Anda di halaman 1dari 29

1

KONSELING BAGI PENDERITA HIV/AIDS


DI KALANGAN MASYARAKAT ACEH

Artikel
Oleh;
Syahiruddin,SE,MSi
NIP.197108182006041004
Widyaiswara Madya BKPP Aceh

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di

Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan

konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak

dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan

penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan

pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun

praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu

memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan

(klien).

Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan

bimbingan dan konseling selama ini, seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling

sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan

bimbingan dan konseling, sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat

pemahaman dan penguasaan konselor tentang landasan bimbingan dan konseling.


2

Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-

asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya. Oleh karena itu, dalam upaya

memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi

para konselor, melalui Karya Tulis Ilmiah ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan

yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling untuk

penderita HIV/AIDS. Dalam penelitian ini Penulis meneliti tentang “Konseling bagi

Penderita HIV/AIDS di Kalangan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam”.

B. Landasan Bimbingan dan Konseling

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-

faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku

pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah

bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat

dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka

bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan

bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh

akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri

dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien).

Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum

terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan

konseling, yaitu ; landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan


3

landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan

dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan

pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan

dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun

estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan

usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu

? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat

dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan

filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada,

para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph,

dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :

 Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu
untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
 Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia
berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
 Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya
sendiri khususnya melalui pendidikan.
 Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup
berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-
tidaknya mengontrol keburukan.
 Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
 Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia
terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
 Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
 Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia
itu adan akan menjadi apa manusia itu.
4

2. Landasan Psikologis

Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman

bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk

kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai

oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c)

perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.

a. Motif dan Motivasi

Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang


berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang
dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi,
memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–,
menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada
suatu tujuan.

b. Pembawaan dan Lingkungan

Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan


mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak
lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-
kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu
dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada
lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu
akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula
yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi
(jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot).

c. Perkembangan Individu

Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya


individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya,
diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan,
moral dan sosial. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami
berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah
5

perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor


pembawaan dan lingkungan.

d. Belajar

Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia
belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri
individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang
baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan.

e. Kepribadian

Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan
yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Sementara itu, Abin
Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang
mencakup :

 Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten


tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
 Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
 Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
 Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
 Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan
atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci
tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
 Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain.

3. Landasan Sosial-Budaya
6

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman

kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang

mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan

produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan

dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-

budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat

mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang

melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan

perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang

bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka

tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat

menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang

besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor

dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya

yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber

hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar

budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d)

kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang

digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan

mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu

atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya
7

tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif

tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika

seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan

asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat

menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan

kapan harus berbuat sesuatu.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki

dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan

tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan

menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen,

prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan

penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.Sejak awal dicetuskannya gerakan

bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika,

pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam

Prayitno, 2003).

Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”.

Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan

praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi,

biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan

agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
8

pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun

prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain

dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk

penelitian.

Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga

hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong

perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-

kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya

secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi)

serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk

membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya

(2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan

konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat

yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan

kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang

berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai

spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan

konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas
landasan yang kokoh.
9

2. Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk


terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan.

3. Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan
psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

4. Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia,


dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.

5. Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang


menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi;
(b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d)
kepribadian.

6. Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam
layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang
keragaman budaya.

7. Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan
konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

8. Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan


pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan
pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
10

KONSELING
A. Konseling Umum

Konselor adalah orang-orang yang dilatih untuk membantu orang lain untuk

memahami permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi dan mengembangkan

alternatif pemecahan masalah, dan mampu membuat mereka mengambil keputusan atas

permasalahan tersebut. Jadi, proses konseling bisa digambarkan sebagai suatu dialog

antara seseorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan

konseling (konselor) dengan tujuan untuk memberdayakan klien agar mampu

menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas

permasalahan tersebut. Keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan konseling

hampir sama dengan yang dibutuhkan untuk mengajar, yaitu menciptakan suatu

komunikasi yang efektif.

Konseling adalah keterampilan yang membutuhkan latihan efektif untuk bisa

berkembang. Siapapun bisa mendapatkan kemampuan itu asalkan mau mempelajari

tekniknya. Pikirkan suatu saat ketika Anda sedang sedih dan membicarakan hal tersebut

dengan orang lain, teman, keluarga, pekerja sosial, dan lain-lain. Anda merasa jauh lebih

baik. Apa yang dilakukan orang tersebut untuk menolong Anda? Mungkin ia hanya

mendengarkan dan duduk dekat Anda, mungkin dia hanya mendengarkan dan tidak

menyalahkan.
11

B. Konseling HIV

Konseling HIV berbeda dengan konseling yang lain, walaupun keterampilan dasar

yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena:

� Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV/AIDS.

� Membutuhkan pembahasan mengenai praktek-praktek seks yang sifatnya pribadi.

� Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.

� Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan nilai


yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai konselor itu sendiri.

� Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil tes HIV yang positif.

� Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun anggota


keluarga klien. Pada dasarnya konseling HIV mempunyai 2 tujuan utama.

a. Untuk mencegah penularan HIV.


Untuk mengubah perilaku, ODHA tidak hanya membutuhkan sekedar informasi
belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat
menumbuhkan motivasi mereka. Misalnya dalam hal perilaku seks aman, tidak
berganti-ganti jarum suntik, dan lain sebagainya.

b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA (orang dengan HIV/AIDS).


Dalam segala aspek baik medik, psikologik, sosial, dan ekonomik. Dalam hal ini
konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu
hidup secara positif. Konselor dapat membantu ODHA untuk memperoleh
layanan yang berkaitan dengan pemantauan kekebalan tubuhnya (pemeriksaan
limfosit, CD4, viral load), IMS dan HIV/AIDS. Pencegahan/layanan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral (ARV) dll.

Beberapa ciri yang ditemukan dalam suatu konseling HIV, sebagai berikut :

1. Konseling sebagai proses membantu klien dalam:


• Memperoleh akses informasi yang benar.
• Memahami dirinya dengan lebih baik.
• Agar mampu menghadapi masalahnya.
• Agar mampu berkomunikasi lebih lancar.
• Mengantisipasi harapan-harapan,kerelaan dan mengubah perilakunya.
• Meningkatkan dan memperkuat motivasi mengubah perilakunya.
• Agar mampu menghadapi rasa kecemasan dan ketakutan.
12

2. Bukan suatu hal yang baku, dapat bervariasi tergantung kondisi daerah/ wilayah, latar
belakang klien, dan jenis layanan medis/sosial yang tersedia.

3. Menilai kesiapan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

• Bagaimana perasaan saya bila berhadapan dengan pengidap HIV/ penderita AIDS?
• Hal-hal apa pada diri klien yang membuat diri saya menjadi kesal?
• Hal-hal apa yang menjadi keterbatasan saya dalam bekerja sebagai konselor?
• Hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan dan kemampuan saya dalam bekerja
sebagai konselor?
• Bagaimana pandangan saya terhadap masalah perzinahan, ganti-ganti pasangan
seks, homoseks, pelacuran dan penyalahgunaan narkotik?
• Bagaimana saya harus menanggapi reaksi keberatan dari keluarga, teman, atau
tetangga terhadap pekerjaan saya sebagai konselor?
• Bagaimana saya menghadapi dan menanggulangi sikap agresif, kemarahan dan
pelecehan klien saya?
• Apa yang membuat saya sepakat bekerja dalam bidang HIV/AIDS?

4. Mendorong orang untuk memahami praktek seksual yang lebih aman, baik yang
menjalani tes HIV maupun yang tidak.

5. Mengembangkan hubungan dengan klien terutama untuk mengecek status


mental/kesiapan klien.
• “Bagaimana perasaan Anda selama menunggu hasil tes?”
• “Apa yang Anda kerjakan selama menunggu hasil tes?”

6. Integrasi perilaku, pengertiannya adalah memahami rencana perilaku setelah hasil tes
diterima.

• Memahami rencana dan komitmen klien terhadap rencana pencegahan dan


penurunan risiko HIV, misalnya penggunaan kondom, perilaku seksual yang
aman, penggunaan jarum suntik yang aman.
• Mendorong klien untuk berperilaku lebih sehat dan mau mengurangi perilaku
berisiko terhadap HIV. Misalnya menghilangkan stres dengan menjalankan
kegiatan/hobi seperti: olah raga, membaca, dan menulis.
• Mendorong klien untuk mengurangi kebiasaan buruk seperti minum alkohol,
memakai obat bius (lihat hal-hal khusus).
• Menerapkan makan sehat/menu berimbang.
• Menjelaskan kemungkinan terpapar HIV (lihat hal-hal khusus).
• Memberitahukan tempat rujukan bila klien merasa membutuhkan.
13

C. Responsif Penderita HIV

Respon klien saat mengetahui status HIV positif Klien memberikan reaksi yang

berbeda-beda pada saat mengetahui dirinya HIV positif. Beberapa reaksi yang dibahas di

sini adalah reaksi yang normal terjadi di saat seseorang mengalami tekanan mental/stres

yang besar. Seseorang mungkin bisa berubah dari satu respon ke respon berikutnya

sampai akhirnya sampai pada situasi menerima hasil tersebut, atau perasaan mereka akan

tetap berubah-ubah. Suatu hari mereka merasa sangat menolak hasil dan kesepian, di hari

lain mereka merasa penuh harapan dan kekuatan. Hari lain merasa depresi/tertekan, hari

berikutnya merasa marah.

Hal-hal yang menjadi kenyataan yang dialami oleh penderita HIV/AIDS yaitu :

a. Syok (shock)
Bagaimanapun seseorang mempersiapkan diri, adalah sangat mengejutkan untuk
menerima kenyataan dirinya sudah terinfeksi HIV. Seseorang mungkin merasa
bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat seperti ini sangat baik
bila klien didampingi seseorang yang sangat mereka percaya.

b. Penolakan hasil/penyangkalan (denial)


Pertama kali mereka mungkin tidak bisa percaya bahwa mereka mengidap
HIV/AIDS. Kadang-kadang mereka berpikir bahwa dokter melakukan kesalahan atau
menyangkal karena merasa masih sehat. Tidak mempercayai hasil adalah tekanan
yang kuat pada orang yang kebigungan untuk melindungi dirinya dari AIDS itu
sendiri. Menghadapi klien dengan keadaan demikian, jangan marah atau bersikap
tidak sabar. Cobalah untuk menjelaskan kembali pengertian pengidap HIV/AIDS, ini
adalah cara terbaik untuk mengatasi masalah penolakan hasil.

c. Marah-marah
Klien mungkin marah-marah setelah mengetahui dirinya positif HIV. Hal ini
seringkali dijumpai dan bisa terjadi klien menyalahkan diri sendiri, menyalahkan
orang lain yang telah menularkan HIV pada dirinya. Kadang-kadang klien
menyalahkan Tuhan. Perasaan marah memang normal, tetapi ini tidak membantu
menyelesaikan masalah, karena fokus klien adalah menyalahkan orang lain (marah
kepada penular HIV) dan menyalahkan diri sendiri (merasa bersalah), daripada
mengambil tindakan yang positif. Berbicara dengan seseorang (konselor) dapat
membantu mengurangi perasaan ini dan membantu klien untuk menerima situasi yang
ada. Kemarahan adalah reaksi yang sulit untuk diatasi, terutama bila kemarahan
tersebut ditujukan kepada diri Anda. Anda harus berusaha untuk mengerti dan tidak
14

menanggapi kemarahan klien tersebut, walaupun memang sangat sulit menerima


kemarahan tanpa bereaksi.

d. Kompromi (bargaining)
Klien dengan HIV mungkin mencoba berkompromi dengan dirinya dengan berpikir,
misalnya: “Tuhan akan menyembuhkan saya jika saya berhenti mencari PS” atau
“Saya akan sembuh, dan penyakit ini akan hilang”. Dalam keadaan ini, klien perlu
dibantu untuk mengatasi perasaan ini dengan memberikan penjelasan/informasi yang
benar tentang HIV, mengambil sisi positif mengetahui status HIV secara dini.

e. Ketakutan
Klien dengan HIV/AIDS merasa takut pada beberapa keadaan seperti: rasa sakit,
kehilangan pekerjaan, ketahuan orang lain, ditolak masyarakat, meninggalkan
keluarga/anak, ketakutan pada kematian. Ketakutan ini akan berkurang bila mereka
dapat berbicara dengan orang yang tahu masalah yang ditakutkan. Pada akhirnya
klien dengan HIV/AIDS tahu bahwa mereka takut pada sesuatu yang tidak perlu.
Misalnya dengan menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang dengan HIV positif, bisa
menunjukkan kasih sayang dan kebaikan pada orang lain daripada merasa ketakutan
akan sesuatu yang tidak perlu.

f. Kesepian
Klien sering merasakan ini. Perasaan ini sering datang dan pergi untuk wak-tu yang
cukup lama dan sangat tergantung dari adanya dukungan keluarga dan teman-teman
klien. Siapapun dengan HIV harus sering diingatkan bahwa mereka tidak sendiri,
mereka dikelilingi oleh keluarga, teman dan kelompok masyarakat yang peduli pada
mereka. Juga perlu diingatkan bahwa banyak juga orang lain yang terinfeksi HIV.
Bantu keluarga dan kelompok masyarakat untuk mengerti bahwa orang dengan
HIV/AIDS membutuhkan kebersamaan. Di antara orang-orang yang terinfeksi dapat
membentuk kelompok dan menyediakan tempat berbagi dan dukungan satu sama
lain.

g. Menurunnya rasa percaya diri


Seseorang dengan HIV mungkin berpikir bahwa orang lain melihat dan
membicarakan dirinya. Ini membuat mereka ingin sembunyi, kadang-kadang merasa
tidak nyaman untuk berteman. Konselor dapat membantu klien untuk tidak
bersembunyi atau merasa tersisih dengan cara mendorong mereka untuk tetap aktif
dalam kegiatan kemasyarakatan. Ini dapat meningkatkan penerimaan masyarakat
dengan menunjukkan pada dunia bahwa orang dengan HIV/AIDS adalah anggota
masyarakat yang mempunyai nilai di masyarakat, sama seperti yang lainnya.
Bantulah agar klien berpikir positif terhadap dirinya dan merasa bangga pada dirinya.
Tekankan bahwa klien masih tetap penting!
15

h. Rasa tertekan/depresi
Klien dengan HIV mungkin berpikir tidak ada lagi alasan untuk tetap hidup. Mereka
merasa tidak berguna, ingin tetap tinggal di rumah, tidak ingin makan, dan tidak ingin
berbicara dengan orang lain. Keadaan depresi dapat membuat seseorang merasa
lemah pada tubuh dan pikiran. Konselor harus mencoba membantu klien mengatasi
keadaan ini dan tidak menyerah. Doronglah klien untuk memakai baju yang bagus,
mengunjungi teman-teman, menyibukkan diri dengan kegiatan, membantu orang lain,
dan memikirkan keluarga/anak/teman-teman yang masih membutuhkan klien.

i. Penerimaan
Setelah beberapa lama, seseorang dengan HIV biasanya mulai bisa menerima
keadaannya. Ini akan membantu membuat klien merasa lebih baik. Seperti halnya
seseorang yang sudah lebih tenang pikirannya, akan mulai memikirkan jalan terbaik
dalam menjalani kehidupan. Mereka mungkin akan berpikir: “Apa hal terbaik yang
bisa saya lakukan untuk mengisi sisa hidup saya?”; “Apa makanan terbaik yang dapat
membuat saya tetap sehat?’, “Apa rencana saya untuk masa depan anak-anak saya?”
dan sebagainya.

j. Harapan
Konselor dapat membantu klien agar tetap mempunyai harapan dalam banyak hal,
misalnya:
• Harapan agar klien dapat panjang umur.
• Harapan supaya bayi mereka tetap sehat.
• Harapan bahwa setiap kesakitan akan terobati.
• Harapan karena mereka dicintai dan diterima apa adanya.
• Harapan obat yang menyembuhkan akan segera ditemukan.
• Harapan karena kepercayaan ada kehidupan setelah kematian.

Seseorang dengan HIV/AIDS, keluarga, tetangga pengidap, dan konselor,

seringkali merasa takut bahwa perasaan negatif seperti dijelaskan di atas akan menjadi

sangat kuat. Perasaan-perasaan negatif tersebut tidak dapat, dan tidak seharusnya

dihindari. Hal tersebut adalah reaksi normal terhadap krisis. Keluarga, teman, tetangga,

konselor, siapapun yang peduli, dapat membantu mengatasi perasaan ini dengan cara

mendengarkan dan membicarakan tentang perasaan negatif tersebut. Penanganan krisis

Sebagai konselor HIV, Anda harus siap menerima dampak negatif/positif dari konseling

yang Anda berikan. Dampak negatif konseling biasanya muncul akibat stigma yang

berkaitan dengan penerimaan layanan konseling dan tes HIV, atau akibat trauma
16

menerima hasil tes. Klien ada yang secara lisan bias mengemukakan ketidakmampuannya

menghadapi masalah ini, tetapi ada pula yang berperilaku tertentu misalnya mengucilkan

diri atau menolak melakukan kegiatan sehari-hari. Konselor harus melakukan suatu

penilaian risiko apakah klien mempunyai pikiran akan menganiaya diri sendiri atau orang

lain.

Di samping itu juga harus menggali riwayat perilaku sebelumnya tentang

perilaku menganiaya tersebut. Bila memang ada pemikiran ke arah tersebut, konselor

bertanggung jawab mengadakan kesepakatan dengan klien/keluarga/pasangannya untuk

mencegah hal tersebut. Secara spesifik kegiatan penanganan krisis adalah sebagai

berikut:

a. Melihat tanda-tanda risiko potensial:


• Pernyataan lisan klien bahwa ia tidak sanggup menerima kenyataan.
• Perasaan putus asa atau ide bunuh diri.
• Kemarahan berlebihan dan ide bunuh diri.
• Pengucilan diri.

b. Menilai risiko:
• Munculnya gagasan khusus yang berkaitan dengan rencana bunuh diri.
• Munculnya gagasan khusus menyakiti orang lain.
• Latar belakang/riwayat perilaku bunuh diri atau menganiaya orang lain.
• Kegagalan, kekecewaan atau trauma akhir-akhir ini.

c. Penanganan:
• Menilai kemampuan klien dalam menghadapi krisis di masa lampau.
• Membantu klien dengan teknik konkrit penyelesaian masalah.
• Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya selama konse-ling.
• Mendorong klien untuk berpartisipasi aktif dan positif menghadapi situasi ini. .
• Memberikan daftar rujukan untuk klien.
• Pilihan jalan keluar terakhir dilakukan bila semua teknik penyelesaian krisis sudah
diberikan, tetapi klien tetap diam dan tidak memberi tanggapan apa-apa, maka rujukan
ke psikiater atau perawatan di rumah sakit jiwa harus disiapkan.
17

D. Rangkuman

1). Konselor adalah orang-orang yang dilatih untuk membantu orang lain untuk
memahami permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi dan mengembangkan
alternatif pemecahan masalah, dan mampu membuat mereka mengambil keputusan
atas permasalahan tersebut.

2). Konseling adalah keterampilan yang membutuhkan latihan efektif untuk bisa
berkembang.

3). Beberapa ciri yang ditemukan dalam suatu konseling HIV, sebagai berikut :

1. Konseling sebagai proses membantu klien


2. Bukan suatu hal yang baku, dapat bervariasi tergantung kondisi daerah/ wilayah,
latar belakang klien, dan jenis layanan medis/sosial yang tersedia.
3. Menilai kesiapan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan.
4. Mendorong orang untuk memahami praktek seksual yang lebih aman, baik yang
menjalani tes HIV maupun yang tidak.
5. Mengembangkan hubungan dengan klien terutama untuk mengecek status
mental/kesiapan klien.
6. Integrasi perilaku, pengertiannya adalah memahami rencana perilaku setelah hasil
tes diterima.

4). Seseorang mungkin bisa berubah dari satu respon ke respon berikutnya sampai
akhirnya sampai pada situasi menerima hasil tersebut, atau perasaan mereka akan
tetap berubah-ubah. Suatu hari mereka merasa sangat menolak hasil dan kesepian, di
hari lain mereka merasa penuh harapan dan kekuatan.
18

DESKRIPTIF DAERAH PENELITIAN


A. Profil Provinsi Aceh

Provinsi Aceh memiliki luas wilayah 57.365,57 Km2 dengan penduduk sebanyak

4.031.600 jiwa (tahun 2005). Kepadatan penduduknya sendiri mencapai 68,90 jiwa/km2.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh

dua samudera ialah Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir

Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian

negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau

lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit

Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat dan gunung-gunung antara lain ;

puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 m), Bumi Telong (2.566 m), Ucop

Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam (1.782 m)

dan Seulawah Inong (866 m).

Sebagian besar penduduknya merupakan ras Melayu, tetapi terdapat juga

campuran ras Arab, Cina, Eropa dan India. Selain itu Aceh dikelompokkan menjadi

beberapa suku seperti suku Aceh, Pidie, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, Aneuk

Jamee and Simeulue. Di Aceh terdapat beberapa subsuku yaitu Aceh sebagai mayoritas

yang mendiami sebagian besar kawasan Aceh, Suku Pidie mendiami Aceh Pidie, Gayo

mendiami Aceh Tengah dan sebagian Aceh Tenggara, Alas mendiami Aceh Tenggara,

Tamiang mendiami sebagian Aceh Timur, Kluet dan Aneuk Jamee mendiami sebagian

Aceh Selatan.

Secara administratif, sejak tahun 1999 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

terdiri dari 17 kabupaten dan 4 kota dengan Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Salah
19

satu kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki keistimewaan adalah

Kota Sabang yang berada di Pulau Weh. Pulau ini terletak di ujung pulau Sumatera dan

merupakan zona ekonomi bebas serta daerah Indonesia yang terletak paling barat.

Tabel. Detail Profil Provinsi Aceh


Nama Resmi : Provinsi Aceh
Ibukota : Banda Aceh
Luas Wilayah : 56.500,51 Km2
Jumlah :
3.899.290 Jiwa
Penduduk
Suku Bangsa : Aceh, Pidie, Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleu, Kluet, Aneuk
Jamee.
Suku pendatang : Jawa, Minang, Palembang, Makassar dan lain-
lain.
Agama : Islam : 98,80 %, Kristen Protestan : 0,84% Khatolik: 0,16%, Buddha
: 0,18%, Hindu : 0,02%.
Wilayah : Kabupaten : 17, Kota : 4, Kecamatan: 241, Kelurahan : 112, Desa:
Administrasi 5.853
Lagu Daerah : Bungong Jeumpa

Lain-lain : 642 mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam


Provinsi NAD yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang
mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,
berkedudukan langsung dibawah kecamatan. Dipimpin oleh Imum
Mukim.
Sumber : Biro Pusat Statistik Prov. Aceh
B. Potensi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi Aceh memiliki banyak aspek potensial, salah satu di antaranya adalah

pariwisata. Sejarah Aceh meliputi perkembangan Islam, kerajaan, ilmu pengetahuan,

perdagangan, dll. Sejarah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh merupakan salah satu

dari lima besar dalam mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Situs-situs sejarah banyak

ditemukan di seluruh wilayah Aceh.


20

Pada tahun 2005, total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam mencapaiRp. 34,94 triliun. Kontribusi terbesar datang dari

sektor pertambangan dan penggalian yang mencapai Rp 8,14 triliun atau 23,3% dari total

PDRB provinsi ini disusul sektor pertanian dan sektor industri pengolahan dengan nilai

masing-masing sebesar Rp. 7,35 triliun (21,0%) dan Rp. 5,88 triliun (16,8%).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang kaya

akan minyak, gas bumi, dan hasil tambang lainnya. Sektor pertanian juga memiliki

potensi yang cukup besar di provinsi ini khususnya untuk tanaman perkebunan

diantaranya ; kelapa sawit, karet coklat, pala dan cengkeh. Namun tidak demikian

halnya dengan usaha perkebunan rakyat. Disamping itu sub sektor perikanan juga

memegang peranan yang signifikan yaitu perikanan laut dan perikanan darat.

Perkembangan perekonomian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditunjang

oleh 3 (tiga) kawasan industri yaitu Truman, Pasir Raja dan Labuhan Haji yang berada

di Kabupaten Aceh Selatan. Prasarana jalan darat provinsi ini sepanjang 15.458,48 km

yang terdiri dari jalan negara sepanjang 1.782,78 km dan jalan provinsi sepanjang

1.701,82 km. Untuk transportasi laut, terdapat 6 (enam) pelabuhan laut utama yaitu

Sabang, Meulaboh, Lhokseumawe, Kuala Langsa, dan Malahayati yang sekaligus

sebagai pelabuhan penyeberangan, pelabuhan penyeberangan yang lain adalah

Pelabuhan Balohan. Provinsi ini juga memiliki Bandar udara yaitu Bandar Udara Sultan

Iskandar Muda yang terletak di Kota Banda Aceh.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi juga sering digunakan sebagai

bahasa sehari-hari karena ada daerah yang memiliki bahasa daerah yang berbeda. Islam

merupakan agama yang dominan yaitu sekitar 98% dari populasi. Masyarakat asli Aceh
21

terutama beragama Islam, dan sisanya adalah agama Budha, Kristen dan Hindu yang

dianut oleh keturunan Jawa, Cina, Batak dan India. Kendati demikian kehidupan

beragama di Aceh cukup harmonis dengan toleransi yang cukup tinggi. Sarana

peribadatan seperti mesjid dan menasah terdapat di seluruh pelosok Aceh, sedangkan

Gereja, Toa Peh Kong dan Kuil Hindu hanya terdapat di kota-kota besar saja.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Proses Layanan Konseling Individual

Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada

peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian

lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan

bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus.

Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih

dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,

namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena

itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik

konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka

pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal

(tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap

perubahan dan tindakan).


22

1). Tahap Awal

Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor

dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan,

diantaranya :

 Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci


keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas
bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan;
dan kegiatan.
 Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin
dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu
memperjelas masalah klien.
 Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir
kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu
dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif
yang sesuai bagi antisipasi masalah.
 Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,
berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan
oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas
antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling,
yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan
konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.

2). Inti (Tahap Kerja)

Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya

adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang

harus dilakukan, diantaranya :

 Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah


dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap
masalah yang sedang dialaminya.
 Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien
meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
 Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.

Hal ini bisa terjadi jika :


23

 Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.
 Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar
peduli terhadap klien.
 Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun
pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.

3). Akhir (Tahap Tindakan)

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

 Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.


 Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah
terbangun dari proses konseling sebelumnya.
 Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
 Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya

Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien;

(2) perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3)

pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana

hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

B. Analisa Kasus HIV/AIDS di Aceh.

Jumlah penderita HIV/AIDS di Aceh terus bertambah, data terbaru yang

dikeluarkan Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh menemukan 4 penderita baru,

sehingga jumlahnya kini mencapai 24 kasus. Empat kasus terakhir ditemukan di Kota

Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan Kabupaten Bireun. "Tambahan empat kasus terbaru

itu kita temukan sejak Januari sampai awal Mei tahun ini," Kata Dr Abdul Fatah.

Kepala Seksi Pencegahan Penanggulangan Penyakit (P2P) ini juga menyebut dari

24 kasus HIV/AIDS itu, empat di antaranya HIV Positif dan 20 kasus AIDS. Di Aceh
24

terdapat 13 kabupaten/kota yang melaporkan penderita penyakit mematikan ini.

Kasus HIV/AIDS mencuat di Aceh sejak tahun 2004, kala itu ditemukan satu kasus, sejak

itu pula muncul penderita baru hingga di penghujung tahun 2007 lalu sudah ada 20 kasus.

"Ini baru empat bulan sudah ada empat kasus," kata Abdul Fatah sambil menyebut hingga

kini obat untuk menyembuhkan penyakit ini belum ditemukan.

Pasca tsunami penyebaran HIV/AIDS di Aceh amat mengkhawatirkan, karena

penderitanya terus bertambah. Sebelum tsunami Dinas Kesehatan di Aceh melaporkan

hanya seorang yang terjangkit HIV/AIDS. Laporan Juni 2007 sudah 13 orang penderita

dan sebulan kemudian jumlahnya menjadi 15 hingga akhir tahun 2007 jumlahnya

mencapai 20 penderita. Kebanyakan indikasi penemuan kasus penyebaran HIV/AIDS

tersebut diketahui saat korban memeriksa kesehatan ke rumah sakit akibat telah

terkomplikasi dengan penyakit lainnya.

Pemerintah Aceh harus mempunyai komitmen dalam menjalankan kesepakatan

nasional untuk penanggulangan AIDS, mempromosikan kerjasama multilateral dan

bilateral, serta memperluas kerjasama secara terpadu dalam program penanggulangan

AIDS di Aceh. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Komunitas Aceh Sehat (KASA),

Said Aandy Saida, menanggapi kecenderungan meningkatnya jumlah penderita

HIV/AIDS di Aceh pasca bencana gempa dan tsunami akhir 2004 lalu. Kenyataan saat

ini, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Aceh, hingga Maret lalu

jumlah penderita HIV/AIDS di Aceh tercatat sudah mencapai 12 orang, yang terdeteksi

tersebar di Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh

Barat, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tamiang dan Simeulue.


25

C. Kasus HIV/AIDS di Lhoksumawe

Jumlah penderita virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia (human

immunodeficiency virus/HIV) di Lhokseumawe, diduga meningkat menjadi tujuh kasus.

Namun, pihak Dinas Kesehatan Lhokseumawe, hingga bulan ini baru menetapkan satu

kasus penderita virus mematikan itu. Pokja Komunikasi Informasi dan Edokasi (KIE)

KPA Provinsi NAD, Drs H T Bachtiar mengatakan, dugaan meningkatnya kasus HIV di

Lhokseumawe menjadi tujuh kasus diutarakan oleh seorang peserta diskusi dengan

mengutip sejumlah argumentasi.

Namun, hal Ini belum dikatakan benar apabila belum ditetapkan oleh pihak Dinas

Kesehatan Lhokseumawe. Dugaan membengkaknya penderita HIV di Lhokseumawe

mencuat dalam diskusi yang diikuti sejumlah unsur Muspida Lhokseumawe dalam

rangka sosialisasi pembentukan Komite Pengendalian Aids (KPA) Cabang

Lhokseumawe. Masyarakat Kota Lhokseumawe dan sekitarnya perlu mewaspadai

penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV). Maraknya penggunaan narkoba dan

pergaulan bebas disinyalir telah terciptanya peluang penyebaran virus penyebab AIDS

tersebut.

Walikota Lhokseumawe Munir Usman mengingatkan bahaya AIDS di depan 200

lebih peserta seminar HIV-AIDS, Rabu (29/8) di aula Sekdako. Menurutnya, dari sebuah

sumber menyebutkan, sekitar tujuh atau delapan korban telah terjangkit penyakit yang

belum dapat disembuhkan itu. Jadi, penanggulangan bahaya AIDS harus terus dilakukan

melalui perkumpulan remaja."Seperti melalui remaja masjid dapat dilakukan dakwah

untuk menolak bala AIDS," jelasnya pada pembukaan seminar yang diadakan Yayasan

Permata Aceh.
26

Sekretaris Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Lhokseumawe, Dr. Makhrozal,

M.Kes dalam pembahasan seminar menjelaskan, selama tahun 2007 di Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD) sebanyak 22 orang terinfeksi HIV. Namun dari jumlah itu, diduga

masih banyak warga positif HIV belum teridentifikasi. Karena menurut estimasi pakar

AIDS, setiap satu kasus yang dilaporkan ada 100 kasus lainnya tak terlaporkan.

Sementara Sekretaris Umum Yayasan Permata Aceh, Mulyadi, S, KM mengakui peserta

seminar yang umumnya masih usia remaja melebihi dari yang diundang. "Ini sebuah

indikasi, perhatian mereka terhadap HIV sangat tinggi," jelasnya.

Mereka berasal dari perwakilan setiap Sekolah Menengah Atas dan mahasiswa. Selain itu

juga dari organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berada

di daerah itu.
27

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di

atas landasan yang kokoh. Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan

tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan

manfaat bagi kehidupan. Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan

filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya

memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.

Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang

menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b)

pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.

Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang

mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan

bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman

budaya. Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan

dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

Konseling adalah keterampilan yang membutuhkan latihan efektif untuk bisa

berkembang. Seseorang mungkin bisa berubah dari satu respon ke respon berikutnya

sampai akhirnya sampai pada situasi menerima hasil tersebut, atau perasaan mereka akan
28

tetap berubah-ubah. Suatu hari mereka merasa sangat menolak hasil dan kesepian, di hari

lain mereka merasa penuh harapan dan kekuatan.Beberapa ciri yang ditemukan dalam

suatu konseling HIV, sebagai berikut :

1. Konseling sebagai proses membantu klien


2. Bukan suatu hal yang baku, dapat bervariasi tergantung kondisi daerah/ wilayah,
latar belakang klien, dan jenis layanan medis/sosial yang tersedia.
3. Menilai kesiapan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan.
4. Mendorong orang untuk memahami praktek seksual yang lebih aman, baik yang
menjalani tes HIV maupun yang tidak.
5. Mengembangkan hubungan dengan klien terutama untuk mengecek status
mental/kesiapan klien.
6. Integrasi perilaku, pengertiannya adalah memahami rencana perilaku setelah hasil
tes diterima.

B. Saran-saran

Masyarakat Aceh pada dasarnya adalah masyarakat yang berbudaya dan

beragama, maka untuk menghindari gejala HIV/AIDS dapat diatasi sebagai berikut :

1. Menjaga tatanan lingkungan kehidupan keluarga yang islami dan berbudaya.

2. Melindungi generasi muda dari pergaulan bebas dan penyalahgunaan obat terlarang.

3. Membiasakan kehidupan yang bersih dan sehat.

4. Mempersiapkan pendidikan yang berlandaskan pada Agama yang Islami.

5. Mempertahankan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa.

6. Memperkuat mental dan ideologi generasi muda dengan kegiatan keagamaan.

7. Menjaga kehidupan yang berlandaskan moral dan etika.

8. Mempersiapkan filter terhadap arus budaya asing yang masuk kedaeran Aceh.

9. Memperkuat penegakan hukum negara dan hukum syariat islam.

10. Mempertahankan kehidupan masyarakat Aceh yang berbudaya dan islami sehingga

terwujudnya Baldatun Thaibatun Warabun Ghaffur.


29

DAFTAR REFERENSI

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.


Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan
Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta:
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary
and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan
Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI,
LIPI.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai