MWVL MDKX ZDNi MJ Y5 MDE4 Yj I2 YWIy MGVJ M2 M1 YWE2 ODMx MDCX ZTNL Yw
MWVL MDKX ZDNi MJ Y5 MDE4 Yj I2 YWIy MGVJ M2 M1 YWE2 ODMx MDCX ZTNL Yw
AHMAD MARYUDI
ABSTRACT
The establishment of Forest Management Units (FMUs) has been made as one of the top policy priorities
by the Ministry of Environment and Forestry. The policy is expected to become a solution for problems
regarding to the management of forests in Indonesia, e.g. poor forest governance, tenurial problems, limited
capacity in the management of forests. FMU is conceptualized as a forest management agent/ institution at the
field. The policy of establishing FMUs is often viewed to add complexities of the current forest administration
and management structures. This paper discusses concepts of institutions and bureaucracies of the FMU
policy.
INTISARI
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas kebijakan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai
permasalahan mendasar pengelolaan hutan di Indonesia, seperti tata kelola yang buruk, ketidakjelasan hak
tenurial, dan lemahnya kapasitas dalam manajemen hutan. KPH dikonseptualisasikan sebagai penyelenggara
pengelolaan hutan di tingkat tapak. Kebijakan pembangunan KPH yang diatur oleh pusat dipandang dapat
menambah kompleksitas terhadap struktur pengurusan dan pengelolaan yang sudah ada selama ini.Makalah
ini membahas konsep tata hubungan kelembagaan dalam kebijakan KPH.
57
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
pengelolaan sumberdaya hutan yang sebaik-baiknya kebutuhan akan perlunya unit pengelolaan hutan di
secara berkelanjutan agar hutan dapat memberi tingkat tapak dan organisasi pengelolanya untuk
kemanfaatan yang optimal bagi bangsa dan negara. mencapai kelestarian (Kartodihardjo et al., 2011).
Sayangnya, pengurusan dan pengelolaan sumber- Dengan adanya KPH diharapkan mampu menjadi
daya hutan di Indonesia belum menggembirakan, pengelola di tingkat tapak untuk mencapai
yang dicerminkan oleh deforestasi dan degradasi terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
hutan yang terus berlangsung. Sampai dengan Kebijakan KPH diharapkan berfungsi sebagai
pertengahan dekade 1980-an, diperkirakan lebih dari enabling condition terhadap upaya memperbaiki
20 juta hektar hutan Indonesia rusak parah (Hurst, tata-kelola hutan, memperlambat laju degradasi,
1990). Angka deforestasi meningkat tajam dari 300 mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan,
ribu hektar/ tahun pada dekade 1970-an menjadi satu pelaksanaan perlindungan dan pengamanan hutan,
juta hektar/tahun pada awal 1990-an (World Bank, pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan hutan,
1990). Angka deforestasi mencapai puncaknya pada meningkatkan stabilitas pasokan hasil hutan, dan
akhir dekade 1990-an yaitu hampir tiga juta hektar/ menyediakan data dan informasi kawasan hutan.
tahun. Walaupun data resmi pemerintah menunjuk- Secara umum, sasaran yang ingin dicapai dengan
kan penurunan yang cukup nyata dalam beberapa kebijakan pembentukan KPH ini adalah memberikan
tahun terakhir (Kementerian Kehutanan, 2012), kepastian: 1) areal kerja pengelolaan hutan, 2)
deforestasi di Indonesia relatif masih cukup akut. wilayah tanggung jawab pengelolaan, dan 3) satuan
Studi terbaru dari Hansen et al. (2013) menunjukkan perencanaan pembangunan dan pengelolaan hutan,
bahwa angka deforestasi di Indonesia tercatat sebesar yang kesemuanya merupakan prasyarat kunci bagi
dua juta hektar/ tahun dari tahun 2011 sampai dengan pengelolaan hutan lestari (Departemen Kehutanan,
2012. 2006).
Belum optimalnya kebijakan di sektor kehutanan Permulaan pembentukan KPH sebenarnya sudah
tersebut disinyalir (salah satunya) disebabkan oleh dimulai sejak ditetapkannya kebijakan Pemerintah
kebijakan pemerintah di masa lalu, yang hanya berupa UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
melaksanakan fungsi administrasi pengurusan hutan Ketentuan Pokok Kehutanan. Namun amanat
dan belum melaksanakan pengelolaan hutan secara pembentukan KPH secara jelas baru tertuang dalam
fungsional sehingga sebagian besar kawasan hutan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
yang ditetapkan tidak memiliki kelembagaan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor
pengelola pada tingkat tapak (Kartodihardjo et al., 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan,
2011). Oleh karena itu, pemerintah c.q. Kementerian dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
menetapkan prioritas kebijakan pembentukan/ Tahun 2008 tentang Tentang Tata Hutan dan
pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
sebagaimana yang tertuang dalam UU No 41 tahun Pemanfaatan Hutan. Kebijakan pembentukan KPH
58
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
ini ditujukan untuk menyediakan wadah bagi taan pengelolaan hutan yang baik (good forest
terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara governance). Tumpang tindih peran dan kewenangan
efisien dan lestari (Badan Planologi, 2006). KPH diantara berbagai institusi/ lembaga terkait seringkali
merupakan konsep kewilayahan pengelolaan hutan menjadi akar dari carut marut pengelolaan hutan di
sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya, Indonesia (lihat: McCarthy, 2000; Brockhaus et al.,
yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. 2012; Maryudi, 2015). Oleh karena itu, tata kelemba-
Direncanakan seluruh kawasan hutan di Indonesia gaan KPH harus memberikan gambaran tugas dan
akan dibagi-bagi dalam wilayah KPH. fungsi yang jelas dari masing-masing institusi,
Pembangunan KPH menghadapi beberapa sehingga dapat menghindarkan tumpang tindih peran
tantangan terutama berkaitan dengan kebijakan dan kewenangan. Kelembagaan sering diasosiasikan
otonomi daerah kewenangan bidang kehutanan, sebagai batasan-batasan yang dibuat dalam sebuah
khususnya pengelolaan hutan lindung dan hutan arena politik untuk membentuk pola interaksi sosial
produksi yang berada di bawah Dinas Kehutanan dan politik antar individu/lembaga, yang secara
daerah. Di awal munculnya konsep KPH yang gamblang mendefinisikan dan menentukan aturan
merupakan ide pemerintah pusat, memunculkan dan prosedur dalam bertindak (North, 1990; Ostrom
banyak perdebatan berbagai kalangan tentang 1999). Oleh karena itu, kelembagan harus
bagaimana hubungannya dengan lembaga lain yang diterjemahkan dalam aturan main yang disepakati
sudah ada. Sebagian pihak menuding bahwa KPH sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi
merupakan upaya pemerintah pusat untuk (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan tercipta-
mengambil alih kembali kuasa pengurusan hutan di nya keteraturan dan kepastian interaksi sosial.
era otonomi daerah sekarang ini. Kebijakan Kelembagaan KPH sangat berkaitan erat dengan
pembangunan KPH yang diatur oleh pusat dipandang struktur birokrasi yang melingkupinya. Struktur
dapat menambah kompleksitas terhadap struktur birokrasi secara umum mengacu kepada institusi-
pengurusan dan pengelolaan yang sudah ada selama institusi publik seperti kementerian dan badan-badan
ini (Kim et al., 2015). Hal ini diperkuat dengan tertentu yang mempunyai kewenangan untuk
adanya UU. 23/2014 yang secara nyata menunjukkan mengambil keputusan yang didasarkan pada standar
upaya resentralisasi tersebut. Makalah ini membahas legal dan formal (Giessen et al., 2014). Struktur
konsep tata hubungan kelembagaan dalam kebijakan birokrasi tidak hanya berada dalam satu aras saja,
KPH. namun mencakup berbagai lembaga di berbagai level
dari pusat sampai dengan lokal (Krott et al., 2014).
KERANGKA TEORI: PEMISAHAN Dalam satu isu atau permasalahan tertentu, keputus-
PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN an politik merupakan hasil dari negosiasi dan tawar
HUTAN
menawar diantara struktur birokrasi yang saling
Arahan pengembangan kelembagaan KPH harus bersaing (Peters dan Pierre, 2007; Giessen dan Krott,
mengedepankan kejelasan peran, fungsi koordinasi, 2009; Hubo dan Krott, 2013). Birokrasi secara
dan sinergisitas peran berbagai pihak berdasarkan formal menjalankan kepentingan publik sesuai
tata hubungan kerja, hak, dan kewenangan dengan mandat yang diberikan (Niskanen, 1971;
masing-masing untuk mendorong sistem keprana- Krott, 1990). Namun dalam sebuah struktur
59
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
birokrasi, sering terjadi persaingan antara satu administrasi, dan unit pengurusan harus diperankan
lembaga/badan dengan yang lainnya untuk untuk mendukung unit pengelolaan dalam meng-
mendapatkan sumberdaya, domain, dan pengaruh gapai misi yang ditetapkan.
politik (Hubo dan Krott, 2010).
Oleh karena itu, di dalam suatu struktur birokrasi KONTEKS
harus ada arahan yang jelas, yang meminimalkan
Kebijakan pembangunan KPH saat ini dilingkupi
peluang munculnya konflik mandat dan kewenangan
semangat resentralisasi yang dilakukan pemerintah
yang dapat mendorong persaingan antar lembaga
pusat yang dimulai semenjak tahun 2004 dengan
untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
dikeluarkannya UU No. 23/2004 menggantikan
Dalam beberapa dekade terakhir muncul gerakan
regulasi desentralisasi UU No. 22/1999. Hadirnya
“New Public Management” (NPM) yang mendorong
UU 23/2004 mulai merekonstruksi keseimbangan
reforma birokrasi dengan memisahkan fungsi
antara kewenangan pusat dan daerah (Maryudi,
pengurusan (administration) dan pengelolaan
2015). UU No. 23/2014 dianggap sebagai
(management). Inti dari gerakan tersebut adalah
penyempurnaan proses resentralisasi tersebut
adopsi ekonomi pasar sebagai filosofi hubungan
(Sahide et al.., 2016a,b; HUMA, 2016). UU 23/2014
antara politik dan administrasi (Nagel, 1997). NPM
memberikan dasar penarikan kewenangan sektor
bertujuan mendorong efisiensi dalam layanan publik
kehutanan ke tingkat provinsi. Arahan tata hubungan
yang selama ini dianggap kurang tanggap terhadap
kelembagaan KPH disini harus dipandang dalam
aspirasi publik (Nagel, 1997). Gerakan ini tidak lepas
konteks resentralisasi tersebut.
dari pandangan skeptis atas kapasitas birokrasi dalam
menjalankan kepentingan publik. Richardson dan Tulisan ini disusun berdasarkan premis perlunya
Jordan (1979) dikutip Marinetto (2003) dengan apik pemisahan fungsi pengurusan/administrasi dan
menggambarkan kondisi ini sebagai “negara pengelolaan hutan (Tabel 1). Fungsi administrasi
kelebihan muatan”, dimana negara dipersepsikan merupakan semua hal yang berkenaan dengan
sebagai sebuah institusi yang inefisien dan proses-proses pengambilan kebijakan serta
menanggung beban anggaran yang sangat tinggi penyusunan prinsip, norma, dan peraturan (Krott,
60
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
Kajian Regulasi prinsip, norma dan peraturan terkait Perencanaan pengelolaan hutan
teoritis dengan pengelolaan hutan Pemanfaatan hutan
Perencanaan hutan (makro) Rehabilitasi hutan
Pemberian ijin Perlindungan hutan
Regulasi sistem manajemen (isu ketenaga- Pemanenan hasil hutan
kerjaan, tenurial, mekanisme resolusi konflik Manajemen konflik
dll)
Kajian Penunjukan dan pengukuhan kawasan Inventarisasi hutan, penataan batas dan
dokumen Pembentukan wilayah kelola pemetaan kawasan
legal Pengesahan rencana pengelolaan dan rencana Perencanaan pengelolaan hutan yang telah
usaha dibentuk (jangka panjang, menengah, pendek)
Penerbitan ijin Pemanfaatan (pemanenan) hasil hutan dan
Pengaturan penataanusaahaan kawasan hutan
Penerimaan negara Industri kehutanan
Pembinaan dan pengendalian bidang Rehabilitasi lahan dan kawasan
kehutanan Pemberdayaan masyarakat
Pengawasan bidang kehutanan Pembangunan sistem informasi sumberdaya
Pengaturan mekanisme pertanggungjawaban pada kawasan kelola
61
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
dibentuknya KPH. Hal ini membuka peluang konflik bawah KPH baru versi pemerintah, sedangkan fungsi
mandat urusan pengelolaan apabila KPH difungsikan monitoring dan pengawasan terhadap kegiatan
untuk memayungi berbagai ijin. Sebagaimana diatur fungsi pengelolaan terhadap IUPHHK tersebut
dalam PP6/2007, IUPHHK-HT merupakan ijin usaha menjadi kewenangan pemerintah (Dinas
yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan Kehutanan).
berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan Tidak dipungkiri, banyak IUPHHK yang tidak
tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan sepenuhnya melakukan fungsi pengelolaan secara
penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeli- holistik. Namun hal ini seyogyanya tidak menafikan
haraan, pemanenan, dan pemasaran. Sebelum bahwa ada IUPHHK yang baik. Dalam kasus
terbentuknya KPH (versi pemerintah), sebagian IUPHHK yang kinerjanya jauh dari harapan, KPH
IUPHHK yang ada telah melaksanakan kegiatan- versi pemerintah dapat dibentuk dan IUPHHK
kegiatan yang sebenarnya merupakan fungsi tersebut dapat dijadikan mitra dalam kegiatan
pengelolaan seperti tata hutan, inventarisasi, dan pengelolaan. IUPHHK tersebut tetap di bawah
perlindungan di wilayah masing-masing. kendali dari KPH. Pengendalian oleh KPH didasari
Telepas dari berbagai argumentasi bahwa oleh salah satu rasionalitas pembentukan KPH yang
IUPHHK hanya sekedar memfokuskan pada disebabkan adanya banyak kasus pengelolaan hutan
pemanfaatan (dan bukan pengelolaan), sebenarnya yang bertumpu pada pemegang ijin menjadikan
IU inilah yang sebenarnya bisa didorong menjadi kurangnya mekanisme kontrol dari pemerintah. Oleh
unit pengelola, bukan KPH versi baru pemerintah. karena itu, perencanaan dan implementasi kegiatan
Pembentukan KPH justru akan membentuk semacam IUPHHK semacam ini harus sejalan dengan
“supra manajer” bagi ijin-ijin yang telah ada. Apabila (mengacu) rencana-rencana yang disusun oleh KPH
konteks pemayungan ijin-ijin yang telah ada (yang tentunya akan mengacu perencanaan
dihubungkan dengan fungsi pengawasan dan kehutanan daerah dan nasional).
monitoring, KPH justru mengambil fungsi
Hubungan KPH dengan UPT Kementerian
pengurusan/administrasi yang sebenarnya menjadi Kehutanan
domain dari Dinas Kehutanan atau Kementerian
UPT merupakan lengan Kementerian Kehutanan
Kehutanan (lihat kembali Tabel 1).
yang mempunyai tupoksi tertentu. Dalam konteks
Dalam beberapa kasus, IUPHHK yang ada di tata hubungan kerja dengan KPH, UPT dapat
wilayah KPH ada yang sudah mempunyai struktur menjadi institusi pendukung bagi pelaksanaan
organisasi yang relatif mantap (untuk mengampu pengelolaan hutan, terutama pada masa transisi
fungsi pengelolaan). Bahkan jika dibandingkan sebelum KPH menjadi unit pengelolaan yang
dengan KPH yang baru dibentuk itu sendiri. mandiri. Fasilitasi dan dukungan dari UPT ini bisa
Idealnya, IUPHHK yang mempunyai struktur yang mencakup berbagai aspek seperti perencanaan,
mantap dan telah melakukan fungsi pengelolaan teknis kehutanan, dan sumberdaya manusia.
dengan baik (banyak IUPHHK yang telah Misalnya, sebelum KPH benar-benar mandiri,
mendapatkan pengakuan pengelolaan hutan yang UPT-UPT ini bersama-sama dengan Dinas
berkelanjutan/ sertifikasi) harusnya dijadikan sebuah Kehutanan dapat menyusun rencana jangka panjang
unit otonom/mandiri (semacam KPH) yang bukan di pengelolaan hutan. Selain itu, UPT dapat
62
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
memberikan asistensi teknis kegiatan pengelolaan. bukan diampu oleh KPH versi pemerintah.
Sebagai contoh, BPKH dapat mengambil peran IUPHHK yang belum menjalankan fungsi
dalam kegiatan tata hutan dan pengukuhan kawasan. pengelolaan secara holistik dapat dijadikan mitra
KPH mempunyai tantangan yang sangat krusial dalam kegiatan pengelolaan. IUPHHK tersebut
terkait dengan tata hutan, terutama untuk kawasan tetap di bawah kendali dari KPH yang diawasi
produksi yang secara de facto sudah menjadi oleh Dinas Kehutanan.
kawasan open-access. UPT juga dapat mengampu UPT Kementerian Kehutanan yang ada di daerah
fungsi koordinasi KPH dengan Kementerian dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam
Kehutanan. Misalnya, BP2HP dapat menjalankan masa transisi (transitional phase) KPH menuju unit
fungsi koordinasi untuk BAPLAN dan Bina Usaha pengelolaan yang mandiri. UPT-UPT ini diharapkan
Kehutanan terkait dengan konteks pemanfaatan memberikan fasilitasi dan berbagai dukungan yang
hutan dan perijinannya. Untuk kegiatan pengelolaan mencakup berbagai aspek seperti perencanaan,
lain, misalnya rehabilitasi kawasan, BPDAS dapat teknis kehutanan, dan sumberdaya manusia. Untuk
menjalankan fungsi koordinasi antara KPH dengan selanjutnya, UPT-UPT yang ada akan lebih berperan
Pemerintah Daerah terutama dalam penentuan dalam fungsi koordinasi antara KPH dengan
kawasan rehabilitasi dan pemeliharaan serta Kementerian Kehutanan.
pemanfaatan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Brockhaus M, Obidzinski K, Dermawan A,
Laumonier Y, & Lutrell C. 2012. An overview of
Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan forest and land allocation policies in Indonesia: Is
dalam penyusunan tata hubungan kelembagaan KPH the current framework sufficient to meet the needs
adalah: of REDD+? Forest Policy and Economics 18,
30-37.
1. KPH dijadikan sebagai UPT Dinas Kehutanan. Departemen Kehutanan 2006. Buku Pintar Bidang
Namun, KPH harus didorong untuk menjadi Planologi Kehutanan. Jakarta. http://www.
dephut.go.id/index.php/news/details/2584.
sebuah unit pengelolaan yang mandiri kreasi
Diakses 3 November 2015.
dalam menterjemahkan arahan kebijakan yang Giessen L & Krott M. 2009. Forestry Joining
ada, dan dalam menetapkan pilihan-pilihan Integrated Programmes? A question of
willingness, ability and opportunities. Allgemeine
kegiatan didasarkan pada analisis trajektori dan
Forst- und Jagdzeitung 180 (5-6), 94-100.
proyeksi pengelolaan sumberdaya hutan Giessen L, Krott M, & Moellmann T. 2014.
berdasarkan kebijakan yang ditelorkan oleh Dinas Increasing representation of states by utilitarian as
compared to environmental bureaucracies in
Kehutanan.
international forest and forest–environmental
2. IUPHHK yang sudah ada, terutama yang telah policy negotiations. Forest Policy and Economics
38, 97-104.
melakukan fungsi pengelolaan yang baik dan
Hansen MC, Potapov PV, Moore R, Hancher,
holistik, harus dijadikan sebagai KPH tersendiri Turubanova SA, Tyukavina A, Thau D, Stehman
dan tidak lagi dinaungi oleh KPH versi SV, Goetz SJ, Loveland TR, Kommareddy A,
Egorov A, Chini L, Justice, CO, & Townshend
pemerintah. Fungsi pengawasan terhadap
JRG. 2013. High-resolution global maps of
IUPHHK ini diampu oleh Dinas Kehutanan, 21st-century forest cover change. Science 342,
850-853.
63
Jurnal Ilmu Kehutanan
Volume 10 No. 1 - Januari-Maret 2016
Hubo C & Krott M. 2010. Politiksektoren als Nagel JH. 1997. Radically reinventing government:
Determinanten von Umweltkonflikten am Editor’s introduction. Journal of Policy Analysis
Beispiel invasiver gebietsfremder Arten. Dalam : and Management 16(3), 349-356
Umwelt-und Technikkonflikte. 219-238. Niskanen W. 1971. Bureaucracy and Representative
Hubo C & Krott M. 2013. Conflict camouflaging in Government. Aldine-Atherton, Chicago
public administration - a case study in nature North DC. 1990. Institutions, Institutional Change
conservation policy in Lower Saxony. Forest and Economic Performance. Cambridge
Policy and Economics 33, 63-70 University Press, Cambridge
Hurst P. 1990. Rainforest Politics: Ecological Ostrom E. 1999. Self Governance and Forest
Destruction in Southeast Asia. Zed Books, Resources. Occasional Paper No. 20. Bogor:
London and New Jersey. Center for International Forestry Research
Kartodihardjo H, Nugroho B, & Putro HR. 2011. Peters BG & Pierre J. 2007. Introduction: the role of
Forest Management Unit Development – public administration in governing. Dalam: The
Concept, Legislation and Implementation. Handbook of Public Administration. Ibid (Eds).
Directorate of Area Management and Preparation Sage, London. 394.
of Forest Area Utilisation, Directorate General of
Ruhanen L, Scott N, Ritchie B, & Tkaczynski A.
Forestry Planning, Ministry of Forestry.
2010. Governance: a review and synthesis of the
Kementrian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan literature. Tourism Review 65 (4), 4-16.
Indonesia 2011. Jakarta
Sahide MAK, Maryudi A, Supratman S, & Giessen
Kim Y-s, Bae, JS, Fisher LA, Latifah S, Afifi M, Lee L. 2016. Is Indonesia utilising its international
SM, & Kim I-a. 2015. Indonesia’s Forest partners? The driving forces behind Forest
Management Units: Effective intermediaries in Management Units. Forest Policy and Economics
REDD + implementation? Forest Policy and 69,11-20
Economics 62, 69-77.
Sahide MAK, Supratman S, Maryudi A, Kim Y-s, &
Krott M, Bader A, Schusser C, Devkota R, Maryudi Giessen L. 2016. Decentralisation policy as
A, Giessen L, & Aurenhammer H. 2014. recentralisation strategy: forest management units
Actor-centered power: the driving force in and community forestry in Indonesia.
decentralized community based forest International Forestry Review 18(1), 78-95
governance. Forest Policy and Economics 49,
Terry LD. 2005. The thinning of administrative
34-42.
institutions in the hollow state. Administration &
Krott M. 1990. Öffentliche Verwaltung im Society 37(4), 426-444.
Umweltschutz. Ergebnisse einer
World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable
behördenorientierten Policy Analyse am Beispiel
Development of Forests, Land, and Water. The
Waldschutz. W. Braumüller Verlag, Wien.
World Bank: Washington, DC.
Krott M. 2005. Forest Policy Analysis (translated by
Renee von Paschen). Springer Publications.
Light PC. 1997. The Tides of Reform:Making
Government Work 1945-1995. New Haven, CT:
Yale University Press.
Marinetto M. 2003. Governing beyond the Centre: A
critique of the Anglo-Governance School.
Political Studies 51, 592-608
Maryudi A. 2015. The political economy of forest
land-use, the timber sector, and forest
certification. Dalam : The context of Natural
Forest Management and FSC Certification in
Indonesia. Romero C. (Eds). Center for
International Forestry Research, Bogor
McCarthy J. 2000. The changing regime : Forest
property and reformasi in Indonesia.
Development and Change 31(1), 91-129
64