan dengan yang ditemukan Nasruddin Razak yang
mengatakan, bahwa: “Islam, ialah agama Allah yang diturunkan kepada
para Rasul-Nya. Sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir Muhammad Saw.,
Selanjutnya dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, bahwa Islam
adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah Swt.melalui
utusan-Nya, Muhammad Saw., yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab
suci Al-Qur’an dan sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-
larangan dan petunjuk-petunjuk guna kebaikan manusia, baik didunia
maupun diakhirat. Adapun yang berkaitan dengan ruang lingkup materi
pendidikan agama Islam: Al-Qur’an/Hadis, Fikih, Akidah Ahlak, dan
sejarah kebudayaan islam.
Jadi pendidikan agama islam adalah pendidikan yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad yang di dalamnya terkandung nilai-nilai
keislaman untuk memberikan kebahagian kepada manusia baik di dunia
maupun di akhirat.
2. Materi Pendidikan Agama Islam
Pengembangan materi pendidikan agama Islam selanjutnya tampak
dipengaruhi oleh buku-buku tentang keislaman yang beredar di
masyarakat, yaitu:
a. buku Mintaujihat al-islam (1966), masing-masing karangan
Mahmud Syaltout;Islam (1987) karangan Fazlur Rahman;
Islamologi (Dinul Islam) (1980), karangan Maulana Muhammad
Ali MA, LLB,
b. Al-Qur’an Hadis (Dirasat Islamiyah) (1993), karangan Abuddin
Nata;
c. Buku Pintar Agama Islam, karangan Syamsul Rijal Hamid. (1997);
Universalisme Islam, karangan J.Suyuthi Pulung (2002), dan
d. berbagai buku dan kitab_kitab tentang agama islam yang
umumnya dipelajari di pesantren yang selanjutnya dikenal dengan
nama Kitab Kuning.

4
B. Masuknya Pendidikan Agama Kedalam Kurikulum Sekolah Umum
Upaya memasukan pendidikan agama islam ke sekolah umum telah
berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Akh. Minhaji dan M.Atho
Mudzhar misalnya mengatakan: “Sebenarnya, upaya-upaya menjadikan
agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah umum telah dilakukan
sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.
Upaya memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum
lebih intensif lagi terjadi setelah kemerdekaan RI. Ki Hajar Dewantara selaku
Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) Dalam kabinet
pertama RI, mengusulkan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah
negeri. Selanjutnya berdasarkan keputusan BP-KNIP No. 15 Tahun 1945
tanggal 22 Desember 1945, antara lain ditegaskan bahwa dalam rangka
memajukan pendidikan dan pengajaran yang ada, maka pendidikan yang ada
di langgar-langgar dan madrasah-madrasah hendaknya mendapatkan
perhatian dan juga bantuan pemerintah. Kemudian pada rapat tanggal 27
Desember 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada pemerintah, melalui Menteri
PPK, tentang perlunya pembaruan dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
Usulan tersebut antara lain meliputi dua hal sebagai berikut:
1. pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur, seksama
dan mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi
kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti
kepercayaan yang dipeluknya.
2. madrasah-madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu
alat dan sumber pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya,
hendaknya mendapatkan perhatian dan bantuan nyata, berupa
tuntunan bantuan material dari pemerintah.
Panitia Penyelidik Pengajaran yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara
tersebut bertugas merencanakan susunan baru tiap-tiap macam sekolah;
menetapkan bahan-bahan pengajaran yang praktis dan tidak terlalu berat; dan
menyiapkan rencana pengajaran untuk tiap-tiap sekolah. Di antara masalah
yang dibahas oleh Panitia tersebut adalah masalah pendidikan, pendidikan

5
agama, budi pekerti, kewajiban belajar dan bahasa. Dalam bidang pengajaran
agama, panitia, tersebut melahirkan keputusan-keputusan sebagai berikut: 1)
hendaknya agama menjadi salah satu pelajaran yang diberikan di Sekolah
Rakyat; 2) Guru agama disediakan oleh pihak Kementerian dan dibayar oleh
Pemerintah; 3) guru agama harus mempunyai pengetahuan umum dan untuk
maksud itu harus didirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama; 4) pesantren
dan madrasah harus dipertinggi mutunya.
Uraian tersebut memperlihatkan betapa usaha menjadikan pelajaran
agama sebagai bagian dari kurikulum umum telah melalui proses dan upaya
yang cukup panjang, bahkan mengalami berbagai kesulitan. Ki Hajar
Dewantara mengakui keadaan ini. Menurutnya, “agama di dalam pengajaran
sekolah adalah soal lama dan terus menerus menjadi persoalan yang sulit”.
Hal ini disebabkan:
 tentang sifat pokoknya (pemeliharaan rasa ketuhanan) sebetulnya
tidak ada antitesis yang berarti.
 kesulitan timbul sejak ada tuntutan suapaya sifat keagamaan tadi
diberi bentuk “pengajaran agama” hakikat “religie”.
 tiap-tiap golongan agama sudah selayaknya memajukan tuntutan
masing-masing.
 menurut rencana dari pihak Pemerintahan Republik Indonesia
memang semua aliran agama (Islam, Kristen, Katholik) dapat
kesempatan untuk memelihara agamanya masing-masing itu di dalam
sekolah.
 di samping itu, ada golongan-golongan yang tidak mufakat pelajaran
agama tadi dimasukan dalam daftar pelajaran sebagai “imperatif” vak;
ada pula yang menuntut pelajaran tersebut hendaknya ditempatkan di
luar jam pelajaran.
Upaya memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum
lebih lanjut terlihat pada proses lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1950 tentang Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran. Pada Bab XII, Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang Negara tersebut dinyatakan, bahwa dalam sekolah-

6
sekolah negeri diadakan pelajaran agama; (1) orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; ayat (2) menyatakan,
bahwa cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajarn
dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama. Pasal 20 tersebut
diberi penjelasan yaitu:
a) apakah suatu jenis sekolah memberikan pelajaran agama adalah
tergantung pada umur dan kecerdasan murid-muridnya
b) murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut atau tidaknya
dalam pelajaran agama
c) sifat pengajaran agama dan jumlah jam pelajarannya ditetapkan dalam
undang-undang tentang jenis sekolah
d) pelajaran agama tidak memengaruhi kenaikan kelas anak.
Mengenai rencana pengajaran agama antara Menteri Pendidikan dan
Menteri Agama diperoleh persetujuan, bahwa rencana itu sebelum ditetapkan
dibicarakan lebih dahulu dengan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang mempunyai tenaga yang dapat memberi nasehat mengenai
segi-segi pedagogis, hal mana bukan dimaksud untuk mengurangi kedaulatan
Kementrian Agama, tetapi justru memperlancar jalannya pendidikan agama.
Mengenai hak orang tua dalam pendidikan agama ditentukan sebagai berikut:
(a) orang tua menentukan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran agama
atau tidak; (b) hal dimaksud dalam butir diatas adalah sesuai dengan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di sekolah.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa dalam memasukan pendidikan
agama ke dalam sekolah umum sangat hati-hati dan penuh pertimbangan.
Faktor sosial, politik, ideologi, agama, hak-hak asasi manusia, dan budaya
yang demikian heterogen dan pluralistik sebagaimana yang terdapat dalam
masyarakat Indonesia sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini
tampak menemukan kebenarannya. Hal ini lebih lanjut dapat didasarkan pada
analisi sebagai berikut.

7
 dari segi sosial masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan dan
stara sosial yang amat pluralistik, antara satu dan lainnya harus hidup
saling berdampingan, toleransi, merasa senasib seperjuangan sebagai
sebuah bangsa. Pendidikan agama yang amat beragam diharapkan
tidak menimbulkan konflik dan perpecahan sosial.
 dari segi politik dan ideologi, di dalam masyarakat Indonesia terdapat
kelompok agama yang basis ideologinya agama; kelompok nasionalis
yang basis ideologinya nasionalis sekuler; dan kaum komunis yang
basis ideologinya komunis. Ketiga kelompok ini memiliki
kepentingan yang tidak sama terhadap agama. Pertaruhan politik
ideologi ini belum benar-benar mereda hinggah sekarang.
 dari segi agama di Indonesia terdapat agama Islam, Katholik,
Protestan, Hindu dan Budha, kini ditambah dengan Kong Hucu.
Disamping memiliki persamaan dalam hal hubungan sosial, ekonomi,
ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, juga memiliki sisi
perbedaan-perbedaan. Sisi perbedaan inilah yang terkadang menjadi
alat pemicu terjadinya konflik sosial. Menurut Imam Tholkhah, bahwa
faktor kepentingan keagamaan yang sering menjadi pemicu konflik
sejak masa lalu adalah berbenturan misi penyiaran agama, pendirian
rumah ibadah, perkawinan antara penganut agama yang berbeda,
penidaan agama, penyelenggaraan hari besar agama yang tidak
kondusif.
 dari segi hak-hak asai manusia, bahwa beragama adalah merupakan
hak asasi setiap individu. Pemerintah atau siapa saja tidak boleh
memaksa suatu agama untuk dianut seseorang. Biarkan orang
memilih agama sesuai hati nuraninya.
 dari segi budaya, bahwa lingkungan sosial yang budaya agama
(religious culture) nya kuat, juga menjadi faktor. Lingkungan budaya
agama (religious culture) nya kuat dapat dinyatakan sebagai linkungan
istimewa oleh wali kota atau bupati, dan pendidikan agama dapat
dimulain dari kelas satu.

8
 dari segi peran dan fungsinya, bahwa agama bukanlah termasuk
pengetahuan atau pengajaran, melainkan pendidikan. Suatu
pendidikan diarahkan kepada suatu pembentukan, sehingga
pendidikan agama harus menghasilkan suatu sikap hidup yang sesuai
dengan kehidupan orang beragama. Dan sikap demikian hanya dapat
diperoleh dalam suatu lingkungan seluruhnya selalu bernafas dengan
keagamaan seperti dalam lingkungan keluarga, dalam suatu asrama,
pesantren atau lingkungan yang sangat khusus.
Dari keenam faktor tersebut pada intinya adalah pendidikan agama
merupakan upaya mengolah pluralisme agama yang berkolerasi dengan
pluralisme sosial, politik, ideologi, budaya dan lain sebagainya. Pengolahan
tersebut mengharuskan adanya sikap yang adil, equal, toleransi, saling
menghargai perbedaan, saling tolong menolong, membantu, memberi dan
menerima, mau belajar dari keberhasilan orang lain, dan mau menjadikan
kegagalan orang lain sebagai peringatan.
Perjuangan memasukan pendidikan agama islam ke sekolah umum
terjadi lagi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat ini, kadudukan
pendidikan agama di sekolah-sekolah wajib terutama setelah dikeluarkannya
TAP MPRS No. XXVII Tahun1966 dan TAP-TAP MPR sesudahnya dan
telah menjadi bagian penting dari GBHN. Dengan demikian, kedudukan
pendidikan di sekolah umum telah kuat. Namun harus diakui, bahwa peranan
pendidikan agama disekolah umum hingga kini belum menunjukan hasil yang
maksimal, terutama dari segi pembentukan akhlak dan kepribadian anak.
Pendidikan Agama Islam baru benar-benar masuk ke dalam sekolah
umum terjadi setelah keluarnya Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada bab IX, Pasal 37 tentang
Kurikulum Pasal 39 ayat 2 dan 3. Pada ayat 2 dinyatakan, bahwa isi
kurikuum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan.
Selanjutnya ayat 3 menyatakan, isi kurikulum dasar memuat sekurang-
kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang: pendidikan pancasila,

9
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa indonesia, membaca
dan menulis, matematika, pengantar sains dan tegnologi, ilmu bumi, sejarah
nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan
jasmani dan kesehatan, menggambar, dan bahasa inggris. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 dan 3 diatur oleh menteri.
Masuknya pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran wajib pada
sekolah umum lebih lanjut dikokohkan oleh Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pada bab X, Pasal 37 ayat 1
undang-undang Sisdiknas dinyatakan, bahwa kurikulum pendidikan dasar dan
menengah memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa
indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni
dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejujuran,
muatan lokal.
Ketentuan tentang pendidikan agama pada sekolah umum ini
selanjutnya diperkuat oleh Peraturan Pemerintah RI, Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, serta Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Disitu
dinyatakan dengan tegas, bahwa salah satu komponen mata pelajaran pada
SMA, pendidikan agama menempati urutan pertama dari 16 mata pelajaran
lainnya.
Selanjutnya jika kurikulum pendidikan yang dimuat dalam UU No.2
Tahun 1989, dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dihubungkan terlihat bahwa masuknya pendidikan agama islam ke
dalam sekolah umum pada UU No. 20 Tahun 2003 jauh lebih kuat
dibandingkan dengan masuknya pendidikan agama islam ke dalam sekolah
umum pada UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Hal ini terlihat pada
urutannya. Jika pada UU No. 2 Tahun1989 pendidikan agama berada pada
urutan kedua setelah pendidikan Pancasila, maka pada UU Nomor 20 Tahun
2003, pendidikan agama berada pada urutan pertama sebelum pendidikan
kewarganegaraan.

10
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari perjalanan panjang yang demikian itu terdapat beberapa catatan
analisis sebagai penutup yang secara umum bahwa perjuangan untuk
memasukan pendidikan agama ke dalam sekolah umum termasuk sebuah
kesuksesan yang luar biasa. Perjuangan dari waktu ke waktu selalu
menunjukan peningkatan kedudukan pendidikan agama pada sekolah umum.
Hal ini diduga karena beberapa faktor sebagai berikut.
Pertama, gagalnya hipotesis yang menyatakan, bahwa di era
globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
materi, agama akan ditinggal, karena segala kebutuhan manusia sudah dapat
terpenuhi oleh ilmu pengetahuan, teknologi modren dan materi tersebut
tenyata gagal.
Kedua, semakin besarnya peran dan kontribusi yang dimainkan oleh
kalangan Muslim progresif dalam menerjemahkan, mengaktualisasikan dan
mengartikulasikan agama Islam untuk kepentingan integritas nasional,
kohesivitas negara kesatuan Republik Indonesia, serta keinginan yang kuat
untuk membuktikan bahwa agama islam sebagai agama peradaban dunia,
sebagaimana yang pernah diperlihatkan di zaman klasik.
Ketiga, semakin tepatnya metode dan pendekatan yang digunakan
para pendidikan dan mubalig dalam mengajak masyarakat untuk menjadikan
islam sebagai pandangan hidupnya, bersama-sama dengan penganut agama
lainnya yang ada di Indonesia. Metode dan pendekatan persuasif, damai,
keteladanan yang baik, akomodatif, dan bijak sebagaimana yang dipraktikan
Rasullah Saw. dan Wali Songo kembali digunakan dengan logika yang
disesuaikan dengan kemajuan zaman.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdu al-Baqiy, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-


Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987)
Dini Nur Hidayah di 03.28

12

Anda mungkin juga menyukai