Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA “AN,A”DENGAN GANGGUAN

HELMINTHIASIS DI RUANG POLI ANAK DI RUMAH SAKIT AWET MUDA


NARMADA

Oleh:

ZAENUDIN

Nim. P07120419036

KEMENTERIAN KESEAHATAN REPULIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PENDIDIKA PROFESI NERS

TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HELMINTHIASIS

A.Konsep dasar

1. Definisi
Helminth adalah hewan invertebrata sederhana sejenis cacing, yang hidup secara parasit
dan hidup bebas. Helminth termasuk dalam golongan Metazoa (hewan bersel banyak) yang
dilengkapi dengan jaringan ikat dan organ yang berasal dari ektoderm, endoderm dan
mesoderm. Beberapa helminth diantaranya merupakan parasit menular. Cacingan merupakan
salah satu penyakit tropis yang terbaikan pada beberapa negara. Dia menginfeksi usus dan
jaringan lainnya. Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang sangat
menguntungkan untuk dapat melangsungkan siklus hidupnya.

2. Klasifikasi
1. Cacing Tambang (Ankilostomiasis)
a. Pendahuluan
Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang banyak menyerang daerah tropis
dan subtropis. Endemisitas tergantung dari
kondisi larva dan lingkungan seperti daerah
agraris dengan derajat kelembaban dan suhu
yang sesuai bagi perkembangan telur cacing
dan larva.

b. Epidemiologi
Pejamu utama cacing tambang adalah manusia. Penyakit cacing tambang
menyerang semua umur dengan proporsi terbasar pada anak. Belum ada keterangan
yang pasti mengapa banyak anak yang terserang, tetapi penjelasan yang paling
mungkin adalah karena aktivitas anak yang relatif tidak higienis dibandingkan dengan
orang dewasa. Di seluruh dunia diperkirakan penyakit ini menyerang 700-900 juta
orang, dengan 1 juta liter darah hilang ( 1 orang = 1 ml darah terhisap cacing). Suatu
penelitian melaporkan bahwa angka kesakitannya adalah 50 % pada balita, sedangkan
90% anak yang terserang penyakit ini adalah anak berusia 9 tahun.

c. Etiologi
Terdapat 3 spesies cacing tambang yang menyebabkan penyakit, yaitu Necator
americanus, Ancylostoma duodenale, dan Ancylostoma ceylonicum. Dua spesies yang
pertama banyak ditemukan di Asia dan Afrika. N. americanus paling banyak
ditemukan di Indonesia daripada spesies lainnya. N. americanus berbentuk silinders
dengan ukuran 5-13 mm x 0,3-0,6 mm, cacing jantan lebih kecil daripada betina.
Cacing ini mampu memproduksi 10.000-20.000 telur perhari, dengan ukuran telur
adalah 64-76 mm x 36 – 40 mm. A. duodenale berukuran sedikit lebih besar daripada
N americanus, dengan kemampuan menghasilkan 10.000-25.000 telur sehari dan
ukuran telur 56-60 mm x 36-40 mm.

d. Penularan
Cacing dewasa hidup dengan bertelur di dalam 1/3 atas usus halus, kemudian
keluar melalui tinja.
1) Telur akan berkembang menjadi larva di tanah yang sesuai suhu dan
kelembabannya.
2) Larva bentuk pertama adalah rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform
3) Dari telur sampai menjadi filariform memerlukan waktu selama 5-10 hari
4) Larva akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk
N. americanus) untuk masuk ke peredaran darah
5) Selanjutnya larva akan ke paru, naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian
larva akan tertelan ke saluran pencernaan
Larva bisa hidup dalam usus samapai delapan tahun dengan menghisap darah (1
cacing = 0,2 ml/hari). Cara infeksi kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya
larva (terutama A.duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar. Cacing
dewasa yang bersal dari larva yang tertelan tidak akan mengalami siklus paru.

e.

Manifestasi klinis
Penyakit cacing umumnya tanpa gejala. Manifestasi klinis ankilostomiasis
berhungan dengan derajat infeksinya.
1) Terdapat keluhan kulit seperti gatal akibat masuknya larva.
2) Demam, batuk dan bunyi nafas mengi (bengek) bisa terjadi akbiat berpindahnya
larva melalui paru-paru.
3) Gangguan saluran pencernaan berupa berkuranya nafsu makan, mual, muntah,
nyeri perut, dan diare, berhubungan dengan adanya cacing dewasa pada usus
halus.
4) Pada infeksi kronis, anemia dapat terjadi karena penghisapan darah oleh cacing.

Bila di dalam tubuh terdapat kurang dari 50 cacing maka gejalanya akan
subklinis, bila terdapat 50-125 cacing maka akan timbul gejala klinis dan apabila
terdapat 125-500 cacing maka gejalanya akan berat. Di Negiria pernah ditemukan
seorang anak dengan 800 cacing di perutnya.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tinja dengan ditemukannya telur,


larva atau bahkan cacing dewasa.
f. Pengobatan
1) Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
2) Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari
3) Obat lain, misalnya albendazol 400 mg sehari, selama 5 hari
g. Pencegahan
Kegiatan pencegahan dapat dimulai dengan survei prevalensi untuk mengetahui
besarnya masalah endemisitas di suatu daerah. Kegitan dilanjutkan dengan penemuan
dan pengobatan penderita, penyuluhan, kampanye, perbaikan sanitasi dan higiene
pribadi, terutama jamban keluarga yang sehat. Kegiatan pencegahan kontak dengan
larva adalah dengan membudayakan mencuci tang serta menggunakan alas kaki bagi
masyarakat yang berisiko tertular.

2. Cacing gelang / bulat besar (Askariasis)


a. Pendahuluan
Askariasis adalah penyakit cacing yang paling besar prevalensinya diantara penyakit
cacing yang lainnya. Penyakit ini
diperkirakan menginfeksi lebih dari 1
miliar orang. Tingginya prevalensi ini
terutama karena banyaknya telur disertai
dengan daya tahan telur yang
mengandung larva cacing pada keadaan
tanah yang kondusif.
Dalam sebuah penelitian di daerah
Kenya (Afrika), wanita hamil rentan
terhadap infeksi cacing. Prevalensi tertinggi adalah jenis cacing tambang dan askariasis.
Penyebabnya adalah faktor lingkungan, faktor parasit, dan faktor host. Contoh dari faktor
lingkungan yaitu sanitasi yang buruk, dan pembuangan limbah yang tidak benar. Wanita
hamil juga rentan terkena infeksi karena dekat dengan anak-anak. Tingginya prevalensi
askariasis dikaitkan dengan kebersihan diri yang buruk dan status ekonomi yang rendah.
Telur cacing juga dapat tinggal di buah-buahan dan sayuran. Pada suatu kondisi, wanita
hamil tidak sengaja memakan buah-buahan atau sayuran yang tidak dicuci bersih dan ini
sangat berpengaruh terhadap kesehatan janin dan bumil. Ibu hamil yang tinggal di
lingkungan sanitasi yang buruk, ekonomi yang rendah, dan pendidikan yang minim
sangat rentan terhadap infeksi cacing. Dalam penelitian, disarankan bahwa bumil juga
harus memeriksakan tinja nya secara rutin agar bisa dideteksi infeksi cacing dan
diberikan pengobatan.

b. Epidemiologi
Infeksi pada manusi terjadi karena tertelannya telur cacing yang mengandung larva
infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sayuran mentah yang
mengandung telurcacing yang berasal dari pupuk kotoran manusia adalah salah stu media
penularan. Vektor serangga seperti lalat juga dapat menularkan telur pada makanan yang
tidak disimpan dengan baik. Penyakit ini terutama yang menyerang anak, dengan bagian
terbesar adalah anak prasekolah ( usia 3-8 tahun). Askariasis banyak dijumpai pada
daerah tropis. Bayi mendapatkan ini dari tangan ibunya yan tercemar larva infektif.

c. Etiologi
Ascaris lumbricoides adalah cacing yang berwarna merah dan berbentuk silinder,
dengan ukuran cacing jantan 15-25 cm x 3 mm dan betina 25-35cm x 4 mm. cacing
betina mampu bertahan hidup selama 1-2 tahun dengan memproduksi 26 juta telur atau
sekitar 200.000 telur perhari. Ukuran telur 40-60 µm dan dilapisi lapisan tebal sebagai
pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai sehingga telur dapat bertahan
hidup dalam tanah sampai berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun. Infeksi cacing betina
saja pada usus yang akan menghasilkan telur infertil.

d. Penularan
Proses penularan askariasis pada manusia dapat dilihat dari siklus hidup cacing.
1) Telur yang dikeluarkan oleh cacing melalui tinja
2) Dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan menjadi
larva yang infektif di dalam telur.
3) Apabila karena sesuatu sebab telur tersebut tertelan oleh manusia
4) Maka di dalam usus larva akan menetes
5) Keluar dan menembus dinding usus halus menuju ke sistem peredaran darah
6) Larva akan menuju paru, trakea, faring dan tertelan masuk ke esofagus higga
sampai ke usus halus
7) Larva menjadi dewasa di usus halus. Perjalanan siklus hidup cacing ini
berlangsung selama 65-70 hari.

e.

Manifestasi klinis
Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat muncul pada penyakit ini yaitu:
1. Infeksi ringan sangat sulit dirasakan
2. Batuk kering dan sesak napas
3. Rasa kembung atau mules pada perut bagian atas
4. Nyeri epigastrium menyerupai ulkus peptikum
5. Kolik abdomen
6. Ada riwayat berak atau muntah cacing
7. Anoreksia
8. Batuk atau ronki kering, sianosis

f. Diagnosis
Cacing betina dewasa mengendapkan telur-telur yang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan apus tinja langsung dan dan dihitung dengan metode apus tebal Kato.
Diagnosis askariasis didasarkan pada data klinis dan indeks kecurigaan tinggi.
g. Pengobatan
1. Pirantel pamoat, dosis tunggal 10 mg/KgBB
2. Mebendazol 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari
3. Albendazol (anak > 2 tahun) 400 mg ( 2 tablet) dosis tunggal

3. Cacing Kremi (Enterobiasis)


a. Pendahuluan
Infeksi cacing kremi ini lebih merupakan
implikasi sosial bagi anak dan keluarganya
daripada masalah medis, karena secara klinis
infeksi ini tidak berbahaya.

b. Epidemiologi
Penyakit cacing kremi terbesar di seluruh
dunia dengan konsentrasi pada daerah-daerah yang faktor perilaku sehatnya yang masih
rendah. Meskipun penyakit ini menyerang semua usia, namun penderita terbayak adalah
anak yang berusia 5-14 tahun. Hal ini karena perilaku menggaruk dan daya tahan tubuh
yang masih rendah pada anak. Angka kesakitannya sekitar 200 juta manusia di seluruh
dunia. Penyebaran cacing kremi di dunia merupakan yang terluas diantara cacing lainnya.

c. Etiologi
Manusia terinfeksi dengan menelan telur yang mengandung embrio yang biasanya
terbawa pada kuku jari, pakaian, atau seprei. Telur menetas dalam lambung, keluarlah
larva dan larva bermigrasi ke daerah sekum dimana mereka matang menjadi cacing
dewasa E. vermicularis. Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah cacing
kecil (1 cm) berwarna putih. Dalam sekali bereproduksi cacing dapat menghasilkan
11.000 butir telur. Telur berbentuk asimetris, eclips pada satu sisi dan datar pada sisi
lainnya dengan ukuran telur 30-60µm. setelah mengalami proses pematangan, larva dapat
bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari.

d. Penularan
1) Cacing dewasa betina biasanya akan bermigarasi pada malam hari ke daerah disekitar
anus untuk bertelur.
2) Telur akan terdeposit ke lubang anus.
3) Hal ini akan meyebabkan rasa gatal disekitar anus (pruritus ani nokturnal). Apabila
digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan ke mulut (self-infection,
infeksi oleh diri sendiri). Metode penularan lainnya adalah dari orang ke orang
melalui pakaian, peralatan tidur. Penularan dapat terjadi dalam lingkungan yang
terkontaminasi cacing kremi, misalnya melaui debu rumah
4) Telur menetas di usus halus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke daerah sekitar anus
(sekum, Caecum)
5) Disini larva akan tinggal sampai dewasa

Infeksi dapat juga terjadi karena menghisap debu yang mengandung telur dan
retrofeksi dari anus. Bila sifat infeksinya adalah retroinfeksi daria anus, maka telur
akan menetas disekitar anus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke kolon asendens,
sekum atau apendiks dan berkembang menjadi dewasa. Suatu penelitian pada anak
melaporkan bahwa ada 33% anak yang memiliki telur cacing pada kuku jarinya.

e. Manifestasi klinis
Ada beberapa tanda dan gejala yang khas antara lain:
1. Iritasi di sekitas anus,perineum dan vagina akibat infeksi cacing yang bermigrasi
kedaerah tersebut
2. Terjadi pruritus local sebagai tanda terjadi infeksi.
3. Timbulnya bekas luka garuk pada daerah anus akibat pruritus ani
4. Kurang tidur dan kelemahan akibat pruritus pada malam hari
f. Diagnosis
Diagnosis definitif ditegakkan dengan menemukan telur parasit atau cacing. Telur
dapat dengan mudah dideteksi pada pita selofan adhesif yang ditekan terhadap daerah
perineum pada awal pagi hari. Pemeriksaan ulang mungkin diperlukan, dan pada keadaan
tertentu semua anggota keluarga dapat dinasehati.
g. Pengobatan
1) Mebendazol dosis tunggal 100 mg
2) Garam piperazin
3) Tiabendazol
4) Pirvinium pamoat
h. Pencegahan
Perlunya kampanye atau penyuluhan perilaku sehat termasuk mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, serta perawatan atau pemotongan kuku jari anak.

4. Cacing cambuk (trichuriasis)


a. Pendahuluan
Selain askariasis, penyakit yang disebabkan oleh
Trichuris trichiura ini merupakan penyakit yang
prevalensinya tinggi diseluruh dunia.

b. Epidemiologi
Infeksi ini menyerang hampir 500-900 juta manusia di
dunia. Semua golongan umur bisa mengalami infeksi ini
terutama pada anak berusia 5-15 tahun. Penyakit ini lebih
sering menyebar di daerah yang beriklim panas.
Prevalensi di Asia lebih dari 50 %, Afrika 25 %, dan
Amerika Latin 12 %. Pada wilayah pedesaan yang
sanitasinya kurang bagus, penyebaran cacing ini umumnya lebih cepat terjadi.
c. Etiologi
Trichuris trichiura adalah cacing kecil yang berbentuk seperti cambuk dengan bagian
depan (kepala) yang mengecil dengan bagian belakang yang membesar. Bagian yang
terkecil akan terbenam pada dinding usus dengan alasan yang paling mungkin adalah
untuk menghisap darah. Panjang cacing sekitar 40 mm. setiap cacing betina sanggup
menghasilkan telur sebanyak 2000-10.000 butir per hari. Telur Trichuris berbentuk khas
seperti tong dengan kedua ujung yang menyempit. Seekor cacing dapat menghisap darah
0,005 ml darah/hari.

d. Penularan
1) Apabila manusia menelan telur yang matang
2) Maka telur akan menetaskan larvayang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus
selama 3-10 hari
3) Selanjutnya larva akan bergerak turundengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum
dan kolon asendens. Siklus hidup sari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu
sekitar 3 bulan. Di dalam sekum, cacing bisa hidup bertahun-tahun
4) Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur-telur ini akan keluar bersama
tinja
5) Pada lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam waktu 2-4 minggu.
e. Manifestasi klinik
Penyakit cacing cambuk biasanya tanpa gejala (asimtomatis). Infeksi berat bisa
menyebabkan anemia ringan dan diare berdarah (bloody) sebagai konsekuensi kehilangan
darah karena penghisapan oleh cacing. penurunan berat badan dan peradangan usus buntu
(apendisitis). Kadang pada kasus yang jarang, rektum menonjol melewati anus (prolapsus
rektum), terutama pada anak-anak atau wanita dalam masa persalinan.
f. Diagnosis
Diagnosis didapatkan dari adanya telur atau cacing dewasa dalam tinja. Pada
pemeriksaan tinja terdapat telur T. Trichura yang khas.

g. Pengobatan
1) Mebendazol 100 mg, 2 kali sehari, selama 3 hari
2) Albendazol 400 mg
3) Pirantel pamoat

h. Pencegahan
Sebagaimana infeksi cacing lainnya, perbaikan sanitasi dan higiene pribadi dapat
menurunkan prevalensi secara signifikan.

5. Cestoda/cacing pita/taeniasis
a. Definisi
Penyakit Cacing Pita (taeniasis) adalah salah satu
jenis penyakit cacing yang paling berbahaya. Bentuk
cacingnya pipih seperti pita, bisa mencapai panjang 3
– 10 meter dan hebatnya walau dipotong-potong,
cacing ini masih bisa hidup. Bibit cacing terutama
banyak ditemukan didalam daging babi dan daging
sapi.
Infeksi Cestoda lazim ditiap benua kecuali
Antartika. Tidak seperti parasit lain yang
memisahkan stadium perkembangannya pada
berbagai spesis hospes. Beberapa cacing pita dapat menginfeksi manusia dengan stadium
dewasanya. Infeksi dengan cacing dewasa dapat dengan mudah didiagnosis dengan
mengamati telur atau segmen cacing dewasa dalam tinja.

b. Etiologi
Penyakit ini dapat disebabkan oleh larva cacing pita yaitu Taenia solium (pada babi),
Taenia saginata (pada sapi),dan Cysticercus cellulosae (pada babi) yang terdapat pada
daging yang tidak dimasak atau dmasak kurang matang.

c. Manifestasi klinik
Beberapa tanda dan gejala yang biasa timbul pada penyakit ini antara lain:
1. Umumnya asimptomatis
2. Rasa tidak enak dilambung
3. Kadang-kadang mual
4. Diare, sakit perut,
5. Pruritus ani
6. Takikardi, sesak
7. Berat badan menurun
8. Sefalgi, pusing
9. Tergantung pada lokasi larva (Sistiserkosis, Ekinokokosis)
10. Ada proglotid keluar bersama tinja

d. Klasifikasi cacing pita


1. Cacing pita daging
Jenis cacing pita daging ada tiga, yaitu Taenia solium (pada babi), Taenia saginata
(pada sapi), dan Diphyllobothrium latum (pada ikan). Cacing ini terdapat pada daging
yang tidak dimasak atau dimasak tetapi kurang matang. Epidemiologi kasus yang
tertinggi di Indonesia terjadi di Bali. Cacing ini bersifat hermafrodit, panjangnya bisa
mencapai 4-10 m. cacing hidup di usus halus untuk menghisap karbohidrat dari
lumen usus dan protein mukosa usus. Hospes perantara T. solium adalah babi dan
hospes T. saginata adalah sapi, sedangkan hospes definitifnya adalah manusia.
Siklus hidup dimulai dari cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing
bertelur selanjutnya telur keluar melalu tinja. Apabila telur termakan oleh babi atau
sapi, maka telur akan menetas menjadi larva di dalam usus. larva masuk ke pembuluh
darah dan menuju ke jaringan otot atau ke dalam daging. Bila daging dimakan oleh
manusia, maka larva akan menetap dan menjadi dewasa di usus halus.
Gejala dan tanda penyakitnya adalah gangguan saluran cerna karena adanya
massa cacing. Anemia dapat terjadi pada berbagai tingkat keparahan. Pengobatannya
adalah dengan kuinakrin hidroklorida. Pencegahan utamanya adalah dengan
pengobatan penderita untuk memutus rantai penularan dan memasak daging hingga
matang. Sanitasi lingkungan yang baik akan menurunkan penyebaran telur pada
tanah.
2. Cacing pita ikan
Penyebab penyakit adalah Diphyllobothrium latum. Sumber penularannya adalah
manusia dan beruang. Cacing pita ini sering terdapat pada ikan yang mentah.
Pencegahannya adalah pengawasan terhadap pengelolaan ikan, pemasakan ikan, dan
sanitasi lingkungan.
3. Cacing pita tikus
Penyebab penyakit adalah Hymenolepis spp. (H. nana) dan Drepanidotaenia spp.
Infeksi ini sering terjadi dinegara berkembang. Sumber penularan tersering adalah
manusia dan tikus. Cacing jenis ini terdapat pada air dan makanan yang
terkontaminasi telur “dwarf worm”. H. Nana dapat diobati dengan miklosamid
dengan tambahan dosis selama 6 hari untuk melenyapkan parasit ketika mereka
berkembang menjadi dewasa. Atau praziquantel dengan dosis 25 mg/kg.
Pencegahannya adalah higiene perorangan, pembuangan feses secara aman,
penyediaan air bersih, pemberantasan dan pengendalian tikus.
6. Trematoda (cacing daun)
Ada lima spesies dari Trematoda yaitu Schistosoma Mansoni, S. Japonicum, S.
Haemotobium, S. Intercalam, dan S. Mekongi. Gejala pada anak dengan S. Haemotobia
kronis biasanya mengeluh sering berkemih. Terdapat eritrosit dalam urin. Sedangkan
Anak dengan S. Mansoni, Japonica, intercolatum, dan mekongi dapat mempunyai gejala
itestinal, sperti nyeri kolik perut, dan diare.
a. Schistosoma Mansoni
1) Epidemiologi: banyak terdapat di Afrika tropis dan Amerika Selatan
2) Sumber penularannya adalah manusia, kera dan tikus. Penularan terjadi melalui
kontak langsung dengan air tawar seperti danau, sungai atau genangan air yang
mengandung larva infektif dari cacing Schistosoma mansoni. Larva akan
menembus kulit manusi yang utuh atau sehat (tanpa luka). Hospes perantaranya
adalah siput air tawar, di Indonesia biasanya dari genus Oncomelania.
3) Pencegahannya adalah dengan menghindari kontak langsung dengan air yang
terkontaminasi oleh larva cacing tersebut (biasanya pada daerah endemik), terapi
untuk penderita, pengendalian hospes perantara, dan sanitasi.

b. Schistosoma japonicum
1. Epidemiologi: banyak terdapat di Jepang, Cina, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.
2. Sumber penularannya adalah manusia, anjing, kuncing, sapi, kerbau, kambing,
domaba, dan hewan liar lainnya. Hospes perantaranya adalah siput air tawar.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan air tawar yang terkontaminasi
oleh larva infektif cacing ini.
3. Cacing ini dapat bermigrasi kepembuluh darah otak dan menimbulkan lesi
setempat yang menyebabkan kejang.
4. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan air tawar
yang terkontaminasi, sanitasi, terapi untuk penderita, dan pengendalian siput air
tawar.

Diagnosis Skisostoma ditemukan dalam ekskreta individu yang terinfeksi.


Pemeriksaan kuantittaif harus digynakan untuk memberikan petunjuk intensitas
infeksi. Urin juga diambil saat tengah hari (saat waktu maksimal ekskresi telur),
lalu difiltrasi membran nukleopor untuk diagnosis infeksi S. Hematobium.
Pemeriksaan tinja dengan prosedur pulasan tebal Kato merupakan metode pilihan
untuk diagnosis dan kuantifikasi infeksi skistosoma lain.

Pengobatan dengan praziquantel efektif terhadap semua infeksi skisostoma.


Diberikan secara oral sebagai dosis tunggal atau terbagi 40-60 mg/kg.
C. Penatalaksanaan

a. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan lab : Jenis cacing nematoda : ancylostoma duodenal, necator americanus /


cacing tambang.

2. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan:

a) eosinofilia(1.000-4.000 sel/ml),

b) feses normal,

c) infiltrat patchy pada foto toraks dan

d) peningkatan kadar IgE

(Sutanto, Ismid, Sjarifudddin, & Sungkar, 2013)

Diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan beberapa cara:

1. Pemeriksaan Sediaan langsung


Diambil tinja kira-kira 0,2 g diletakan pada kaca benda. Kemudian ditambah 1-2 tetes
larutan garam fisiologis dan diratakan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan langsung
diperiksa dibawa mikroskop. Untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak
lebih jelas, dapat digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garam fisilogis.

2. Tehnik Pengapungan Dengan NaCl jenuh.


Dimasukan tinja kurang lebih 5 g kedalam tabung reaksi dan ditambah NaCl jenuh, diaduk
sampai homogen, diambil kaca tutup, dan diamkan 10-15 menit di dalam tabung reaksi.
Diambil kaca tutup tnpa mengubah kedudukannya langgsung diletakan pada kaca benda dan
diperiksa telur-telurnya.

3. Pemeriksaan Tinja Menurut Kato


Tehnik ini dirintis oleh kato untuk pemeriksaan telur cacing,yaitu: memotong kertas
selofan 30-50 mm x 20-30 mm dan direndam dalam larutan malachite green 3% yang encer
selama 24 jam atau lebih. Ambil tinja 50-60 mg diletakan diatas kaca benda dan tutp sepotong
selofan yang telah direndam dalam larutan tersebut. Diratakn dengan ibu jari dan ditekan
selofan tadi supaya tinjanya merata. Kaca benda tersebut didiamkan pada suhu 400C selama
30 menit atau suhu kamar selama 1 jam. Sediaan tersebut diperiksa dengan pembesaran lemah
atau lensa objyektif 10x.

4. Tehnik Biakan dengan Arang


Tehnik ini untuk kultur larva adalah menggunakan arang dengan meniru keadaan alam.
Caranya diencerkan 20-40- g tinja dengan air kran smapai menjadi suspensi yang kental.
Disaring dengan 2 lembar kain kasa dan ditampung dalam cawan petri yang besar( kurang
lebih 3x 4 inci) berisi butiran arang kecil. Butiran arang tersebut di campur dengan air sedikit
sehingga keadaan menjadi lembab, Jangan terlalu banyak. Cawan petri di tutup dan
ditempatkan pada tempat yang aman. Pada hari berikutnya cawan petri harus di periksa,
apakah masih cukup airjika di perlukan tambahkan air.cawan tersebut diperikas pada tiap hari,
harus hati-hati sebeb air yang mengandung larva yang terdapat pada permukaan bagian bawah
tutp, merupakan larva infektif. Hari ke 5 atau 6 dalam kultur dapat dihasilkan larva
cacing.Untuk memeriksa larva siapakn kain kasa yang dipotong sma dengan diameternya.
Kain kasa di ambil dengan hati-hati, pasang penjepit.upakan jangan smapai menyentuh arang.
Tutup cwan petri dibuka sedkiti supaya kena sumber cahaya 6-8 inci. Setelah 1 jam saringan
diambil dengan penjepit/pinset dan diletakn ke permukaan air. Hasil dpat diambil setelah 30-
60 menit dengan sebuah pipet diberikan pada kaca benda serta ditutup dengan kaca pentup
dan periksa dibawa mikroskop.

5. Tehnik Menghitung Telur Cara Stool


a. Metode ini dapat digunakan untuk menaksir jumlah cacing dengan menghitung jumlah
telur.
Caranya: sebuah botol di isi dengan NaOH 0,1 N 56 ML(Stool) dan dimasukan tinja,
diaduk smapai homogen, dipipet 0,15 dan diletakan dikaca benda lalu ditutup dengan
kaca penutup dan periksa. Telur per gram akan tergantung pada konsistensi fesesnya,
yaitu:
1) Tinja yang lembek,EPG (egg per gram) dalam pemeriksaannya dikalikan setengah.
2) Tinja setengah encer,EPG yang diperoleh dikalikan 2.
3) Tinja encer, EPG yang diperoleh pada pemeriksaan dikalikan 3.
6. Tehnik pengendapan Sederhana
Tehnik ini memerlukan waktu yang lama, tetapi mempunyai keuntungan karena dpat
mengendapkan telur tanpa merusak bentuknya. Caranya: diambil 10 mg tinja dan diencerkan
dengan air sehingga volumenya menjadi 20 kali. Disaring melalui 2 lembar kain kasa dan
dibiarkan 1 jam. Menuangakan supernatan dan ditambahkan dengan air dan didiamkan
selama 1 jam serta di ulangi sampai supernatan menjadi jernih. Kemudian ditunangkan
supernatan yang jernih dengan pipet panjang untuk mengambil endapan dan ditempatkan
pada kaca benda sefta ditutup dengan kaca peutup.selanjutnya dibaca dibawah mikroskop.

7. Tehnik biakan Menurut Harada Morn


Metode ini menggunakan tabung dengan diameter 18 mm dan panjang 170 mm. Kira-kira
0,5 g tinja di oleskan pada 2/3 dari secarik kertas saring yang lebarnya 25 mm dan
panjangnya 150 mm dengan menggunakan batang pengaduk. Dari kertas uang dioleskan
tinja, dilipat menjadi 2 melalui poros yang panjang dengan permukaan yang diolesi di bagian
dalam dan disisipkan kedalam tabung tes, di tambah air dan air tidak menyentuh tinja.
Tabung di ikat dengan karet, kemudian tabung di simpan 4-7 hari pada suhu kamar.
Larva yang berkembang biak muncul di dalam air 3 hari setelah dikultur dan mencapai
maks 7 hari. Larva dalam air dapat diperiksa dengan loupe atau mikroskop pembesran
obyektif 10x.

8. Tehnik Pengapungan Dengan Pemusingan dengan ZnSO4


Diambil tinja sebesar biji kelereng dan dimasukan kedalam tabung reaksi, ditambah air
sedikit demi sedikit dan diaduk samapi volume menjadi 10 kalinya. Diambil kain kasa untuk
menyaring tinja yang telah diaduk dan di ditampung dalam tabung pemusing. Dipusing
dengan kecepatan 1800 rpm selama 1-2 menit dan ini lakukan sebanyak 3-4 kali. Tambahkan
larutan ZnSO4 samapi 2/3 tabung pemusing dan diaduk serta dipusing lagi dgn kecepatan
1800 rpm selama 1-2 menit.material yang mengapung diambil dengan pipet dan di taruh di
kaca benda di tambah larutan J-KJ, dicampur, ditutup memakai kaca tutup dan diperiksa
dibawa mikroskop.
9. Tehnik Pengapungan dengan Gula
Diambil tinja 3 mg dilarutkan dalam 3 ml larutan gula dan diaduk smapai rata. Ditambah
larutan gula jenuh lagi samapi permukaan mulut tabung cembung. Kaca tutp ditaruh diatas
tabung reaksi, setelah 25 menit kemudian kaca tutup diletakan diatas kaca benda. Periksa di
bawa mikroskop. (Widoyono, 2011)

10. Ponsel mikroskop


Ponsel ini merupakan hasil penelitian terbaru oleh Wilson & Marry (2013). Menggunakan
double tape dengan lubang tertusuk di dalamnya, para peneliti melampirkan sebuah 3-mm
lensa bola untuk kamera iPhone. Slide dari sampel tinja dari anak-anak di Tanzania disusun
menggunakan teknik tebal-smear Kato-Katz dan dianalisis dengan mikroskop cahaya
konvensional. Slide juga melihat dengan mikroskop ponsel dengan menempatkan mereka
terhadap double tape diterangi dari bawah oleh senter genggam kecil didukung oleh satu
baterai AA. Gambar, dilihat pada layar ponsel, yang diperbesar menggunakan fungsi zoom
digital untuk mencapai sekitar 50-60 pembesaran ×. Sebuah strip plastik tertutup slide untuk
mencegah kontaminasi dari bola lensa.

Secara keseluruhan, 199 slide yang dipilih secara acak diperiksa menggunakan kedua
metode. Dibandingkan dengan mikroskop konvensional, mikroskop ponsel menunjukkan
sensitivitas 69% untuk mendeteksi cacing soil transmitted - 81% untuk Ascaris (93% pada
anak-anak dengan moderat untuk infeksi berat), 54% untuk Trichuris (77% untuk moderat
untuk infeksi berat ), dan 14% untuk cacing tambang. Spesifisitas adalah 62% secara
keseluruhan.

Manfaat dari penelitian ini adalah portabilitas pemeriksaan serta murah. Hanya saja perlu
ketelitian untuk membaca slide spesimen.
ASUHAN KEPERAWATAN HELMINTHIASIS

A. Pengkajian
1. Aktivitas dan istirahat
Gejala : insomnia, tidak tidur semalam karena diare.
2. Sirkulasi
Tanda : tachikardia ( respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri),
anemia, sianosis,.
3. Pernapasan
Tanda: batuk,suara napas mengik, bronkhi, sesak
4.  Nutrisi / cairan
Gejala : mual, muntah, dan anoreksia.
Tanda : hipoglikemia, dehidrasi, BB turun.
5.  Eliminasi
Tanda : diare, penurunan haluaran urin.
6.  Nyeri
Gejala : nyeri epigastrik, abdomen, nyeri apendesitis, nyeri perut, iritasi disekitar anus.
7.  Integritas ego
Gejala : ansietas.
8. Keamanan
Tanda : kulit kemerahan, kering, panas, suhu meningkat, kulit gatal.

B. Diagnosa Keperawatan

1. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan
muntah

2. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis

3. Keletihan berhubungan dengan anemia

4. Kekurangan volume cairan dan elektrolit b.d dehidrasi


C. Intervensi Keperawatan

1. Diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


mual dan muntah
a. Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam, diharapkan kebutuhan
nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan.
b. Kriteria hasil :
1) Status gizi: asupan makanan dan cairan: jumlah makanan dan cairan tubuh yang
dikonsumsi tubuh selama 24 jam.
2) Selera makan: keinginan untuk makan ketika dalam keadan sakit atau sedang
menjalani pengobatan.

INTERVENSI RASIONAL
a. Manejemen nutrisi Membantu atau, menyediakan asupanan
makanan dan cairan diet seimbang.
b. Pemantauan nutrisi Mengumpulkan dan menganalisis data pasien
untuk mencegah dan meminimalkan kurang
gizi.
c. Terapi nutrisi Pemberian makanan dan nutirisi untuk
mendukug proses metabolic pasien yang
malnutrisi atau beresikotinggi terhadap
malnutrisi.

a. Aktivitas keperawatan
1. manajemen nutrisi
a) Ketahui makanan kesukaan pasien
b) Tentukan kempampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
c) Pantauan kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
d) Timbang pasien pada interval yang tepat

b. Aktivitas kolaborasi
1. manejemen nutrisi
a) Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan jumlah
kalori dan jenis zat gizi yang di butuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
( khususnya untuk pasien yang memenuhi kebutuhan energy yang tinggi , seperti
pasien paca bedah dan luka bakar, trauma, demam, dan luka).

Evaluasi :

1. Status gizi atau asupan makanan dan cairan sedikit adekuat.


2. Makanan oral
3. Asupan cairan oral

2. Diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis


a. Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam, diharapkan integritas kulit
membaik.
b. Kriteria hasil :
a) Tingkat keparahan respons hipersensitivitas imun setempat terhadap antigen
lingkungan(oksigen) tertentu.
b) Keutuhan structural dan fungsi fisiologis kulit dan membrane mukosa.

INTERVENSI RASIONAL
a. Manejemen pruritus Mencegah dan mengobati gatal.

b. Sureveilants kulit Mengumpulkan dan menganalisis data pasien


untuk mempertahankan integritas kulit dan
membrane mukosa.
c. Perawatan luka Mencegah komplikasi luka dan meningkatkan
penyembuhan.

a. Aktivitas keperawatan

Kaji luka terhadap karakteristis berikut :

1. Lokasi, luas, dan kedalaman.


2. Adanya dan karakter eksudat termasuk kekentalan, warna dan bau.

3. Ada atau tidaknya granulasi atau epitelisasi.

4. Ada atau jaringan netrotik. Deskripsikan warna, bau, dan banyaknya.

5. Ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi setempat (misalnya, nyeri saat palpasi,
edema pruritus, indurasi, hangat, busuk, eskar, dan eksudat).

6. Ada atau tidaknya perluasan luka jika jaringan dibawah kulit dan pembentukan
saluran sinus.

b. Aktivitas kolaboratif

1. Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk mendapatkan bantuan dalam pengkajian,


penentuan derajat luka, dan dokumentasi perawatan luka, atau kerusakan kulit.

2. Perawatan luka (NIC) : Gunakan unit TENS (Trancitaneous Electrical Nerve


Stimulation) untuk peningkatan proses penyembuhan luka, jika perlu.

3. Diagnosa keletihan berhubungan dengan anemia

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam, klien mampu beradaptasi
dengan keletihan

b. Kriteria hasil :

a) Kesimbangan antara aktivitas dan istirahat.

b) Melaporkan ketehanan yang adekuat untuk aktivitas.

c) Status nutrisi adekuat.

INTERVENSI RASIONAL
a. Pantau TTV sebelum dan sesudah Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang
melakukan aktivitas. ditoleransisecara fisiologis.
b. Terapi aktivitas : memprogramkan dan Untuk meningkatkan rentang, frekuensi, atau
membantu aktivitas fisik, kognitif, sosial, durasi aktivitas klien.
dan spiritual tertentu.
c. Manejemen energi : mengatur Untuk mengobati atau mencegah keletihan dan
penggunaan energi. mengoptimalkan fungsi.
d. Manajemen nutrisi : berikan asupan Mempercepat penyembuhan anemia dan
nutrisi yang seimbang dan dapat menyediakan asupan diet makanan dan
meningkatkan eritrosit. minuman yang seimbang.
e. Kolaboratif : konsultasikan dengan ahli Untuk meningkatkan asupan makanan yang
gizi tentang cara peningkatan asupan berenergi tinggi.
nutrisi.

4. Diagnosa kekurangan volume cairan dan elektrolit b.d dehidrasi

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam, diharapkan kekurangan


volume cairan pada pasien dapat teratasi.

b. Kriteria hasil :

a) TTV dalam batas normal.

b) Kesimbangan cairan dan elektrolit.

c) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit baik, membran mukosa lembab, dan tidak
ada rasa haus yang berlebihan.

INTERVENSI RASIONAL
a. Ukur dan pantau TTV. Menjaga TTV tetap normal.
b. Monitor intake dan output cairan. Untuk mengetahui kesimbangan cairan.

c. Manejemen cairan elektrolit : mengatur Untuk menjaga keseimbangan cairan dan


dan mencegah komplikasi akibat elektrolit dalam tubuh.
perubahan kadar cairan dan elektrolit.
d. Pantau status hidrasi (turgor kulit, Sebagai indikator keadekuatan volume cairan.
membran mukosa).

e. Manejemen nutrisi : membantu atau Untuk mencegah dan meminimalkan malnutris


menyediakan asupan makanan dan cairan akibat kekurangan cairan.
dalam diet seimbang.
f. Kolaborasi : berikan terapi IV, sesuai Mengganti cairan yang hilang dan mencegah
program. kekurangan.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas tiga golongan besar yaitu
nematoda/cacing bulat/cacing gelang, cestoda/cacing pita/taeniasis dan trematoda (cacing
daun). Penyakit cacing sering diderita oleh anak-anak dibanding orang dewasa. Untuk itu
diperlukan pencegahan yang tepat agar terhindar dari infeksi cacing usus.
Pencegahan merupakan suatu hal yang penting daripada mengobati, pencegahan
timbulnya penyakit parasit ini dimulai dari hal yang sangat kecil, misalnya Minum air
yang sudah dimasak hingga mendidihdan tertutup. Masih banyak upaya untuk
pencegahan yang lainnya.

B. SARAN
1. Kepedulian terhadap lingkungan dimulai dari dini.
2. Memiliki jamban yang sesuai standar di masing-masing rumah agar tidak mudah
terkontaminasi.
3. Melakukan kebiasaan mencuci tangan bersih dengan air & sabun saat sebelum dan
setelah melakukan aktivitas yang behubungan dengan apapun itu baik makan dan
sebagainya

DAFTAR PUSTAKA

A. W. Wekesa, C. S. (2014). intestinal helminth infections in pregnant woman attending antenatal clinic
at kitale disctric hospital kenya. parasitology research.
Handayani, S. d. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta:
Salemba Medika.

HYPERLINK "http://cacingan.org/jenis-jenis-cacing-dalam-tubuh-manusia/" http://cacingan.org/jenis-


jenis-cacing-dalam-tubuh-manusia/

HYPERLINK "http://mediskus.com/penyakit/gejala-dan-ciri-ciri-penyakit-cacingan.html"
http://mediskus.com/penyakit/gejala-dan-ciri-ciri-penyakit-cacingan.html

Johnson, T. C. (2014, Juli 5). WebMd : Health & Pregnancy Guide (Anemia in Pregnancy). Retrieved
September 3, 2014, from WebMd: http://www.webmd.com/baby/guide/anemia-in-pregnancy

Sirwud. (n.d.). Diktat parasitologi.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai