Anda di halaman 1dari 72

TIPOLOGI PARTAI POLITIK

DAN SKEMA PENDANAAN


PARTAI POLITIK

“Studi Literatur untuk Rekomendasi Kebijakan


Pendanaan Partai Politik di Indonesia”

August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaja

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi


2018
TIPOLOGI PARTAI POLITIK DAN
SKEMA PENDANAAN PARTAI POLITIK

“Studi Literatur untuk Rekomendasi Kebijakan


Pendanaan Partai Politik di Indonesia”

August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaja

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi


2018
TIPOLOGI PARTAI POLITIK DAN SKEMA PENDANAAN PARTAI POLITIK

August Melllaz
Pipit R. Kartawidjaja

Penerbit
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
Jl. Proklamasi No. 65, Pegangsaan, Menteng
Jakarta Pusat

Didukung oleh:
Yayasan Tifa
I8 Office Park, 15th FL Unit C-D
Jl. TB. Simatupang No. 18, Kebagusan
Jakarta Selatan

Penanggung Jawab Utama


Bernad D. Sutrisno

Penanggung Jawab Teknis


Erik Kurniawan

Layouter
Agus Sumberdana
Foto sampul: oleh Edwin Andrade

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Mellaz, August dan Pipit R. Kartawidjaja


Tipologi Partai Politik dan Skema Pendanaan Partai Politik, August Mellaz dan Pipit R.
Kartawidjaja, Jakarta: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, 2018.

ISBN : ……………………………………………………………..
DAFTAR ISI

Daftar Isi i
Kata Pengantar iii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Identifikasi Permasalahan 3
Kegunaan Penelitian 4
Metode Penelitian 4
BAB II TIPOLOGI DAN KLASIFIKASI PARTAI POLITIK 5
Perdebatan Kategori; Karakteristik dan Tipologi Partai 5
Kritik atas Pemodelan dan Tipologi Partai 6
Klasifikasi Partai; Posisi Partai antara Masyarakat dengan Negara 12
Klasifikasi Baru; Orientasi Partai “Vote Seeking, Office Seeking, dan Policy Seeking” 18
BAB III ANALISA TIPOLOGI PARTAI: “KONTEKS INDONESIA” 23
Tipologi 24
Posisi Partai 25
Respesifikasi dan Orientasi Partai 26
Volatilitas Politik 27
BAB IV PENDANAAN PARTAI 31
Pendanaan Swadana 31
Pendanaan Partai Dari Negara 33
BAB V PENUTUP 45
Kesimpulan 45
Rekomendasi 46
Bahan Pustaka 47
Tentang Penulis 52

Daftar Tabel

Tabel 1 Model dan Karakteristik Partai 11


Tabel 2 Perbedaan Mass-bureaucratic parties dan Electoral-profesional parties 17
Tabel 3 Model Orientasi Partai: Kebijakan, Suara, dan Jabatan 22
Tabel 4 Pendanaan Negara Langsung Kepada Partai 31
Tabel 5 Besar Dana Negara untuk Partai di Jerman 37
Tabel 6 Subsidi Tahunan Langsung Negara kepada Pemilih di 25 Negara era 1990-an 38
Tabel 7 Porsi Pendanaan dari Negara di Jerman 39
Tabel 8 Perbandingan Pendanaan Negara Langsung dengan Biaya Pemilu 40
Tabel 9 Subsidi APBN Partai Indonesia 43
Tabel 10 Ciri-Ciri Partai Kartel Dan Kiat Penangkalan 46

i
KATA PENGANTAR
Partai politik di Indonesia diakui sebagai sebagai organ konstitusi paska reformasi, sebagaimana ter-
muat dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Pres-
iden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum“. Pengakuan berikutnya muncul dalam Pasal 22 E Ayat (3) UUD 1945,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik“.

Pengakuan partai dalam konstitusi Indonesia tergolong istimewa. Tidak semua Negara di dunia men-
cantumkannya dalam Undang Undang Dasar. Pertama kali kedudukan partai dicantumkan dalam
UUD terjadi di Uruguay tahun 1934. Menyusul kemudian Republik Dominika (1942), Ekuador dan
Guatemala (1945), Brazil dan Panama (1946), Kosta Rika (1949), El Salvador (1950), Venezuela (1961),
Paraguay 1967, Cile (1970), Meksiko (1977), Peru (1979), Nikaragua (1979), Kolumbia (1991), dan
Argentina (1994).1

Dibandingkan dengan di Amerika Latin, demokrasi Eropa Barat tergolong lambat mencantumkan
kedudukan partai dalam konstitusi. Pertama kali dicantumkan di konstitusi Islandia (1944), Austria
(1945), Italia (1947), Jerman (1949), dan Perancis (1958). Sedangkan Swiss, Finlandia, dan Luksem-
burg baru mencantumkan partai dalam konstitusi setelah Negara-negara di Eropa Timur melakukan-
nya terlebih dahulu.

Sebaliknya, konstitusi Negara-negara di Eropa Barat seperti Belanda, Denmark, Belgia dan Irlandia
tidak menyebutkan kedudukan partai, apalagi Inggris yang tidak memiliki konstitusi.2 Seperti halnya
di Negara-negara yang kedudukan partainya tersurat dalam konstitusi, maka kedudukan partai diatur
lebih lanjut dalam Undang-undang Partai, Undang-undang Pemilu, Undang-undang Pendanaan Par-
tai, ataupun Undang-undang Kampanye pemilu.

Memasukan terminologi partai dalam konstitusi, lazimnya diikuti dengan pembuatan regulasi yang
mengatur kehidupan, organisasi, aktivitas partai. Dengan demikian, partai sah menjadi obyek regulasi
Negara. Prinsip ini kontras dengan pemahaman masyarakat liberal. Mereka beranggapan partai mer-
upakan asosiasi privat yang bebas tanpa campur tangan Negara.

Di kalangan ilmuwan sendiri, tipologisasi partai tetap menjadi bahan perdebatan. Satu kesamaan
tipologi tidak diterima. Meskipun demikian, menurut Frank Decker, terdapat kesepakatan untuk
membedakan partai politik lewat ciri-ciri terpenting. Parpol dapatlah dibedakan dari lima (5) sudut
pandang:
(a) Afiliasi ideologis-politis dan progam
(b) Asal muasal atau sejarah pembentukan parpol
(c) Struktur organisasi
(d) Strukur pendukung parpol
(e) Orientasi tujuan dan fungsi sistem politik.

1 Fransje Molenaar (2012), “Latin American regulation of political parties: Continuing trends an breaks with the past“,
Working Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties Indeks. 17, hal. 6 dan 11. Untuk Uruguay, Mik Strmecki
menyebut tahun 1917, lihat “The Political Party Phenomenon as the Major Underpinning and at Times a Conduit for the Demise
of Democracy & Rechtstaat“, Transylvanian Review of Administrative Sciences (TRAS), No. 20 Indeksne 2007, hal. 98. http://
rtsa.roindeks/index.php/tras/article/viewFile/369/359
2 Ingrid van Biezen and Gabriela Borz (2012). “Models of party democracy: patterns of party regulation in postwar European
constitutions“, European Political Science Review, 4, hal. 330. Catatan penulis, yang dimaksud adalah Republik Federasi Jer-
man (Jerman Barat). Di samping Jerman Barat, saat itu hadir Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur).

iii
Kelima sudut pandang ini tidak berdiri sendiri. Melainkan saling mempengaruhi dan harus dilihat
perkembangannya secara historis.

1. Afiliasi ideologis-politis dan Liberal, Konservatif/Kristen, Sosialis/Sosialdemokrat, Ekologi, dan Populis Kanan
program

2. Sejarah pembentukan partai (a) sempalan partai, (b) gerakan sosial, (c) gabungan partai dan (d) reorganisasi
atau pembentukan baru dari partai yang tenggelam/bubar

A. Form different faces: (a) party on the ground, (b) party central office dan (c)
party in public office

3. Struktur organisasi B. Dari urutan kelahirannya secara historis: (a) notabilities party atau partai kader
(umumnya giat dalam parlemen dan bertitik-beratkan pada kegiatan pemilu), (b)
partai massa (seperti partai Sosialis abad 19 yang bergerak di luar parlemen), (c)
partai pemilih profesional (tipe organisasi dominan), sebutan lain dari para pakar
adalah partai profesi politikus, media communication party, dan partai kartel

Partai golongan/kelas (abad 19-20), clientele parties, partai rakyat, catch-all-party.


4. Struktur pendukung partai Di Jerman misalnya. Hadir Partai Pemuda, Senior, Perempuan, dan Imigran yang
umumnya partai gurem. Sukses di Eropa ada partai-partai regional

5. Orientasi tujuan dan fungsi (a) vote-seeking, (b) office-seeking, dan (c) political-design/policy-seeking
dalam sistem politik
Sumber:
Frank Decker, “Politische Parteien: Begriff und Typologien”, Bundeszentrale fuer politische Bildung, 25 Juni 2018, http://
www.bpb.de/politik/grundfragen/parteien-in-deutschland/42045/begriff-und-typologien.

Karena pengakuan bahwa partai adalah organ konstitusi maka partai mengemban tanggungjawab
dalam aktivitas kehidupan bernegara. Seperti menjaga dan menumbuh kembangkan iklim demokrasi
yang sehat. Tentu, tanggungjawab tersebut tidak mudah. Butuh konsistensi dan komitmen yang
berkelanjutan.

Salah satu bentuk pengakuan Negara - dalam hal ini konstitusi - terhadap keberadaan dan peran
penting partai, salah satunya tercermin dalam bentuk kontribusi Negara melalui bantuan pendanaan.
Secara prinsip, pendanaan partai yang bersumber dari keuangan Negara merupakan hasil pajak warga
Negara. Tujuannya, untuk meningkatkan peran partai dalam menjalankan berbagai fungsi. Baik poli-
tik maupun konstitusi.

Dalam konteks Indonesia, bantuan pendanaan partai, baru sekadar formalitas belaka, meskipun prak-
teknya telah diterapkan sejak lama. Hal ini diduga terjadi lantaran adanya sejumlah skema kebijakan
yang berubah-ubah. Baik besaran nominal maupun basis perhitungannya. Dari satu periode ke peri-
ode lainnya, khususnya pemilu.

iv
Hingga saat ini, tidak terlihat paradigma yang utuh terkait skema kebijakan bantuan keuangan partai
oleh Negara. Misalnya, bagaimana meletakan bantuan keuangan Negara pada dua (2) aspek: pertama,
partai sebagai organ konstitusi. Kedua, keuangan Negara merupakan hasil setoran pajak. Terlepas
dari jumlah nominal yang dapat dialokasikan. Ada pertanyaan mendasar yang hendaknya dituntas-
kan, apakah bantuan Negara tepat diberikan hanya kepada partai-partai yang duduk di lembaga per-
wakilan, baik pusat, dan daerah? Bagaimana dengan partai-partai lain yang tidak memiliki wakil di
lembaga perwakilan, meski melekat di partai tersebut sebuah atribut yang sama, yakni organ konsti-
tusi?

Pertanyaan berikutnya, apa fungsi dan harapan yang dikendaki oleh Negara dalam konteks pem-
berian bantuan keuangan bagi partai? Apakah sekadar dalam rangka mengganti biaya yang telah
dikeluarkan partai dalam pemilu? Atau terdapat tujuan lainnya? Misalnya, dalam rangka mewujudkan
kesetaraan antar partai dalam kompetisi dan memfasilitasi tumbuhnya iklim demokrasi Negara yang
lebih baik.

Kajian ini mencoba memberi fokus upaya untuk mengaitkan pada dua (2) aspek. Pertama, pen-
danaan partai oleh Negara. Kedua, kaitannya dengan tipologi ataupun klasifikasi partai. Selama ini
kedua aspek tersebut kerap tidak disertakan dalam pembahasan topik pendanaan partai oleh Neg-
ara. Melalui kajian yang dilakukan oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) ini, diharapkan dapat
menyumbangkan perspektif tersendiri. Agar tipologi partai dilibatkan sebagai pertimbangan ketika
membahas isu pendanaan partai.

Riset ini merupakan bagian kedua dari kerjasama antara SPD dengan Yayasan TIFA. Setelah sebelum-
nya, SPD meluncurkan hasil riset dengan tema “Peta Jalan Pencegahan Politik Uang Pilkada“, pada
awal Juni 2018. Sebagai penanggung jawab eksekutif, secara pribadi maupun kelembagaan, Saya
mengucapkan apresiasi dan terima kasih atas kepercayaan dan dukungan yang telah diberikan oleh
Yayasan TIFA terhadap dua (2) pekerjaan ini.

Melalui riset ini, diharapkan dapat memberikan landasan dalam upaya memitigasi kecenderungan dan
perkembangan yang terjadi pada kehidupan partai-partai di Indonesia. Dengan menyajikan tipologi,
klasifikasi, pemodelan partai, maupun skema-skema pendanaan partai oleh Negara, dan kompara-
sinya dengan pelbagai Negara lain yang dipelajari. Diharapkan, memperkaya khasanah publik dan
memberi perspektif baru yang berguna bagi berbagai rumusan kebijakan yang akan diambil. Selain
itu, riset ini diharapkan dapat menghadirkan rekomendasi model pendanaan parpol yang memiliki
kesesuaian dengan kecenderungan tipologi parpol yang berkembang di Indonesia.

Sebagai penulis, kami berdua, August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaja, menyadari sepenuhnya ada
kekurangan pada kajian ini. Kami berdua sungguh berharap, melalui kajian ini dan kajian yang akan
kami lakukan di masa mendatang, dapat merangsang munculnya diskursus sehat yang dibutuhkan
dalam kehidupan publik.

Jakarta-Berlin, 1 Juli 2018


Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)

August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaja

v
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Era demokrasi modern saat ini, sistem politik multipartai dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam
tatanan Negara dan pemerintahan. Sebagai sebuah skema politik, keberadaan partai diharapkan
dapat menjembatani dan mewakili berbagai spektrum politik masyarakat dalam penentuan kebija-
kan, yang dampaknya diterima semua pihak. Demokrasi dan multipartai, bukanlah suatu fenomena
ekslusif yang hanya tumbuh dan berkembang subur di belahan dunia barat, namun menjangkau ham-
pir semua kawasan dunia, termasuk Indonesia tanpa terkecuali.

Paska gelombang demokratisasi ketiga3 di era 1974 yang ditandai dengan runtuhnya rejim diktator di
Portugal lewat Revolusi Bunga, kemudian diikuti oleh Spanyol, dan Yunani. Fenomena yang awalnya
menimpa wilayah Eropa Mediterania tersebut, terus menyebar dan mendunia di akhir 80an dan awal
90an, paska runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 dan lepasnya cengkraman partai komunis di Eropa
Tengah dan Eropa Timur. Gerakan demokrasi berlanjut dengan lepasnya cengkeraman pemerintahan
autokrasi di sejumlah Negara di kawasan Asia, dan pelaksanaan pemilu di sejumlah Negara di ka-
wasan Amerika Latin memperlihatkan akhir dari eksistensi rejim junta militer.4

Perluasan demokrasi juga menjalari kawasan Afrika; Benin, Togo, ataupun Afrika Selatan dengan am-
bruknya rejim Apartheid. Relatif, paska gelombang demokratisasi ketiga, hampir 2/3 (dua pertiga)
Negara-Negara dunia mengalami perubahan, dari rejim lama menjadi pemerintahan demokratis.5
Saat ini, tinggal Negara-Negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang relatif belum terja-
mah, meskipun pada akhir 2010 dan awal 2011 sempat muncul “The Arab Spring”. Namun keberlanju-
tannya masih ditunggu, apakah gelombang ‘musim semi Arab’ tersebut tetap akan berlanjut, ataukah
berhenti.

Keberlanjutan demokrasi dan peran partai, menyita banyak perhatian figur-figur penting dalam dunia
riset tentang sistem politik; kepartaian, kepemiluan, dan demokrasi. Partai menjadi instrumen sentral
dalam tatanan pemerintahan demokratis.6 Pada partai, disematkan label bahwa perannya sebagai
indispensable atau ‘tak tergantikan’ dalam menjaga keberlanjutan tatanan pemerintahan demokratis.7

3 Samuel P. Huntington, “The Third Wave; Democratization in the Late Twentieth Century”, University of Oklahoma Press, 1991.
4 Pippa Norris, “Driving Democracy: Do Power Sharing Institution Works?”, Cambridge university Press, Cambridge, 2008, hal.
20-22.
5 Ibid, hal. 6-10.
6 J. Mark Payne, et all. “Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America”, the Inter-American Development
Bank and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, The Johns Hopkins University Press, Washington, D.C,
2002. Hal. 127.
7 Penilaian ‘tak tergantikan’ dikemukakan oleh Larry Diamond dalam Roland Rich, “Analysing and Categorising Political Par-
ties in Pacific Island”, hal. 2. Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Seymour Martin Lipset dalam Natasha M. Ezrow, “Briefing
Paper: The Importance of Parties and Party System Institutionalization in New democracies”, Institute for Democracy and Conflict
Resolution, 2011.

1
Argumen bekerjanya demokrasi diperankan sedemikan penting oleh partai. Hal ini beranjak dari
sejumlah fakta, bahwa roda pemerintahan ditentukan oleh program-program yang diusung partai
berdasarkan platform maupun ideologi, yang merupakan cermin dari aspirasi masyarakat. Berbagai
program maupun kebijakan tersebut dipersaingkan melalui kompetisi pemilu dengan program dan
kebijakan yang diusung partai lainnya, guna mendapatkan dukungan pemilih.

Dengan demikian, esensi penting partai dalam tata pemerintahan demokratis, meliputi: proses rekrut-
men dan seleksi kandidat untuk pengisian jabatan publik, mengorganisir proses pemilu, strukturisasi
dukungan publik melalui serangkaian identifikasi program dan kebijakan, kepentingan dan nilai-nilai
sosio-ekonomi masyarakat, agregasi kepentingan dan preferensi warga Negara dalam proses pem-
buatan kebijakan, dan pembentukan pemerintahan serta kesepakatan kebijakan parlemen.8

Peran, fungsi, dan tanggung jawab penting partai dalam menjaga kesinambungan tata pemerintahan
demokratis membutuhkan sumber daya yang besar. Tidak saja meliputi pengisian struktur organisasi
oleh sejumlah personel yang memiliki kecakapan dan loyalitas terhadap ideologi ataupun platform
partai mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah. Partai juga dibebankan untuk terus men-
jaga konsistensinya dalam menyerap dan merumuskan aspirasi masyarakat dan menstrukturkannya
dalam berbagai alternatif kebijakan. Untuk itu pada partai melekat beban untuk menjaga dan ter-
us-menerus meningkatkan kapasitas personel maupun kelembagaan, agar tetap dapat bertahan dan
memenangkan pertarungan wacana kebijakan publik, khususnya dalam pemilu. Kebutuhan, beban,
dan tanggung jawab yang diemban partai untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara ideal, mem-
butuhkan sumber daya lain berupa kemampuan finansial.9

Demokrasi dianggap berbiaya tinggi atas dasar beberapa hal. Pertama, partai membutuhkan dana
untuk menjalankan tugas dan fungsinya mulai dari pendidikan politik hingga seleksi kandidat. Kedua,
setiap kandidat juga harus membiayai pencalonannya yang seringkali tidak selalu didukung oleh par-
tainya. Ketiga, penyelenggaraan pemilu yang tak kalah besar membutuhkan biaya. Bagaimanapun
juga, demokrasi membutuhkan ‘ongkos’. Persoalannya, bagaimana segenap biaya atau ongkos terse-
but dicukupi, komponen pembiayaan apa saja yang harus dihitung dan dipenuhi, dan bagaimana
upaya partai untuk memenuhinya? Pertanyaan berikutnya, bagaimana sumber-sumber pembiayaan
partai tersebut didapatkan, baik pembiayaan partai dalam konteks kelembagaan atau organisasi, ter-
masuk pembiayaan pemilu?

Pada Negara-negara demokrasi mapan seperti di Eropa Barat misalnya, pendanaan partai merupa-
kan hal yang krusial. Sebagai lembaga demokrasi, partai tentu memerlukan dana jika kewajiban dan
fungsinya hendak dilaksanakan. Dalam pembahasan pembiayaan partai, besar kecilnya biaya par-
tai tergantung pada “paradigma”-nya. Dari situ kemudian dapat dilihat perbedaan fungsi dan tu-
gasnya. Elmar Wisendhal membedakan partai ke dalam tiga paradigma; persaingan, transmisi, dan
integrasi. Tiga paradigma tersebut beranjak dari potret peranan anggota-anggota partai dalam proses
demokrasi internal organisasi.10

8 Op. Cit, J. Mark Payne, et all, hal. 127-129.


9 János Simon, “The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium”, Working Paper núm. 221, ICPS, Barce-
lona, 2003, hal. 17-27
10 Elmar Wisendhal, Parteien und Demokratie: “Eine spziologische Analyse paradigmatischer Ansätze der Parteienforschung”,
Opladen: Leske und Budrich, 1980. Dalam Daniel Filipponi, “Aktuelle Organisationtypologien politischer Parteien vor dem Hin-
tergrund normativer Demokratieparadigmen”, Soziologischer Institut der Universität Zürich, Oktober, 2005, hal. 3

2
Dari penggolongan tersebut, partai yang berparadigma integrasi dan transmisi memerlukan aparat
(pengurus) partai, daripada yang berparadigma persaingan. Partai di Amerika Serikat yang masuk
dalam kategori berparadigma persaingan, kerap disebut sebagai mesin-mesin pemilu yang dihidup-
kan dan bergerak cepat hanya saat pemilu dalam durasi waktu tertentu saja. Berbeda dengan partai
di Negara-negara Eropa Barat yang berparadigma transmisi. Mereka memiliki organisasi atau mesin
politik yang terus hidup dengan struktur organisasi pusat, cabang-cabang, dan ranting-ranting yang
menjamur di seluruh pelosok Negara. Bagi partai yang struktur organisasinya terbangun kokoh sep-
erti di Eropa Barat, pos-pos belanja yang terpenting adalah biaya personel, kantor, dan komunikasi.
Selain itu, juga terdapat pengeluaran untuk perjalanan dinas, pertemuan, dan pendekatan-pendeka-
tan kepada anggotanya. Biaya administrasi kantor, umumnya hanya menghabiskan sekitar 10% ang-
garan.11

Di Negara-Negara anglo-saxon (Inggris, Amerika, Kanada, dan Australia) pemilu merupakan kegiatan
utama. Sedangkan partai di Negara- Negara Eropa, kegiatan lebih banyak pada kegiatan kontinyu
lewat jaringan partai. Pembiayaan partai di Eropa menjadi lebih mahal daripada Negara-Negara an-
glo-saxon karena perhitungan total pembiayaan harus menanggung biaya pemilu sekaligus kegia-
tan organisasi.12 Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana partai harus didanai, dari mana
sumbernya, seperti apa tata kelola ataupun mekanisme pertanggungjawabannya?

Studi literatur ini berupaya untuk memotret model pendanaan partai, khususnya yang bersumber
dari Negara. Namun, sebelum mengulas model-model pendanaan Negara terhadap partai, ada satu
dimensi penting yang hingga saat ini khususnya di Indonesia kerap absen dalam debat wacana publik,
yaitu mengenai tipologi partai. Isu pendanaan partai, baik pada tingkat wacana dan praktek telah dit-
erapkan di Indonesia,13 namun praktek maupun wacana tersebut, lepas dalam memotret secara lebih
mendalam sisi karakteristik maupun tipologi partai.

Dengan demikian, jika diringkas, studi literatur ini hendak memotret karakteristik dan tipologi partai,
dan model-model skema pendanaan partai oleh Negara. Apakah tipologi tertentu memiliki tendensi
dan berpengaruh terhadap skema ataupun model pendanaan partai dari Negara.

Identifikasi permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka riset ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-per-
tanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan partai di Indonesia dilihat berdasarkan tipologi atau klasifikasi


partai yang berkembang di berbagai Negara?

11 Karlz-Heinz Nassmacher, “Die Kosten der Parteitaetigkeit in Westlichen Demokrateien”, OeZP, 2002, hal 8. Dalam Pipit R.
Kartawidjaja dan Faisal Aminuddin, Demokrasi Elektoral Jilid I, Sindikasi, Surabaya, 2014, hal 64.
12 Ibid
13 Pendanaan Negara terhadap partai di Indonesia, dapat diringkas sebagai ikhtisar kompensasi atas biaya yang dikel-
uarkan dalam pemilu. Pada era Habibie dan Gus Dur, melalui UU No. 2/1999 dan PP No. 51/2001 Negara memberikan
subsidi sebesar Rp. 1.000 per kursi dan bertahan hingga era Megawati. Ketentuan tersebut berubah pada era SBY melalui
PP No. 29/2005, bantuan APBN formatnya berdasarkan perolehan kursi, yaitu Rp 21 juta per kursi partai. Ketentuan ini
kemudian berubah lagi berdasarkan payung hukum UU No. 2/2008 dan UU No. 2/2011, di mana subsidi APBN kepada
partai tidak lagi didasarkan pada jumlah perolehan kursi, namun perolehan suara. Besaran rupiah per perolehan suara par-
tai yang merupakan dana bantuan APBN, berdasarkan PP No. 5/2009, Permendagri No. 24/2009, dan SK Mendagri No.
212/2009 ditetapkan sebesar Rp 108/suara. Khusus kebijakan subsidi Negara tahun 2008 dapat dilihat dalam Veri Junaidi,
dkk, “Anomali Keuangan Partai: Pengaturan dan Praktek”, Perludem, Yayasan Manikaya, Kopel Makasar, dan Kemitraan, Ke-
mitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, cetakan I November 2011, hal. 100-108.

3
2. Bagaimana tipologi atau klasifikasi partai dan model atau skema pendanaan Negara terhadap
partai politik?
3. Jika pendanaan partai diperoleh dari Negara, bagaimana pertimbangan pemberian bantuan
pendanaan partai dari Negara?

Kegunaan Penelitian

Kerangka penelitian ini diharapkan mampu memberikan studi perbandingan sekaligus kerangka re-
komendasi yang memadai bagi para pengambil keputusan dalam membuat regulasi pendanaan partai
politik. Dengan demikian, dapat diharapkan sekalipun Negara hadir dalam bentuk pemberian kontri-
busi dana kepada partai politik, namun tidak menciptakan ketergantungan bagi setiap partai politik
pada Negara. Kemudian, pendanaan Negara kepada partai politik diharapkan dapat membantu pen-
gakaran dan pelembagaan partai dan sistem kepartaian, agar parpol dapat menjalankan fungsi yang
diembannya. Dalam hal ini, di Negara seperti Indonesia.

Metodologi Penelitian

Riset ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penjajagan (eksploratory). Metode ini dimaksud-
kan untuk mengumpulkan ide-ide dan berbagai masukan atas subyek penelitian. Diharapkan dapat
membantu memecahkan masalah yang luas dan samar, menjadi lebih sempit dan tepat. Penggunaan
metode eksporatori juga akan dilengkapi dengan sejumlah kajian literatur yang dimaksudkan untuk
memperkaya pendalaman terhadap topik riset. Literatur atau kajian tersebut meliputi komparasi te-
ori-teori dan praktek empirik yang relevan atas subyek penelitian, antara lain:

1. Sistem Kepartaian dan Tipologi Sistem Kepartaian


2. Partai politik dan pendanaan politik
3. Model ataupun Skema Pendanaan Keuangan Partai oleh Negara.

Kajian terhadap riset-riset yang ada sebelumnya dipergunakan sebagai basis referensi untuk dapat
memetakan, sejauhmana riset yang telah ada relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Pada ba-
gian mana riset-riset terdahulu menyediakan kerangka konsep yang dapat menjawab kebutuhan dari
kajian ini. Kajian terhadap riset-riset terdahulu meliputi, baik kajian dengan tema yang sama di Indo-
nesia maupun komparasinya dengan Negara-Negara lain yang dianggap relevan.

Pada bagian akhir dari konsep dan komparasi yang dikaji, akan dilakukan analisa baik kualitatif mau-
pun pendekatan yang menggunakan data-data kuantitatif, sehingga dapat menghasilkan penilaian
yang memadai. Dengan demikian diharapkan tidak hanya mempersempit batasan dan tujuan riset
yang ingin didalami, juga rangka meningkatkan presisi dalam rangka pengambilan kesimpulan dan
rekomendasi riset.

4
BAB II
TIPOLOGI DAN KLASIFIKASI PARTAI POLITIK

Perdebatan Kategori: Karakteristik dan Tipologi Partai

Klasifikasi partai merupakan problem utama yang ditekuni dan ingin dijawab oleh para ahli dalam
kurun waktu lebih dari satu abad ini. Studi-studi perbandingan tentang partai memperlihatkan satu
dimensi yang luas tentang partai, baik dalam konteks ideologi, organisasi, maupun tipologinya. Se-
hingga sekedar untuk menempatkannya dalam spektrum kanan ataupun kiri juga merupakan satu
persoalan tersendiri.

Sejumlah ahli berupaya untuk membangun tipologi dan model dalam rangka menangkap makna
penting dari organisasi partisan ini. Upaya ini berakhir ditandai dengan berlimpahnya berbagai variasi
dan tipe partai. Sebagian besar para ilmuwan politik dalam kurun waktu sekian dekade menggunakan
analisa dan pendekatan ‘klasik’ yang banyak dipengaruhi oleh konsep ataupun pemikiran Maurice
Duverger, Sigmund Neumann, maupun Otto Kircheimer.14

Duverger (1954) dan Neumann (1956) bisa disebut dua figur sentral yang jejak pemikirannya ber-
pengaruh signifikan terhadap kelanjutan studi-studi yang memperkaya literatur tentang partai. Du-
verger merumuskan konsep yang membedakan antara “partai massa” dan “partai kader”, sedangkan
Neumann memberikan penekanan pada klasifikasi antara “parties of individual representation” dengan
“parties of democratic (mass) integration”.15

Kurun waktu lebih dari satu abad, diskusi dan studi literatur tentang partai, secara esensial telah
mengalami banyak perkembangan sejak era Ostrogorski (1902).16 Jejak pemikirannya menyediakan
basis klasifikasi dan pemahaman tentang partai dan relasinya dengan masyarakat.17 Riset dengan
topik partai terus berdampak terhadap perluasan tentang tipologi dan analisa, baik normatif maupun
empirik.

Studi tentang partai berlimpah tidak hanya dalam konteks keterlibatan sejumlah figur prominent
seperti: Duverger, Neumann, Kircheimer, dan Panebianco yang berbagai karyanya menjadi rujukan.
Termasuk dua implikasi pentingnya terhadap berbagai studi lanjutan tentang partai. Pertama, satu
tendensi atas munculnya model “partai massa” beserta segala kriterianya. Kedua, pembedaan lebih

14 Richard Gunther and Larry Diamond, “Species of Political Parties: A New Typology”, Party Politics 2003, Vol. 9, SAGE
Publications, 2003, hal. 167-170, diakses melalui: http://fpn.co.me/fajlovi/fpn/attach_fajlovi/lat/studentske-informacije/
obavjestenja/2017/03/pdf/Species_of_political_parties___GuntherDiamond_2003.pdf tanggal 29 Maret 2018.
15 Steven B. Wolinetz, “Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contem-
porary Democracies”, hal. 138-140, diakses melalui: http://www.olemiss.edu/courses/pol628/wolinetz02.pdf tanggal 29
Maret 2018
16 M.I Ostrogoski, “Democracy and the Organization of Political Parties”, Macmillan, London, 1902.
17 Richard S. Katz and Peter Mair, “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the
Cartel Party”, the American Political Science Association, SAGE, hal. 5-6. Diakses melalui: https://politicacomparata.files.
wordpress.com/2011/03/katz-and-mair-1995-changing-models-of-party-organization.pdf tanggal 29 Maret 2018.

5
lanjut di antara partai-partai dalam konteks relasinya dengan Negara. 18

Implikasi pertama seperti yang disebutkan di atas, dilanjutkan oleh Kircheimer (1966) dan Panebi-
anco (1998) dalam studinya. Kircheimer menyumbangkan satu kosakata yang dikenal dengan sebu-
tan “the catch-all party”, sedangkan Panebianco memunculkan satu terminologi “electoral-profesional
party” (partai pemilu profesional).19 Dua kosakata tersebut merupakan kelanjutan ataupun derivasi
dari konsep yang diajukan oleh Neumann, yaitu parties of individual representation.

Kritik atas Pemodelan dan Tipologi Partai

Kritik terhadap dua implikasi model “partai massa” yang didefinisikan Duverger, diajukan oleh Katz
dan Mair, karena terminologi beserta derivasi turunannya tersebut dianggap satu pendekatan yang
tidak kokoh (ill founded).20 Sebab, meski beranjak dari konsepsi dan dinamika demokrasi yang secara
khusus merupakan karakteristik ideal sebuah struktur sosial, namun bukanlah cerminan masyarakat
postindustrial. Pendekatan tersebut dianggap terlalu menyederhanakan situasi, seolah-olah perkem-
bangan partai merupakan relasi yang bersifat liniear, faktanya tidak demikian.

Kontrasnya, perkembangan partai-partai di negara-negara demokrasi barat menurut Katz dan Mair
merupakan refleksi dari proses dialektika, di mana setiap kemunculan jenis partai baru akan mer-
angsang satu reaksi lebih lanjut terhadap perkembangan partai, dan memunculkan jenis partai baru
lainnya. Dalam perspektif ini, partai massa merupakan produk satu tahapan dari proses yang masih
terus berlanjut, ia bukanlah akhir.

Faktor-faktor yang memfasilitasi dialektika tersebut bukanlah semata-mata didorong oleh faktor
yang berasal dalam masyarakat, tetapi dipengaruhi juga oleh perubahan dan pola relasi antara partai
dengan Negara. Jika ditelisik lebih dalam, Katz dan Mair berargumen, muncul tendensi yang kuat
adanya simbiosis mutualisme antara Negara dengan partai. Tendensi ini pada akhirnya memunculkan
satu jenis partai baru, yaitu the cartel party.21

Selain kritik terhadap model partai massa seperti yang diajukan Katz dan Mair di atas, kritik atas
keberadaan model dan tipologi partai juga diberikan oleh Richard dan Gunther (2003), yang menya-
takan klasifikasi dan pemodelan partai yang eksis tersebut, tidaklah cukup memadai dalam menang-
kap berbagai variasi partai yang ada di dunia.22

Kritik berikutnya terhadap literatur yang menyusun klasifikasi dan tipologi partai adalah, orientasi
studi-studi tersebut berakar dari perkembangan partai dunia barat, khususnya Eropa Barat. Oleh
karenanya muncul sikap skeptis, apakah perspektif tersebut juga layak digunakan sebagai basis anal-
isa di belahan dunia lainnya.23

Meskipun karakteristik dan tipologi partai yang sebelumnya diajukan para ilmuwan politik mendapat-
kan kritik, namun berbagai karya yang tersedia layak dipergunakan sebagai basis pijak dalam melaku-

18 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 6


19 Ibid
20 Ibid
21 Ibid
22 Op. Cit Gunther and Diamond, hal.168
23 Pandangan ini diberikan baik oleh Katz and Mair, Gunther and Diamond, dan Wolinetz dalam risetnya.

6
kan klasifikasi. Ini semacam cut off yang dibutuhkan, karena klasifikasi yang dihasilkan memiliki kese-
suaian dengan situasi dan kondisi obyektif yang ada.

Partai Kader dan Partai Massa

Model partai massa melibatkan dua asumsi, pertama terkait dengan esensinya dan prasyarat
kelembagaan yang dibutuhkan dalam demokrasi, dan kedua menyangkut perhatian atau konsen-
trasi terhadap prasyarat organisasi yang dibutuhkan bagi suksesnya kompetisi pemilu.24

Pembedaan antara Partai Kader dengan Partai Massa merupakan derivasi tentang tipologi partai
yang disumbangkan oleh Maurice Duverger.25 Derivasi ini awalnya beranjak dari pemikiran Max
Weber dalam melihat adanya gejala profesionalisasi yang berkembang di tubuh partai.26 Partai
Kader sendiri dicirikan dengan struktur partai yang ringkas, berorientasi elit, ataupun partai yang
memiliki struktur organisasi minimal serta berada di luar legislatif.27 Atau sebagaimana didefi-
nisikan Gunther and Diamond sebagai partai yang umumnya dipimpin oleh individu dengan status
sosial yang tinggi.28

Sedangkan Partai Massa memiliki bangunan struktur organisasi yang kompleks dan berjenjang
dalam rangka akomodasi terhadap besarnya jumlah pemilih sebagai basis anggota.29 Sedangkan
Gunther dan Diamond memberikan ciri terhadapnya, yaitu partai yang melakukan mobilisasi ter-
hadap berbagai segmentasi kelompok pemilih melalui pembangunan organisasi yang besar dan
kompleks.30

Pembedaan utama yang dilakukan oleh Duverger di atas dinisbatkan sebagai kerangka besar
teori tentang partai, bentuk organisasi, basis kelas, dan potret kebutuhan organisasi. Partai kader
sendiri berbasis pada kaukus tertutup dari sejumlah individu menonjol atau memiliki status sosial
yang tinggi (elite), memenuhi segala prasyarat dalam rangka pengumpulan dana, mobilisasi sumber
daya, dan menyediakan jaminan perwakilan bagi kelas menengah atas.31

Kontrasnya. Partai massa merupakan para anggota kelas pekerja yang berada di luar sistem politik,
sehingga perlu kerja pengorganisasian intensif dalam rangka meningkatkan sumber pendanaan
dan mobilisasi sumber daya utamanya, yaitu jumlah pemilih. Duverger sendiri meyakini bahwa,
partai massa sebagai bentuk organisasi modern dibanding kaukus elit terbatas yang menjadi ciri
partai kader. Situasi ini membangun sebuah teori, bahwa suatu saat partai massa yang akan me-
menangkan kompetisi dan mendominasi, mengalahkan partai kader.32

24 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 6


25 Maurice Duverger, “Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State”, Second English Edition,
Methuen & CO. Ltd, London,1959. Hal. 17-23.
26 Kieran Allen, “Max Weber: A Critical Introduction”, Pluto Press, Ann Arbor, MI, London, 2002, hal. 90-92. Lihat juga,
“Max Weber, Wirtschaft und Gesellschaft”, J.C.B. Mohr (Paul Siebeck), Tuebingen, 1980, hal. 162-168, dan hal. 837-851.
Lihat juga, “Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology”, Guenther Roth and Claus Wittich (eds),
University of California Press, Berkeley, Los Angeles, 1978.
27 Op. Cit, Wolinetz, hal. 140
28 Op. Cit, Gunther and Diamond, hal. 169
29 Ibid, Wolinetz
30 Ibid, Gunther and Diamond
31 Op. Cit, Wolinetz, hal. 140-144
32 Ibid

7
Pola dasar kemunculan model partai massa beserta derivasinya beranjak dari konsep bahwa, unit
fundamental dari kehidupan politik didefinisikan dan ditentukan oleh kelompok-kelompok sosial
masyarakat. Keanggotaan dalam kelompok sosial adalah cermin ikatan semua aspek kehidupan
dari para individu anggota kelompok. Asumsi utamanya, politik adalah semua hal yang menyang-
kut kompetisi, konflik, dan kerjasama di antara kelompok-kelompok sosial. Partai adalah agensi
dari kepentingan kelompok sosial di mana para anggota berpartisipasi politik, membuat dan men-
gajukan tuntutan kepada Negara, dan puncaknya mengirimkan wakil dan menguasai posisi-posisi
kunci penentu kebijakan.33

Parties of Mass Integration dan The Catch-All Party

Sebagai kontras dari tipologi partai yang disusun oleh Duverger. Sigmund Neumann mengem-
bangkan satu pendekatan tipologi partai berbasis perluasan aspek historis. Pemikiran Neumann
dan pada derajat tertentu pemikiran Duverger mempengaruhi perkembangan lebih lanjut mun-
culnya jenis partai. Taruhlah pembedaan antara; partai elit, partai massa, party catch-all, dan partai
kartel, menyediakan perangkat yang berguna untuk memitigasi arah dan petunjuk sejauhmana
partai-partai mengalami perubahan.34

Meski dasar pemikirannya berbasis pada pendekatan partai massa, secara prinsip, tipologi yang
dikembangkan oleh Neumann terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, “parties of individual represen-
tation” atau partai yang ikthiar dasarnya melakukan artikulasi kepentingan ataupun tuntutan dari
kelompok-kelompok sosial spesifik. Kedua, “parties of social integration” atau partai yang dengan
kecukupan kapasitas organisasi menyediakan berbagai jenis pelayanan/kebutuhan bagi para ang-
gota, dan klasifikasi jenis-jenis layanan/kebutuhan berdasarkan kepentingan komunitas partisan.
Dengan begitu, sebagai imbal balik, jenis partai ini mengharapkan kontribusi pendanaan dan ket-
erlibatan anggota dalam kampanye partai dan pemilu.35

Tipologi Neumann menjadi tulang punggung bagi kemunculan jenis partai yang lain, yaitu partai
catch-all atau partai yang berorientasi pada kompetisi elektoral. Kemunculannya merupakan re-
fleksi atas proses adaptasi dan fleksibilitas partai dalam merespon situasi kontemporer dibanding
model partai klasik.36 Kosakata ataupun terminologi yang disumbangkan oleh Kircheimer ini, me-
lihat bahwa catch-all party merupakan bentuk utama dari transformasi partai-partai massa Eropa
Barat yang mengikatkan dirinya pada hukum pasar, meninggalkan keyakinan akan pentingnya
intelektualitas dan moral kader atau basis massa, menurunkan derajat ataupun menanggalkan
sama sekali ideologi partai, meletakkan pertaruhan nasib sepenuhnya pada kelompok-kelompok
kepentingan, menonjolkan kekuatan dan performa pemimpin partai, dan mencari dukungan di
manapun hal itu bisa diperoleh.37

33 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 7


34 Sigmund Neumann, “Towards a Comparative Study of Political Parties”, in Sigmund Neumann (eds) “Modern Political
Parties”, Chicago, IL, Chicago University Press; dalam, Ibid, Wolinetz, hal. 145-146
35 Op. Cit Gunther and Diamond, hal. 169
36 Hans-Jürgen Puhle, Still the Age of Catch-allism? “Volksparteien and Parteienstaat in Crisis and Reequilibration”, in Richard
Gunther, Jośe Ramón Montero and Juan Linz (eds), Political Parties: Old Concepts and New Challenges, Oxford University
Press, Oxford, 2002; Ibid, Gunther and Diamond
37 Otto Kircheimer, “The Transformation of West European Party Systems”, in Joseph LaPalombara and Myron Weiner (eds),
“Political Parties and Political Development”, Princeton University Press, NJ, 1990; Op. Cit, Wolinetz, hal. 145-146

8
Sebagaimana diketahui, kemunculan partai-partai akhir Abad 20, berada pada situasi dan perkem-
bangan teknologi yang mengubah lanskap sosial politik yang sama sekali baru. Perkembangan dan
lanskap tersebut tidak mampu dijangkau oleh jenis partai-partai klasik yang muncul di abad se-
belumnya. Misalnya dalam konteks komunikasi politik antara elit dengan konstituen, berubahnya
pamor atau citra pemimpin partai sebagai aspek sentral dibanding transfer ideologi maupun pro-
gram, pengurangan penggunaan massa sebagai mesin mobilisasi partai, dan penerapan instrumen
seperti survei opini publik maupun diskusi kelompok terarah, menjadi fitur-fitur politik yang sama
sekali baru.38

Menurut Kircheimer, periode yang menandai munculnya party cacth-all ini dicirikan oleh tiga situ-
asi:39

1. Erosi pada ikatan-ikatan sosial tradisional di akhir 1950 dan 1960 an, berdampak pada
melemahnya identitas kolektif komunitas yang kuat di masa sebelumnya. Hal ini memudah-
kan identifikasi atas kebutuhan dan kepentingan jangka pendek masyarakat dalam konteks
elektoral.
2. Pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya peran welfare state memfasilitasi penyebarluasan
program-program kesejahteraan yang diterima semua lapisan sosial tanpa terkecuali.
3. Perkembangan teknologi media massa. Pemimpin ataupun elit-elit partai menikmati kapa-
sitas signifikan untuk muncul di depan segala lapisan masyarakat/pemilih dalam jangkauan
yang luas. Hal ini mengubah perilaku pemilih lebih menjadi konsumen dibanding partisipan
politik aktif.

Partai Kartel

Jika pembagian tipologi dan perkembangan jenis partai yang dibahas sebelumnya menekankan
analisanya pada konteks relasi partai dengan masyarakat sipil, maka Richard S. Katz dan Peter
Mair melakukan teoritisasinya pada relasi antara partai dengan Negara. Analisa tersebut memu-
nculkan satu jenis partai baru yang dalam kosakata studi kepartaian disebut sebagai “the cartel
party” (partai kartel).40

Situasi sosial, budaya, dan khususnya pembangunan politik yang bervariasi, banyak dirujuk se-
bagai faktor-faktor dan bahkan petunjuk yang memfasilitasi bagaimana Negara menjadi tempat
berlabuh bagi partai. Termasuk di dalamnya penurunan secara umum level keterlibatan partai
dalam konteks kebijakan, pergeseran perilaku pemilih yang mengubah investasi atau pilihannya
pada tempat lain, dan pertentangan antara arena kompetisi kebijakan yang bersifat lokal (kebu-
tuhan langsung konstituen) ataukah level nasional (garis kebijakan organisasi), menciptakan satu
kerumitan tersendiri bagi partai dalam menjaga perimbangan tersebut.41

38 Op. Cit, Gunter and Diamond


39 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 7-8
40 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 16-21
41 Kay Lawson and Peter H. Merk (eds), “Alternative Organization: Environmental, Supplementary, Communitarian, and
Antiauthoritarian”, Princeton University Press, Princeton NJ, 1988. Russel Dalton and Manfred Kuechler (eds), “Challenging
the Political Order: New Social and Political Movement in Western Democracies”, Oxford University Press, New York, 1990;
Ibid, Katz and Mair, hal. 15

9
Gejala di atas, diikuti dengan penurunan jumlah dan komitmen keanggotaan serta pemilih, yang
berdampak pada penurunan jumlah pemasukan/penerimaan/sumbangan internal partai. Pada sisi
lain, kebutuhan dan pembiayaan aktivitas partai mengalami peningkatan yang dramatis. Fakta ini,
mengubah orientasi dan strategi partai dalam mencari alternatif sumber pembiayaan, di mana
posisi wakil yang berada di wilayah Negara; eksekutif, legislatif, maupun pos-pos lain menjadi
solusinya.42

Strategi utama dalam merespon problematika di atas, difokuskan pada upaya agar Negara menge-
luarkan kebijakan melalui wakil-wakilnya, baik kewajiban ataupun regulasi tentang subsidi Negara.
Kebijakan-kebijakan yang bersifat subsidi ini, tidak terbatas pada finansial semata, bisa berupa
restriksi terhadap akses media massa yang berguna dalam komunikasi politik pada pemilu atau-
pun jenis-jenis lainnya. Besaran subsidi Negara kepada partai dan potensi pertumbuhannya yang
menjanjikan di masa-masa mendatang, menciptakan satu kondisi yang signifikan dalam mengubah
perilaku partai.43

Singkatnya, Negara yang ‘diinvasi’ oleh partai dan peraturan kebijakan yang ditentukan juga oleh
partai adalah sumber daya, yang tidak saja menjadi faktor determinan bagi kelangsungan hidup,
lebih daripada itu meningkatkan kapasitas partai menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Negara dalam situasi ini dilihat sebagai sebuah struktur terlembaga dalam rangka mendukung,
memberi garansi bagi yang berada di dalam dan menyingkirkan yang di luar. Partai tidak lagi seke-
dar menjalankan peran sederhananya sebagai perantara antara Negara dengan masyarakat, par-
tai sudah diserap oleh Negara. Tidak lagi sebagaimana partai dalam pendekatan partai catch-all.
Dalam perspektif partai kartel, partai telah menjadi agen semi Negara.44

Partai kartel dengan demikian adalah organisasi partisan jenis baru yang kemunculannya merupa-
kan karakteristik dari hubungan saling mempengaruhi (interpenetration) antara partai dengan Neg-
ara, dan juga hasil dari pola kerjasama antar partai yang bersifat ‘kolutif’. Disebut kolutif, karena
terjadi pola relasi dan kerjasama ‘seolah-olah’ kompetitif antar kompetitor, secara prinsip hilang,
kecuali pada saat pemilu. Di luar pemilu, partai-partai saling bekerjasama, membangun kesepaka-
tan, dan perjanjian yang membutuhkan persetujuan dari hampir semua partisipan.45

Perkembangan partai di suatu periode yang diiringi dengan kemunculan sejumlah model ataupun
jenisnya, merupakan upaya organisasi membaca dan merespon setiap dinamika, termasuk perkem-
bangan demokrasi. Partai kartel misalnya, adalah satu fenomena empirik yang terasosiasi dengan
revisi model demokrasi normatif, di mana dalilnya menyatakan, esensi demokrasi terletak pada
kemampuan pemilih dalam menentukan berbagai menu baku yang disediakan partai. Demokrasi
merupakan racikan sejumlah kehendak publik oleh para elit, dibandingkan keterlibatannya dalam
pembuatan kebijakan. Pemilih hanya berharap pada hasil dibanding proses, sebab ia wilayah kom-
petensi para profesional. Partai merupakan kemitraan para profesional, bukan asosiasi dari, oleh,
dan untuk wargaNegara.46

42 Peter Mair, “Party Organization: From Civil Society to State”, in Richard S. Katz and Peter Mair (eds), “How Parties Or-
ganize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democracies”, SAGE Publication, London, 1994, hal. 9-12
43 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 16
44 Ibid
45 Ibid, hal. 17
46 Ibid, hal. 22

10
Demokrasi dalam perspektif partai kartel dimaksudkan dalam upaya mencapai stabilitas sosial
dibanding perubahan sosial, dan pemilu adalah instrumen dalam rangka memartabatkan konsti-
tusi. Mengapa demikian, sebab dalam demokrasi model ini, kompetisi tidak lagi dipahami sekedar
siapa yang akan masuk (berkuasa) dan siapa yang akan di luar. Oleh karena program antar partai
yang berkompetisi memiliki kecenderungan yang mirip, termasuk dalam kampanye yang berori-
entasi pada pada tujuan yang disepakati bersama. Dengan sendirinya, secara relatif pemerintahan
yang nantinya akan dimenangkan pihak manapun juga tidak memiliki pembeda. Pada situasi ini-
pun, tidak ada partai yang benar-benar di luar ataupun di dalam pemerintahan secara permanen.
Namun oleh karena pemilih punya otoritas untuk menghukum dan menentukan siapa yang akan
menang, maka fakta itu meningkatkan kesadaran dan kesepahaman bersama dari para politisi
partai untuk menekan biaya kekalahan dalam pemilu.47

Guna memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik dari setiap model atau tipologi partai, ter-
masuk perkembangan waktu kemunculan dari setiap jenis partai, tabel 1 di bawah menyediakan
petunjuk penting yang berguna.

47 Ibid, hal. 22-23

11
12
Tabel 1. Model dan Karakteristik Partai

Karakteristik Elite Party Mass Party Catch-all Party Cartel Party


Periode Abad 19 1880 - 1960 1945 - 1970 -
Derajat inklusivitas sosial Pembatasan hak pilih pemberian hak pilih dan perluasan hak Hak pilih berlaku universal Hak pilih berlaku universal
politik pilih*
Level distribusi politik Pembatasan yang tinggi Konsentrasi relatif Menurunannya konsentrasi Relatif tersebar
Tujuan politik utama Distribusi hak istimewa (privi- Reformasi sosial ataupun oposisi terha- Peningkatan kesejahteraan sosial Politik sebagai profesi
lege) dapnya
Basis kompetisi partai Menjaga eksistensi status atau- Kapasitas perwakilan Efektivitas kebijakan Keahlian manajerial, efisiensi
pun stratifikasi
Pola kompetisi pemilu Kontrol Mobilisasi Kompetitif Contained (kerjasama di antara para pihak
yang seolah-olah kompetitor; fokus mengu-
bah kebijakan negara

Sifat alami organisasi dan Irrelevant Padat karya Padat karya dan padat modal Padat modal
kampanye
Sumber dana utama par- Personal Iuran anggota dan sumbangan Kontribusi dari berbagai variasi sumber Subsidi negara
tai
Relasi anggota dan elit Elit sebagai anggota Bottom up; pertanggungjawaban elit ter- Top down; anggota merupakan ‘penggembira’ Strata dan hirarkhi; kerjasama otonom yang
partai hadap anggota (cheerleaders) bagi elit saling menguntungkan (mutual autonomy)

Karakter keanggotaan Kecil dan elitis Besar dan homogen; rekrutmen dan Keanggotaan terbuka bagi semua (heterogen); Hak dan kewajiban bukan hal penting (pembe-
pendaftaran aktif; keanggotaan sebagai penekanan utama pada hak anggota dibanding daan antara anggota dan non anggota kabur);
konsekuensi logis dari identitas atau sta- kewajibannya; keanggotaan bersifat individual menekankan keanggotaan sebagai individu
tus anggota; fokus utama pada hak dan dibandingkan badan yang terorganisir; legiti-
kewajiban masi dari para anggota merupakan mitos be-
laka

Saluran komunikasi par- Jaringan interpersonal Partai menyediakan sendiri saluran ko- Partai berkompetisi untuk mendapatkan akses Partai memiliki keistimewaan via regulasi
tai munikasi terhadap saluran komunikasi yang dimiliki oleh (negara) dalam akses saluran komunikasi
pihak non partai

Posisi partai dengan mas- Batasan yang tidak jelas antara Partai menjadi milik masyarakat, dinis- Partai sebagai perantara (broker) hubungan an- Partai menjadi bagian dari negara (state
yarakat dan negara negara, partai, dan masyarakat batkan mewakili berbagai segmen baru tara negara dengan masyarakat agency)
yang ada masyarakat
Tipe perwakilan Trustee Delegate Entrepreneur Agen negara
Sumber: Katz dan Mair, hal. 18.
*Hak memilih bagi kaum perempuan di Swis baru diberlakukan tahun 1971, Demokratie: “Der lange Weg zum Frauenstimmrecht”, https://demokratie.geschichte-schweiz.ch/chronologie-frauenstim-
mrecht-schweiz.html
Klasifikasi Posisi: Masyarakat, Partai, dan Negara

Tahap perkembangan partai sendiri dapat dilihat dalam konteks relasinya dengan masyarakat dan
Negara. Konteks relasi tersebut menjadi pintu masuk bagi pengamatan lebih lanjut posisi partai, apa-
kah partai menjadi bagian dari masyarakat, apakah posisi partai berada di antara masyarakat dengan
Negara, ataukah posisi partai menjadi bagian dari Negara.

Beberapa model ataupun jenis partai seperti yang telah dibahas di atas mengasumsikan bahwa ter-
dapat pembedaan secara tajam antara partai dengan Negara. Partai massa (klasik) adalah partai mas-
yarakat, ia muncul dari pembelahan sosial yang ada dalam masyarakat dan membawanya ke dalam
proses elektoral. Dengan niat masuk ke dalam sektor Negara, melakukan pembaruan kebijakan, dan
menjaga kepentingan jangka panjang konstituen sebagai bentuk pertanggungjawaban.48

Party catch-all, tidak muncul dari masyarakat sebagaimana partai massa, posisinya berada di antara
masyarakat dengan Negara. Tujuannya mempengaruhi Negara dari luar agar ada kebijakan publik
yang menjamin kepentingan jangka pendek dan kepuasan pragmatis dari ‘konsumen’ (konstituen).
Terlepas dari kontras antara partai massa dan party catch-all dalam konteks posisi maupun relasinya
dengan masyarakat sipil, keduanya berada di luar Negara. Dengan demikian terdapat satu prinsip
yang bersifat netral, yaitu Negara adalah sebuah arena bebas yang pengaruhnya ditentukan oleh
pemenang kompetisi di antara partai-partai.49

Asumsi dasar bahwa posisi partai terpisah dari Negara seperti yang terpotret dalam partai kader,
partai massa, ataupun party catch-all, bukanlah sekedar fenomena konvensional dan bukan mer-
upakan karakteristik akibat periodisasi spesifik dari lintasan sejarah. Batasan antara partai dengan
masyarakat sipil bervariasi dari waktu ke waktu, demikian juga halnya posisi partai dengan Negara.
Lebih dari sekedar trikotomi statis dan sederhana; partai, masyarakat, dan Negara. Perkembangan
ini merupakan evolusi yang berlangsung sejak pertengahan abad 19 hingga saat ini, dan dipengaruhi
oleh rangkaian stimulan maupun respon yang menggerakkan hubungan dan memperlihatkan batasan
secara jelas posisi partai, masyarakat, dan Negara.

Tahap Perkembangan

Tahap pertama. Situasi politik di akhir abad 19 dan awal abad 20 yang disebut era régime censi-
taire, ditandai dengan berbagai persyaratan terhadap hak pilih (universal suffrage) dan berbagai
pembatasan kegiatan politik, utamanya bagi mereka yang tidak memiliki hak milik (property) atau
pembayar pajak. Era ini ditandai dengan konsepsi yang mengasumsikan bahwa politik butuh satu
kepentingan nasional dan untuk itu perlu peran pemerintah guna menemukan dan mengopera-
sionalisasikannya.50

Partai yang tumbuh pada era tersebut menjadi kumpulan orang-orang yang mengejar kepentin-
gan publik, atau bahkan dengan kata lain mengejar kepentingan privatnya. Oleh karena itu, aspek
kelembagaan formal ataupun organisasi yang terstruktur tidak menjadi kebutuhan utama dalam
konteks sosial politik.

48 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 8-14


49 Ibid
50 Ibid

13
Adapun pemenuhan kebutuhan sumber daya pemilu sepenuhnya bersifat lokal, yaitu menjadi
tanggung jawab para figur dan jaringan di tingkat lokal. Mobilisasi sumber daya tidak membutuh-
kan aktor ataupun lembaga perantara. Pada tahap ini, konsepsi ideal tentang partai yang terlibat
dalam kompetisi merupakan model partai kader ataupun tipe kaukus yang berfungsi sebagai titik
pertemuan bagi para individu yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi, baik yang be-
rada di sektor Negara ataupun masyarakat.51

Gambar 1. Posisi Partai Kader atau Model Kaukus

Masyarakat

Partai

Negara

Sumber: Katz and Mair, hal. 10

Tahap kedua. Seiring dengan perkembangan industrialisasi dan urbanisasi yang menyertainya, ber-
dampak terhadap pertumbuhan jumlah individu yang bisa memenuhi syarat ataupun kriteria bagi
pemenuhan hak pilih. Dengan demikian kelas pekerja mulai berorganisasi dan melakukan berbagai
aktivitas politik, khususnya dalam konteks hubungan industrial. Situasi ini pada satu sisi makin
menciptakan pemisahan yang semakin jelas antara Negara dengan masyarakat, sedangkan pada
sisi lain memperlihatkan besarnya porsi politik atau posisi tawar yang berada di level kelas peker-
ja.52

Pada tahap ini, organisasi yang bersifat formal, terstruktur, dan berbasis keanggotaan partai, men-
jadi kebutuhan dan penanda penting tahap perkembangan partai. Partai massa tumbuh berkem-
bang dengan tujuan utama baru, di mana masyarakat sipil jadi bagian tak terpisah dari organisasi
dan sekaligus sarana perjuangan utama untuk meraih suara, masuk menguasai pemerintahan/
Negara.53

Sebagai instrumen politik yang posisinya di luar Negara, partai massa secara alami merupakan
jenis organisasi yang didominasi oleh prinsip dan orientasi dasar kepada organisasi dibanding pe-
merintahan, hal ini menjadi kekuatan utamanya. Dominasi prinsip dan orientasi pada organisasi
berkembang dan melembaga menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai partai ekstra parlemen,
dan tetap berlangsung bahkan ketika partai meraih suara dan masuk dalam pemerintahan.54

Sebagai cermin dari agenda politik yang bersifat jangka panjang, pengalaman hidup dan etos per-
juangan para pendukungnya, partai massa menjadi model ideal bagi munculnya kohesivitas dan
disiplin partai dibanding model kader/kaukus atau partai-partai elit borjuis. Signifikansi terpenting

51 Op. Cit, Katz and Mair, hal. 8-14


52 Ibid
53 Ibid
54 Op. Cit, Katz and Mair

14
dari jenis partai massa adalah legitimasinya dalam mewakili dan menjalankan artikulasi kepentin-
gan secara eksplisit dari satu segmen masyarakat.55

Tumbuhnya partai massa dan perluasan pengakuan hak pilih universal, menjadi asosiasi penting
bagi pendefinisian ulang model politik ideal, dan bukan sekedar sistem demokrasi oligarkhi yang
diikuti dengan perluasan hak pilih di kalangan penduduk dewasa. Hal yang terpenting adalah ter-
jadi perubahan konsepsi yang memadai tentang relasi dan posisi warga negara. Pemilu dimaknai
sebagai mekanisme untuk memilih delegasi dibanding trustee yang menjadi ciri dari tipe partai
kader. Pemilu pada akhirnya berubah bukan sekedar sarana bagi pemberian restu warga negara
terhadap pemerintahan terpilih, namun sebagai alat bagi akuntabilitas pemerintahan terhadap
warga negara.56

Partai pada tahap ini menjadi mekanisme yang memungkinkan terjadinya semua hal yang disebut
di atas. Posisi Negara dengan masyarakat terpisah, partai berfungsi sebagai jembatan yang men-
ghubungkan posisi tersebut. Partai tetap melabuhkan jangkarnya di masyarakat, meski di sisi lain
berupaya lakukan penetrasi untuk memegang posisi-posisi kunci di sektor Negara atau pemerin-
tahan.57

Gambar 2. Partai massa sebagai penghubung antara Negara dengan masyarakat

Masyarakat Partai Negara

Sumber: Katz and Mair, hal. 11

Tahap ketiga. Tahap evolusi selanjutnya, ditandai dengan munculnya satu situasi pelik yang dih-
adapi oleh partai-partai khususnya model partai massa, baik yang spektrum politiknya kiri mau-
pun kanan. Yaitu paska berakhirnya pertarungan besar antara hak-hak politik vis a vis hak sosial
budaya. Dengan kata lain, perbaikan kondisi sosial politik dan penerapan berbagai skema Negara
kesejahteraan sebagai hasil pertempuran besar tersebut, justru berdampak pada berkurangnya
jumlah pendukung dan dengan demikian mengurangi sumber daya yang dikelola partai.58

Pada saat bersamaan, meningkatnya mobilitas penduduk dan perkembangan peran media massa,
secara signifikan jadi faktor pendorong pudarnya pembeda di tingkat konstituen yang sebelum-
nya eksis. Perubahan berbagai variabel sosial politik yang ada, tidak saja jadi prasyarat terkikisnya
relevansi model partai massa. Termasuk ketika partai massa meraih suara, masuk parlemen dan
berkuasa, para pimpinan partai di parlemen melihat bahwa model party catch-all lebih atraktif
dibanding model sebelumnya. Dengan demikian, orientasi partai berubah jadi lebih pragmatis,
yaitu mempertahankan posisi, memenangkan pemilu, dan meraih sebanyak-banyaknya dukungan
pemilih apapun kepentingannya.59

55 Op. Cit, Katz and Mair


56 Ibid
57 Ibid
58 Ibid
59 Op. Cit, Katz and Mair, hal 13

15
Pada tahap ini, partai bukan berarti tidak memiliki keanggotaan, hanya saja orientasi keanggotaan
berubah, baik dari sisi tata kelola maupun pola rekruitmennya. Misalnya partai tidak lagi seke-
dar menyasar dukungan dan keanggotaan berdasarkan basis sosial homogen seperti sebelumnya.
Dukungan dicari dari manapun asalnya (catch-allization) berdasarkan kesepakatan terhadap kebi-
jakan yang diusung, dibanding kesamaan identitas sosial. Strategi partai berubah, dari elektoral
defensif yang menekankan aspek mobilisasi dan kekuatan memori dari basis konstituen yang ter-
batas, berubah mengadopsi strategi ofensif dalam rangka perluasan sasaran pemilih dan orientasi
pemenangan pemilu.60

Situasi transisi pada tahap ini juga ditandai dengan menyusutnya ideologi ataupun kebijakan yang
jadi pembeda tegas di antara partai-partai. Pada sisi lain muncul fenomena konsensus kebijakan.
Sehingga kebutuhan untuk mengelola dan meningkatkan kapasitas pembeda di tingkat konstituen
berkurang. Lebih lanjut, kemajuan sistem komunikasi massa, terutama kebangkitan industri dan
pemanfaatan secara luas televisi sebagai sumber utama informasi politik, memungkinkan partai
muncul secara langsung di jantung pemilih, dibandingkan model komunikasi konvensional melalui
pendukung inti yang menjadi ciri partai massa.61

Relasi antara partai dan Negara juga berubah, partai tidak lagi bertindak sebagai agen masyarakat
sipil yang melakukan penetrasi di sektor Negara, tetapi partai – yang memegang posisi di pemerin-
tahan – bertindak lebih seperti broker antara masyarakat sipil dengan Negara. Pada satu sisi, par-
tai melakukan agregasi terhadap kepentingan dan tuntutan masyarakat kepada birokrasi Negara,
namun pada sisi lain partai bertindak sebagai agen yang mempertahankan kebijakan yang dibuat
oleh birokrasi kepada publik.62

Meskipun praktek di atas juga dilakukan oleh model partai massa, namun tidak pernah terjadi
lepasnya ikatan antara partai dengan segmen kelompok sosial yang diwakilinya. Pemikiran bahwa
partai bertindak sebagai broker bukanlah suatu kebetulan, hal itu refleksi dari model demokrasi
pluralis. Pandangan ini menyatakan bahwa, jantung utama demokrasi terletak pada pertukaran
posisi tawar dan akomodasi atas berbagai kepentingan yang secara mandiri terorganisir. Bangu-
nan koalisi antar partai secara konstan berubah-ubah berdasarkan kepentingan-kepentingan yang
tersedia. Hal ini jadi faktor yang menentukan peran partai sebagai fasilitator atas berbagai kom-
promi dan garansi bagi terbukanya partai-partai terhadap setiap kepentingan.63

Pemilu pada situasi ini menjadi permainan rasional dari kelompok-kelompok pemimpin diband-
ingkan kontestasi di antara kelompok-kelompok sosial ataupun ideologi. Posisi partai sebagai bro-
ker antara Negara dengan masyarakat, selanjutnya memunculkan dua implikasi penting. Pertama.
Penguasaan posisi partai dalam Negara memberikan insentif material yang tidak terbatas pada in-
dividu wakil yang memegang jabatan seperti, kantor dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Termasuk
di dalamnya akses pendanaan partai sebagai organisasi dan pendanaan lainnya yang dibutuhkan
dalam rangka perumusan kebijakan partai. Kedua. Kapasitas dan performa partai tidak lagi tergan-
tung pada kemampuannya untuk mempersuasi kepentingan partai sebagai kepentingan pemilih.
Lebih jauh lagi, kepentingan partai dapat digunakan untuk ‘memanipulasi’ Negara. Kepentingan

60 Op. Cit, Katz and Mair


61 Ibid
62 Ibid
63 Ibid

16
partai merasuk dan menjadi kepentingan Negara dan berlanjut pada derajat tertentu, partai meng-
gunakan kekuasaan Negara untuk proteksi bagi kepentingannya.64

Gambar 3. Partai bertindak sebagai broker antara Negara dengan Masyarakat

Masyarakat Partai Negara

Sumber: Katz and Mair, hal. 13

Respesifikasi partai: Transformasi Organisasi

Ambiguitas yang muncul dalam klasifikasi spesifik party catch-all seperti yang didefinisikan oleh
Kircheimer diurai oleh Angelo Panebianco dalam konteks organisasi, yaitu transformasi krusial or-
ganisasi partai dari mass-bureaucratic party (partai massa birokratik) menjadi electoral- professional
party (partai pemilu profesional). The mass-bureaucratic party setara dengan definisi Duverger ten-
tang partai massa ataupun party of mass integration sebagaimana didefinsikan Neumann. Keduanya
merupakan bentuk ideal dari definisi partai yang karakteristik utamanya ditentukan oleh peran
sentral dari wakil atau aparatus terpilih. Berorientasi pada keanggotaan partai, kepemimpinan in-
ternal bersifat kolegial, pendanaan berasal dari kelompok-kelompok kepentingan, dan penekanan
terhadap pentingnya ideologi.65

Kontras dengan hal di atas, electoral-professional party memiliki karakteristik yang menekankan
peran dari kalangan profesional, berorientasi pada pemilu, lemahnya ikatan vertikal partai dengan
anggota, dominasi peran dari figur yang terpilih sebagai wakil, pendanaan partai yang berasal
dari kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir ataupun subsidi Negara, dan memberikan
tekanan utama pada berbagai isu dan kepentingan dibanding ideologi.66

Perkembangan organisasi partai di atas, merupakan dampak dari transformasi sosial yang meluas.
Ditandai dengan munculnya individualisme, melemahnya basis identitas kelas, dan meningkat-
nya standar hidup. Hal ini mendorong partai melakukan pengenalan ulang orientasi strategisnya.
Misalnya memperluas jangkauan pemilih, dan tidak lagi terbatas hanya pada basis kelas seperti
sebelumnya.67 Partai dengan demikian berubah orientasinya pada upaya peningkatan jumlah per-
olehan suara. Perubahan sosio ekonomi ini terjadi bersamaan dengan fenomena demokratisasi
media massa, khususnya televisi, yang menyediakan instrumen baru bagi politisi untuk terhubung
secara langsung kepada pemilih.68

64 Op. Cit, Katz and Mair


65 Op. Cit, Steven B. Wolinetz, hal. 146-148
66 Ibid
67 Murray Cooke, “The CCF-NDP: From Mass Party to Electoral-Profesional Party”, Canadian Political Science Association,
York University, 2006.
68 Pieter Moens, “Political Parties as Electoral-Profesional Machines: An empirical Research Agenda”, Section 16: Party
Politics – Party Structure and Organization, ECPR Graduate Student Conference, Tartu. https://biblio.ugent.be/publica-
tion/8507827/file/8507836.pdf diakses pada tanggal 4 Juni 2018.

17
Dalam studinya, Pieter Moens mengamati perkembangan partai dan pengaruh penting kalangan
profesional dalam konteks organisasi. Pengaruh kalangan profesional ini, sebagai sebuah fakta,
tidak terbatas pada dukungan teknis ataupun keahlian spesifik pada pemilu semata. Namun men-
jangkau hingga aspek paling dasar dari partai, yaitu pengambilan keputusan. Observasi ini meng-
hasilkan dua kesimpulan penting. Pertama, profesionalisasi di tubuh organisasi partai berakar dari
hadirnya fenomena party catch-all. Kedua, hadirnya partai kartel mengakselerasi profesionalisasi
partai.69

Pada tahap awal, peran profesional berupaya mengidentifikasi apa saja keunggulan kompetitif
partai dibanding kompetitornya guna menjangkau variasi kebutuhan pemilih, sebagaimana yang
dibutuhkan oleh party catch-all. Tahap selanjutnya, ketika kampanye berubah orientasi menjadi
padat modal dan secara ekslusif membutuhkan keahlian profesional, berdampak terhadap sema-
kin meningkatnya kebutuhan pembiayaan partai. Hal ini mendorong tumbuhnya ketergantungan
partai terhadap subidi Negara, atau yang disebut partai kartel. Pada akhirnya, kartelisasi yang ter-
jadi pada tubuh partai mengubah aspek profesionalisasi menjadi sebuah normalitas baru.70

Klasifikasi atau respesifikasi partai berdasarkan pemikiran Angelo Panebianco, dapat di lihat pada
tabel di bawah.

Tabel 2. Perbedaan Mass-bureaucratic parties dan Electoral-profesional parties

Mass-bureaucratic parties Electoral-professional parties

Peran utama ditentukan oleh birokrasi atau aparat Peran utama ditentukan oleh kalangan profesional
partai (tugas-tugas politik administratif partai) (tugas-tugas spesifik)
Keanggotaan partai, ikatan vertikal organisasi yang Orientasi pada pemilu, ikatan vertikal yang lemah,
kuat, hadirnya rasa kepemilikan dari anggota hadir dalam rangka pembentukan opini dari pemilih
atau basis pemilih
Keunggulan dan peran sentral para pimpinan internal Keunggulan para wakil partai yang duduk di jabatan
partai, kepemimpinan internal partai bersifat kolegial public, kepemimpinan personal
Pendanaan partai melalui iuran anggota dan aktivi- Pendanaan partai melalui kelompok-kelompok
tas partai lainnya (kerjasama-kerjasama partai, seri- kepentingan yang terorganisasi dan dana publik (sub-
kat-serikat dagang/usaha) sidi Negara)
Penekanan terhadap ideologi partai, peran sentral Penekanan pada isu dan kepemimpinan (figur), peran
dan keyakinan pengikut terhadap organisasi sentral dipegang oleh kalangan profesional karir dan
wakil partai

Sumber: Panebianco

Orientasi Partai: Vote Seeking, Office Seeking, dan Policy Seeking

Klasifikasi ini lebih menekankan orientasinya pada upaya pemecahan masalah (heuristic) melalui
penggunaan metode ataupun sejumlah pendekatan dibandingkan upaya untuk mencari definisi. Se-
bagai derivasi berbagai riset beserta penerapannya, menjadi penting untuk tidak sekedar menghasil-
kan pembedaan partai berdasarkan skema, klasifikasi, ataupun tipe, namun lebih bermanfaat jika
dapat menjawab berbagai pertanyaan yang dibutuhkan.71

69 Ibid
70 Ibid
71 Ibid, Wolinetz, hal. 149

18
Untuk kebutuhan tersebut, analisa partai berdasarkan orientasinya menjadi salah satu pendekatan
yang berguna untuk melakukan respesifikasi. Pendekatan berbasis studi perilaku dan pilihan rasional
ini memberikan sumbangan penting dalam studi partai, dan memunculkan tiga model berdasarkan
orientasinya, antara lain: policy seeking, votes seeking, dan office seeking. Terminologi ini disumbangkan
oleh Kaare Størm dalam melakukan analisa terhadap berbagai variabel sosial politik yang mempen-
garuhi partai masuk atau mendukung pemerintahan minoritas, khususnya dalam konteks koalisi.72

Membincang demokrasi kontemporer, tidak dapat dilepaskan dari topik sistem kompetisi partai.
Pimpinan politik yang biasanya adalah pemimpin partai secara rutin harus membuat keputusan, meski
kerap keputusan tersebut tidak seperti yang diinginkan. Ini mungkin akibat informasi yang tidak leng-
kap, ataupun karena kesadaran bahwa keputusan tersebut memiliki risiko tinggi. Tidak sekedar me-
nentukan mana pilihan terbaik dari sekian alternatif yang sama-sama buruk. Bisa saja keputusan
berbeda tersebut merupakan trade off dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Intinya, kepemimpinan
adalah segala hal yang bersangkut-paut dengan pembuatan keputusan yang normalnya kompleks.73

Situasi di atas kerap memunculkan apa yang disebut sebagai dilema kolektif bagi pemimpin politik,
terlebih lagi yang menjadi bagian dari partai pemerintah berkuasa. Sebab harus melibatkan sejumlah
daftar masalah dan mengambil tindakan secara kolektif, dalam perjalanan karirnya untuk kembali
terpilih. Perspektif ini menjadi inspirasi lebih lanjut dalam analisa polarisasi partai, khususnya per-
tumbukan antara tujuan partai dengan perilakunya.74

Secara sederhana, pembedaan tiga model partai berdasarkan orientasinya dibedakan; The Poli-
cy-Seeking Party, The Votes-Seeking Party, dan The Office Seeking Party tersebut dinyatakan demikian.75

The Policy-Seeking Party. Partai yang berorientasi pada maksimalisasi dampak kebijakan yang dihasil-
kan sebagaimana tercermin dari berbagai literatur tentang fungsi partai, seperti yang dipahami se-
lama ini. Aspek utama dari model ini adalah, orientasi dan prioritas yang tinggi difokuskan pada aspek
kebijakan yang diusung oleh partai. Kebijakan ini meliputi tidak saja program-program ataupun arti-
kulasi ideologi partai, termasuk di dalamnya fokus terhadap isu-isu tertentu ataupun tuntutan-tun-
tutan partai.76

Partai yang berorientasi pada kebijakan kerap disebut sebagai bentuk puncak dari jenis partai sebel-
umnya, yaitu party of mass integration, dan dalam beberapa kasus kontemporer diteruskan oleh par-
tai-partai hijau ataupun yang berbasis pada isu lingkungan. Tidak terbatas pada partai yang spektrum
politiknya kiri (partai hijau ataupun pro konservasi), termasuk di dalamnya partai-partai yang berada
dalam spektrum politik kanan sepanjang mampu mendefinisikan secara jelas orientasi ataupun tu-
juan-tujuannya.77

72 Op. Cit, Wolinetz, hal. 150


73 Kaare Strøm and Wolfgang Müller (eds), Policy, Office, or Votes?: “How Political Parties in West Europe Make Hard Deci-
sions”, Cambridge University Press, London, 1999, hal. 1-3
74 Ibid, hal. 3-4
75 Ibid, hal. 5-8
76 Ibid, Wolinetz
77 Op. Cit, Wolinetz

19
Model partai ini berjuang untuk lakukan definisi ulang terhadap apa yang disebut agenda politik,
dalam rangka membawa perubahan di sejumlah area publik atau Negara. Karakter utama dari model
ini, partai seringkali memberikan prioritas dalam konteks artikulasi atau mempertahankan kebija-
kannya, dibanding maksimalisasi suara ataupun dalam rangka mengamankan posisi atau jabatannya.
Sebagai contoh dari model ini, hampir semua partai sosial demokrat di Eropa Utara, sejumlah partai
liberal dan partai kristen demokrat, termasuk di dalamnya Partai Hijau, libertarian kiri, dan beberapa
partai kanan baru.78

The Votes-Seeking Party. Partai yang berorientasi pada memaksimalisasi suaranya untuk pemenangan
pemilu, dalam rangka menguasai pemerintahan. Orientasi dasar model partai ini adalah pemenangan
pemilu, sedangkan kebijakan ataupun posisi partai terhadap isu lebih lentur. Pada tingkat tertentu,
kelenturan tersebut kerap dipergunakan sebagai intrumen ‘manipulatif’, dalam rangka maksimalisasi
ataupun menjangkau semakin banyak suara.79

Jika dioperasikan dalam masyarakat yang heterogen dan diterapkan dalam sistem winner take all
(model pemilu Amerika Serikat ataupun Westminster-Inggris). Model partai ini mungkin akan mem-
bangun struktur koalisi yang berupaya menjangkau kelompok-kelompok sosial berbeda. Ini dimak-
sudkan dalam rangka memperbesar peluang partai untuk menang dan meneguhkan posisi sebagai
mayoritas. Dalam sistem multi partai, model ini setara dengan catch-all party ataupun electoral-pro-
fessional party yang berupaya memaksimalkan dukungan, meski bukan berasal dari basis pemilih uta-
ma.80

Model ini mengorganisir hampir semua tingkatan di mana pemilu dilakukan. Namun pengelolaan
organisasi difokuskan dalam konteks rekrutmen dan seleksi para kandidat yang berpeluang menang.
Pengorganisasian pemilu yang sebelumnya merupakan kerja padat karya dengan melibatkan banyak
personel dalam aktivitas kampanye, mulai ditinggalkan dan diganti dengan kerja padat modal yang
melibatkan konsultan kampanye ataupun marketing politik.81

Struktur dan aktivitas organisasi juga berubah sesuai dengan kebutuhan. Pada saat pemilu, ada struk-
tur yang ringkas, melibatkan kalangan profesional, kandidat/calon kandidat, ataupun relawan jika
dibutuhkan. Begitu juga dengan kegiatan pada masa kampanye. Aktivitas organisasi berlangsung
sangat intensif, dan tiba-tiba menghilang begitu masa kontestasi usai. Meskipun anggota memiliki
suara untuk menentukan kandidat yang diusung, namun tidak ketika berbicara tentang kebijakan
partai.82

Sejumlah partai di Kanada yang kebijakannya kerap berubah-ubah dari pemilu ke pemilu bergantung
preferensi pemimpin partai menjadi salah satu contoh dalam model ini. Contoh lain, partai-partai
di Amerika yang meski memiliki struktur organisasi, namun tidak memiliki substansi program yang
permanen. Partai sekedar menjadi kendaraan atau alat untuk pemilu, sedangkan substansi program
yang dituangkan bergantung pada hasil dan wilayah pertarungan dalam pemilu. Begitu juga dengan
partai yang memusatkan diri pada sosok pemimpin, seperti the Gaulist di Perancis yang tidak memi-

78 Op. Cit, Wolinetz


79 Ibid, hal. 151
80 Ibid
81 Op. Cit, Wollinetz, hal. 152
82 Ibid

20
liki orientasi ideologi jelas. Demikian halnya dengan catch-all party klasik seperti CDU di Jerman, dan
termasuk partai-partai yang ada dalam sistem presidensialisme.83

The Office-Seeking Party. Partai yang berorientasi pada maksimalisasi manfaat dan kontrol atas posisi
yang dikuasainya. Orientasi utama guna mengamankan posisi atau jabatan ini, kerap harus dibayar
dengan tanggalnya tujuan-tujuan organisasi maupun maksimalisasi suara. Model partai ini berupaya
untuk memegang kekuasaan, baik sendirian ataupun berbagi dengan pihak lainnya. Baik dalam kon-
teks eksistensi ataupun sebagai sistem penyeimbang, dalam rangka memperoleh akses ke patron.
Komitmen terhadap kebijakan merupakan hal yang dihindari oleh partai dalam model ini. Hal itu
dipandang kontraproduktif dalam konteks koalisi ataupun pemilu, sebab dapat menjadi serangan
terhadap partai lain dan menutup peluang berkoalisi.84

Wujud dari model partai ini bisa berupa sebuah partai besar atau kecil, membangun jaringan pa-
tron-client yang dalam operasionalnya membutuhkan manfaat secara berkelanjutan. Atau dapat ber-
wujud, sebuah partai kecil dalam sistem multipartai yang berkeinginan untuk dilibatkan dalam koalisi
dengan harapan dapat meningkatkan reputasinya.85

Sebagaimana partai yang berorientasi pada suara, model ini juga mengikuti pemilu yang diselengga-
rakan pada semua tingkatan. Alih-alih merekrut aktivis yang biasanya lebih berorientasi pada kebi-
jakan. Model ini meletakkan preferensinya justru pada orang-orang yang berorientasi jabatan atau
setidaknya memiliki pengalaman memegang jabatan. Mereka inilah partisipan yang utama.86

Sebagai contoh atas model ketiga ini. Partai-partai yang secara regular bergabung dalam koalisi con-
sociational (koalisi multipartai tanpa ada satu partai dominan) ataupun koalisi pemerintahan mayori-
tas dikuasai oleh satu partai dominan. Beberapa partai, seperti Christian Historical Union (CHU) yang
merupakan hasil merger antara Christian Democratic Appeal (CDA) dengan Partai mainstream Belgia
di Belanda, Partai Liberal (PLI) dan Partai Republikan (PRI), Partai Christian Democrat (DC), dan Partai
Sosialis (PSI) di Italia sebelum era 1993 merupakan contoh dari model ini.87

Ketiga model orientasi partai di atas, tidak dimaksudkan untuk membedakan secara determinan an-
tara satu partai dengan partai yang lain. Dengan kata lain, salah satu dari tiga model orientasi terse-
but bukanlah atribut yang secara eksklusif melekat di tubuh satu partai dengan salah satu model.
Tidak tertutup kemungkinan, satu partai bisa dianalisa dan diukur derajat kecenderungannya ber-
dasarkan tiga model yang tersedia. Tabel di bawah menyediakan sejumlah indikator yang berguna
untuk melakukan pendekatan dan Analisa, pada sisi mana sebuah partai dapat dilakukan klasifikasi
berdasarkan orientasinya.

83 Op. Cit, Wollinetz, hal. 152


84 Ibid
85 Ibid, hal. 153
86 Ibid, hal. 153
87 Ibid

21
Tabel 3. Model Orientasi Partai: Kebijakan, Suara, dan Jabatan

Partai
Indikator
Orientasi kebijakan Orientasi Suara Orientasi Jabatan/Posisi
Waktu yang disediakan Tinggi Rendah Rendah
dalam debat perumusan
kebijakan
Karakter perdebatan Intensif, berlanjut, fokus Formalitas, tersebar, tidak Formalitas, tersebar,
pada isu fokus tidak fokus
Derajat keterlibatan Terbuka; melibatkan Terbatas pada tingkat Terbatas pada tingkat
hampir semua level pimpinan atau komite ke- pimpinan atau komite
struktur partai bijakan partai; terbagi-bagi kebijakan partai; terba-
(parsial) gi-bagi (parsial)
Konsistensi posisi kebi- Tinggi Menengah-rendah, rentan Menengah-rendah
jakan berubah bergantung perin-
tah pimpinan, bergantung
pada peluang pemilu,
Pengutamaan isu dan Tinggi Variatif Rendah
kebijakan dalam kampa-
nye pemilu
Strategi determinasi Ditentukan oleh kebija- Kebijakan disusun untuk Variatif, berorientasi
kan memenuhi strategi, maksi- pada strategi yang memi-
malisasi suara liki risiko rendah
Pemanfaatan teknis Rendah menengah Tinggi Rendah menengah
kepemiluan yang mu-
takhir
Infrastuktur pendukung Tersedia Minimal atau berdasarkan Minimal atau berdasar-
kebijakan (biro riset, kebutuhan pimpinan, di- kan kebutuhan pimpinan,
Lembaga think-thank, tangani penanggung jawab ditangani penanggung
afiliasi organisasi) kantor jawab kantor

Sumber: Wolinetz, hal. 155

22
BAB III
ANALISA TIPOLOGI PARTAI: KONTEKS INDONESIA

S
tudi tentang partai di Indonesia, khususnya yang memberi fokus pada tipologi, model, ataupun
karakteristik partai sebagai organisasi, mungkin bisa dihitung dengan jari. Salah satu studi yang
ketat dan layak dipertimbangkan, adalah kartelisasi sistem kepartaian Indonesia yang disum-
bangkan oleh Kuskridho Ambardi 88 dan Andreas Ufen.89 Studi Ambardi memberikan penekanan pada
munculnya kartel pada partai-partai di Indonesia, paska berakhirnya kompetisi pemilu. Kartelisasi
sistem kepartaian di Indonesia merupakan hasil dari ketergantungan secara kolektif partai-partai
terhadap rent-seeking guna memenuhi kebutuhan finansialnya. Ketergantungan ini, pada akhirnya
menjadi penentu ataupun takdir yang mengikat partai-partai secara kolektif, baik politik maupun
ekonomi. Selanjutnya, daya tahan yang dimiliki oleh setiap partai, ditentukan oleh kemampuannya
mengelola relasi bersama dalam bentuk kartel. Sedangkan Ufen, melihat dari sisi merenggangnya
hubungan partai dari basis oleh karena tidak lagi tergantung pada iuran anggota. Hal ini meningkat-
kan keakraban hubungan Negara dengan partai-partai yang berprogram lemah dan terorganisir se-
cara klientistik, yang kemudian membentuk kartel buat bersama-sama ‘menguras’ keuangan Negara.

Dalam upaya memotret kompetisi demokrasi Indonesia, utamanya paska Pemilu 2009, yang peran
utamanya berada di tangan partai, Aminuddin dan Ramadlan mengamati munculnya spesies partai
baru. Spesies ini tidak terwakili dalam klasifikasi ataupun tipologi partai dan tidak hadir dalam iklim
politik seperti di demokrasi barat, yaitu Match-All Party. Spesies ini, muncul dan berkembang sebagai
proses adaptasi partai dalam iklim politik pragmatis di Indonesia, baik dalam pemilu maupun dalam
parlemen.90

Sejumlah studi tentang partai di Indonesia, utamanya paska reformasi 1998, lebih didominasi pers-
pektif aliran politik ataupun spektrum ideologi. Studi yang dilakukan oleh Aspinall dkk,91 memberikan
gambaran paling mutakhir tentang spektrum politik partai-partai di Indonesia, paska 20 tahun refor-
masi. Pengukuran dan pemetaan ini diperlukan untuk menguji, salah satunya terkait tesis yang men-
yatakan bahwa ideologi ataupun kebijakan tidak lagi menjadi hal penting ataupun pembeda utama di
kalangan partai-partai di Indonesia, mengingat kartelisasi ataupun munculnya partai kartel.

Ada sejumlah kompleksitas tersendiri dalam upaya menemu kenali organisasi partai di Indonesia,
utamanya dalam konteks menilai bagaimana tipologi, spesies, karakteristik, ataupun pemodelan, sep-
erti yang diterorisasikan oleh sejumlah ahli. Kompleksitas lain juga muncul, mengingat perdebatan
yang masih terjadi di kalangan para ahli. Sehingga masih memunculkan pertanyaan apakah konsep,
tipologi, dan pemodelan tentang partai yang tersedia telah menjawab kebutuhan dan sekaligus me-
madai untuk dipakai sebagai basis analisa.

88 Kuskridho Ambardi, “The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and It’s Origin”,
Dissertation, The Ohio State University, 2008. https://etd.ohiolink.edu/!etd.send_file?accession=osu1211901025&dispo-
sition=inline, diakses pada 29 Maret 2018.
89 Andreas Ufen, ”Parteienfinanzierung und politische Korruption in Suedostasien“, GIGA Focus 6/2015, hal. 6.
90 M. Faishal Aminuddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies
Baru Partai di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik, Vol. 1, No. 1, Agustus 2015.
91 Edward Aspinall, Diego Fossati, Burhanuddin Muhtadi, and Eve Warburton, “Mapping the Indonesian Political Spectrum”,
New Mandala, 24 April 2018. http://www.newmandala.org/mapping-indonesian-political-spectrum/

23
Lepas dari kompleksitas yang disebut di atas. Berbagai teoritisasi yang dihasilkan dalam sejumlah
literatur studi tentang partai, menyediakan kerangka konsep dan pendekatan yang membantu untuk
menjelaskan tendensi partai dalam konteks organisasi. Dengan demikian, teoritisasi para ahli terse-
but memiliki manfaat untuk digunakan dalam analisa partai di Indonesia.

Tipologi

Dilihat pada tahap perkembangan pembangunan partai, khususnya dua dekade paska reformasi atau
demokratisasi Indonesia. Tipologi partai kader dan partai massa menyediakan kerangka pikir untuk
melakukan pembedaan karakter partai di Indonesia. Paska reformasi, partai-partai di Indonesia se-
cara relatif berupaya mencari format apakah tipologi partai kader atau partai massa yang memi-
liki kesesuaian. Secara umum, perkembangan partai mengarah pada tendensi sebagai partai massa,
namun seiring dengan perjalanan waktu, basis massa yang menjadi orientasi partai menjadi lebur.
Meski awalnya berupaya membasiskan diri pada pembelahan sosial yang ada di masyarakat, misalnya
aliran politik seperti: Santri dengan Abangan. Ataupun Nasionalis, Islam, dengan Sekuler. Namun hal
ini tidak lagi menjadi suatu premis yang ajeg.

Demokrasi kompetisi melalui pemilu yang dilakukan secara reguler, memperlihatkan satu tendensi
bahwa partai-partai Indonesia memiliki kesesuaian pada tingkat tertentu dengan model parties of
mass integration atau parties of social integration, yang secara prinsip melegitimasi tata hukum. Model
ini dicirikan dengan upaya partai membangun kapasitas organisasi dalam menyediakan berbagai jenis
pelayanan/kebutuhan bagi para anggota, dan klasifikasi jenis-jenis layanan/kebutuhan berdasarkan
kepentingan komunitas partisan. Sebagai imbal balik, partai mengharapkan kontribusi pendanaan,
keterlibatan anggota pada kampanye partai dan pemilu. Kesemuanya ini dimaksudkan dalam rangka
mendukung pembangunan pranata sosial-politik dan hukum, ketika partai menang pemilu, diband-
ingkan mengajukan kontra konsep atau membongkar segala pranata yang ada.

Perkembangan partai dan regularitas pelaksanaan pemilu, mendorong munculnya karakteristik


catch-all party di kalangan partai-partai Indonesia. Salah satunya dipicu oleh keharusan yang diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai, bahwa, “Partai adalah organisasi yang bersifat nasional”. Efek selanjutnya mendorong
partai berorientasi pada kompetisi elektoral. Hal ini merupakan proses adaptasi dan fleksibilitas or-
ganisasi merespon situasi kontemporer, dan dianggap sebagai transformasi partai-partai massa yang
mengikatkan dirinya pada hukum pasar, meninggalkan keyakinan akan pentingnya intelektualitas dan
moral kader atau basis massa, menurunkan derajat ataupun menanggalkan ideologi partai, meletak-
kan pertaruhan nasib sepenuhnya pada kelompok-kelompok kepentingan, menonjolkan kekuatan
dan performa pemimpin partai, dan mencari dukungan di manapun hal itu bisa diperoleh.

Selain perubahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat serta perkembangan teknologi, mengubah
secara dramatis interaksi dan komunikasi politik antara elit dengan konstituen. Hal ini mengubah
pamor atau citra pemimpin partai menjadi aspek sentral dibanding transfer ideologi maupun pro-
gram. Pengurangan penggunaan massa sebagai mesin mobilisasi partai dan penerapan instrumen
seperti survei opini publik maupun diskusi kelompok terarah, menjadi fitur-fitur politik yang sama
sekali baru dan sekaligus menjadi ciri terpenting catch-all party.

Situasi sosial, budaya, dan khususnya pembangunan politik yang bervariasi. Termasuk penurunan
secara umum level keterlibatan partai dalam konteks kebijakan, penurunan jumlah pemilih dan

24
pergeseran perilakunya, dan pertentangan antara arena kompetisi kebijakan yang bersifat lokal (ke-
butuhan langsung konstituen) dengan level nasional (garis kebijakan organisasi partai), menciptakan
satu kerumitan tersendiri bagi partai dalam menjaga perimbangan tersebut. Situasi ini menghasilkan
satu jenis partai baru, yaitu partai kartel.

Gejala di atas, berdampak pada penurunan jumlah penerimaan/pemasukan/sumbangan internal


partai. Di sisi lain, kebutuhan dan pembiayaan aktivitas partai mengalami peningkatan yang drama-
tis. Fakta ini, mengubah orientasi dan strategi partai dalam mencari alternatif sumber pembiayaan,
melalui posisi wakilnya yang berada di wilayah Negara: eksekutif, legislatif, maupun pos-pos strategis
lainnya.

Strategi utama dalam merespon problem di atas, difokuskan pada upaya agar Negara mengeluarkan
kebijakan melalui wakil-wakilnya, baik kewajiban ataupun regulasi tentang subsidi Negara.92 Kebija-
kan-kebijakan yang bersifat subsidi ini, tidak terbatas pada finansial semata. Dapat berupa restriksi
terhadap akses-akses media massa yang berguna dalam komunikasi politik pada pemilu ataupun
jenis-jenis lainnya. Besaran subsidi Negara kepada partai dan potensi pertumbuhannya yang menjan-
jikan di masa-masa mendatang, menciptakan satu kondisi yang signifikan dalam mengubah perilaku
partai.

Singkatnya, Negara yang ‘diinvasi’ oleh partai dan peraturan kebijakan yang ditentukan juga oleh par-
tai adalah sumber daya. Hal ini tidak saja menjadi faktor determinan bagi kelangsungan hidup, lebih
daripada itu meningkatkan kapasitas partai dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Negara dalam situasi ini dilihat sebagai sebuah struktur terlembaga dalam rangka mendukung, mem-
beri garansi bagi yang berada di dalam dan menyingkirkan yang di luar. Partai tidak lagi sekedar
menjalankan peran sederhananya sebagai perantara antara Negara dengan masyarakat, partai sudah
diserap oleh Negara. Tidak lagi sebagaimana partai dalam pendekatan party catch-all. Dalam pers-
pektif partai kartel, partai telah menjadi agen semi Negara.

Posisi Partai

Selaras dengan jenis ataupun tipologi partai yang dikembangkan para ahli dan sejumlah kesesuaian-
nya pada derajat tertentu dengan situasi di Indonesia. Posisi partai di Indonesia, memperlihatkan di
mana pendulum partai mengayun. Bagian dari masyarakat atau sebagai perantara antara masyarakat
sipil dengan Negara, sebagaimana muncul dalam karakteristik partai massa ataupun catch-all party.

Selain sama-sama menggunakan instrumen pemilu untuk masuk ke sektor Negara, baik partai massa
ataupun party catch-all memiliki prinsip dasar yang sama, bahwa Negara merupakan sebuah arena
bebas yang pengaruhnya ditentukan oleh pemenang kompetisi di antara partai-partai. Prinsip ini ter-
lepas dari perbedaan niat yang dimiliki oleh dua tipe partai tersebut. Partai massa berupaya masuk
ke dalam sektor Negara dalam rangka melakukan pembaruan kebijakan, dan menjaga kepentingan
jangka panjang konstituen sebagai bentuk pertanggungjawaban. Catch-all Party, posisinya menjadi
perantara antara masyarakat dengan Negara, agar ada kebijakan publik yang menjamin kepentingan
jangka pendek dan kepuasan pragmatis dari konsumen atau konstituennya. Posisi keduanya sama,
berada di luar Negara.

92 Contoh terakhir adalah tentang dana aspirasi, “DPR Pasrah Dana Aspirasi Ditolak Jokowi”, RMOL,CO 25 Juni
2015. http://politik.rmol.co/read/2015/06/25/207662/DPR-Pasrah-Dana-Aspirasi-Ditolak-Jokowi-

25
Pada sisi lain, seiring dengan munculnya kartelisasi pada relasi partai-partai di Indonesia, terbuka
peluang partai berubah menjadi agen semi Negara, yakni partai kartel. Tentu saja jika membasis-
kan analisa sekedar pada aspek ketergantungan partai-partai terhadap subsidi publik melalui kebija-
kan-kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakilnya, kerangka konsep ini tidak mencukupi. Sebab, pada
konteks Indonesia bantuan keuangan Negara terhadap partai secara formal relatif kecil.

Perkembangan politik Indonesia kontemporer, dapat dikatakan tidak ada satupun partai yang berpo-
sisi secara ajeg sebagai oposisi atau berada di luar pemerintahan. Situasi ini memberikan perspektif
lain yang erat kaitannya dengan karakter partai kartel, selain soal ketergantungan partai terhadap
dana dari Negara. Demokrasi dalam perspektif partai kartel dimaksudkan dalam upaya mencapai
stabilitas sosial dibanding perubahan sosial.

Dalam demokrasi model ini, kompetisi tidak lagi dipahami sekedar siapa yang akan masuk (berkuasa)
dan siapa yang akan di luar. Program antar partai yang berkompetisi cenderung mirip, termasuk ori-
entasi dan tujuannya. Dampaknya, pemerintahan yang dimenangkan pihak manapun relatif tidak
memiliki pembeda. Pada situasi ini, tidak ada partai yang benar-benar berada di luar ataupun di dalam
pemerintahan secara permanen. Tetapi, oleh karena pemilih punya otoritas menentukan siapa yang
akan menang atau kalah, fakta ini meningkatkan kesadaran dan kesepahaman bersama dari para
politisi untuk menekan biaya kekalahan dalam pemilu.

Respesifikasi dan Orientasi Partai

Membincang demokrasi modern, tidak dapat dilepaskan dari topik kompetisi, pola relasi dan interaksi
antar partai, baik dalam pemilu maupun berbagai keputusan organisasi. Munculnya individualisme,
melemahnya basis identitas kelas, dan meningkatnya standar hidup mendorong partai melakukan
reorientasi strategi. Misalnya dalam rangka memperluas jangkauan pemilih, dan peningkatan jumlah
perolehan suara. Perubahan sosio ekonomi yang diiringi fenomena demokratisasi media massa, khu-
susnya televisi, menyediakan instrumen baru bagi politisi untuk terhubung secara langsung kepada
pemilih, utamanya pada masa pemilu.

Lanskap politik yang dihadapi oleh hampir semua partai berubah, bahkan berlangsung secara dra-
matis. Tiba-tiba partai diperhadapkan dengan sejumlah agenda ataupun tuntutan yang tidak dapat
dijawab dengan model organisasi konvensional. Partai berdamai dengan kebutuhan profesionalisasi
lembaga, dan ini mendorong tendensi munculnya partai pemilu profesional. Peran profesional yang
awalnya mengidentifikasi apa saja keunggulan kompetitif partai dibanding kompetitornya guna men-
jangkau berbagai variasi kebutuhan pemilih, lebih lanjut masuk dan mempengaruhi pengambilan
keputusan organisasi. Tahap selanjutnya, perubahan kampanye menjadi padat modal, secara ekslusif
membutuhkan keahlian profesional, dan selanjutnya menggeser peran aparat/birokrasi organisasi.
Aspek profesional menjadi sebuah normalitas baru, yang tidak dapat dijawab oleh organisasi atau
aparat partai seperti sebelumnya.

Konteks Indonesia, gejala profesionalisasi partai dalam pemilu, bukanlah fenomena ekslusif satu
dua partai, namun menjangkiti hampir semua partai tanpa terkecuali. Pada periode pemilu ataupun
pilkada, hiruk pikuk aktivitas partai tidak dapat dilepaskan dari peran kalangan profesional, baik kon-
sultan politik ataupun pemasaran. Nominasi calon, pembangunan citra diri, program yang diusung,
maupun pemetaan sumber dukungan yang dilakukan partai membutuhkan kerja dan keahlian profe-
sional. Kebutuhan ini, pada derajat tertentu bahkan berdampak terhadap keputusan yang akan diam-

26
bil oleh partai. Meski pada tingkat tertentu, peran kalangan profesional tidak dalam tugas eksekutif
harian partai, namun menentukan secara signifikan pada masa pemilu.

Gejala lain yang juga terlihat dalam konteks Indonesia, adalah pada sisi orientasi partai. Antara ori-
entasi kebijakan, orientasi suara, ataupun orientasi jabatan/posisi. Partai-partai di Indonesia, dapat
dikatakan mengemuka orientasinya pada dua hal, yaitu suara dan posisi atau jabatan, dibanding ke-
bijakan. Orientasi partai merupakan satu fakta yang kemunculannya dipengaruhi, baik karena ke-
butuhan adanya koalisi dalam sistem politik dan pemerintahan. Ataupun akibat keputusan politik
pemimpin partai yang didorong oleh pilihan rasional dan manfaat yang ingin diharapkan.

Volatilitas Politik

Mengacu pada Bågenholm dan Heino,93 terdapat kemiripan antara partai-partai di Indonesia dengan
di Eropa Tengah dan Timur. Kombinasi antara lemahnya organisasi partai94 dan rendahnya identifikasi
pemilih terhadap partai,95 melahirkan tingginya volatilitas.96 Volatilitas sendiri merupakan instrumen
yang menjadi parameter, apakah sistem politik yang digunakan memiliki keajegan, utamanya dari sisi
pemilih. Untuk kasus Indonesia, indeks volatilitas 4 kali pemilu paska reformasi, berada pada kisa-
ran 21,33 persen untuk Pemilu 1999-2004, 20,33 persen pada Pemilu 2004-2009, dan kemudian
meningkat menjadi 26,96 persen untuk Pemilu 2009-2014.

Tingginya volatilitas ini setara dengan rata-rata di benua Amerika Latin antara tahun 1980 sampai
dengan 1997 yang mencapai angka 20,9 persen.97 Juga setara dengan di Eropa Timur antara tahun
1994 sampai dengan 2000 yang rata-rata mencapai 25,9 persen.98 Sementara itu, di Eropa Barat
antara tahun 1948 sampai dengan 1977 rata-rata hanya mencapai 8,1 persen.99 Ini menandakan,
tingkat kestabilan politik di Indonesia rendah, dengan kata lain tidak ajeg.

93 Andreas Bågenholm dan Andreas Johansson Heinö, “Why are the post-communist party systems not
stabilizing?“, the ECPR Joint Sessions in Mainz, Workshop 31: Party System Dynamics. New Tools for the Study
of Party System Change and Party Transformation, March 12-16, 2013, hal. 4-5
94 Peneliti Pusat Penelitian LIPI, Lili Romli menyebutkan, bahwa pelembagaan parpol yang belum terwujud dengan baik,
“Kelembagaan Partai Indonesia Masih Lemah“, 17 September 2012, https://ugm.ac.id/id/berita/4509-kelembagaan.partai.
politik.indonesia.masih.lemah

95 Diukur melalui melalui Derajat Organisasi =


JumlahAnggotaPartai („Parteiendemokratie“, Information zur politischen
JumlahPemilih
Bildung No. 207, Bonn 1996 hal. 48). Berdasarkan hitungan SPD yang berpedoman dari Data SIPOL KPU, derajat organisasi
10 partai DPR rata-rata 2,9 persen. Sebaliknya derajat organisasi di Austria rata-rata 23,9 persen (1989-1999), Finlandia
13,0 persen (1980-1998), Swis 8,3 persen (1977-1997), Jerman 3,8 persen (1980.1999), Italia 7,6 persen (1980-1998),
lihat, Peter Mair and Ingrid van Biezen, “Party Membership in Twenty European Democracies, 1980-2000“, Party Politics Vol.
7 No. 1, London 2001, hal. 16. Perbandingan antara Indonesia dengan beberapa Negara di Eropa itu timpang, sebab yang
disebut anggota partai di Eropa berkewajiban membayar iuran anggota. Berdasarkan informasi yang diperoleh SPD, kewa-
jiban melunasi iuran anggota tak dikenal di Indonesia.

96 Diukur melalui Pedersen-Index: lihat, Mogens N. Pedersen, “Electoral Volatility in


Western Europa, 1948-1977“, http://janda.org/c24/Readings/Pedersen/Pedersen.htm
97 Detlef Nolte, “Lateinamerikas Parteien zwischen Volatilitaet und Beharrung“, Lateinamerika Jahrbuch 2000, Hamburg
2000, hal. 15.
98 “How Unstable? Volatility and the Genuinely New Parties in Eastern Europe,” European Journal of Political
Research, 44 (1): 2005, hal. 8, http://discovery.ucl.ac.uk/13033/1/13033.pdf
99 Ibid, Mogens N. Pedersen

27
Partai-partai yang mayoritas didirikan setelah reformasi cenderung tergolong dalam “catch-all par-
ties”, yang tampil dalam semboyan partai-partai itu kepada “all of the people, all of the time”. Par-
tai-partai dibangun dari atas ke bawah, tempo pendirian pendek dan umumnya berpusat pada figur
personal. Terdapat sedikit usaha membangun keanggotaan partai. Usaha yang dilakukan normalnya
pada rekruitmen kandidat menjelang pemilu, bernafaskan elitis, dan berjarak dari pemilih.

Dari sisi ketergantungan partai pada sumber keuangan Negara. Partai-partai di Indonesia berpotensi
menjadi partai kartel.100 Misalnya dengan dinaikannya dana Negara. Hal ini dapat berdampak terha-
dap makin menjauhnya partai dengan basis, oleh karena dana yang berasal dari iuran anggota tidak
lagi diperlukan, dan diganti bersumber dari negara.

Bersamaan dengan situasi di atas, keakraban hubungan antara partai-partai dengan Negara, berpo-
tensi memunculkan perilaku kartel bertujuan menguras keuangan Negara. Partai Kartel dapat menu-
lari partai-partai di Indonesia oleh karena klientisme yang tinggi, lemahnya organisasi, dan program
partai. Maka, jika bantuan keuangan Negara untuk partai hendak dinaikan, diperlukan reformasi in-
ternal partai dan syarat tambahan untuk memperoleh dana Negara. Bukan hanya berdasar perolehan
suara (lihat bab pendanaan partai oleh Negara).

100 Konsep ini berasal dari Richard S. Katz dan Peter Mair (1995), “Changing Models of Party Organization
and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party”, in: Party Politics 1 (1), 1995, hal. 5-28.

28
BAB IV
PENDANAAN PARTAI

Dari sudut pandang Negara, Triepel seorang ilmuwan Austria, menyebutkan empat (4) tahapan pen-
gakuan parpol oleh Negara:101

i) Fase pertama. Beranjak dari penindasan atau tekanan terhadap partai. Hal ini dapat ditelusuri
melalui berbagai studi mendalam atas faktor sejarah, yang menjadi pengalaman awal demokrasi di
Amerika Serikat.

(ii) Fase kedua. Pengabaian terang-terangan keberadaan partai secara faktual dalam tatanan hukum.
Hal ini membawa pengaruh berbahaya pada aspek konstitusi, oleh karena terbukanya segala peluang
munculnya anomali, seperti praktik korupsi atau pembelian mandat perwakilan secara langsung oleh
orang-orang yang memiliki sumber daya, untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai anggota parlemen.

(iii) Fase ketiga. Fase pengakuan terhadap partai politik, melalui legalisasi, melegalkan status, dan
merujuknya dalam peraturan perundang-undangan. Dengan mendefinisikan pengertian partai politik
secara legal, menjadi investasi penting bagi partai dalam menjalankan fungsinya.

(iv) Fase keempat. Penggabungan institusi partai ke dalam kehidupan konstitusional, sehingga partai
dengan status dan posisi yuridis yang disandangnya, memungkinkan mereka berfungsi menjalankan
kepentingan publik. Terlepas dari karakter utama partai sebagai subyek hukum privat (perdata),
namun oleh karena karakter asosiasi politik, menjadikannya terikat dengan tanggung jawab publik.
Secara teori, pemahaman ini harusnya menjadikan partai layak untuk mendapatkan pendanaan dari
Negara. Sayangnya, sebagian besar konstitusi tidak mengaturnya secara rinci dan menganggapnya
sepele.

Secara umum, penerimaan parpol dapat dibedakan ke dalam dua (2) jenis. Pertama, penerimaan yang
didapatkan dari swadana atau pendanaan internal. Kedua, pendanaan eksternal.

Pendanaan swadana

Sumber penerimaan partai disebut sebagai swadana atau di Eropa yang dikenal sebagai iuran tetap
anggota. Sedangkan di Amerika Serikat dikenal sebagai “dana basis” yaitu iuran tetap anggota dan
para pendukung yang bukan anggota Partai. Doris Cordes mengelompokkannya “sumbangan dari
para elit parpol” atau “peraup kenikmatan“ ke dalam “dana basis”. Dana ini adalah dana yang diper-
oleh dari pribadi-pribadi pemegang mandat dari suatu partai atau kerap disebut sebagai “pajak par-
tai” (Nassmacher; 2002).

101 Mik Strmecki, ”The Political Party Phenomenon as the Major Underpinning and at Times a Conduit for the Demise of Democ-
racy&Rechtstaat”, Transylvanian Review of Administrative Sciences (TRAS), No. 20 E/June 2007, hal. 98, http://rtsa.ro/tras/index.
php/tras/article/viewFile/369/359

29
Cordes juga memasukkan sumbangan berjumlah kecil atau mass fundraising ke dalam dana basis.
Mass fundraising dipahami sebagai pengumpulan dana massal dari angggota atau simpatisan untuk
keperluan satu tujuan, yang dikumpulkan secara tidak tetap atau eventual. Penerimaan dari bunga
atau deposito partai termasuk penerimaan swadana karena didapatkan dari simpanan dana partai
yang ada di bank. Maka praktis penerimaan swadana dapat dikatakan “dana basis”.102

Penerimaan Dana Eksternal

Dengan diterimanya prinsip-prinsip pendanaan yang merujuk pada kemandirian partai, di Barat
mulai timbul antipati terhadap dana “plutokratis” yang didapatkan dari para dermawan kelas
kakap dan dana yang berasal dari badan hukum seperti perusahaan.103 Badan hukum tersebut
tidak memiliki hak memilih dan tidak berpartisipasi dalam pembentukan kehendak politik. Pen-
danaan model ini dinilai berpotensi dapat “mengendalikan” partai dari luar dan dianggap dapat
mencemarkan demokrasi internal.104

Khayyam Zel Paltiel dalam “Campaign Finance: Contrasting Practice and Reforms”, menyatakan,
bahwa:

“umumnya, besarnya perbedaan donor mencerminkan realitas kesenjangan sosial dan ekonomi.
Ia juga mencerminkan satu usaha untuk memanipulasi prinsip demokrasi “satu orang satu suara”.
Lewat sumbangan yang besar tersebut, para donatur dapat membajak dengan pengaruh yang
berbeda dalam proses pembentukan keputusan. Kebutuhan akan dana, akan mengantarkan para
politisi untuk lebih memperhatikan kepentingan dan tuntutan para donatur utamanya ketimbang
kepada para konstituennya”.105

Untuk mencegah gejala ini, maka diterapkan dana plutokrasi lain, yaitu penerimaan dana dari
Negara.

102 Op.cit, Pipit Kartawidjaja dan Faishal Aminudin, hal. 67. Catatan tentang iuran anggota: Dalam AD/ART Partai So-
sialdemokrat Jerman (SPD) misalnya tercantumkan bahwa anggota berpengasilan sampai 1.000 Euro per bulan, wajib mem-
bayar iuran anggota 5 Euro per bulan dan yang berpenghasilan lebih dari 4.000 Euro per bulan wajib membayar iuran
anggota sebesar 100 Euro s/d 250 Euro per bulan. Khusus buat anggota parlemen, iuran anggota per bulannya minimal
250 Euro. Bahkan, anggota tamu atau hanya berstatus pendukung wajib menyetor iuran 30 Euro per tahunnya https://
www.spd.de/fileadmin/Dokumente/Parteiorganisation/SPD_OrgaStatut_2018.pdf. Atau dalam AD/ART Partai Uni Kristen
Demokrat Jerman (CDU) disebutkan, bahwa anggota berpengasilan sampai 1.000 Euro per bulan, wajib membayar iuran
anggota 5 Euro per bulan, sedangkan yang berpenghasilan lebih dari 5.000 Euro wajib menyetor iuran anggota sebesar 50
Euro per bulan. http://www.kas.de/upload/ACDP/CDU/Parteiordnungen/Statut2003.pdf
103 Perhatikan ketentuan batasan sumbangan dana bagi partai yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Badan hukum dapat menyumbang sampai dengan Rp. 7.500.000.000 (tujuh milyar lima ratus juta rupiah), jumlah ini mening-
kat dari regulasi sebelumnya di mana sumbangan dari badan hukum maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
104 Nassmascher, dalam Ibid, Pipit Kartawidjaja dan Faisal Aminuddin, hal 69.
105 Doris Cordes, Die Finanzierungder Politischen Parteien Deutchlands, Oesterreichs und der Niederlande, Carl von
Ossietazky Universitaet Oldenburg, Fachbereich 3 Sozialwissenschaften, 2002, hal 11-12. Dalam, Ibid, Pipit R. Kartawidjaja
dan Faisal Aminuddin, hal. 69-70.

30
Pendanaan Partai Dari Negara

Secara historis, pendanaan Negara secara langsung kepada partai diterapkan pertama kalinya di Uru-
guay tahun 1928, sementara skema yang sama diberlakukan di Eropa Barat pertama kalinya di Jer-
man tahun 1959.106

Tabel 4. Pendanaan Negara Langsung Kepada Partai


AMERIKA LATIN   EROPA
Uruguay 1928 Jerman 1959
Kosta Rika 1956 Finlandia 1969
Argentina 1961 Swedia 1972
Brazil 1971 Norwegia 1973
Venezuela 1973 Italia 1974
Nikaragua 1974 Austria 1975
Meksiko 1977 Portugis, Spanyol 1977
Ekuador 1978 Yunani 1984
Honduras 1981 Denmark 1986
Guatemala, Kolumbia 1985 Perancis 1988
Paraguay 1990 Belgia, Hongaria 1989
Bolivia, Panama, Republik Dominika 1997 Bulgaria, Ceko, Rumania, Slovakia 1990
  Serbia, Siprus 1991
Kroasia, Polandia 1993
Slovania, Estonia 1994
PENGHAPUSAN/PENYUNATAN DANA NEGARA Rusia 1995
LANGSUNG Irlandia 1997
Venezuela 1999 Belanda, Luksemburg 1999
Bolivia 2008 Islandia 2006
Italia 2017 Latvia 2010
Daniela R. Piccio, ”Public funding to political parties: a forward-looking approach“, Università degli Studi di
Torino, Sep 2015, http://www.moneyinpolitics.info/wp-content/uploads/2015/05/Public_funding_GlobalCon-
ference_PICCIO.pdf
Fransje Molenaar (2012), ”Latin American regulkation of political parties: Continuing trends and breaks with
the past“, Working Paper Series on the LegaL Regulation of Political Parties, No. 17, http://live.v1.udesa.edu.
ar/files/UAHumanidades/EVENTOS/Paper_Fransje_Molenaar_310512.pdf
Andrea De Petris, “Wieder am Ziel vorbei? Aktueller Stand und neue Entwicklungen der Parteienfinanzierung
in Italien”, Heinrich-Heine Universitaet Duesseldorf, MIP 2015, Tahun ke 21, hal. 106-107

Janis Ikstens/Daniel Smilov/Marcin Walecki, “Party and Campaign Funding in Eastern Europa: A Study of 18
Member Countries of the ACEEEO”, Oktober 2001, hal. 42, https://ifes.org/sites/default/files/brijuni18coun-
tryreport_finaledited1_0.pdf
“Funding on Political Parties and Election Campaigns: A Handbook on Political Finance”, International Institute
for Democracy and Electoral Assistance 2014, Stockholm Sweden 2014, hal. 222

106 Kevin Casas-Zamora, “The state of political finance regulations in Latin America”, International IDEA Discus-
sion Paper 12/2016, hal. 1

31
Sampai saat ini terdapat empat paradigma terkait dengan pendanaan oleh Negara, antara lain:107

a. ‘Managerial Paradigm’ (Paradigma Manajerial):


Tujuan utamanya adalah pelestarian tatanan demokratik. Kepentingan mendasar Negara ter-
letak pada stabilitas sistem kepartaian. Sistem kepartaian menjadi sebagian besar sarana Ne-
gara. Berdasarkan paradigma ini, Negara memiliki otoritas untuk membuat serangkaian kete-
tapan untuk mengatur perilaku dan organisasi partai. Pentingnya kebebasan berserikat partai
merupakan bagian yang dianggap sedikit penting. Dengan demikian, hal ini berpotensi untuk
melindungi partai pemerintah dari partai-partai pesaingnya, tanpa harus membenahi dirinya
sendiri secara efektif. Selain itu juga berarti, bahwa partai pemerintah tersebut kehilangan
otonominya secara organisatoris. Jenis pengaturan serupa ini secara jelas mungkin dapat di-
kaitkan dengan kartelisasi partai dan sistem kepartaian.

b. ‘Libertarian Paradigm’ (Paradigma Libertarian):


Prinsipnya, partai adalah jenis organisasi tersendiri, bukan instrumen yang melayani Negara.
Tapi perkumpulan privat, diorganisasi oleh kelompok-kelompok kepentingan, yang tujuan
utamanya adalah mengekspresikan pendapat anggota-anggotanya. Kepada partai jenis ini,
hendaknya diberikan hak-hak buat berasosiasi, privasi, ekspresi, dan kebebasan dari campur
tangan Negara. Alhasil, partai bukanlah subyek regulasi Negara, akan tetapi partai juga tak
perlu menerima bantuan Negara (misalnya pendanaan Negara langsung atau tak langsung).
Oleh sebab itu konsekuensi logis paradigma libetarian adalah ketidakhadiran setiap jenis reg-
ulasi Negara yang mengatur partai (dan dalam kaitan tersebut, termasuk pendanaan partai
oleh Negara). Dalam praktek empiris dan normatif, meningkatnya relevansi dan legitimasi
pendanaan dan regulasi partai oleh Negara itu akhirnya menunjukan, bahwa paradigma liber-
tarian secara cepat menjadi tidak penting.

c. ‘Political Market Paradigm’ (Paradigma Politik Pasar):


Memaksimalkan perolehan suara tergantung pada pilihan pemilih dan kompetisi antar partai.
Tujuan utama partai adalah menawarkan alternatif politik kepada konsumen pemilih. Mem-
fasilitasi efektifnya persaingan sistem kepartaian menjadi kepentingan Negara. Maka Negara
mesti membuat regulasi untuk memaksimalkan persaingan atau setidak-tidaknya memberi-
kan persaingan memadai antar partai. Karenanya, undang-undang yang mengintervensi pasar
politik itu demi mengorekasi kecacatan pasar dan mencegah praktek-praktek monopoli par-
tisan. Contoh paradigma pasar politik dapat dilihat dalam beberapa prinsip yang mengatur
pendanaan partai oleh Negara, terutama yang menyiratkan bahwa bantuan Negara bertujuan
untuk mendorong terciptanya persamaan dan keadilan kompetisi antar partai.

d. ‘Critical Approach’ (Pendekatan Kritis):


Tujuan utama partai itu adalah mewakili social cleavages (pembelahan sosial). Dari sudut pan-
dang ini, kepentingan Negara adalah mengkonstruksi regulasi yang memaksimalkan represen-
tasi kepentingan, dan sedapatnya mengintervensi demi kompensasi jika terjadi penyimpangan
dalam sistem sosial dan politik. Dalam hubungan dengan sistem pemilu, berbagai mekanisme
dibuat demi proporsionalitasnya sistem merupakan contoh regulasi Negara. Dalam kaitannya
dengan UU tentang Partai, dapat kita lihat misalnya pengaturan yang menyangkut perimban-
gan gender dalam daftar partai.

107 Ingrid van Biezen, “Public Funding and Regulation of Political Parties”, European Review, Vol. 16, No. 3, 2008, hal.
344-345

32
Dengan kehadiran dana Negara, maka klasifikasi pendanaan partai menjadi:

Gambar 4. Model Pendanaan Partai: Skema dan Sumber

Direct (monetary)
Public
in direct (in kind)
Funding Source
(Origin)
Private Limited
(Monetary or in Amount
kind)
Unlimited

Jika pendanaan oleh Negara diterapkan, maka berdasarkan pengalaman-pengalaman di Amerika


Latin, Amerika Anglo-Saxon, Eropa Barat dan Eropa Timur, umumnya merupakan perkawinan antara
paradigma-paradigma di atas. Tujuannya:
a. Pembenaran intervensi Negara secara langsung dalam pendanaan partai berkaitan dengan
tujuan penciptaan keadilan dan persamaan kompetisi politik.108
b. Dana Negara dapat memfasilitasi para aktor politik untuk melakukan kegiatan-kegiatan de-
mokrasi yang penting, meningkatkan pelembagaan, penguatan dan stabilitas partai.109
c. Relatif besarnya dana Negara kepada dan relatif kentalnya regulasi Negara terhadap par-
tai-partai di Eropa dan Amerika Latin itu bertujuan untuk melawan korupsi, mengawasi ke-
kuasaan donator privat kelas kakap penyumbang kelas kakap dan mengatur ruang gerak
partai.110 
d. Pendanaan partai oleh Negara memungkinkan Negara memaksakan regulasi terhadap partai.
Misalnya keharusan diberlakukannya demokrasi internal atau keterbukaan laporan keuangan
partai.

Jenis Pendanaan Negara

Adapun bentuk pendanaan Negara itu sendiri dapat berupa:111


a. Subsidi Negara Langsung: dicairkan secara tunai kepada partai atau kandidat berdasarkan
aturan yang tertera dalam undang-undang.
b. Subsidi Negara Tak Langsung: tertera dalam undang-undang misalnya berupa tanpa pung-
utan biaya untuk kegiatan-kegiatan politik di pemancar televisi atau radio, penggunaan ru-
ang-ruang publik dan penerbitan. Termasuk juga pemotongan/pembebasan pajak penghasi-
lan kepada para kontributor partai, partai atau kandidat.

108 Ingrid van Biezen, “State Intervention in Party Politics: The Public Funding and Regulation of Politcal Parties“, European
Review, Vol. 16, Academia 2008, hal. 247-348; lihat juga, Op. Cit, Kevin Casas-Zamora, hal. 16-17. Lihat juga, Martin Mor-
lok, “Perteienfinanzierung im demokratischen Rechtsstaat”, Friedrich Ebert Stiftung Berlin 2009, hal. 8
109 Ibid, Kevin Casas-Zamora, hal. 16-17; Juan Fernando Londoño and Daniel Zovatto, “Latin America” dalam Elin Fal-
guera, Samuel Jones and Magnus Ohman (Editor), “Funding of Political Parties and Election Campaigns: A Handbook on
Political Finance”, IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm, Sweden 2014, hal. 141
110 Ingrid van Biezen, “Campaign and Party Finance”, hal. 9, https://sites.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/
Chapter%205%20Van%20Biezen%20Campaign%20and%20party%20finance.pdf
111 Ibid, Kevin Casas-Zamora, hal. 16. Catatan: pembebasan pajak kepada partai bisa berupa pembebasan pajak lahan
bangunan, atau bangunan.

33
c. Subsidi Negara Spesifik: misalnya diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan organisasi yang be-
rada di bawah naungan partai. Misalnya kaukus parlemen, sayap-sayap organisasi (perem-
puan dan pemuda), penerbitan dan lembaga-lembaga penelitian

Pendanaan partai oleh Negara termasuk bagian yang memiliki sensitivitas tinggi. Hal ini disebabkan
oleh potensi bahaya ‘pelacuran politik’ yang dilekatkan pada lepasnya ikatan para aktor politik dari
basis massanya. Selain itu, tingginya ketergantungan partai oposisi dari restu mayoritas parlemen
berdampak pada upaya yang dapat mengotori kemurnian persaingan antar partai.112

Satu hal yang kembali perlu diperhatikan adalah, pada umumnya, kritik utama yang dialamatkan ke-
pada partai di Eropa Barat adalah mental ketergantungan partai dan memanfaatkan pendanaan Neg-
ara untuk kepentingan politiknya. Di Perancis, hampir semua politisi dari berbagai aliran kecipratan
banyak dana publik ini. Presiden Jacques Chirac, sewaktu menjabat walikota Paris sampai 1995,
menggunakan cara “emploi fictif” yakni modus memasukkan nama fiktif sebagai pegawai kotaparaja.
Gaji pegawai tersebut ternyata masuk ke kantong partainya. Modus yang sama juga dimanfaatkan
oleh ketua Partai Komunis Prancis, Robert Hue (Juerg Schoch; 2000). Demikian juga dengan perdana
menteri Inggris David Lloyd George yang menyelundupkan dana dari para bangsawan ke kas gelap
Partai Konservatif (Peter Nonnenmacher; 2000).113

Sepintas Model-Model Pendanaan Negara Langsung

Untuk Subsidi Negara Langsung, dana Negara ke dalam lima, yaitu:114


a. Pendanaan untuk aktivitas rutin partai (pusat dan daerah) termasuk ongkos personal dan
anggaran belanja organisasi (non electoral activity).
b. Penghibahan dana lantaran keterlibatannya dalam pemilu (electoral activity).
c. Pemasokan dana kepada grup/fraksi partai di parlemen (subsidizing parliamentary groups).
d. Pendanaan buat aktivitas pelatihan dan penelitian
e. Pendanaan guna kegiatan sayap organisasi (misalnya organisasi pemuda)

Umumnya, dana Negara dialokasikan berdasarkan perolehan suara partai dalam pemilu, pemilihan
presiden, atau keterwakilan dalam parlemen. Berbagai varian pendanaan Negara langsung ditemu-
kan di dunia. Misalnya subsidi langsung Negara:
a. Tergantung pada APBN. Pendanaan Negara langsung ditetapkan terlebih dahulu dalam
APBN. Di Lithuania sebesar 0,1 persen APBN.115 Panama dan Nikaragua menyediakan 1
(satu) persen dana APBN-nya.116 Untuk tahun 2017, Jerman menetapkan 161.803.517,00
Euro, di mana 11,69 persennya di tanggung oleh APBD Negara bagian (setara provinsi) dan
88,31 persennya ditanggung oleh APBN Negara pusat. Bila dana melebihi anggaran yang
telah ditetapkan, maka dana Negara dipotong secara proporsional.117 Dari dana APBN yang

112 Paltiel, dalam Ibid, Pipit Kartawidjaja dan Faisal Aminuddin, hal. 70.
113 Op. Cit, Pipit Kartawidjaja dan Faisal Aminuddin, hal 66.
114 Inggrid Van Biezen, dalam Ibid, Pipit Kartawidjaja dan Faisal Aminuddin. Lihat juga, Op. Cit, J. Mark Payne, et all, hal.
169, dan The Subsidi Act for Political Parties, 22 Juli 2011, www.partylaw.leidenuniv.nl
115 Rolf Winkelmann, “Politik und Wirtschaft im Baltikum“, Carl von Ossietzky Universität Oldenburg 16 Mei 2007, hal.
145-146
116 Bruno Wilhelm Speck, “Der Kandidatbraucht Geld”, Der Überblickt Februari 2006, hal. 46, http://www.der-ueberblick.
de/ueberblick.archiv/one.ueberblick.article/ueberblickc417.html?entry=page.200602.046
117 Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel fuer das Jahr 2017”, 22/2/2018, hal. 4 dan Lampi-
ran 2, https://www.bundestag.de/blob/545418/dcecfbd89403d01611008aadc5b8f579/finanz_17-data.pdf

34
telah ditetapkan di Kolumbia, 15 persennya dialokasikan untuk pemilu lokal, 10 persennya
untuk pemilu regional dan 55 persennya buat pemilu DPR nasional dan senat.118
b. Tergantung pada perolehan atau persentase perolehan suara atau jumlah kursi di parlemen.
Di Jerman belaku ketentuan 1,00 (satu) Euro untuk suara pertama sampai dengan 4 (empat)
juta, dan selebihnya 0,85 Euro.119 Sementara itu di Ukrania besar dana dihitung dari persen-
tase perolehan suara dalam sistem proporsional dikalikan dengan factor 2 (dua), lalu dika-
likan dengan upah minimum actual.120 Di Estonia yang berambang batas parlemen 5 persen,
partai peraup suara 1 (satu) persen memperoleh 10.000 Euro, sedangkan yang meraup 4
persen memperoleh 16.700 Euro. Sedangkan separuh dari dana yang disediakan Negara
dibagikan kepada partai-partai di parlemen secara proporsional.121 Sejak akhir 2014, Cile
menetapkan 0,40 US Dolar per suara untuk partai yang masuk ke parlemen.122 Di Belanda,
dihitung berdasarkan kursi parlemen. Adapun besarnya berubah dari tahun ke tahun. Tahun
2010 misalnya satu kursi di parlemen dihibahi 54.526 Euro, selain subsidi dana dasar (basic
sum) per partai sebesar 187.990 Euro.123
c. Tergantung pada ambang minimal perolehan suara. Di Jerman misalnya, demi terjaminnya
keadilan dan persamaan kompetisi, politik partai peserta pemilu mendapatkan dana Negara
langsung, apabila dalam pemilu nasional berhasil meraup 0,5 (setengah) persen suara atau
dalam pemilu daerah 1,0 (satu) persen, yang berarti jauh lebih rendah daripada ambang batas
parlemen nasional atau daerah 5 (lima) persen. Hal ini dimaksudkan, agar tercipta keadilan
dan kesetaraan peluang bagi partai-partai yang berpemilu, termasuk yang gagal masuk ke
parlemen.124 Mirip di Jerman, di Ukrania parpol harus meraup minimal 2 (dua) persen, lebih
rendah ketimbang ambang batas parlemen 5 (lima) persen.125 Sebaliknya di Belanda yang tak
mengenal ambang batas parlemen, partai harus mempunyai 1 (satu) wakil di parlemen.126
Di Brazil, untuk tahun 2018 partai harus meraup minimal 1,5 persen suara dan akan naik
menjadi 3 persen untuk tahun 2030.127 Selain harus lolos dari ambang batas parlemen 3
persen, di Lithuania partai-partai yang dapat membentuk fraksi di parlemenlah yang berhak
memperoleh dana langsung.128
d. Selain masuk ke parlemen (DPR dan Senat), tergantung pada pada jumlah minimal anggota
(1.000 orang) dan iuran minimal anggota (12 Euro/tahun) seperti yang diberlakukan di Be-

118 Fransje Molenaar, ”Latin American regulation of parties: Continuing trends and breaks with the past“, Leiden University
Maret 2012, hal. 20 dan 26
119 Oskar Niemeyer, “Staatliche Parteienfinanzierung”, Bundeszentrale fuer politische Bildung 7/7/2017, http://www.bpb.
de/politik/grundfragen/parteien-in-deutschland/zahlen-und-fakten/42240/staatliche-parteienfinanzierung
120 Miriam Kosmehl dan Andreas Umland. “Komentar: Staatliche Parteienfinanzierung. Echte oder imitierte
Reform?“, Bundeszentrale fuer politsiche Bildung, 26/10/2016, http://www.bpb.de/236206/kommentar-sta-
atliche-parteienfinanzierung-echte-oder-imitierte-reform
121 Ibid, Rolf Winkelmann, hal. 149-151
122 Holger Haibach, Kathrin Schneider dan Frriederike Haerter, “Chile politisches System geraet in eine Vertrau-
enkrise“, Konrad Adenauer Stiftung e.V.Februari 2015, www.kas.de/chile
123 The Subsidi Act for Political Parties, 22 Juli 2011, www.partylaw.leidenuniv.nl
124 Op. Cit, Oskar Niemeyer.
125 Op. Cit, Miriam Kosmehl dan Andreas Umland.
126 The Subsidi Act for Political Parties, 22/7/2011, www.partylaw.leidenuniv.nl
127 “Brazil Congress advances bill to curb party proliferation”, Reuter 6 September 2017, https://www.reuters.
com/article/us-brazil-politics-reform/brazil-congress-advances-bill-to-curb-party-proliferation-idUSKCN1BH020
128 Op. Cit, Rolf Winkelmann, hal. 145-146

35
landa.129
e. Tergantung pada keterpilihan perempuan dan kaum muda seperti di Kolumbia. Di sana,
masing-masing 5 persen dana Negara dialokasikan secara proporsional kepada partai-partai
yang berketerwakilan perempuan dan kaum muda sebagai subsidi tambahan.130
f. Tambahan dana Negara tergantung pada organisasi politik kaum muda yang dimiliki oleh
partai parlemen macam di Belanda. Tahun 2010 ditetapkan 529.269 Euro dibagi jumlah total
kaum muda anggota organisasi tersebut.131
g. Tambahan dana Negara tergantung pada lembaga penelitian yang dimiliki oleh partai parle-
men macam di Belanda.132
h. Tergantung pada pos pemasukan/penerimaan partai macam di Jerman. Di Jerman misalnya,
setelah dua kali revisi hasil putusan Mahkamah Konstitusi, subsidi Negara kepada parpol
itu berangkat dari pemikiran, bahwa berdasarkan UUD Jerman, parpol diakui sebagai organ
konstitusi (bandingkan dengan pasal 23E ayat 3 UUD 1945) dan ikhtiar pembebasan pen-
danaan parpol dari ketergantungan pada dermawan kelas kakap tapi tetap mengandalkan
dana anggota dan pemasukan swadaya lainnya serta sekaligus tak tergantung pada Negara.
Sehingga yang terjadi adalah perimbangan antara dana swadana (utamanya iuran anggota)
dan swadaya lainnya (contoh: besar sumbangan donatur yang ditentukan batas maksimal-
nya) dengan dana Negara. Sehingga ketentuannya: besar maksimal perolehan dana Negara
harus setara dengan penerimaan partai dari usaha swadaya.133

Contoh:

Selain dari perolehan suara, partai-partai di Jerman memperoleh dana Negara berkat upayanya
menarik iuran anggota dan sumbangan terbatas simpatisannya. Untuk setiap 1 (satu) Euro, partai
memperoleh 0,45 Euro.

129 The Subsidi Act for Political Parties, 22 Juli 2011, www.partylaw.leidenuniv.nl
130 Fransje Molenaar, ”Latin American regulation of parties: Continuing trends and breaks with the past “, Leiden University
Maret 2012, hal. 20 dan 26
131 Ibid, The Subsidi Act for Political Parties.
132 Ibid
133 Heinrich Pele, “Parteien in Deutschland: Die Finanzierung der Parteien in Deutschland”, Bundeszentrale für politische
Bildung 20 Mei 2015, http://www.bpb.de/politik/grundfragen/parteien-in-deutschland/42042/finanzierung

36
Besar Dana Negara Untuk Partai 134

1 2 3 4 5 7
Hak Hibahan
Ambang Batas Ambang Batas
Suara Hak Hibahan Potongan
Relatif Absolut
Pajak
§ 19a UU § 18 UU § 18 UU § 18 & § 19a UU § 18 & § 19a UU
Parpol Parpol Parpol Parpol Parpol
Jumlah Total anggaran
PARPOL (kolom 2 untuk 2016
4 juta suara Penerimaan + 3) ditetapkan
0,45 € per
kali 1,00 €, sesuai 160.519.363
1,00 € Iuran
selebihnya Laporan Keuan- €. Karenanya,
& Sumbangan
kali 0,83 € gan pemotongan
dilakukan secara
proporsional
Jiwa € € € € €
CDU 33.102.521 28.155.093 28.997.721 93.128.807 57.152.813 49.503.883
SPD 29.406.271 25.087.205 33.544.751 106.180.035 58.631.956 50.782.068
Freie
1.576.692 1.576.692 298.173 2.232.934 1.874.864 1.623.946
Wähler
Tierschutz-
444.896 444.896 0 142.655 444.896 123.563
partei

Tabel 5. Besar Dana Negara untuk Partai di Jerman

Mula-mula, setiap tahunnya ditetapkan besarnya dana Negara untuk partai dalam APBN. Untuk
tahun 2016 ditetapkan 160.519.363 Euro. Yang jelas, dana tersebut lebih kecil ketimbang hak per-
olehan dana Negara yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dana Negara dibagi secara proporsional ke-
pada setiap partai.

Tapi berapakah hak perolehan dana Negara setiap partai?

Simak perolehan dana Negara Tierschutzpartei yang diwakili hanya di beberapa parlemen daerah.
Secara perolehan suara, partai ini berhak memperoleh 444.895 Euro. Tapi penerimaan partai cuma
142.655 Euro, di mana para anggota dan simpatisannnya sama sekali tidak berkontribusi. Alhasil,
Tierschutzpartei hanya berhak menerima maksimal 142.655 Euro. Akan tetapi oleh karena dana par-
tai dalam APBN dibatasi, maka secara persentual Tierschutzpartei hanya memperoleh 123.563 Euro
saja.

Jika semua model-model pendanaan Negara itu dirangkum, menurut Zamara dan Zovatto, per tahun-
nya setiap pemilih terdaftar di 25 Negara demokratis menerima subsidi dana langsung dari Negara
sebagai berikut:

134 Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel für das Jahr 2016, 17 März 2017”, https://
www.bundestag.de/blob/503226/eb02070236090c98b3ca24ce9dfc57fa/finanz_16-data.pdf

37
Sumber:
(Kevin Casas-Zamora dan Daniel Zovatto, “The Cist of Democracy: Campaign Finance Regulation in Latin
America”, Latin America Initiative Foreign Policy at BROOKINGS, Policy Brief Juli 2015, hal. 13)

Tabel 6. Subsidi Tahunan Langsung Negara kepada Pemilih di 25 Negara era 1990-an

Perbandingan Pendanaan Negara Langsung Dengan Dana Swadaya

Salah satu kritik Koole terhadap konsep Partai Kartel adalah tidak adanya ketetapan misalnya, dise-
but Partai Kartel bila “lebih dari 50 persen sumber pendanaan partai didanai oleh Negara”.135 Berkat
prinsip pemasukan partai harus setara dengan pendanaan langsung dari Negara di Jerman, maka sub-
sidi Negara terhadap pos pemasukan partai-partai hanya tercatat 34,78 persen pada tahun 2017.136
Pada tahun 2014, dana langsung dari Negara tercatat 32,10 persen pemasukan partai-partai pener-
ima dana Negara.137

135 Ruud Koole, ”Cadre, Catch-All or Cartel?”, Vortragsunterlagen zu Proseminar Politische Parteien, Institut für Politik-
wissenschaft Universitaet Bern, 22. Juni 2000, http://www.andreasladner.ch/dokumente/seminarvortraege/ss00vor09.
html
136 Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel fuer das Jahr 2017”, 22/2/2018, hal. 4 https://www.bund-
estag.de/blob/545418/dcecfbd89403d01611008aadc5b8f579/finanz_17-data.pdf
137 Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel fuer das Jahr 2014”, 4 Maret 2015, hal. 4, https://www.
bundestag.de/blob/366662/36a18e3c676973a5ea88bafe9bac761b/finanz_14-data.pdf

38
Tabel 7. Porsi Pendanaan dari Negara di Jerman

Rolf Winkelmann, “Auswirkungen der Veraenderung der Parteienfinanzierung in Estland”,


PRUF – Mitteilungen des Instituts Fuer Deutsches und Internationales Parteienrecht und
Parteienforschung, Heinrich Heine Universitaet Duesseldorf, Tahun ke 20/2014, hal. 39,
http://www.pruf.de/fileadmin/redaktion/Oeffentliche_Medien/PRuF/MIP/MIP_2014.pdf

Ketergantungan partai dari dana Negara di Jerman sangat kontras dengan salah satu Negara di Eropa
Timur, yaitu Islandia.

Besarnya ketergantungan partai pada dana Negara, tentu membahayakan kehidupan partai itu sendiri.
Partai-partai di Islandia membentuk kartel, yang stabilitasnya belum tentu terjamin. Partai-partai
baru bisa dilahirkan dan mencabik kartel tersebut (tingginya ketidakpuasan, topik-topik baru dsb).
Dengan tingginya subsidi Negara ini, maka prinsip keadilan dan persamaan peluang bagi setiap partai
menjadi terbatas. Persaingan antar partai akhirnya hanya terbatas pada persaingan antar partai yang
berada dalam parlemen belaka.138

Ketergantungan yang tinggi pada dana Negara juga ditemui misalnya di Polandia. Di sana, pengakaran
partai di masyarakat lemah. Kurang dari 1 (satu) persen masyarakat yang berhak memilih terdaftar
sebagai anggota partai. Sementara itu, di Jerman tercatat 3,8 persen dan di Austria bahkan mencapai
23,9 persen. Akibatnya, dua partai terkuat di parlemen Polandia, yaitu PO dan PiS, keduanya cuma
bisa mengumpulkan secara total 5 persen pemasukan/penerimaan dari iuran anggotanya. Sehingga,
harapan buat menaikan pos pemasukan iuran anggota menjadi impian belaka. Maka, subsidi Negara
menjadi mutlak diperlukan.139

138 Rolf Winkelmann, “Auswirkungen der Veraenderung der Parteienfinanzierung in Estland”, PRUF – Mittei-
lungen des Instituts Fuer Deutsches und Internationales Parteienrecht und Parteienforschung, Heinrich Heine
Universitaet Duesseldorf, Tahun ke 20/2014, hal. 40. http://www.pruf.de/fileadmin/redaktion/Oeffentliche_
Medien/PRuF/MIP/MIP_2014.pdf
139 Florian Wittman dan Thoms Zapart, “Ein gescheitertes Referendum ohne Gewinner? – Wahlrecht und Parteien-
finanzierung im polnischen Parteinsystem auf dem direktdemokratischen Pruefstand”, POLEN_ANALYSEN NR. 168, 15 Sep-
tember 2015, hal. 5. Lihat juga Peter Mair and Ingrid van Biezen, “Party Membership in Twenty European Democracies,
1980-2000“, Party Politics Vol. 7 No. 1, London 2001, hal. 16

39
Perbandingan Antara Pendanaan Negara Langsung Dengan Biaya Pemilu

Mengukur besarnya pendanaan Negara secara langsung kepada partai-partai itu, mungkin juga dapat
diketengahkan perbandingannya dengan pendanaan Negara langsung seperti di bawah ini:

Ongkos Pileg Dana Parpol


Negara
Besar Tahun Besar Tahun

DPR dan DPRD Jerman *) 317 juta € * 2013 157 juta € 2014

DPR Prancis *** 440 juta € 2012 (2 putaran) 71 juta € 2012


DPR Indonesia **** 1,6 milyar € 2014 0,9 juta € 2014

Tabel 8. Perbandingan Pendanaan Negara Langsung dengan Biaya Pemilu

*) Berdasarkan perhitungan sendiri yang mengacu pada penghitungan biaya pileg DPR 77 juta Euro (“Die
Bundestagswahl wird so teuer wie nie“, RP Online 26 Agustus 2017, https://rp-online.de/politik/deutschland/
bundestagswahl/wie-teuer-wird-die-bundestagswahl-2017-deutlich-mehr-kosten-als-2013_aid-17690165)
ditambah dengan ongkos pileg DPRD Jerman yang diperoleh dari perkalian biaya pileg DPRD 2012 sebe-
sar 15 juta Euro di Nordrhein-Westfallen sebagai Negara bagian (setara provinsi) terbesar dan terpadat
dikalikan 16 Negara bagian (Nina Giaramita, „Der Preis des Neuanfangs“, WDR 16 Maret 2012, https://
www1.wdr.de/archiv/neuwahl/nrwwahl106.html)
.
***) Biaya pileg nasional berdasarkan perhitungan sendiri yang mengacu pada penjelasan Kedutaan Besar
Perancis di Jerman ). “Parteienfinanzierung in Frankreich“, Franzoesische Botschaft Maret 2012, https://
de.ambafrance.org/Parteienfinanzierung-in-Frankreich

****) 13,42 Milyar Rupiah (Anggaran Kenaikan Dana Parpol Ditargetkan Masuk APBN 2017, Detiknews
2/7/2017, https://news.detik.com/berita/d-3548279/anggaran-kenaikan-dana-parpol-ditargetkan-ma-
suk-apbn-p-2017} dan “Anggaran total Pemilu 2014 Rp24,1 T“, SindoNewas 15 Maret 2013, https://
nasional.sindonews.com/read/ 727799/12/anggaran-total-pemilu-2014-rp241-t-1363353173).
Penghitungan dalam Euro berdasarkan kurs 31 Desember 2014, yaitu Rp 15.210 (https://kursdollar.net/
history-kurs/2014/Desember/31/)

Dari perbandingan antara biaya pemilu dengan pendanaan Negara kepada partai di atas, maka dapat
dilihat betapa minimnya dana Negara di Indonesia kepada partai.

Satu catatan yang perlu diketengahkan adalah tidak adanya data lengkap tentang dana parpol di In-
donesia. Yang ada hanyalah secara nasional. Misalnya dana parpol yang semula Rp 108 per suara naik
menjadi Rp 1.000.140 Berbeda dengan di Negara federal seperti Republik Federasi Jerman. Perolehan
dana per suara yang didapatkan oleh partai seragam dari tingkat nasional sampai daerah. Berkeba-
likan dengan di Indonesia sebagai negara kesatuan, dana yang diperoleh partai berbeda antara yang
di tingkat nasional dengan di tingkat daerah. Misalnya di kota Kediri per suara Rp. 4.675.141

140 “Naik 10 Kali Lipat, Berapa Dana yang Akan Diterima Setiap Parpol?”, KOMPAS.com 29 Agustus 2017, https://nasi-
onal.kompas.com/read/2017/08/29/13521341/naik-10-kali-lipat-berapa-dana-yang-akan-diterima-setiap-parpol
141 Pasal 3 Peraturan Walikota Kediri Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Kediri Nomor
38 Tahun 2014 Tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggunggawaban

40
Penerimaan Dana Negara Langsung Dengan Kegiatan Partai

Joerg Brauchli dan Simon Roethlisberger Swis misalnya mengusulkan Indeks-Ketergantungan Dana
Negara pada Prestasi Partai.142 Selain berkat perolehan suara dana Negara dikucurkan, maka yang
dimaksudkan dengan aktivitas adalah yang bersifat eksternal seperti:

a. Kegiatan di parlemen.
b. Menginisiasi masyarakat misalnya untuk bereferendum, berpetisi.
c. Kegiatan non parlemen seperti inisiator demonstrasi, pemberian info kepada publik, dialog
dengan publik, diskusi publik, workshop terbuka terhadap topik-topik politik aktual, mem-
buat pernyataan, kesertaan dalam pembuatan pernyataan bersama.

Lewat indeks ini, diharapkan partai-partai tidak hanya giat pada masa-masa pemilu saja, melainkan
pada masa-masa bebas pemilu, sehingga partai dapat menjalankan peranannya sebagai agen parti-
sipasi masyarakat ke dalam kehidupan berNegara. Artinya, partai tidak cuma dihadiahi dana Negara
berdasarkan perolehan suara saja, akan tetapi juga berdasarkan akitivitas partai dari satu pemilu ke
pemilu selanjutnya. Seperti Mexksico misalnya dianggap sebagai bukti kegunaan pendanaan Negara.
Selain itu, pendanaan Negara terhadap partai berperan terhadap menurunnya potensi korupsi poli-
tik. Bukankah sudah saatnya partai diberikan kesempatan untuk membuat tata kelola yang profe-
sional dan proporsional melalui dukungan Negara dan pengoptimalan sumber daya internalnya?.

Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Periode 2014-2019.


142 Joerg Brauchli dan Simon Roethlisberger, “Parteienfinanzierung: Bab 8. Idealtypus: Leistungsabhängige Parteien-
finanzierung (LAP)”, Institut füer Politikwissenschaft Universitaet Bern, 14 Mei 2001. www.andreasladner.ch/dokumente/
seminarvortraege/SS01_parteienfinanzierung.doc

41
Contoh kegiatan partai di luar periode pemilu ataupun kampanye

Partai Uni Kristen Jerman (CDU) turun ke jalan. Informasi publik Partai Sosdem Jerman (SPD) di
jalan

Kegiatan Demonstrasi Partai Aliansi Untuk Jerman Piknik bersepeda Partai Sosdem Jerman (SPD)
(AfD)

Rapat Anggota Partai Hijau dengan ceramah Menyongsong Hari Anak-anak, Partai Kiri
anggota parlemen Partai Hijau Karl Baertentang menyelenggarakan pesta anak-anak.
Politik Pertanian

42
Pendanaan Negara Langsung Kepada Partai di Indonesia

Tabel 9. Subsidi APBN Partai Indonesia

Pemilu Payung Hukum Besaran Keterangan

1999 Undang-undang No. 2/1999 Rp 1.000/suara Era Habibie

Peraturan Pemerintah No. 51/2001 Era Abdurahman Wahid (Gus Dur)

Era Megawati

2004 Peraturan Pemerintah No. 29/2005 Rp 21 juta/kursi Era SBY Periode I

Peraturan Pemerintah No. 37/2006 Tunjangan komunikasi intensif &


dana operasional Pimpinan dan
Anggota DPRD

Undang-undang No. 2/2008

2009 Peraturan Pemerintah No. 5/2009 Rp 108/suara Era SBY Periode II

Permendagri No. 24/2009

SK Mendagri No. 212/2009

Undang-undang No. 2/2011

2014 Peraturan Pemerintah No. 1/2018 Rp 1.000/suara Era Jokowi

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)


Sumber data diolah

43
44
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Partai

1. Mayoritas partai-partai di Indonesia yang didirikan setelah reformasi, cenderung tergolong


dalam “catch-all parties” yang tampil dalam semboyan “all of the people, all of the time”. Par-
tai-partai dibangun dari atas (elit) ke bawah (akar rumput), bukan sebaliknya. Masa waktu
yang dibutuhkan untuk pendirian pendek. Umumnya terpusatkan pada personal atau figur
elite partai. Usaha dalam membangun keanggotaan partai seringkali hanya terfokus pada
rekrutmen kandidat menjelang pemilu dan pilkada. Bernafaskan partai elitis. Berjarak dari
pemilih.
2. Partai-partai di Indonesia juga memiliki kecenderungan menjadi partai pemilu profesional.
Dimana keterlibatan kalangan profesional, seperti konsultan politik ataupun marketing poli-
tik, mewarnai kebijakan partai.
3. Posisi Partai. Terjadi pergeseran posisi partai yang awalnya berada pada posisi sebagai per-
antara antara masyarakat dengan Negara (party catch-all), memiliki potensi menjadi agen
semi Negara ataupun agen Negara, partai kartel.
4. Saat ini, partai-partai di Indonesia memiliki potensi menjadi partai kartel. Ini dapat dilihat
dari meningkatnya ketergantungan partai pada sumber keuangan Negara. Ketergantungan
tersebut menjadikan partai makin berjarak dengan konstituen, yang seharusnya menjadi
basis sumber keuangannya melalui iuran anggota.
5. Perilaku partai kartel, menumbuhkan klientisme yang tinggi. Ini ditandai dengan makin
melemahnya disiplin organisasi dan program partai. Di saat bersamaan, meningkatnya
keakraban hubungan antara partai dengan Negara, berpotensi memunculkan kartelisasi yang
berorientasi menguras keuangan Negara.
6. Orientasi Partai. Partai-partai di Indonesia tidak memperlihatkan orientasi yang kuat pada
aspek kebijakan (policy-seeking). Iklim demokrasi kompetisi, justru membuat partai lebih ber-
orientasi pada pemenangan suara (vote-seeking). Dan selanjutnya digunakan meningkatkan
posisi tawar, dalam rangka mendapatkan atau mempertahankan posisi (office-seeking) se-
bagai orientasi yang dominan.

Pendanaan Partai oleh Negara

1. Paradigma. Pendanaan partai oleh Negara tidak memiliki paradigma yang jelas. Pada kasus
Indonesia, jika dilihat dari sekuel waktu, terlihat produk hukum yang menentukan besaran
dana bantuan Negara terhadap partai. Jumlahnya juga naik-turun, tanpa diikuti argumen
yang memadai mengapa besaran tersebut diberikan.
2. Basis Penghitungan. Begitu juga dengan basis orientasi dana bantuan Negara kepada partai.
Dari yang sebelumnya berdasarkan suara, berubah menjadi perolehan kursi, dan berubah
lagi menjadi perolehan suara.
3. Penetapan sasaran tipologi partai yang hendak diraih melalui pendanaan negara.

45
A. Mengelak Pembentukan “Catch-All-Party” dan sekaligus melembagakan partai. Pen-
danaan negara dikaitkan bukan hanya berdasarkan perolehan suara atau perolehan kursi
parlemen, melainkan juga aktivitas partai dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Seba-
gian kiat dalam rangka mengelak pembentukan Partai Kartel juga dapat dimanfaatkan.
B. Mengelak Pembentukan “Partai Kartel” dan sekaligus melembagakan partai.

Ciri-ciri Partai Kartel Usulan Menangkal Munculnya Partai Kartel


Bagian dari aparat Negara Regulasi negara
Dengan partai-partai senasib membentuk kartel Demi keadilan dan kesetaraan kesempatan partai
buat menangkal masuknya partai-partai lain demi peserta pemilu dengan persentase suara tertentu
mempertahankan porsi kue Negara berhak memperoleh dana Negara meski gagal masuk
ke parlemen; Transparansi keuangan (misal publikasi
di internet)

Partai lebih tergantung pada dana Negara ketim- Dana Negara tidak boleh melebihi penerimaan/pe-
bang iuran/sumbangan anggota masukan partai atau tergantung pada iuran/sumban-
gan anggota

Struktur organisasi ke basis hanyalah legitimasi, Harus berdemokrasi internal (misal KPU mengawasi/
bukan sebagai fungsi sumber masukan ataupun menghadiri rapat pemilihan caleg)
pendapat

Profesionalisasi kompetisi antar partai, kompetisi Dana Negara tergantung juga pada kegiatan par-
menjadi padat modal dan bukan padat kerja tai diukur lewat indeks kegiatan (a.l. regular party
congresses), atau memiliki organisasi politik pemuda
atau lembaga riset.

Keanggotaan jadi atomized dan tanpa kekuasaan, Demokrasi internal (misal KPU mengawasi/menghad-
meski secara formal demokratis, tapi anggota tak iri rapat pemilihan caleg), pre-election
bisa menggoncangkan kedudukan pimpinan atau
kebijakan partai

Hubungan otonomi antara pusat dan daerah Dana Negara jadi satu dengan pembagian misalnya
pusat 80% dan daerah 20%, sehingga laporan keuan-
gan jadi satu

Politik dipahami sebagai manajemen, bukan Demi keadilan dan kesetaraan kesempatan partai
meraih tujuan-tujuan sosial, tujuan utamanya peserta pemilu dengan persentase suara tertentu
tetap bercokol di kekuasaan berhak memperoleh dana Negara meski gagal masuk
ke parlemen;
Alhasil parpol baru memiliki kemungkinan didirikan
sebagai kritik terhadap parpol establishment

Partai bukan lagi penghubung antara masyarakat Dana Negara tergantung juga pada kegiatan par-
dengan Negara, melainkan badan yang disediakan tai diukur lewat indeks kegiatan (a.l. regular party
oleh Negara untuk memilih tawaran pendapat, tapi congresses), atau memiliki organisasi politik pemuda
dari spektrum terbatas atau lembaga riset

Sumber: disarikan dari Ruud Koole, ”Cadre, Catch-All or Cartel?“, Vortragsunterlagen zu Proseminar
Politische Parteien, Institut für Politikwissenschaft Universitaet Bern, 22. Juni 2000. http://www.
andreasladner.ch/dokumente/seminarvortraege/ss00vor09.html

Tabel 10 Ciri-Ciri Partai Kartel Dan Kiat Penangkalan

46
Rekomendasi

1. Perlu ada paradigma yang digunakan dalam hal pendanaan partai. Misalnya, paradigma ma-
najerial yang bertujuan melestarikan tatanan demokratik suatu Negara. Dengan demikian
memberikan kewenangan bagi Negara mengatur perilaku dan organisasi partai. Oleh karena
keterbatasan yang dimiliki oleh suatu paradigma, maka hendaknya juga dikawinkan dengan
paradigma-paradigma yang lain.

2. Sebagai organ konstitusi sekaligus instrumen demokrasi. Subsidi negara hendaknya ditu-
jukan agar setiap partai memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam merawat dan
menjaga tatanan demokrasi.

3. Selama ini basis bantuan dana Negara didasarkan pada perolehan suara. Perlu dipertimbang-
kan alternatif lain. Misalnya, berdasarkan aktivitas partai di luar periode pemilu ataupun
kampanye, komitmen partai dalam memfasilitasi kaum muda dan perempuan berorganisasi,
lembaga riset atau pelatihan, dan sebagainya.

4. Secara prinsip, pendanaan partai dari Negara diarahkan sebagai instrumen serta insentif
yang mampu menumbuhkembangkan mekanisme demokrasi internal partai.

5. Jika bantuan keuangan Negara untuk partai hendak dinaikan, perlu ada reformasi internal
partai dan syarat tambahan buat memperoleh dana Negara.

47
Bahan Pustaka

Allen, Kieran, “Max Weber: A Critical Introduction”, Pluto Press, Ann Arbor, MI, London, 2002.
Ambardi, Kuskridho, “The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and It’s
Origin”, Dissertation, The Ohio State University, 2008.
Aminuddin, M. Faishal dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan
Munculnya Spesies Baru Partai di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik, Vol. 1, No. 1,
Agustus 2015.
Aspinall, Edward, Diego Fossati, Burhanuddin Muhtadi, and Eve Warburton, “Mapping the Indonesian
Political Spectrum”, New Mandala, 24 April 2018.
Biezen, van Ingrid, “Public Funding and Regulation of Political Parties”, European Review, Vol. 16, No.
3, 2008.
Biezen, van Ingrid, “Campaign and Party Finance”.
Brauchli, Joerg dan Simon Roethlisberger, “Parteienfinanzierung: Bab 8. Idealtypus: Leistungsabhängige
Parteienfinanzierung (LAP)”, Institut für Politikwissenschaft Universitaet Bern, 14 Mei 2001.
______. “Brazil Congress advances bill to curb party proliferation”, Reuter 6 September 2017.
Casas-Zamora, Kevin, “The state of political finance regulations in Latin America”, International IDEA
Discussion Paper 12/2016.
Casas-Zamora, Kevin, “Introduction in Public Funding Solution for Political Parties in Muslim- Majority
Societies“, IFES Washington 21 Juli 2009.
Cooke, Murray, “The CCF-NDP: “From Mass Party to Electoral-Profesional Party”, Canadian Political
Science Association, York University, 2006.
Cordes, Doris “Die Finanzierung der politischen Parteien Deutchlands, Oesterreichs und der Niederlande”,
Carl von Ossietazky Universitaet Oldenburg, Fachbereich 3 Sozialwissenschaften, 2002.
Dalton, Russel and Manfred Kuechler (eds)., “Challenging the Political Order: New Social and Political
Movement in Western Democracies”, Oxford University Press, New York, 1990.
______. Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel für das Jahr 2017”, 22/2/2018.
______. Deutscher Bundestag, “Festsetzung der staatlichen Mittel für das Jahr 2016”, 17 März 2017.
Duverger, Maurice, “Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State”, Second En-
glish Edition, Methuen & CO. Ltd, London,1959.
Ezrow, M. Natasha, Briefing Paper: “The Importance of Parties and Party System Institutionalization in
New democracies”, Institute for Democracy and Conflict Resolution, 2011.
Falguera, Elin, Samuel Jones and Magnus Ohman (eds)., “Funding of Political Parties and Election
Campaigns: A Handbook on Political Finance”, IDEA (International Institute for Democracy
and Electoral Assistance), Stockholm, Sweden 2014.
Filipponi, Daniel, “Aktuelle Organisationtypologien politischer Parteien vor dem Hintergrund normativer
Demokratieparadigmen”, Soziologischer Institut der Universität Zürich, Oktober, 2005.
Gunther, Richard, Jośe Ramón Montero and Juan Linz (eds)., “Political Parties: Old Concepts and New
Challenges”, Oxford University Press, Oxford, 2002.
Gunther, Richard and Larry Diamond, “Species of Political Parties: A New Typology”, Party Politics
2003, Vol. 9, SAGE Publications, 2003.
Haibach, Holger, Kathrin Schneider dan Frriederike Haerter, “Chile politisches System geraet in eine
Vertrauenkrise“, Konrad Adenauer Stiftung e.V., Februari 2015.
Huntington, P. Samuel P, “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century”, Univer-
sity of Oklahoma Press, 1991.
Junaidi, Veri dkk, “Anomali Keuangan Partai: Pengaturan dan Praktek”, Perludem, Yayasan Manikaya,
Kopel Makasar, dan Kemitraan, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, cetakan I,
November 2011.

48
Kartawidjaja, R. Pipit dan Faisal Aminuddin, “Demokrasi Elektoral Jilid I”, Sindikasi, Surabaya, 2014.
Katz, S. Richard and Peter Mair, “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The
Emergence of the Cartel Party”, the American Political Science Association, SAGE.
Katz, S. Richard and Peter Mair (eds)., “How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organi-
zations in Western Democracies”, SAGE Publication, London, 1994.
Kosmehl, Miriam dan Andreas Umland. “Komentar: Staatliche Parteienfinanzierung. Echte oder imi-
tierte Reform?“, Bundeszentrale fuer politische Bildung, 2016.
Kosmehl, Miriam dan Andreas Umland. “Staatliche Parteienfinanzierung. Echte oder imitierte Reform?“,
UKRAINE-ANALYSEN NR. 174, 25 Oktober 2016.
LaPalombara, Joseph and Myron Weiner (eds)., “Political Parties and Political Development”, Princeton
University Press, NJ, 1990.
Lawson, Kay and Peter H. Merk (eds)., “Alternatif Organization: Environtmental, Supplementary, Com-
munitarian, and Antiauthoritarian”, Princeton University Press, Princeton NJ, 1988.
Mair, Peter and Ingrid van Biezen, “Party Membership in Twenty European Democracies, 1980-2000“,
Party Politics Vol. 7 No. 1, London 2001.
Moens, Pieter, “Political Parties as Electoral-Profesional Machines: An empirical Research Agenda”,
Section 16: Party Politics – Party Structure and Organization, ECPR Graduate Student Con-
ference, Tartu.
Molenaar, Fransje, ”Latin American regulation of parties: Continuing trends and breaks with the past“,
Leiden University Maret 2012.
Nassmacher, Karlz-Heinz, “Die Kosten der Parteitaetigkeit in Westlichen Demokrateien”, OeZP, 2002.
Neumann, Sigmund, “Towards a Comparative Study of Political Parties”, in Sigmund Neumann (eds)
“Modern Political Parties”, Chicago, IL, Chicago University Press.
Niemeyer, Oskar, “Staatliche Parteienfinanzierung”, Bundeszentrale fuer politische Bildung, 2017.
Nolte, Detlef, “Lateinamerikas Parteien zwischen Volatilitaet und Beharrung“, Lateinamerika Jahrbuch
2000, Hamburg 2000
Norris, Pippa, “Driving Democracy: Do Power Sharing Institution Works?”, Cambridge University Press,
Cambridge, 2008.
Ostrogoski, M.I, “Democracy and the Organization of Political Parties”, Macmillan, London, 1902.
______. „Parteiendemokratie“, Information zur politischen Bildung No. 207, Bonn 1996
Payne, J. Mark, Daniel Zovatto G., Fernando Carrillo Flórez, Andrés Allamand Zavala, “Democracies in
Development: Politics and Reform in Latin America”, the Inter-American Development Bank
and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, The Johns Hopkins
University Press, Washington, D.C, 2002.
Pele, Heinrich “Parteien in Deutschland: Die Finanzierung der Parteien in Deutschland”,
Bundeszentrale für politische Bildung 20 Mei 2015.
Rich, Roland, “Analysing and Categorising Political Parties in Pacific Island”.
Roth, Guenther and Claus Wittich (eds)., “Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology”, University of California Press, Berkeley and Los Angeles, California, 1978.
Simon, János, “The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium”, Working Paper
núm. 221, ICPS, Barcelona, 2003.
Speck, Wilhelm Bruno, “Der Kandidatbraucht Geld”, Der Überblickt Februari 2006.
Strmecki, Mik,”The Political Party Phenomenon as the Major Underpinning and at Times a Conduit
for the Demise of Democracy & Rechtstaat”, Transylvanian Review of Administrative
Sciences (TRAS), No. 20 E/June 2007.

49
Strøm, Kaare and Wolfgang Müller (eds)., “Policy, Office, or Votes?: How Political Parties in West Eu-
rope Make Hard Decisions”, Cambridge University Press, London, 1999.
_______The Subsidi Act for Political Parties, 22/7/2011.
Ufen, Andreas, ”Parteienfinanzierung und politische Korruption in Suedostasien“, GIGA Focus
6/2015.

Vernardakis, Christoforos, “From Mass Parties to Cartel Parties: The Evolution of the Structure of Po-
litical Parties in Greece through Changes in their Statutes and Systems of Financing”, Working
Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties, No. 27, 2012.
Weber, Max, “Wirtschaft und Gesellschaft”, J.C.B. Mohr (Paul Siebeck), Tuebingen, 1980.
Winkelmann, Rolf, “Politik und Wirtschaft im Baltikum”, Carl von Ossietzky Universität Oldenburg, 2007.
Winkelmann, Rolf, “Auswirkungen der Veraenderung der Parteienfinanzierung in Estland”, PRUF – Mit-
teilungen des Instituts Fuer Deutsches und Internationales Parteienrecht und Parteienfor-
schung, Heinrich Heine Universitaet Duesseldorf, 2014.

Wisendhal, Elmar, “Parteien und Demokratie: Eine spziologische Analyse paradigmatischer Ansätze der
Parteienforschung”, Opladen: Leske und Budrich, 1980.
Wittman, Florian und Thoms Zapart, “Ein gescheitertes Referendum ohne Gewinner?: Wahlrecht und
Parteienfinanzierung im polnischen Parteinsystem auf dem direktdemokratischen Pruefstand”,
POLEN_ANALYSEN NR. 168, 15 September 2015.
Wolinetz, B. Steven, “Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Orga-
nization in Contemporary Democracies”.

50
Daring:

• www.andreasladner.ch/dokumente/seminarvortraege/SS01_parteienfinanzierung.doc
• http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42277024
• http://www.bpb.de/politik/grundfragen/parteien-in-deutschland/42042/finanzierung
• http://www.bpb.de/236206/kommentar-staatliche-parteienfinanzierung-echte-oder-imiti-
erte-reform
• http://www.bpb.de/politik/grundfragen/parteien-in-deutschland/zahlen-und-fakten/42240/
staatliche-parteienfinanzierung
• https://www.bundestag.de/blob/545418/dcecfbd89403d01611008aadc5b8f579/fi-
nanz_17-data.pdf
• https://www.bundestag.de/blob/503226/eb02070236090c98b3ca24ce9dfc57fa/fi-
nanz_16-data.pdf
• http://www.der-ueberblick.de/ueberblick.archiv/one.ueberblick.article/ueberblickc417.htm-
l?entry=page.200602.046
• https://etd.ohiolink.edu/!etd.send_file?accession=osu1211901025&disposition=inline
• www.kas.de/chile
• https://rp-online.de/politik/deutschland/bundestagswahl/wie-teuer-wird-die-bundestagswahl-
2017-deutlich-mehr-kosten-als-2013_aid-17690165
• https://www1.wdr.de/archiv/neuwahl/nrwwahl106.html
• https://news.detik.com/berita/d-3548279/anggaran-kenaikan-dana-parpol-ditargetkan-ma-
suk-apbn-p-2017
• h t t p s : // n a s i o n a l . s i n d o n e w s . c o m / r e a d / 7 2 7 7 9 9 / 1 2 / a n g g a r a n - t o t a l - p e m i -
lu-2014-rp241-t-1363353173
• http://www.newmandala.org/mapping-indonesian-political-spectrum/
• www.partylaw.leidenuniv.nl
• http://www.pruf.de/fileadmin/redaktion/Oeffentliche_Medien/PRuF/MIP/MIP_2014.pdf
• https://www.reuters.com/article/us-brazil-politics-reform/brazil-congress-advanc-
es-bill-to-curb-party-proliferation-idUSKCN1BH020
• http://rtsa.ro/tras/index.php/tras/article/viewFile/369/359
• https://sites.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Chapter%205%20Van%20Biezen%20Cam-
paign%20and%20party%20finance.pdf
• https://ugm.ac.id/id/berita/4509-kelembagaan.partai.politik.indonesia.masih.lemah

51
Indonesia telah melaksanakan empat kali pemilihan umum (pemilu) paska reformasi. Pemilu 1999,
2004, 2009, dan 2014. Selama empat kali pemilu itu sistem dan undang-undang (UU) pemilu terus
berubah. Salah satu keberhasilan dari empat kali pemilu itu yakni adanya mekanisme pergantian
kepemimpinan secara reguler dan damai.

Namun, pada kenyataannya, berbagai perubahan yang telah berlangsung selama empat kali periode
pemilu, belum memerlihatkan tatanan politik dan pemerintahan demokratis seperti yang dicita-cita-
kan melalui gerakan reformasi.

Masih tingginya volatilitas sistem kepartaian. Tendensi serta munculnya gejala parlementarisasi
sistem presidensialisme. Meningkatnya korupsi politik di penyelenggaraan pemilu dan pilkada.
Kelembagaan eksekutif dan legislatif yang masih diperdebatkan fungsi dan peranannya, adalah seba-
gian kecil contoh persoalan yang dihadapi sistem pemilu dan demokrasi kita.

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) hadir untuk merespon persoalan-persoalan tersebut. Kemu-
nculan SPD di tengah hiruk-pikuk sistem pemilu dan demokrasi diharapkan mampu menjadi warna
pembeda. Menjadi kanal pemikiran baru yang secara konsisten menyediakan alternatif ide dan ga-
gasan mendalam. Melalui ide genit, nakal, bernas, tentang sistem pemilu dan demokrasi. Dengan
demikian, dapat diharapkan ada kontribusi positif terkait dengan debat wacana dan tukar gagasan.

Lembaga ini terbentuk atas dasar kegelisahan dan kesadaran bersama diantara para pendirinya. Teru-
tama tentang pemilu, demokrasi, dan Indonesia. Dari kongkow, rapat ke rapat, persebaran email, ide
dari secarik kertas kemudian tertuang menjadi kertas kerja.

Sejatinya, nama SPD sudah dikenal dan wara-wiri di tengah pergumulan penggiat pemilu dan demo-
krasi. Adalah Pipit Rochijat Kartawidjaja, Didi Achdijat, dan August Mellaz, orang-orang yang meng-
gawanginya.

Beragam buah tangan mereka dalam isu pemilu dan demokrasi dapat dilihat. Buah pemikiran mereka
yang mudah dicerna membuat SPD mudah diterima dipelbagai pihak. Maka tidak heran penerimaan
publik terhadap SPD sangat terbuka.

Kini, SPD melakukan reposisi lembaga. SPD berpandangan persoalan pemilu dan demokrasi dapat
dilihat dari pelbagai perspektif dan multidisplin keilmuwan. Argumentasi yang dibangun ialah isu
pemilu dan demokrasi tidak mutlak milik para penggiatnya saja.

Maka tidak heran apabila kemunculan SPD kali ini dengan wajah berbeda. Latarbelakang para pendiri
SPD sangat beragam. Ada pekerja professional, aktivis, dan birokrat. Ada perbedaan mendasar SPD
dengan lembaga sejenis lainnya. Yakni masuknya pekerja professional. Isu seputar pemilu dan
demokrasi harus menjadi populis di kalangan pekerja professional. Dan ini menjadi pekerjaan rumah
yang cukup berat.

52
Keberagaman latarbekalang pendiri itu dirumuskan dalam bentuk tiga pengelompokan isu. Pertama,
isu pemilu, sistem politik, dan pemerintahan. Pada bagian ini dikawal oleh Pipit Rochijat Kartawidjaja,
August Mellaz, dan Didi Achdijat.

Kedua, isu kelembagaan demokrasi dan birokrasi. Pada bagian ini dikawal oleh Daniel Zuchron, Ber-
nad Dermawan Sutrisno, dan Jemmy Cahyadi. Ketiga, survei atau jajak pendapat dan media monitor-
ing. Pada bagian ini dikawal oleh Dian Permata.

Ketiga puzzle itu dalam isu pemilu dan demokrasi, satu sama lain saling menguatkan dan memerkaya
ide. Keberagaman itu juga dituangkan dalam warna dan logo SPD.

Warna abu-abu di logo SPD mencerminkan sisi netralitas. Orange menujukan sisi dinamis dan peru-
bahan ke situasi baru, lebih muda, lebih kritis, dan lebih professional. Ikon kotak suara pemilu merep-
resentasikan sebagai simple visual reminder akan subjek yang ingin dicermati. Elemen tanda kurung
pada kata demokrasi, menyasar prinsip kritis yang bersifat positif. Demi kemajuan intelejensi politik
seluruh rakyat Indonesia.

53
Tentang Penulis
August Mellaz

Lahir di Surabaya, 25 Agustus 1976. Sarjana Ekonomi Pembangunan dari


UPN “Veteran” Jawa Timur. Sejak tahun 1999 aktif di KIPP (Komite In-
dependen Pemantau Pemilu) Jawa Timur dan menjadi Sekjen pada tahun
2004. Pernah bekerja menangani isu konflik dan pemilu pada SFCGI (Search
for Common Ground in Indonesia).

Berminat pada bidang kajian tentang pemilu dan seputar isu-isu birokrasi.
Sejak tahun 2003, menekuni kajian pemilu terutama keterkaitan antara
variabel-variabel teknis yang menjadi perangkat sistem pemilu. Pernah
menjadi saksi ahli yang diajukan oleh Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2013, terkait isu Parlia-
mentary Threshold atau Ambang Batas Parlemen.

Pernah menjadi konsultan kepemiluan di beberapa lembaga seperti International Foundation for
Electoral Systems (IFES), The Asia Foundation, Kemitraan, Indonesian Parliamentary Center (IPC) dan
Perludem. Selain itu, terlibat menjadi fasilitator pelatihan kepemiluan bagi Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Aus-
tralian Election Commission (AEC), dan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). Ter-
libat menjadi Tim Ahli Pemerintah pada pembahasan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, antara DPR dengan Pemerintah.

Beberapa buku dan paper yang pernah ditulis, antara lain:

• Buku “Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Sistem Pemilu Yang Berbeda.  Studi komparasi
Lima Negara Asia Tenggara: Kamboja, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan East Timor”, (bersama Prof.
Ramlan Surbakti) Kemitraan, 2013.
• Buku “Menata Ulang Jadwal Pilkada: Menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah”, (bersama Khoirun-
nisa Agustyati dan Didik Supriyanto), Perludem, September 2013.
• Paper “Membaca Prospek dan Peta Politik Pemilu Legislatif 2014: Ambang Batas Perwakilan, Daerah
Pemilihan, dan Formula Perhitungan”, Jurnal #3 Pemilu & Demokrasi, Dana Kampanye: Pengaturan
Tanpa Makna, Mei 2012, Perludem.
• Paper “Proses Perhitungan Perolehan Suara-Kursi Partai Politik: Rekomendasi Perubahan dalam Revisi
Undang-undang Pemilu Legislatif 2014”, (bersama Mauricio Claudio) Jurnal #2 Pemilu & Demokrasi,
Memperkuat Sistem Pendaftaran Pemilih, Februari 2012.
• Paper  “Meningkatkan Peluang Keterpilihan Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislatif Indone-
sia”, (bersama Mauricio Claudio) Jurnal #2 Pemilu & Demokrasi, Memperkuat Sistem Pemutakhiran
Daftar Pemilih, Perludem, Februari 2012.
• Buku  “Alokasi Kursi DPR dan Pembentukan Daerah Pemilihan”, (bersama Didik Supriyanto) Per-
ludem-Kemitraan, Desember 2011.
• Buku  “Ambang Batas Perwakilan dan Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, (bersama Didik Supri-
yanto) Perludem-Kemitraan, September 2011.
• Buku “Menyetarakan Nilai Suara: Jumlah dan Alokasi Kursi DPR ke Provinsi”, (bersama Prof. Ramlan
Surbakti dan Didik Supriyanto) Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, September 2011.

54
• Paper  “INDONESIA: Areas of Electoral Law Under Discussion”, (bersama Prof. Andrew Reynolds)
Perludem-IFES, Agustus 2011.
• Buku “Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-undang Penye-
lenggara Pemilu”, (bersama Yulianto dan Veri Junaidi) KRHN-IFES, November 2010.
• Paper  “Desain Sistem Pengawasan Pemilu”  Koalisi Masyarakat Peduli Pemilu (KMPP) bekerjasama
dengan Yayasan TIFA, 2009.
• Paper “Besaran Distrik, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian”, (bersama Pipit R. Kar-
tawidjaja) Jurnal Hukum Jentera-PSHK edisi khusus membaca Daniel S. Lev, Februari 2008.
• Paper “Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, Media expose, Oktober 2007.
• Buku “Merangkai Perdamaian: Refleksi Atas Program Pemilu 2004”, SFCGI-UNDP, Desember 2004.
“Pendidikan Pemilih Berbasis Pencegahan Konflik Dalam Pemilu”, SFCGI-UNDP, Februari 2004.
• Modul “Pendidikan Pemilih Berbasis Pencegahan Tindak Kekerasan Pemilu 2004”, Common Ground
Indonesia-UNDP, February 2004.

Pipit R. Kartawidjaja

Lahir di Bandung, tanggal 30 Agustus 1949. Sejak 1972 menetap,


mula-mula di Berlin Barat (pra reunifikasi) kemudian di Berlin. Sejak
Desember 2014 pensiunan staf auditor lembaga negara (Verwaltung)
pada negara bagian Brandenburg (setara provinsi) di Potsdam, yaitu
LASA Brandenburg (Landesagentur für Struktur und Arbeit) atau
Lembaga Negara Urusan Struktur dan Kerja.

Hingga saat ini, tercatat sebagai Anggota Dewan Pengurus Watch In-
donesia Berlin e.V. Pernah menjadi Presiden KIPP (Komite Indepen-
den Pemantauan Pemilu) Eropa 1996-2004. Menjadi Koresponden
Majalah Editor (1989-1993), Forum Keadilan (1994-1995) dan Radio
Hilversum Belanda (1989-1997).

Pada isu tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi Indonesia, pernah terlibat sebagai Tim Ahli
dalam perumusan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Aparat Sipil Negara (2005-2009).  Selain
itu juga, menjadi Pemandu tim pemagangan PNS dan LSM Indonesia urusan reformasi birokrasi di
LASA Brandenburg.

Pernah menjadi Saksi Ahli dari LBH di depan Mahkamah Konstitusi Januari 2009 tentang Parliamen-
tary Threshold.

Publikasi:

• Sistem Pemilu dan Pemlihan Presiden (bersama Mulyana W. Kusumah)


• Sistem Pemilu dalam Konstitusi (bersama Mulyana W. Kusumah)
• Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih
• Matematika Pemilu
• Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004
• Kisah Mini Sistem Kepartaian (bersama Mulyana W. Kusumah)

55
• Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (bersama Mulyana W. Kusumah)
• Akal-Akalan Daerah Pemilihan (bersama Sidik Pramono)
• Proporsionalitas & Disproporsionalitas Alokasi Kursi DPR serta DPRD (bersama Didi Achdijat)
• Demokrasi Elektoral I dan II (bersama Feishal Aminudin)
• Pemerintah Bukanlah Negara
Administrasi Negara atau Administrasi Pemerintahan?: “Perbandingan Antara Administrasi Negara
Jerman dan Indonesia Dalam Hubungannnya Dengan RUU Administrasi Pemerintahan

Di samping itu juga menaruh minat pada dunia sosial politik dan satir politik:
• Am I PKI or non-PKI?
• Bharatayuda di Negeri Antah Berantah
• Humor Sarat Rumor dan Humor Penuh Tumor
• Serangan Oemoem di Dresdner (bersama Yayak)
• Demokrasi Sosial dalam Paradigma Cerita Silat
• Demokrasi-Demokrasian (bersama Ivan A. Hadar)
• Otobiografi Sengkuni

56
Salah satu bentuk pengakuan Negara—dalam hal ini konstitusi, terhadap keberadaan
dan peran penting partai, perihal kontribusi Negara dalam bentuk bantuan
pendanaan. Secara prinsip, pendanaan partai bersumber dari keuangan Negara yang
berasal dari pajak warganegara. Tujuannya, untuk meningkatkan peran partai dalam
menjalankan berbagai fungsi. Baik politik maupun konstitusi.

Dalam konteks Indonesia, bantuan pendanaan partai baru sekadar formalitas belakan.
Meskipun, prakteknya telah diterapkan sejak lama. Hal ini diduga terjadi lantaran
adanya sejumlah skema kebijakan yang berubah-ubah. Baik besaran nominal maupun
basis perhitungannya. Dari satu periode ke periode lainnya, khususnya pemilu.

Hingga saat ini, tidak terlihat paradigma utuh terkait skema kebijakan bantuan
keuangan partai oleh Negara. Misalnya, bagaimana meletakan bantuan keuangan
negara pada dua (2) aspek: pertama, partai sebagai organ konstitusi. Kedua, keuangan
negara yang merupakan hasil setoran pajak. Terlepas dari jumlah nominal yang
dialokasikan, ada pertanyaan mendasar yang hendaknya dituntaskan, apakah bantuan
Negara tepat diberikan hanya kepada partai-partai yang duduk di lembaga perwakilan,
baik pusat, dan daerah? Bagaimana dengan partai-partai lain yang tidak memiliki wakil
di lembaga perwakilan, meski melekat di partai tersebut sebuah atribut yang sama,
organ konstitusi?

Anda mungkin juga menyukai