Anda di halaman 1dari 15

1.

DVI atau Disaster Victim Identification merupakan prosedur mengidentifikasi korban


yang meninggal akibat bencana missal secara ilmiah yang mengacu pada standar baku
International Criminal Police Organization. Proses DVI menggunakan bermacam-
macam metode dan teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier (PI)
yang terdiri dari sidik jari, odontologi, dan DNA serta Secondary Identifier (SI) yang
terdiri dari medis, aksesoris, dan fotografi. Menurut standar Interpol, identifikasi identitas
disebut sah dan benar apabila telah berhasil diuji oleh minimal satu Primary Identifier
atau dua Secondary Identifie (Saparwoko, 2006).

Menurut kelompok kami kasus diatas diperlukan Tim DVI untuk


mengidentifikasi dikarenakan kondisi didalam skenario merupakan bencana missal. Dari
sudut pandang medis dalam jurnal Aspsiasi Ilmu Forensik Indonesia, dikatakan missal
bila lebih dari 25 orang. Sehingga bila tidak melakukan prosedur DVI maka proses
identifikasi akan memerlukan waktu yang lama sedangkan kondisi mayat semakin
membusuk. Bencana masal yang terjadi secara hebat dan tidak terduga akan
menimbulkan banyaknya korban jiwa yang tidak dikenali atau tidak memiliki identitas.
Kesulitan mengenali korban akibat bencana atau kecelakaan masal sering menimbulkan
permasalahan dalam bidang kedokteranforensik. Dengan demikian, kegiatan identifikasi
korban bencana masal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang sangat
penting dan dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa
dalam jumlah yang banyak. Selain itu, pengenalan identitas korban juga bertujuan untuk
memberikan ketenangan psikologis kepada keluarga korban dengan adanya kepastian
identitas. 1

2. Istilah yang dipakai untuk lokasi bencana adalah TKP (tempat kejadian perkara). Tim DVI
dibagi atas Tim DVI Nasional, regional dan Provinsi. Pada kasus termasuk kedalam tim regional
Timur. Tim DVI dapat terdiri dari:

- Tim pendahulu (kepala tim DVI, spesialis tanganan emergency seperti polisi, ambulans,
Petugas forensik)

- Anggota organisasi yang memimpin komando DVI

- Unit penyelamatan yang bertugas melakukan pencarian dan penyelamatan


- Unit Investigasi Bencana yang bertugas memberikan bantuan nafas bagi korban yang masih
hidup.

- Unit informasi public yang akan berhubungan kemedia.

- Teknisi anatomis

- Penulis (biasanya perwira polisi atau penyidik forensik kematian)

- Fotografer. 2

3. Prosedur DVI yang dilakukan untuk mengidentifikasi: The Scene, Post Mortem Examination,
Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.

Pada fase scene atau pertama, tim melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban
mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila
bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati
diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi
penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan
selanjutny

Fase kedua adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat berlangsung bersamaan
dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan
dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-
banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang
melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA.
Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-
banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan,
ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau
kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem
diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. Setelah selesai keseluruhan proses
identifikasi, dengan hasil memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini
belumlah selesai.

Satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan
setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses
identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta
hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa
yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa
yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di
kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing. Tujuan
dilakukannya adalah Perawatan jenazah agar keluarga mendapatkan korban dalam kondisi
sebaik mungkin dan penyelesaian adminstrasi agar memiliki kekuatan hukum. Kegiatan yang
dilakukan pada tahapan ini mencangkup pemulasaran jenazah, penerbitan surat keterangan
identifikasi, surat kematian, asuransi & berita acara penyerahan jenazah.

Pada kasus diatas prosedur yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jenazah
adalah prosedur fase kedua dan ketiga yaitu fase pengumpulan data postmortem dan
antemortem. Data antemortem yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-
ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter
keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau
kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Gigi juga dapat
menjadi sumber sample DNA korban. 3

4. Data ante mortem termasuk data primer dalam proses identifikasi korban.
Setiap bencana masal yang terjadi akan menimbulkan banyak korban yang mungkin dapat
utuh, separuh utuh, membusuk, terpecah menjadi fragmen-fragmen, terbakar menjadi abu,
separuh terbakar, atau terkubur. Pada korban yang mengalami pembusukan, identifikasi
melalui sidik jari akan sulit dilakukan maka dapat digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi
karena gigi bersifat lebih tahan lama dalam proses pembusukan. Gigi merupakan anggota
tubuh yang bersifat kuat, pertumbuhannya dipengaruhi oleh genetik, dan memiliki nilai
individualitas yang tinggi sehingga gigi dapat digunakan sebagai data primer untuk
mengidentifikasi korban bencana masal yang tidak diketahui identitasnya. Dalam
melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan, yaitu:
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi yang dapat diperoleh antara lain umur, jenis kelamin, ras, golongan
darah, bentuk wajah, dan DNA.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Ciri-ciri demikian
antara lain misalnya ada gigi yang dibungkus logam, ada sejumlah gigi yang ompong atau
patah, atau lubang pada bagian depan yang dapat dikenali oleh kenalan/teman/keluarga
korban.
Metode identifikasi identitas dengan sarana gigi salah satunya adalah dengan cara
membandingkan antara data post mortem (hasil pemeriksaan korban) dan data ante mortem
(data gigi sebelumnya yang pernah dibuat korban). Dengan cara membandingkan ini, dapat
memberikan hasil sampai tingkat individu, yaitu dapat mengetahui identitas orang yang
diidentifikasi tersebut. Apabila hasil dari perbandingan itu sama, maka hasil identifkasi
tersebut positif yang artinya korban yang diperiksa tersebut sama dengan orang yang
diperkirakan. Sebaliknya apabila hasil identifikasi negatif, maka korban tersebut bukan
merupakan orang yang diperkirakan sehingga diperlukan untuk mencari data gigi lain untuk
dibandingkan. Apabila identifikasi dengan cara membandingkan akan diterapkan, maka data
ante mortem gigi korban merupakan syarat utama yang harus ada. Data ante mortem bisa
dapat berupa:
1. Dental record, keterangan tertulis tentang keadaan gigi pada pemeriksaan, pengobatan,
atau perawatan gigi.
2. Foto rontgen gigi.
3. Cetakan gigi.
4. Prothesis gigi atau alat ortodonsi.
5. Foto close up muka atau profil daerah gigi atau mulut.
6. Keterangan dari keluarga satau rekan terdekat korban yang diambil di bawah sumpah.
Data-data ante mortem tersebut bisa didapatkan melalui:
1. Klinik gigi rumah sakit pemerintah/TNI Polri dan swasta.
2. Puskesmas.
3. Rumah Sakit Pendidikan Universitas/Fakultas Kedokteran Gigi.
4. Klinik gigi swasta.
5. Praktik pribadi dokter gigi. Data antemortem yang didapat. 4
6. Identifikasi identitas korban bencana masal dengan sarana gigi (odontogram) dapat
dilakukan dengan cara membandingkan antara data postmortem (hasil pemeriksaan korban) dan
data antemortem (data gigi sebelumnya yang pernah dibuat korban). Tahap perbandingan
radiograf gigi antemortem dengan postmortem antara lain :

 Pemeriksaan kualitas, tipe dan waktu pengambilan radiograf gigi antemortem.

 Pemeriksaan spesimen postmortem dan duplikasi area of interest yang terlihat pada
radiograf antemortem dengan tampilan geometris yang sama, faktor eksposur yang
sesuai, dan pengolahan arsip.

 Penggunaan sistem penandaan atau pemasangan film radiografi gigi antemortem dan
postmortem dapat dibedakan

 Analisis radiograf secara visual dengan mempertimbangkan informasi tambahan yang


terdapat pada rekam medis seperti odontogram, model gigi atau foto klinis.

 Penjumlahan poin kesamaan dan perbedaan di antara radiograf antemortem dan


postmortem.

 Pengambilan keputusan untuk penarikan kesimpulan akhir.

Prosedur perbandingan diatas termasuk kedalam Fase DVI bagian Reconciliation


kegiatan pada fase ini berupa :

 Mengkoordinasikan rapat penentu identitas korban apabila terdapat kecocokan antara


data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary
Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers

 Mengumpulkan data-data korban yang telah dikenal untuk dikirim ke Tim Identifikasi
 Mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP,unit data Postmortem dan Unit data
Antemortem untuk korban yang masih belum juga dapat dikenal

 Membandingkan data Antemortem dan Postmortem;

 Check and recheck hasil Unit Pembanding Data

 Mengumpulkan hasil identifikasi korban;

 Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal
dan surat‐surat lainnya yang diperlukan

 Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantu masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

Apabila identifikasi dengan cara membandingkan akan diterapkan, maka data


antemorterm yang dapat dikumpulkan berupa: Dental record, keterangan tertulis tentang
keadaan gigi pada pemeriksaan, pengobatan, atau perawatan gigi, Foto rontgen gigi, Cetakan
gigi, Prothesis gigi atau alat ortodonsi, Foto close up muka atau profil daerah gigi atau mulut,
dan Keterangan dari keluarga satau rekan terdekat korban yang diambil di bawah sumpah.

Sedangkan untuk data postmorterm yang perlu dicatat pada saat pemerikasaan, berupa :

 Gigi yang ada dan tidak ada, bekas gigi yang tidak ada apakah lama atau baru terjadi.

 Gigi yang ditambal, jenis bahan dan kalsifikasinya.

 Anomali bentuk dan posisi gigi.

 Karies atau kerusakan gigi yang ada.

 Jenis dan bahan restorasi, perawatan dan rehabilitasi yang mungkin ada.

 Atrisi atau pengikisan dataran kunyah karena proses mengunyah. Derajat atrisi akan
berbanding lurus dengan usia.

 Pertumbuhan gigi molar ketiga. 3,4,5


Pada Kasus, data antemortem yang diterima berupa gambaran radiografi yaitu foto panoramic
pasien. Berdasarkan buku panduan rekam medik kedokteran gigi yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI tahun 2014, disebutkan bahwa ada 32 gigi permanen sesuai pada
kasus dan dengan tiap gigi memiliki 5 buah permukaan mesial, occlusal, distal, vestibular dan
lingual (M,O,D,V,L). Setiap permukaan akan diikuti oleh satu atau lebih kondisi yang dalam
panduan tersebut terdapat 33 kondisi. Adapun kondisi yang terlihat terutama dari radiografi bisa
berupa karies, tambalan, pengisian saluran akar, kehilangan gigi, jarak diastema, gigi yang sehat,
sisa akar, dan lain-lain. Pada kasus dari data antemortem terlihat pada gambaran radiografi
panoramik tambalan gigi 46 di bagian oklusal dengan gambaran radiopak, gigi 36, 45, dan
47 sudah dicabut dengan terlihat adanya diastema antara gigi pada gambaran radiografi
serta terlihat adanya atrisi dengan gambaran radiolusen pada gigi anterior. Hal ini
kemudian dibandingkan dengan tiap gigi geligi pada data postmortem. Kombinasi tiap
permukaan dan kondisi ini yang akan dilakukan analisis untuk mendapatkan sebuah kesimpulan
apakah data antemortem dan data postmortem berasal dari individu yang sama atau berbeda

7. Pada skenario, didapati bahwa data ante mortem yang diterima adalah foto panoramik gigi
dari keluarga korban. Untuk memperkirakan umur dan jenis kelamin berdasarkan foto
panoramic adalah:
Perkiraan Umur
 Metode Demirjian
Metode ini didasarkan pada
tahapan perkembangan 7 gigi
permanen rahang bawah kiri
melalui foto rontgen panoramic
didasarkan pada kriteria bentuk
dan nilai relative dan bukan pada
panjanng mutlak gigi. Metode ini
didasarkan pada estimasi usia
kronologis yang disederhanakan
dengan membatasi jumlah tahapan
perkembangan gigi menjadi
delapan tahapan dan memberinya
skor mulai dari “A” hingga “H”. Delapan tahapan tersebut mewakili kalsifikasi masing-
masin gigi mulai dari kalsiñkasi mahkota dan akar hingga penutupan apeks gigi.
Pemberian skor setiap gigi dan setiap tahap perkembangan berasal dari metode Tanner
yang menggambarkan maturasi tulang. Pemberian skor terbatas pada tujuh gigi permanen
pertama kuadran kiri bawah dan dibandingkan dengan representasi grafis tahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki kriteria khusus dan satu dua atau
tiga kriteria tertulis. Jika hanya terdapat satu kriteria harus dipenuhi untuk mencapai
tahap tertentu; jika terdapat dua kriteria maka dianggap terpenuhi jika yang pertama telah
ditemukan. Jika terdapat tiga kriteria maka dua yang pertama harus ditemukan agar
dianggap terpenuhi. Analisis statistik skor maturasi digunakan untuk masing-masing gigi
dari tujuh gigi dari tiap-tiap tahap dari 8 tahap perkembangan. Standar penghitungan anak
laki-laki dan perempuan dipisah.
Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke dalam skor dengan menggunakan
tabel untuk anak laki-laki dan anak perempuan secara sendiri-sendiri. Semua skor untuk
masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi dihitung. Skor maturasi kemudian
dikonversi langsung ke dalam usia gigi dengan menggunakan tabel konversi.
 Metode Nolla
Metode Nolla membagi periode kalsiñkasi gigi
permanen menjadi 10 tahapan dimulai dari
terbentuknya benih gigi sampai dengan
penutupan foramen apikal gigi. Pembentukan
crypte hingga penutupan apeks akar gigi yang
dapat dilihat pada foto radiografi disebut tingkat
1 dan selanjutnya sampai penutupan apeks akar
gigi adalah tingkat 10. Masing-masing tahapan
juga diberi nilai skor. Dengan foto panoramik
cukup menggunakan satu sisi dengan
mengabaikan geraham 3 gigi permanen rahang
atas dan rahang bawah dianalisis, dicocokkan
tahapannya dan diberi skor. Skor masing-masing tahapan ditotal. Metode Nolla juga
menggunakan tabel konversi

Jenis Kelamin
 Identifikasi jenis kelamin melalui Lengkung rahang atas
Pada pria, lengkung rahang lebih besar daripada wanita karena relatif gigi-geligi pria
jarak mesio distal lebih panjang dibandingkan dengan wanita. Sedangkan palatum pada
wanita lebih kecil dan berbentuk parabola. Dan pada pria, palatum lebih luas serta
berbentuk huruf U.
 Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang bawah
Lengkung rahang pria lebih besar dari wanita karena gigi-geligi wanita jarak mesio
distalnya lebih keci daripada pria.
 Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang
Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap regio dan bentuk serta besar dari rahang
pria maupun wanita yang sangat berbeda. Hal ini dapat digunakan sebagai sarana atau
data identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang.
a. Identifikasi jenis kelamin melalui sudut gonion
Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita.
b. Identifikasi jenis kelamin melalui tinggi Ramus Ascendens
Ramus Ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar daripada wanita.
c. Identifikasi jenis kelamin melalui Inter Processus
Jarak processus condyloidues dengan processus coronoideus pada pria lebih jauh
dibandingkan dengan wanita. Dengan kata lain pada pria mempunyai jarak lebih
panjang dibandingkan dengan wanita.
d. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar Ramus Ascendens
Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria mempunyai jarak yang
lebih besar dibandingkan dengan wanita.
e. Identifikasi jenis kelamin melalui Tulang Menton (dagu)
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton pria atau tulang dagu pria yang
dimaksud lebih anterior dan lebih besar.
f. Identifikasi jenis kelamin melalui Pars Basalis Mandibula
Pada pria, pars Basalis Mandibula lebih panjang dibandingkan dengan wanita dalam
bidang horisontal.
g. Identifikasi jenis kelamin melalui Processus Coronoideus
Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
dalam bidang vertikal.
h. Identifikasi jenis kelamin melalui Tebal tulang Menton
Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal dibandingkan dengan wanita, hal
ini kemungkinan karena masa pertumbuhan dan perkembangan rahang pria lebih lama
dibandingkan dengan wanita. Ukuran ini sangatlah relatif tergantung dari ras, sub ras
dan hanya dibandingkan sesama etnik-etnik saja.
i. Identifikasi jenis kelamin melalui lebar dan tebal Processus Condyloideus
Bentuk processus condyloideus bermacam-macam baik pria maupun wanita, tetapi
mempunyai tebal dan lebar yang berbeda. Pada pria ukuran diameter processusnya
lebih besar dibandingkan dengan wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan
latero medio lebih besar dibandingkan dengan wanita. 6,7
8. Jenis pengambilan radiografi yang dapat digunakan untuk data post mortem adalah radiografi
intraoral. Radiograf intraoral adalah alat identifikasi yang baik sebagaimana telah disebutkan
dalam penelitian Balagopal. Adapun teknik yang digunakan adalah periapikal dengan teknik
paralleling dan bisecting, dan bitewing adalah dua teknik radiograf intraoral yang umum
digunakan dalam proses identifikasi yaitu menghasilkan radiograf postmortem.

Teknik Periapikal
1) Teknik Paralelling12
- Menggunakan pemegang film dan perangkat penargetan
- Reseptor film / gambar sejajar dengan long aksis gigi.
- Arah sinar-X tegak lurus (3) ke long aksis gigi dan reseptor film/gambar
- Menggunakan rectangular collimation.
Posisi film dan sinar pada teknik paralleling
2) Teknik Bisecting12
- Film dipegang oleh pemeriksa/operator atau dengan bite-block
- Arah sinar X-ray primer (3) tegak lurus terhadap garis bisecting, antara sumbu panjang
gigi (2) dan reseptor film/gambar X-ray.
- Posisi kepala sangat penting, dengan bidang oklusal atas atau bawah (permukaan oklusal
gigi-rahang atas atau mandibula) sejajar dengan lantai.
- Tube diarahkan miring relatif terhadap bidang oklusal atas atau bawah tergantung pada
gigi yang sedang diperiksa.

Posisi film dan sinar pada teknik bisecting


- Menggunakan garis pusat sebagai berikut: insisivus - garis tengah, kaninus-ala nasi,
premolar-garis tengah pupil, molar-canthus luar dari mata.
Dalam pemeriksaan postmortem, penggunaan mesin X-ray portable dapat digunakan
dikarenakan adanya kebutuhan penyesuaian teknik radiografi periapikal pada mayat. Adapun
waktu pemaparan pada teknik periapikal adalah 0,18 sampai 0,22 detik. Dalam beberapa
pemeriksaan post-mortem, akses ke dalam rongga mulut akan sangat terbatas dan tidak
memungkinkan untuk menggunakan pegangan RINN atau pegangan film. Dalam kasus seperti
itu, film, pelat fosfor atau sensor mungkin dapat dipegang diposisikan didalam mulut dengan
menggunakan spons kecil, lilin, tissue, atau kateter balon atau perangkat lain yang
memungkinkan teknik bisecting digunakan. Bahkan jika akses yang memadai diperoleh, dapat
digunakan pegangan Rinn atau pegangan film yang ditempatkan pada posisinya, kadang-kadang
pula diperlukan perancangan metode untuk mempertahankannya pada tempatnya dengan
menjaga permukaan mandibular dan maksilla beroklusi secara manual. Sebagai alternative, ini
dapat dicapai dengan menggunakan galah panjang, tali, perban, atau perangkat lainnya.
Teknik Bitewing
- Menggunakan pemegang film dengan perangkat penargetan.
- Reseptor/film gambar diposisikan dengan long axisnya secara horizontal dan short
axisnya secara vertical didalam mulut.
- Long axis gigi sejajar dengan reseptor gambar
- Tepi anterior dari reseptor gambar harus diposisikan berlawanan denan aspeks distal gigi
kaninus bawah. Ini biasanya menghasilkan tepi posterior reseptor gambar yang memanjang tepat
diluar aspek mesial gigi molar ketiga bawah.
- Sinar sentral diposisikan tegak lurus terhadap gigi dan reseptor gambar dan miring ke
bawah sekitar 5-8° dan sejajar pada perangkat penargetan reseptor

Sinar sentral diposisikan tegak lurus terhadap gigi dan reseptor


- Penggunaan mesin X-ray portable dapat digunakan dikarenakan adanya kebutuhan
penyesuaian teknik radiografi bitewing pada mayat. 8,9,10

NOMAD hand-held X-ray unit (sinar-X portabel genggam)

Penggunaan perangkat sinar-X portabel genggam dapat digunakan pada situasi yang
berhubungan dengan pasien dan situasi forensik. Perangkat sinar-X portabel genggam dapat
digunakan dalam aplikasi odontologi forensik, misalnya, dalam bencana besar atau kecelakaan
fatal, di mana banyak individu harus diidentifikasi di lokasi, atau fasilitas yang kekurangan unit
radiografi tetap. Selain itu, pasokan listrik mungkin tidak praktis atau bahkan tidak ada di daerah
bencana massal atau unit sinar-X tetap dapat rusak.

Dalam keadaan seperti itu, perangkat sinar-X portabel yang dapat dibawa-bawa mungkin
bermanfaat untuk proses identifikasi. Untuk pekerjaan forensik, prosedur keselamatan radiasi
harus dirancang khusus untuk operator perangkat sinar-X portabel genggam, sedangkan pada
perawatan pasien, perlindungan pasien juga harus diperhitungkan. Dalam kedua situasi tersebut,
penggunaan harus selalu dijustifikasi berdasarkan kasus. Operator dan staf lain yang terlibat
dalam pemeriksaan radiografi atau anggota masyarakat selain pasien/korban harus dilindungi
secara memadai dari radiasi.

Untuk mematuhi ini, perangkat sinar-X portabel genggam harus dilengkapi dengan
semacam pelindung terhadap hamburan balik. Hal ini dicapai paling efektif dengan pelindung
hamburan balik. Radiasi hamburan balik diserap dalam pelindung akrilik berisi timah yang
dipasang di ujung perangkat. Pelindung ini memiliki timah yang setara dengan ketebalan 0,5 mm
dan melindungi tangan, wajah, dan kelenjar operator dari radiasi hamburan balik. Perangkat
sinar-X portable genggam ini harus selalu digunakan dengan pelindung hamburan balik di
tempatnya.11
Daftar pustaka

1. Prawestiningtyas E. Identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer dan sekunder


sebagai penentu identitas korban pada dua kasus bencana massal. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 2009; 25(2): 87-94.
2. Singh S. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Majalah Ked Nusantara. 2008; 41(4): 254-
8.
3. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan
Kenyataan. Indonesian Journal Of Legal and Forensic Sciences 2012; 2(1): 5-7.
4. Larasati AW, Irianto MG, Bustomi EC. Peran Pemeriksaan Odontologi Forensik dalam
Mengidentifikasi Identitas Korban Bencana Masal. Majority 2018; 7(3): 228-33.
5. Nandiasa SR,Bramma K,Mindya Y.Penggunaan Radiograf Gigi Untuk Kepentingan
Identifikasi Forensik.Odonto Dental J2016;3(1):75.
6. Dwi Kartika Apriyono. Metode Penentuan Usia Melalui Gigi dalam Proses Identikasi
Korban. CDK-236/ vol. 43 no. 1, th. 2016
7. Nur Nafi’iyah, Retno Wardhani. Sistem Identifikasi Jenis Kelamin Manusia Berdasarkan
Foto Panoramik. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2016.
8. Nandiasa SR, Kiswanjaya B, Yuniastuti M. Penggunaan Radiograf Gigi untuk
Kepentingan Identifikasi Forensik. ODONTO Dental Journal 2016; 3(1): 74-77.
9. Viner M D, Robson J. Post-Mortem Forensic Dental Radiography-A Review of Current
Techniques and Future Developments. Journal of Forensic Radiology and Imaging. 2017;
22-37.
10. Wenzel A, Richards A, Heidmann J. Matching Simulated Antemortem and Postmortem
Dental Radiographs From Human Skulls by Dental Students and Experts: Testing Skills
for Pattern Recognition. Journal Forensic Odontostomatol. 2010; 28(1): 5-6.
11. B. Rai, J. Kaur. Evidence-Based Forensic Dentistry. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
2013:141-2.

Anda mungkin juga menyukai