Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Sumber Sumber Utama Hukum Syara


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Devian Ali Putra, S.S.I, M.A.Hk

Disusun oleh : Kelompok 3


1. Hasbullah
(106200049)
2. Nadila Inesyahana Asrifa
(106200007)

PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat mrenyelesaikan tugas karya ilmiah dalam bentuk
makalah yang berjudul sumber sumber utama hukum syara’ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari menulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah ushul fiqh. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen yang memberikan tugas ini


sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 6 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................................4
A. Al-Qura’an Sebagai Sumber Hukum.................................................................................4
B. As-Sunnah........................................................................................................................6
C. Ijma’..................................................................................................................................7
D. Qiyas.................................................................................................................................9
BAB III.........................................................................................................................................11
A. Kesimpulan.....................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR RUJUKAN......................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ilmu ushul fiqh akan banyak diperkenalkan pada


pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum dan metode
ijtihad yang digunakan oleh para ulama dalam mengambil keputusan
suatu hukum. Di antara dalil-dalil hukum tersebut terdapat dalildalil hukum yang sepakati
penggunaannya oleh jumhur ulama, tapi ada juga dalil-dalil hukumyang tidak sepakati atau
masih diperselisihkan. Dalil hukum yang disepakati adalah Alquran, Sunah,
Ijmak dan Qiyas. Hanya saja mengenai dalil Ijmak dan Qiyas sebagian
ulama menyepakati, tapi ada juga sebagian ulama yang tidak sepakat
meskipun jumlahnya sedikit. Allah swt. telah berfirman dalam QS al-Nisa’ :59

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Berdasarkan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa perintah taat


kepada Allah, menunjukkan perintah untuk menjadikan Alquran yang
merupakan firman Allah sebagai sumber hukum pertama dan utama.
Perintah taat kepada Rasul menunjukkan adanya perintah untuk
menjadikan sunah sebagai sumber hokum kedua setelah Alquran.

1
Adapun perintah taat kepada ulil amri menunjukkan adanya
perintah untuk menjadikan kesepakatan ulama atau ijmak sebagai
sumber hukum ketiga. Adapun sumber hukum yang keempat yaitu
qiyas ditunjukkan oleh perintah kembali kepada Allah dan Rasul
(kembali kepada Alquran dan sunah), jika ada perselisihan pendapat,
yakni dengan cara analogi.

Menurut jumhur ulama tertib sumber hukum Islam adalah


Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Alquran adalah sumber hukum Islam
pertama karena merupakan fīrman Allah swt., sedangkan Sunah
sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian,
penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang
diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi
ada karena memang ada restu dari Alquran.

Sementara itu, keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil-dalil
Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia
haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaihnya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Alquran dan Sunah-lah yang merupakan sumber
hukum utama, sedangkan ijmak dan kias merupakan sumber hukum subordinatif.
Ijmak dan kias memang membawa semangat wahyu, namun untuk
dapat dikategorikan sebagai sumber hukum tidak independen
karena harus melalui proses tertentu dan harus merujuk kepada
Alquran dan Sunah.

Berdasarkan literatur yang ada dapat dijelaskan bahwa jumhur


ulama telah bersepakat menetapkan empat sumber dalil Alquran,
Sunah, Ijmak, dan Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi,
ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang
terakhir, Ijma dan Qiyas. Demikian juga halnya Ahmad Hassan,
pendiri Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijmak,
terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari
Bek, para ulama dari kalangan mazhab Zhahiri (di antara tokohnya

2
adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama
Syiah tidak mengakui Qiyas sebagai dalil yang disepakati.

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil-dalil hukum


yang disepakati oleh mayoritas ulama yaitu Alquran, Sunah, Ijmak
dan Qiyas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tesebut, rumusan masalah dalam makalah ini sebagai
berikut.

1. Al-Qur’an sebagai sumber hukum

2. As-sunnah sebagai sumber hukum

3. Ijma’ sebagai sumber hukum

4. Qiyas sebagai sumber hukum

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini sebagai


berikut.

1. Menjelaskan Al-Qur’an sebagai sumber hukum

2. Menjelaskan as-sunnah sebagai sumber hukum

3. Menjelaskan ijma’ sebagai sumber hukum

4. Menjelaskan qiyas sebagai sumber hukum

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Al-Qura’an Sebagai Sumber Hukum

1. Pengertian Al-Qur’an

Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif etimologis


merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bias dimasukkan pada wazan
fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya.

Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, pengertian Alquran


ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam
mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir,
tanpa ada keraguan.

Alquran merupakan kitab suci agama Islam dan umat Islam memercayai
bahwa Alquran merupakan puncak dan penutup wahyu Allah swt. Yang
diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Alquran


ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat
Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., isinya tak dapat
ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan
1
dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.

2. Fungsi Al-Qur’an

Alquran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya


kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam
berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada Alquran. Alquran
lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap
perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah
dikoreksi oleh Allah swt.

Di samping itu Alquran juga mampu memecahkan


problem-problem kemanusiaan dari berbagai aspek kehidupan, baik
1
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.28-29.

4
rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan
yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Allah swt.

3. Hukum-Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3


macam, yaitu:

1. Hukum-hukum i’tiq adiyah, yakni, hukum-hukum


yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya dan hari
pembalasan.

2. Hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang


berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat
yang tercela.

3. Hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan


perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama
manusia.

Hukum-hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua


macam, yakni:

1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain


sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk
mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.

2) Hukum-hukum muamalat; seperti segala macam hokum


perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘ uqubat
(hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur
hubungan antar sesame manusia, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain
2
ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.

B. As-Sunnah

2
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.30.

5
1. Pengertian As-Sunnah

Kata Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik


perilaku yang baik atau perilaku yang buruk.” Menurut istilah ushul iqh, Sunnah
Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (guru besar
Hadis
Universitas Damaskus), berarti “segala perilaku Rasulullah yang
berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qaulyyiah), perbuatan
(Sunnah ii’liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah).3

2. Macam-Macam Sunnah

Sunah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan


kepada Nabi saw. baik berupa qaul (ucapan), f i’il (perbuatan) maupun
taqrir (persetujuan) Nabi saw. Berdasarkan tiga ruang lingkup Sunah
yang disandarkan kepada Rasulullah saw., maka Sunah dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:4

1) Sunah qauliyah; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam


beraneka tujuan dan kejadian.
2) Sunah fi’liyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai
contoh adalah tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima)
waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji,
dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah; ialah perkataan atau perbuatan sebagian
sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang
tidak diingkari oleh Rasulullah saw..atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan
atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap
sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau
sendiri.

3. Fungsi Sunnah

Fungsi Sunah terhadap Alquran dari segi kandungan hukum


mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.

3
Satria Effendi M Zein,”Ushul Fiqh”,Edisi 7.Januari 2017.Hal.102-103.
4
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.31-32.

6
1. Sunah sebagai bayan (penjelas); takhshish (pengkhusus) dan
taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global),
‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat
Alquran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan
bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam Sunah. Misalnya,
perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan Sunah.
Nabi Saw. bersabda:

Artinya : Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan)


aku shalat. (HR. Bukhari)

2. Sunah berfungsi sebagai menmabhakan hukum-hukum yang


telah ada dasar-dasarnya secara garis besar dalam Alquran.
Artinya Alquran sebagai penetap hukum dan Sunah sebagai penguat dan
pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
larangan syirik, riba dan sebagainya.

3. Sunnah menetapkan hukum yang tidak terdapat nashnya dalam


Alquran.5

C. Ijma’

1. Pengertian Ijma’6

Kata ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap


suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”.
Menurut istilah ushul iqh, seperti dikemukakan ‘Abdul Karim
Zaidan, “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam
tentang hukun syara’pada satu masa setelah Rasulullah wafat. 7
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat
bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil hukum.

Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku


kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut
Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahl al-Madinah.

5
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.35-36.
6
Satria Effendi M Zein,”Ushul Fiqh”,Edisi 1.Januari 2017.Hal.114.
7

7
Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam
di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama, kata Muhammad Abu Zahrah,
ijma’sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’
baru dianggap terjadi bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.

2. Macam-Macam ijma’

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua,


yaitu ijma’ sarih (tegas) dan ijma’ sukuti (persetujuan yang diketahui lewat
diamnya sebagian ulama).

1). Ijma’ sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid di


mana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap
kesimpulan itu.

2). ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.8

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti


ini. Menurut Imam Syai’i dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti
tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya
sebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi
disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh
penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat
mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.

Adapun menurut Hanaiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan


sumber hukum. Alasannya, bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami
sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru,
mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya
secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya. Pendapat lain,
yaitu pendapat sebagian Hanaiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian
ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’, namun pendapat seperti
itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.

D. Qiyas

8
Satria Effendi M Zein,”Ushul Fiqh”,Edisi 1.Januari 2017.Hal.117-118.

8
1. Pengertian Qiyas

Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi.


Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya.” Menurut istilah ushul fiqh, seperti
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yaitu: Menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat)
dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat
yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam AlQur’an atau Sunnah
Rasulullah. Bila benar ada kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa hukumnya
juga sama. Begitulah pada setiap praktik qiyas.9

2. Rukun Qiyas

Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama ushul
iqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat, yaitu:10

1) Al-Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.


Rukun ini biasanya disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai
ukuran).

2) Al-far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di


dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa
disebut juga al maqis (yang diukur).

3) Hukm al-ashl; yaitu hukum syarak yang terdapat nashnya


menurut al-ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-far’.

4) Shifat atau ‘illat; yaitu keadaan tertentu yang dipakai dasar


bagi hukum ashl, kemudian al-far’ itu disamakan kepada ashl
hal hukumnya.11

3. Macam-macam qiyas

9
Satria Effendi M Zein,”Ushul Fiqh”,Edisi 1.Januari 2017.Hal.118.
10
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.60-61.
11
Moh Bahrudin ,”Ilmu Ushul Fiqh”,Oktober 2019.Hal.60-61.

9
Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan) dan yang terdapat
pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1) Qiyas awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama
daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum
haram memukul kedua orangtua kepada hukum haram mengatakan “ah”

2) Qiyas musawi, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u)
sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya,
‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang
sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim

3) Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
rendah bobotnya dibandingkan de ngan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).
Misalnya, sifat memabukkan yang ada dalam minuman keras bir umpa manya
lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar

10
11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ilmu ushul fiqh akan banyak diperkenalkan pada


pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum dan metode
ijtihad yang digunakan oleh para ulama dalam mengambil keputusan
suatu hukum. Di antara dalil-dalil hukum tersebut terdapat dalil dalil hukum yang di
sepakati penggunaannya oleh jumhur ulama, tapi ada juga dalil-dalil hukum yang tidak
sepakati atau masih diperselisihkan. Dalil hukum yang disepakati adalah Alquran, Sunah,
Ijmak dan Qiyas. Hanya saja mengenai dalil Ijmak dan Qiyas sebagian
ulama menyepakati, tapi ada juga sebagian ulama yang tidak sepakat
meskipun jumlahnya sedikit.

Al quran adalah sumber hukum Islam pertama karena merupakan fīrman Allah swt.,
sedangkan Sunah sebagai sumber hukum kedua karena ia merupakan uraian,
penjelasan, dan penjabaran Rasulullah saw. atas wahyu yang
diturunkan kepadanya. Otoritas atau kehujahan Sunah pun menjadi
ada karena memang ada restu dari Alquran. Sementara itu,
keabsahan atau validitas ijmak harus disandarkan pada dalil-dalil
Alquran dan atau Sunah. Adapun kias, untuk menjadi dalil hukum, ia
haruslah memiliki dasar-dasar nas yang asli sebagai maqis ‘alaihnya.

B. Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapkan bagi pembaca dapat mengatahui apa
apa saja sumber sumber hukum dalam islam. Makalah ini bias menjadi rujukan
untuk lebih memahami tentang sumber-sumber hokum dalam islam dan bias juga
menjadi pedoman bagi mahasiswa.

12
DAFTAR RUJUKAN

Bahrudin, Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Aura CV Anugrah Utama.
Zein, Satria Effendi M. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.

13

Anda mungkin juga menyukai