Sejarah pendirian Muhammadiyah tahun 1912, organisasi ini berkaitan dengan ide
pembaruan Islam. Ide yang digagas KH Ahmad Dahlan itu mencakup bidang yang luas,
mulai dari praktik beragama hingga praktik sosial kemasyarakatan. Dalam praktik beragama,
misalnya, Ahmad Dahlan memelopori pelurusan arah kiblat berdasarkan ilmu falak
(astronomi), pengorganisasian zakat, haji, serta shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan.
Pendirian masjid dan mushala di tempat umum dan perkantoran juga adalah salah satu buah
pemikiran Ahmad Dahlan (Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan
Kiai Ahmad Dahlan, 2010).
Jejak kearifan praktik sosial kemasyarakatan ditandai sikap terbuka Ahmad Dahlan menyerap
puncak peradaban tanpa memandang bangsa dan agama pengemban peradaban itu. Berbagai
aksi sosial yang dikembangkan banyak terinspirasi pengalaman orang Kristiani dan warga
Belanda, Inggris, atau Portugis. Pendirian rumah sakit, panti sosial, taman pustaka,
penerbitan, serta sekolah modern merupakan karya yang terinspirasi oleh pengelolaan
kehidupan sosial dan kesehatan kaum non-Muslim (Abdul Munir Mulkhan, 2010).
Tak bisa dilupakan pula bagaimana Ahmad Dahlan menggerakkan perempuan memperoleh
ilmu dan melakukan aksi sosial di luar rumah. Kaum perempuan didorong meningkatkan
kecerdasan melalui pendidikan formal dan nonformal seperti pengajian dan kursus. Pada
1922 berdiri perkumpulan perempuan yang kelak diberi nama Aisyiah. Satu lompatan nilai
sosial terjadi ketika Siti Walidah, istri Kiai Dahlan, tanpa suami, menghadiri undangan
Musyawarah Ulama di Serambi Masjid Besar Solo dalam kapasitasnya sebagai ulama
perempuan.
Kini, Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia yang
diorganisasikan secara modern. Unit kegiatannya tersebar merata ke seluruh pelosok negeri
yang meliputi pendidikan, kesehatan, santunan sosial, hingga kegiatan ritual ibadah dan
pengajian. Menurut buku Profil Muhammadiyah (2000), saat ini terdapat tak kurang dari
ribuan taman kanak-kanak, 2.907 SD/madrasah ibtidaiyah, 1.731 SLTP/madrasah
tsanawiyah, 929 SLTA/madrasah aliyah, 55 pesantren, lebih dari 184 perguruan tinggi, 312
lembaga pelayanan kesehatan, 240 panti asuhan, 19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lebih
dari 800 koperasi, dan 190 Baitulmaalwat Tamwil. Gambaran itu memperlihatkan
Muhammadiyah memiliki peran sosial yang kuat.
Praktik sosial menonjol yang terungkap terutama adalah keberhasilan Muhammadiyah dalam
pelayanan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Sebagian besar responden (71 persen)
menyatakan, Muhammadiyah berhasil turut serta membantu memajukan kualitas pendidikan
masyarakat. Secara khusus, 73,1 persen responden mengakui Muhammadiyah berhasil dalam
menyampaikan visi keislaman dalam pendidikan. Di bidang ekonomi dan kesehatan hampir
separuh jumlah responden (43,7 persen dan 42,5 persen) setuju, Muhammadiyah membantu
memajukan perekonomian dan menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk
masyarakat.
Kontribusi 'Aisyiyah dalam bidang kesejahteraan sosial diwujudkan dalam bentuk pendirian
Panti Asuhan, Panti Asuhan, Balai Latihan Kerja, dan bantuan bagi anak-anak miskin dan
lanjut usia di masyarakat. Adapun untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat lokal dan
nasional yang berpihak pada kaum miskin dan perempuan dan anak, 'Aisyiyah
mengembangkan advokasi di berbagai bidang.
Aisyiyah dalam gerakan kesehatan dan sosial mempraktikkan Al-Ma’un (QS Al-Ma’un 1-7).
Melalui Al-Ma’un lahir pilantrofi Islam dalam bentuk Rumah Sakit, Poliklinik, Panti Asuhan,
dan usaha-usaha pemberdayaan masyarakat yang membawa pada kemajuan hidup kahir dan
batin. Al-Ma’un merupakan praksis teologi pembebasan bagi kaum dhu’afa-mustad’afin yang
lemah dan tertindas atau dilemahkan. Al-Ma’un membuktikan bahwa Islam sebagai agama
amaliah yang mencerahkan yaitu membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan
mereka yang tidak beruntung dalam kehidupannya.
MDMC
MDMC bergerak dalam kegiatan penanggulangan bencana sesuai dengan definisi kegiatan
penanggulangan bencana baik pada kegiatan Mitigasi dan Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat
dan juga Rehabilitasi. MDMC mengadopsi kode etik kerelawanan kemanusiaan dan piagam
kemanusiaan yang berlaku secara internasional, mengembangkan misi pengurangan risiko
bencana selaras dengan Hygo Framework for Action dan mengembangkan basis
kesiapsiagaan di tingkat komunitas, sekolah dan rumah sakit sebagai basis gerakan
Muhammadiyah sejak 100 tahun yang lalu.
“Data relawan baik itu petugas rumah sakit maupun relawan di luar rumah sakit sekitar
60.000 relawan. Semua lini relawan baik fokus di pencegahan ataupun penanganan.”
Relawan – relawan yang terjaring ini merupakan inisiatif dalam menggerakkan sumber daya
yang dimiliki oleh Muhammadiyah, yaitu ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi yang ada
di seluruh Indonesia untuk bersama dalam satuan tugas MCCC menangani pandemi Covid-
19.
Dilaporkan bahwa rincian relawan Muhammadiyah di antaranya terdiri dari sektor medis dan
non medis dari pimpinan pusat hingga pimpinan ranting. Berdasarkan data yang ada, sektor
medis yang bergerak sekitar 2.396 dokter, 7.225 perawat, 1.333 bidan, 1.255 penunjang
medis, 1.009 petugas farmasi, 700 gizi dan 6.482 umum di rumah sakit. Sedangkan pada
sektor non medis diantaranya 30 psikolog, 62 staf psikososial, 32 staf logistik, 45 staf
administrasi dan beberapa jajaran pimpinan pusat, wilayah, cabang hingga ranting di seluruh
Indonesia.
Melalui gerakan – gerakan yang telah dilakukan ini tercatat bahwa Muhammadiyah
dan Aisyiyah telah menggelontorkan dana sekitar 130 miliar rupiah untuk mendukung
program – program pencegahan Covid-19 dalam kegiatan edukasi promotif yang tidak
termasuk dalam dana rumah sakit. Maka dapat digambarkan bahwa 130 miliar rupiah ini di
luar biaya yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah.