Anda di halaman 1dari 24

KEPERAWATAN STROKE

ASUHAN KEPERAWATAN STROKE DENGAN


GANGGUAN TEKANAN INTRAKRANIAL

OLEH :
Ameliya Gufrani (1914401001)
Rafid Rahman Dhana (1914401182)
Ropi Muliadi (1914401183)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bukittinggi , 26 Oktober 2021

Penyusun
BAB 1
KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1. DEFENISI
Tekanan Intrakranial (TIK) adalah suatu fungsi nonlinear dari fungsi otak,
cairan serebrosspinal (CSS) dan volume darah otak. Peningkatan tekanan intracranial
atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan
intracranial sebesar >15 mmHg atau > 250 mmH2O. Peningkatan tekanan
intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya terjadi pada trauma
kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan
iskemi pada otak yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa terjadi henti nafas
dan jantung ( Hudak & Gallo, 1998 ).
Tekanan intra kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jangan otak, volume
darah intrakranial, dan cairan cerebrospinal (CSS)di dalam tengkorak pada satu
satuan waktu. Tekanan normal dari tekanan intrakranial bergantung pada posisi
pasien dan berkisar kurang atau sama dengan 15 mmHg. Tekanan intrakranial dapat
meningkat apabila terjadi peningkantan jaringan, CSS, atau darah kranial.
Peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan disebut hipertensi intrakranial.
Hipertensi intrakranial menyebabkan neuron kapiler yang halus diotak tertekan
sehingga terjadi hipoksia, cedera dan kematian neuron, inflamasi dan pembengkakan,
dan akhirnya deteriorasi progresif fungsi otak. Apabial tekanan intrakranial mencapai
tekanan arteri rerata sistemik, aliran darah ke otak berhenti dan indvidu meninggal.

1. Hipotesis moro-kellie

Diruang intrakranial terdapat 3 komponen yaitu: jaringan otak (80%),cairan


serebrospinal (10%). pada saat kondisi normal tekanan intra kranial (TIK) di
pertahankan tekanannya dibawah 15 mmHg. Sebagai dasar untuk memahami tentang
fasiologi TIK adalah dengan hipotesis monrokellie. Maksud dari hipotesis ini bahwa
suatu peningkatan volume dari suatu komponen intrakranial harus dikompensasi
dengan suatu penurunan satu atau lebih dari komponen yang lain sehingga volume
total tetap dipertahankan. Kompensasi ini dapat dilakukan namun mempunyai batas,
yaitu dengan cara pemindahan cairan serebrospinal dari ruang intrakranial menuju
ruang lumbal, meningkatan absorbsi cairan serebrospinal dan menekan agar tekanan
sistem pena lebih rendah.

2. Lengkung volume-tekanan

Pada otak sanggup mengembang,menunjukan adanya peningkatan volume


intrakranial dapat ditolereasi tanpa harus meningkatkan tekanan intranial (TIK).
Namun bagaimana pun juga kemampuan pengembang intrakranial ada batasnya.sekali
pun ini dibatasi,suatu keadaan dekompensasi dilakukan pada saat meningkatnya TIK.
Hubungan antara volume dengan perubahan tekanan intraktranial dan peningkatan
kecil. Gambaran dalam kurva inijuga dipengaruhi oleh penyebab dan kecepatan
peningkatan volume dalam ruang intraktranial, misalnya para klien dengan epidural
hematome akut akan memperlihatkan kemunduran neorologi yang lebih cepat bila
dibandingkan dengan klien meningioma dan ukurannya sama.

3. Aliran darah sereberal dan autoregulasi

Aliran darah sereberal sebanding dengan permintaan untuk kebutuhan


metabolisme dari otak.meskipun hanya 2 % dari berat badan, memerlukan 15-20%
kardiak output dalam keadaan istirahat dan 15 % kebutuhan oksigen tubuh. Dahulu
diyakini bahwa aliran darah sereberal tergantung pada tekanan arterial secara pasif.
Bagaimana pun otak secara normal mempunyai suatu kapasitas kompleks untuk
mempertahankan secara konstan aliran darah meskipun jarak perbedaan yang jauh
dari tekanan arteri adalah suatu efek dari suatu auto regulasi .tekanan arteri rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) 50-150 mmHg tidak merubah aliran darah menuju
serebral pada saat mata autoregulasi. Diluar batas atau regulasi,aliran darah serebral
adalah kondisi akibat asidosis, alkalosis dan perubahan dalam kecepatan
metabolik.kondisi penyebab alkalosis (hipokapnia) menyebabkan kontreksi pembuluh
darah serebral. Suatu penurunan kecepatan metabolisme (misalnya hipotermia atau
karbiturat) menurunkan aliran darah serebral dan meningkatnya kecepatan
metabolisme menyebabnya peningkatan aliran darah serebral.

4. Tekanan perfusi serebral

Sangat sulit menggukur aliran darah serebral didalam klinik. Tekanan perfusi
serebral,adalah suatu tekanan taksiran,dimana merupakan gradien tekanan darah yang
melintasi otak dan dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata/ mean
arterial pressure (MAP) yang masuk dengan tekanan intrakranial/intrakranial pressure
(ICP) pada arteri. CCP pada orang dewasa sekitar 80-100 mm Hg, dengan range
antara 80-150 mm Hg. CCP dapat dipertahankan mendekati 60 mm Hg untuk
memberikan kebutuhan darah keotak secara adekuat. Jika tekanan perfusi serebral
menurun nilainya maka akan terjadi iskhemia. Tekanan perfusi 30 mm Hg atau
dibawahnya akan menyebabkan hipoksia neuronal atau kematian sel.

1.2 ETIOLOGI

Penyebab peningkatan tekanan intrakranial:

1. Space occupying yang meningkatkan volume jaringan


 Kontusio serebri
 Hematoma
 Infark
 Abses
 Tumor intrakranial

2. Masalah serebral

 Peningkatan produksi cairan serebrospinal


 Bendungan sistem ventrikular.
 Menurun absorbsi cairan serebrospinal.

3. Edema serebral

 Penggunaan zat kontras yang merubah homestatis otak.


 Hidrasi yang berlebihan dengan menggunakan larutan hipertonik.
 Pengaruh trauma kepala.

Sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial adalah:

a) Hiperkapnia dan hipoksemia.


b) Obat-obatan vasodilasi yang meningkatkan aliran darah ke otak (misalnya nicotinic
acid, histamina dan nydrochloride).
c) Valsava manuver (mengedan pada saat buang air besar dan turun dari tempat tidur)
d) Posisi tubuh seperti kepala lebih rendah, tengkurap, fleksi, ekstrim panggul dan fleksi
leher.
e) Kontraksi otot isometrik, gerakan kaki mendorong papan kaki atau mendorong
tempat tidur dengan satu tanggan.
f) Rapid eye movement (REM) sleep yang terjadi dengan mimpi.
g) Keadaan yang merangsang emosional klien (merasa sedih dengan penyakitnya
ketidak berdayaan).
h) Rangsangan berbahaya, misalnya tertekuknya selang kateter, nyeri saat tindakan
medis).

1.3 PATOFISIOLOGI
Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intracranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15
mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intracranial dipengaruhi oleh aktivitas
sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih
tinggi dari pada normal. Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan abdominal
dalam, batuk, dan mengedan atau valsalva maneuver. Kenaikan sementara TIK tidak
menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan
rusaknya kehidupan jaringan otak.
Ruang intracranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsure yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsure lainnya dan menaikan tekanan intracranial. Hipotesis Monro-Kellie
memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori ini
menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari
ketiga ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi
intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural ini dapat menjadi parah bila
mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran CSF ke dalam
kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan
TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah
penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak kearah bawah atau horizontal
(herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat
langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap,
mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan
kematian neuronal.
Tumor otak, cedera otak, edema otak, dan obstruksi aliran darah CSF berperan
dalam peningkatan TIK. Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan TIK)
disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia, iskemia
otak, meningitis, dan cedera). Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat factor
penyebabnya.
TIK pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema
terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan TIK
hingga 33 mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak
(cerebral blood flow, CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan
tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai reflek cushing, membantu mempertahankan aliran
darah otak. (akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikan tekanan intracranial).
Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK,
walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika TIK melebihi tekanan arteria dan
sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya, kejadian
ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat menurun.

1.4 MANIFESTASI KLINIS


1. Penurunan tingkat kesadaran.
Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :
a. Sebagian besar otak terbenrtuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi
sensitif terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak
mencukupinya kebutuhan oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan
daya nalar (kognisi).
b. Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh karena itu
gejala awal dari penurunan derajad kesadaran adalah somnolen, delirium dan
letargi.

2. Perubahan pupil (pada awalnya akan konstriksi kemudian secara frogresif akan
mengalami dilatasi dan tidak beraksi terhadap cahaya.
3. Perubahan tanda-tanda vital.pada awalnya tekanan darah akan meningkat sebagai
respon terhadap iskhemik dari pusat motor di otak, kemudian akan
menurun.denyut nadi akan cepat dan irregular, temperatur biasanya normal,
kecuali infeksi.

4. Disfungsi motorik dan sensorik.


Pada tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanantraktus
piramidalis kontra lateral pada massa. Pada tahap selanjutnya hemiplegia, dekortikasi
dan deserebrasi dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahap akhir (terminal
menjelangmati) penderita menjadi flasid bilateral. Secara klinis sering terjadi
keracunan dengan respon primitif perkembangan manusia, yaitu reflek fleksi yang
disebut trifleksi (triple fleksion). Trifleklsiterjadi akibat aktivasimotoneuron difus
dengan hasil berupa aktivasi otot-otot fleksosr menjauhi rangsang nyeri (otot-otot
fleksor dipergelangan lutut, kaki, dan panggul mengkontraksikankeempatanggota
badan kearah badan). Trirefleks ini merupakan bentuk primitif refleks spinal.
Tanda fokal motor neuron dan sensoris hemipareses dan hemiplegi. Tanda
Babinski, Hiperefleksia, rigiditas tanda penurunan fungsi motor. Kejang dapat
terjadi. Herniasi di atas batang otak deserebrasi dan dekortikasi.

5. Kelainan pengelihatan,berupa menurunya ketajaman pengelihatan,pengelihatan


kabur,dan diplopia.

6. Sakit kepala.
Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan struktur intrakranial yang peka nyeri
(duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus dan bridging veins).
Nyeri terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran pebuluh darah saat
kompensasi. Nyeri kepala I pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi nyeri yang
bertambah hebat saat bangkit dari tidur di pagi hari. Hal ini dikarenakan secara
normal terjadipeningkatan aktivitas metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari,
dimana pada saat tidurmenjelangbangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme
dan produksi CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.

7. Muntah tanpa nausea dan proyektil.


Muntah Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak
selalu sering dijumpai pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di
infratentorial atau akibat penekanan langsungpada pusat muntah.Kita belum mengerti
secara lengkap bagaimana mekanismerefleks muntah terjadi. Muntah dapat didahului
oleh mual / dispepsia atau tidak.Seandainya didahului oleh perasaan mual /
dispepesia, berarti terjadi aktivasi saraf-saraf ke otot. Bantu pernafasan akibat
kontraksi mendadak otot-otot abdomen dan thoraks.

8. Perubahan tekanan darah dan denyut nadi


Karena penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah. Penekananke
batang otak menyebabkan susasana iskemik di pusat vasomotorik di batangotak.
Seiring dengan meningkatnya TIK, refleks rtespon Chusing teraktivasi agar tetap
menjaga tekanan didalam pembuluh darah serebral tetap lebih tinggi daripada TIK.
Dengan meningginya tekanan darah, curah jantungpun bertambah dengan
meningkatnyakegiatan pompa jantung yang tercermin dengan semakin memburuknya
kondisipenderitaakan terjadi penurunan tekanan darah.Pada tahap awal denyut nadi
masih relatif stabil dengan semakin meningkatnya TIK, denyut nadi akan semakin
menurun kearah 60 kali permenit sebagai usahakompensasi. Menurunnya denyut nadi
dan “isi“ denyut terjadi sebagai upaya jatung untuk memompa akan ireguler, cepat, “
halus“ dan akhirnya menghilang.

9. Perubahan pola pernafasan


Respirasi karena herniasi otak sering menyebabkan disrithmia pada
respirasi.Cheyne - Stokes, Hiperventilasi, Apneustic, Cluster breathing, ataxic
breathing, Gasping Breathing, Depressed breathing.

10. Perubahn suhu badan


Peningkatan suhu badan biasanya berhubungan dengan disfungsi hipothalamus.
Pada fase kompensasi, suhu badan mungkin masih dalam batas normal. Padafase
dekompensasi akan terjadi peningkatan suhu badan sangat cepat dan sangattinggi.
Melonjaknya suhu badan dapat juga terjadi akibat infeksi sekunder, tetapi jarang
yang mencapai sangat tinggi sebagaimana halnya akibat gangguan fungsi
hipothalamus. Hipertermia akibat gagal pusat termoregulasi.
11. Hilangnya refleks – refleks batang otak
Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat
hilangnya atau disfungsi refleks-refleks batang otak. Refleks-refleks ini diantaranya
Refleks kornea, Oukosefalik, dan Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan
menjadi buruk bila terjadi refleks-refleks tersebut.
Hiccuping (cegukan) kompresi nerves vagus kontraksi spasmodik diafragma
akibat kompresi batang otak karena herniasi segera laporkan dokter.

12. Papiledema
Tergantung keadaan yang ada, pail oedema dapat terjadi akibat PTIK, atau
memang sudah ada sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi seandainya
belum menjadi tingkat yang sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa tak adanya
papiloedema tak beraarti tak ada PTIK. Pada beberapa orang dapat ada jika PTIK
terjadi secara bertahap. Papiledema perbesaran blindspot ketajaman penglihatan
turun.

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang yang dapat dilakukan untuk Peningkatan
Tekanan Intrakranial antara lain :
1. CT Scan. Meningkatt isotop pada tumor.
2. CT scan atau MRI. Identfikasi vaskuler tumor, perubahan ukuran ventrikel
serebral.
3. Angiografi serebral. Deviasi pembuluh darah.
4. X-ray tengkorak. Erosi posterior atau adanya kalsifikasi intracranial.
5. X-ray dada. Deteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.
6. Ekoensefalogram. Peningkatan pada struktur midline.

1.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dari Peningkatan Tekanan Intrakranial, yaitu :
1. Herniasi batang otak ireversible anoxia otak.
2. Diabetes Insipidus akibat penurunan sekresi ADH kelebihan urine,
penurunan osmolaritas urine, serum hiperosmolaritas dengan terapi :
cairan, elektrolit, vasopresin.
3. Sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) peningkatan
sekresi ADH kebalikan Diabetes insipidus terapi : batasi cairan, 3 %
hipertonic saline solution hati-hati central pontine myelolysis
tetraplegia dengan defisit nerves cranial. Terapi lain SIADH lithium
carbonate / demeclocycline blok aksi ADH.

1.7 PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan peningkatan tekanan intrakranial.
 Pembedahaan
 Dilakukan pada kline dengan tumor otak ,abses,pendarahan subdura atau
epidura hematom.
 Terapi obat : diuresis osmotik (manitol, gliserol, glumosa dan urea,
furosemide/lasix), kortikosteroid, antikonvulsi dan antihipertensi.
2. Pembatasan cairan.pemasukan cairan biasanya diberikan antara 900 ml/24jam
sampai dengan 2500 ml/24 jam.
3. Hiperventilasi untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 dalam batas normal.
4. Pengontrolan temperatur tubuh.
5. Pengaliran cairan serebrospinal dengan kateter drainage yang merupakan
tindakan sementara.
6. Terapi koma barbiturat bila pengobatan untuk mengatasi hipertensi intrakranial
tidak ada perubahan.
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Menurut Muttaqin (2008) pengkajian keperawatan stroke meliputi anamnesis riwayat


penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.

a. Anamnesis

1) Keluhan utama: kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat penyakit saat ini: serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung
sangat mendadak pada saat klien sedang melakukan aktivitas.
3) Riwayat penyakit dahulu: adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala dan lain-lain.
4) Riwayat penyakit keluarga: biasanya ada riwayat keluarga yang menderita
hipertensi, diabetes melitus atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.

b. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum: mengalami penurunan kesadaran. Suara bicara kadang


mengalami gangguan dan tanda-tanda vital yaitu tekanan darah meningkat dan
denyut nadi bervariasi.
2) Tingkat kesadaran: tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitive untuk mendeteksi disfungsi sistem persarafan.
3) Fungsi serebri:
 Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik.
 Fungsi intelektual: didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
 Kemampuan bahasa: penurunan kemampuan bahasa tergantung dari
daerah lesi yang memengaruhi fungsi dari serebri. Lesi pada temporalis
superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, lesi pada frontalis
inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif.
 Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan
bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
 Hemisfer: stroke hemisfer kanan menyebabkan hemiparese sebelah kiri
tubuh dan stroke pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan.
4) Pemeriksaan 12 saraf kranial
5) Sistem Motorik:
a) Inspeksi umum; didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
b) Fasikulasi dapatkan pada otot-otot ekstermitas.
c) Tonus otot didapatkan meningkat.
d) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan nilai kekuatan otot
pada isis yang sakit didapatkan nilai 0.
e) Keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan karena hemiparese
dan hemiplegia.
6) Pemeriksaan refleks:
a) refleks fisiologis: pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum
derajat refleks pada respons normal.
b) refleks patologis: pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
7) Saraf Sensorik: terjadi hemihipestesi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
B. Diagnosa Keperawatan

Menurut SDKI (2016) beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi klinis
terkait stroke yaitu:

a. Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan aneurisma serebral,


embolisme, hiperkolesteronemia, hipertensi.
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular dibuktikan dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk,
sputum berlebih, mengi, dispnea, gelisah.
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
dibuktikan dengan berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang
ideal, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah.
d. Konstipasi berhubungan dengan ketidakcukupan asupan serat, kelemahan
otot abdomen dibuktikan dengan defekasi kurang dari 2 kali seminggu,
pengeluaran feses lama dan sulit, feses keras, peristaltik usus menurun.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
dibuktikan dengan mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas, kekuatan
otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, fisik lemah.
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuskular
dibuktikan dengan menolak melakukan perawatan diri, tidak mampu
mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara mandiri.
g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral, gangguan neuromuskular
h. Resiko jatuh dibuktikan dengan penurunan tingkat kesadaran.

C. Rencana asuhan Keperawatan

a. Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan aneurisma serebral,


embolisme, hiperkolesteronemia, hipertensi.

Tujuan: Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal. Kriteria hasil: Klien tidak
gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS; E3M6V5, pupil isokor,
refleks cahaya (+), TTV dalam batas normal.

Menurut Doenges et al., (2012), intervensi mandiri:

1) Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan


keadaan normalnya/standar.
2) Pantau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, frekuensi dan
irama jantung, catat pola dan irama pernapasan.
3) Evaluasi pupil; catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap
cahaya.
4) Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis
(netral).
5) Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernapasan yang memaksa
(batuk terus-menerus).

Kolaborasi:

1) Berikan oksigen sesuai indikasi


2) Berikan obat sesuai indikasi:
 Antikoagulasi, seperti natrium warfarin, heparin, antitrombosit.
 Antifibrolitik, seperti asam aminokaproid (amicar)
 Antihipertensi
 Vasodilatasi perifer seperti siklandelat (cyelospasmol); papaverin
(pavabid/vasospan); isoksupresin (vasodilan), steroid, deksametason
(decadrone).
 Fenitoin (dilatin), fenobarbital
3) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi seperti AGD.

b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neuromuskular.

Tujuan: mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas agar tetap
bersih dan mencegah aspirasi. Kriteria hasil: bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak
terdengar, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
napas, pernapasan 16-20x/menit.

Menurut Muttaqin (2008), intervensi keperawatan:

1) Kaji keadaan jalan napas


2) Anjurkan klien mengenai teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, dan batuk kuat.
3) Atur/ubah posisi secara teratur (tiap 2 jam)
4) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan
5) Latih napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin, tahan napas selama
3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui
mulut.
6) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk
7) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase
8) Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi seperti aminofilin,
meta-proterenol sulfat (alupen).

c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan, faktor


psikologis (stress, keengganan untuk makan)

Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi. Kriteria hasil: Turgor kulit baik, asupan dapat
masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, berat badan meningkat, Hasil
lab: Hb dan Albumin dalam batas normal.

Menurut Tarwoto & Wartonah (2010), intervensi keperawatan:

1) Lakukan pemeriksaan fisik seperti sklera, konjungtiva, kulit dan tonus


otot.
2) Kaji intake makan pasien yang disediakan.
3) Timbang berat badan setiap hari jika memungkinkan.
4) Lakukan oral hygiene.
5) Atur posisi pasien semifowler pada saat memberikan makan.
6) Anjurkan pasien makan dengan porsi kecil tetapi sering sesuai dengan
diet yang diberikan.
7) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet yang sesuai.
8) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemasangan selang NGT.

Evaluasi Keperawatan

Menurut Muttaqin (2008), menjelaskan evaluasi yang diharapkan setelah melakukan


intervensi keperawatan antara lain:

a) Menunjukkan peningkatan status pernapasan: gas darah arteri dengan rentang


yang dapat diterima, tidak ada bunyi crackles, mengatasi sekret tanpa aspirasi.
b) Mendemonstrasikan perbaikan mobilitas sendi: partisipasi latihan rentang gerak
sendi, menggunakan alat bantu, tidak memperlihatkan adanya kontraktur.
c) Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri dalam keterbatasannya:
mengkompensasi keterbatasan, mengidentifikasi sasaran untuk perawatan diri.
d) Tidak ada nyeri: menunjukkan peningkatan kontrol fungsi usus dan kandung
kemih, memperlihatkan fungsi kognitif seperti sebelum sakit, memperlihatkan
tidak ada komplikasi.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN TIK

A. PENGKAJIAN (MENGUKUR TIK)


Tekanan intrakanial normal secara umum berada diantara 5-15 mmHg pada
orang dewasa normal, 3-7 mmHg pada anak-anak, dan 1,5-6 mmHg pada bayi/infants,
tekanan intrakranial diakatakan mening jika >20 mmHg, merupakan penyebab utama
terjadinya cedera otak sekunder pada pasien trauma.2 Pengukuran tekanan
intrakranial/otak, paling sering digunakan pada cedera otak akibat trauma, selain itu
dilakukan pada kondisi perdarahan otak, hidrosefalus, kelainan pembuluh darah otak,
infeksi otak, serta kondisi lainnya yang membutuhkan tindakan ini.
Tujuan utama pengukuran tekanan intrakranial adalah untuk menjaga aliran
darah dan oksigen ke otak, dengan menjaga tekanan intrakranial tetap normal.
Pemasangan ICP Monitor seperti yang direkomendasikan Brain Taruma
Fondationmaupun di RSUD dr. Soetomo yaitu pada pasien dengan GCS <9 dan CT
Scan Kepala yang abnormal atau pada pasien dengan CT Scan Normal disertai 2 dari
3 kondisi: usia >40 tahun, unilateral/bilateral postur motoric, dan tekanan darah
sistolik <90 mmHg.
Metode pemasangan ICP Monitor dapat dibagi menjadi 2 yaitu invasif dan
non invasif. Secara invasive, pengukuran tekanan intrakranial menggunakan EVD
masih menjadi gold standard sampai saat ini, sesuai dengan tujuannya yaitu drainase
cairan serebrospinal. Implantasi microtransducer seperti strain gauge devices,
pneumatic sensors dan fiber-optic sensors juga dapat digunakan. Sedangkan pada
metode non invasif, dapat digunakan Transcranial Doppler, berdasarkan pemeriksaan
computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI), Telemetric
Sensors5, Anterior Fontanelle Pressure Monitoring yang dapat dilakukan pada bayi,
funduskopi dengan melihat vena sentral retina dan selubung saraf optik merupakan
metode yang mudah dan sering digunakan. Perkembangan metode pengukuran
tekanan intrakranial masih dapat berkembang, perlu diingat juga bahwa manajemen
secara menyeluruh sangat penting agar perbaikan kondisi pasien dapat tercapai

B. PENGKAJIAN NEUROLOGIS
Pada saat melakukan pemeriksaan refleks dalam, pemeriksa perlu memastikan
posisi dan teknik pengetukan palu refleks benar dan diketuk pada tendon yang tepat.

Palu refleks tidak boleh dipegang secara keras, pemeriksa dapat memegang
gagang palu refleks dengan ibu jari dan jari telunjuk dan ayunkan secara terarah ke
tendon atau periosteum. Gerakan pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan
tangan pemeriksa dan bukan pada lengan pemeriksa, sehingga dapat bergerak secara
leluasa Pemeriksa juga harus memastikan letak anatomis pengetukan yaitu tendon.
Pengetukan dilakukan secara tak langsung yaitu pengetukan dilakukan diatas tendon
pasien pada jari pemeriksa. Metode perkusi indirek ini dilakukan apabila tendon yang
bersangkutan tidak berlandasan pada bangunan yang cukup keras sehingga
menyebabkan respon refleks menjadi lemah atau kurang nyata. Metode tersebut dapat
dilakukan untuk membangkitkan refleks tendon bisep brachialis dan bisep femoris

Pemeriksaan Refleks Dalam

Berikut adalah beberapa pemeriksaan refleks dalam yang lazim diperiksa pada
pemeriksaan rutin:

1) Refleks Glabela:
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan pukulan singkat pada glabela
atau sekitar daerah supraorbitalis, yang akan mengakibatkan kontraksi singkat kedua
m. orbicularis oculi. Pusat refleks ini terletak di pons. Pada lesi perifer n. facialis,
refleks ini akan menurun ataupun negatif, sedangkan pada sindrom parkinson refleks
ini meningkat.

2) Refleks Rahang Bawah (Jaw Reflex):


Pemeriksa dapat mengarahkan pasien untuk membuka mulut sedikit dan
posisikan jari telunjuk pemeriksa melintang di dagu lalu ketuk dengan palu refleks
pada jari telunjuk pemeriksa, yang akan memberikan respon berupa berkontraksinya
m.masseter sehingga mulut merapat. Pusat refleks ini terletak di pons.[10]

3) Refleks Tendon Biceps Brachialis:\


Posisikan lengan pasien pada posisi semi fleksi sambil menempatkan ibu jari
pemeriksa di atas tendon otot biseps lalu ketukkan palu refleks pada ibu jari
pemeriksa, yang akan memberikan respon berupa fleksi lengan siku. Pusat refleks ini
terletak pada C5-C6, yang dipersarafi oleh n.musculocutaneus.[4,10]

4) Refleks Triseps:
Posisikan lengan bawah pasien di sendi siku pada posisi semi fleksi dan
sedikit pronasi. Pemeriksa dapat mengetuk pada tendon insersio m.triceps yang
berada sedikit di atas olekranon, yang akan memberikan respons berupa gerakan
ekstensi lengan bawah di sendi siku. Pusat refleks ini terletak pada C6-C8, yang
dipersarafi oleh n.radialis.[4,10]

5) Refleks Brakhioradialis:
Posisikan lengan bawah pasien fleksi serta sedikit dipronasikan lalu pemeriksa
mengetuk pada tendon brachioradialis, yang berada di dasar dari processus styloideus
radii. Hal ini akan memberikan respon berupa lengan bawah fleksi dan supinasi. Pusat
refleks ini terletak pada C5-C6, dengan lengkung refleks ini melalui n.radialis.[4,8]

6) Refleks Ulna:
Posisikan lengan bawah pasien semifleksi dan semi pronasi lalu ketukkan palu
refleks pada periosteum prosesus styloideus. Hal ini akan memberikan respon berupa
pronasi tangan karena adanya kontraksi m.pronator quadratus. Pusat refleks ini
terletak pada C8, T1, yang dipersarafi oleh n.ulnaris.[10]

7) Refleks Fleksor Jari-Jari:


Posisikan tangan pasien pada posisi supinasi dan ditumpukan pada alas yang
keras. Posisikan jari telunjuk pemeriksa menyilang pada permukaan volar falang jari-
jari pasien kemudian ketuk jari telunjuk pemeriksa menggunakan palu refleks.
Pada kondisi normal, jari-jari pasien akan berfleksi pada bagian terminal
falang, demikian juga pada falang akhir ibu jari. Apabila terdapat lesi piramidal, hasil
menunjukan fleksi jari-jari lebih kuat. Pusat refleks ini terletak pada C6-T1, dengan
lengkung refleks ini melalui n.medianus.[3,4]

8) Refleks Patella (Refleks Tendon Lutut):


Pemeriksaan ini disebut juga kniepeesreflex (KPR) yang berasal dari bahasa
Belanda, yang artinya refleks tendon lutut.
Pada pemeriksaan refleks ini, posisi pasien dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu pasien duduk dengan kedua kaki digantung, pasien duduk dengan kedua kaki
menapak pada lantai, dan posisi pasien berbaring terlentang dengan tungkai
difleksikan pada sendi lutut.
Pemeriksa dapat melakukan stimulasi dengan mengetuk pada tendon
m.quadriceps femoris (tendon patella). Hal ini akan memberikan respon berupa
kontraksi m.quadriceps femoris dan menyebabkan ekstensi tungkai bawah. Pusat
refleks ini terletak pada L2, L3, L.4, dengan lengkung refleks ini melalui n.femoralis.

9) Refleks Tendon Achilles (Refleks Triseps Sure):


Dalam bahasa Belanda pemeriksaan ini disebut sebagai achillespees reflex
(APR). Pada pemeriksaan ini pasien dapat diposisikan dengan tiga cara, yaitu pasien
berbaring dengan tungkai ditekuk pada sendi lutut dan kaki di dorsofleksikan, posisi
pasien berlutut diatas tempat periksa dengan ujung pergelangan kaki bebas di tepi
tempat pemeriksaan, dan posisi terakhir yaitu pasien duduk.
Pemeriksa dapat memberikan stimulus dengan mengetuk pada tendon achilles,
yang akan mengakibatkan berkontraksinya m. triceps surae dan memberikan gerak
plantar fleksi pada kaki. Pusat refleks ini terletak pada S1-2, dengan lengkung refleks
ini melalui n.tibialis.

10) Refleks Dalam Dinding Perut:


Posisikan pasien berbaring terlentang dengan kedua lengan lurus di samping
tubuh. Pemeriksa meletakkan jari atau kayu penekan lidah pada dinding perut dan
mengetuk menggunakan palu refleks diatasnya. Hal ini akan mengakibatkan otot
dinding perut yang bersangkutan berkontraksi. Pusat refleks ini terletak pada T6-T12.
Reaksi dinding perut ini memiliki nilai yang penting apabila dilakukan
bersama dengan refleks superfisial dinding perut. Apabila refleks dalam dinding perut
meningkat, sementara refleks superfisialis nya negatif maka hal ini menunjukan
adanya lesi piramidal pada tempat yang lebih atas dari T6.

11) Refleks Kornea:


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menyentuh kornea mata pasien dengan
sepotong kapas yang ujungnya dibuat runcing, yang akan mengakibatkan
dipejamkannya mata (m.orbicularis oculi). Perlu dipastikan pasien tidak melihat arah
datangnya kapas ke mata. Sensibilitas kornea dipengaruhi oleh N.V sensorik cabang
oftalmik.
Refleks kornea tampak berkurang atau justru tidak terjadi pada kondisi adanya
gangguan pada N.V sensorik, ataupun pada kondisi terjadinya kelumpuhan
m.orbicularis oculi yang dipersarafi oleh n.facialis (N.VII).

12) Refleks Kremaster:


Pemeriksaan refleks ini dilakukan dengan menggores medial pangkal paha
menggunakan benda yang agak runcing seperti pensil atau ujung gagang palu refleks
maupun ujung kunci, yang akan memberikan refleks berupa kontraksinya skrotum.
Lengkung refleks ini melalui L.1-2, dan akan memberikan hasil negatif pada kondisi
adanya lesi traktus piramidalis, dan juga pada orang lanjut usia, penderita hidrokel,
varikokel, orkitis, atau epididimitis.

13) Refleks Anus Superfisial:


Pemeriksaan ini dilakukan dengan merangsang kulit di sekitar anus dengan
menggunakan tusukan ringan ataupun goresan, yang akan mengakibatkan otot sfingter
eksternus berkontraksi. Lengkung refleks ini melalui S.2-4, S.5.

14) Refleks Telapak Kaki (Plantar Reflex):

Pemeriksa perlu menginformasikan pasien untuk melemaskan kaki, dan kemudian


menggoreskan telapak kaki dengan menggunakan benda yang agak runcing yang akan
menimbulkan respon berupa fleksi plantar kaki dan fleksi semua jari kaki.
Setelah melakukan pemeriksaan refleks fisiologi bersamaan dengan
pemeriksaan neurologi lainnya hasil interpretasi akan menentukan lokasi gangguan
saraf. Pemeriksaan lanjutan membutuhkan alat bantu penunjang lainnya seperti
radiologi maupun lumbal pungsi.

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti CT scan dan MRI, pemeriksaan EEG


untuk menilai aktivitas elektrik di otak, pemeriksaan electromyography (EMG) untuk
menilai aktivitas otot, maupun pemeriksaan electroneurography (EnoG) untuk menilai
konduktivitas saraf. Terkadang pemeriksaan lumbal pungsi juga diperlukan untuk
mengambil sampel cairan serebrospinal.

Interpretasi Hasil
Setelah melakukan pemeriksaan refleks, pemeriksa dapat menentukan jawaban
refleks yang dibagi atas beberapa tingkat yaitu
Negatif : tidak ada refleks sama sekali.
+ : refleks lemah
+ : refleks normal
++ : refleks berlebihan atau meningkat
Hasil refleks yang meningkat tidak selalu berarti ada gangguan patologis
namun apabila refleks pada sisi kanan tubuh dan sisi kiri berbeda maka kemungkinan
besar hal ini disebabkan oleh karena suatu kondisi patologis. Sehingga perlu diingat
untuk selalu membandingkan hasil refleks pada kedua sisi tubuh (kanan dan kiri).

C. PENGKAJIAN KESADARAN
Tingkat kesadaran tertinggi berada di skala 15, sedangkan tingkat kesadaran
terendah atau dapat dikatakan koma berada di skala 3. Nah, untuk mengetahui skala
tersebut, cara mengukur tingkat kesadaran dengan skala GCS adalah sebagai berikut:
a) Mata
Berikut ini adalah panduan pemeriksaan mata untuk menentukan angka GCS:
 Poin 1: mata tidak bereaksi dan tetap terpejam meski telah diberi rangsangan,
seperti cubitan pada mata.
 Poin 2: mata terbuka setelah menerima rangsangan.
 Poin 3: mata terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat mengikuti
perintah untuk membuka mata.
 Poin 4: mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan.

b) Suara
Untuk pemeriksaan respons suara, panduan untuk menentukan nilai GCS adalah
sebagai berikut:

 Poin 1: tidak mengeluarkan suara sedikit pun meski sudah dipanggil atau
diberi rangsangan.
 Poin 2: suara yang keluar berupa rintihan tanpa kata-kata.
 Poin 3: suara terdengar tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-kata, tetapi
bukan kalimat yang jelas.
 Poin 4: suara terdengar dan mampu menjawab pertanyaan, tetapi orang
tersebut tampak kebingungan atau percakapan tidak lancar.
 Poin 5: suara terdengar dan mampu menjawab semua pertanyaan yang
diajukan dengan benar serta sadar penuh terhadap lokasi, lawan bicara,
tempat, dan waktu.

c) Gerakan
Panduan penentuan angka GCS untuk pemeriksaan respons gerakan adalah sebagai
berikut:

 Poin 1: tidak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali walau sudah


diperintahkan atau diberi rangsangan nyeri.
 Poin 2: hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki atau meluruskan kaki
dan tangan saat diberi rangsangan nyeri.
 Poin 3: hanya mampu menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi
rangsangan nyeri.
 Poin 4: mampu menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika dirangsang
nyeri. Misalnya, orang tersebut merespons dengan menarik tangannya ketika
dicubit.
 Poin 5: mampu menggerakkan tubuhnya ketika diberikan rangsangan nyeri
dan orang tersebut dapat menunjukkan lokasi nyeri.
 Poin 6: mampu melakukan gerakan tubuh apa pun saat diperintahkan.

Skala GCS diperoleh dengan menjumlahkan setiap poin dari ketiga aspek
pemeriksaan di atas. Skala ini dipakai sebagai tahap awal evaluasi kondisi seseorang
yang pingsan atau baru mengalami kecelakaan dan kemudian tidak sadarkan diri
sebelum diberi pertolongan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai