Anda di halaman 1dari 13

PENGERTIAN INFORMED CONSENT

Oleh:

Adriel Warid 33412001131

PROGRAM STUDY D3 KEPERAWATAN JURUSAN KESEHATAN

POLITEKNIK NEGRI MADURA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan


hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan jidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang


optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi
dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga
keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien
sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan
memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik
dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan
kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan


Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga
kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan
awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan
profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat
sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang
diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu


memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang
mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
hendak memberikan persetujuan.

Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya
untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang
pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.

Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1


sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah
dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah
(operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau
perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan
tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan
yang akan dilakukan.

Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed


consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik)
dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek
medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang
jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan

.
Dalam hal ini pun berkaitan dengan Penelitian Kesehatan. Penelitian kesehatan
merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau memfokuskan kegiatannya
pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan. Kesehatan itu sendiri terdiri dari
dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu yang berorientasikan klinis,
pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada kelompok atau masyarakat, yang
bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang kesehatan inipun terdiri dari berbagai disiplin
ilmu, seperti kedokteran, keperawatan, epidemiologi, pendidikan kesehatan, kesehatan
lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang tersebut saling
berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya. Sehingga
berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat diartikan sebagai suatu
upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam bidang
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta masalah yang
berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan melalui langkah-
langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Informed Consent dan bagaimana pengaturannya lebih jauh?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Informed Consent

Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,


seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan
kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi
dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan
ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas
informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak
yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat
dua unsur pokok, yakni:
1.    Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis)
untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan
kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan
resiko yang akan ditanggung oleh pasien.
2.    Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk
memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan
kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk
menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian
informasi seperlunya oleh tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien
maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam
pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian
informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang
perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi,
persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama,
pertanyaan pokok yang  biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu
perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata
lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed.  Dalam menjawab
pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
a.       Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b.       Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c.       Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian
diatas PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan
pemeriksaan,  pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent
hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat
berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum
Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu
perjanjjian yaitu:
a.    Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan   dan
penipuan.
b.    Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c.   Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

Sejarah Informed Consent.

Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih
baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang
secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan
tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap
para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap
kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci
percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned
consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis.
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan
dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien
yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima
lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam
pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir
panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat
pernyataan sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan
dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama,
orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-
nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung
jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil
inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien,
kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk
berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin,
berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan
kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien
sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek
rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi
pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan
untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu
memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya
dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan
bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed
consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan
pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara
pengaduan hukum.

Fungsi Informed Consent

 Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


 Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan
nasibnya sendiri
 Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health
care receiver = HCR)
 Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
 Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
 Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
 Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
 Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
 Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :


 promosi otonomi individu.
 Proteksi terhadap pasien dan subjek.
 Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
 Mendorong adanya penelitian yang cermat.
 Promosi  keputusan yang rasional
 Menyertakan publik Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan baik lisan maupun tulisan.

Tujuan Informed Consent:

 Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya


tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.
 Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ).

Dasar Hukum Informed Consent.

.       Dasar hukum informed consent


 UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 tentang Kesehatan
 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam
medis/ Medical record
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medis
 Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
 Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang
Informed Consent
 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang
Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau
Jaringan Tubuh Manusia

Bentuk Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent
 Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
 Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989
Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed
consent)
2.  Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3.  Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent

Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam
masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan
profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi
dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai
konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat


sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab
untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai
pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A
client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi
pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.

Hal – hal yang dapat di informasikan

Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,
maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.

Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi
dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme.
Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter
harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin
timbul.

Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan


dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya
dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

Prognosis

Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,


biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau
tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari
dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian
beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan
merupakan bagian dari informed consent.

Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak
saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak
mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga
belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Penutup

 Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,


seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent
merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk
memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat
membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam
pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas
informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-
pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed
consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1.    Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci
percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga
medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila
kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien.
2.    Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan
untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional
dapat diberikan kapada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

 J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

 M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.

 Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”.http://www.scribd.com/doc/


22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 11 Oktober, pukul
12.38 WIB

Anda mungkin juga menyukai