Anda di halaman 1dari 23

BENTUK BENTUK AKAD PERJANJIAN SYARI'AH

BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, tidak dapat bertahan apabila tidak ada bantuan
dari orang lain. Maka dari itulah setiap manusia harus saling membantu atau bahu-membahu
terutama di sini dengan jalan mengadakan perjanjian atau kontrak terhadap pihak yang
bersangkutan. Akibat dari hal demikian maka timbullah perikatan yang mana ada kewajiban
yang harus dipenuhi dan hal yang harus dituntut.
Dalam islam, istilah ini sering disebut akad, mencakup perikatan maupun perjanjian.
Islam juga mewajibkan orang yang terlibat dalam akad untuk memenuhi kewajiban terhadap
orang lain. Misalnya saja dalam hutang, apabila orang yang berhutang tersebut meninggal
dunia sedangkan ia belum membayar lunas, maka harus ditanggung oleh ahli waris. Dari
gambaran tersebut betapa tegasnya Islam dalam perikatan atau akad. Kemudian apakah
perikatan dalam Islam dengan akad pada umumnya selalu sama akan dijelaskan di sini.
Semoga makalah ini akan membantu dalam memahami perikatan dalam Islam meskipun
penjelasan di sini hanya bersifat mendasar dan pengantar saja.
Dilihat dari berbagai literatur, akad terdiri dari beraneka bentuk. Para ahli fiqih
mengelompokkannya berbeda-beda sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing. Untuk
memberi kemudahan dalam memahami bentuk-bentuk akad, dalam makalah ini penulis akan
membagi bentuk akad berdasarkan kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini dalam tiga
bentuk, yaitu: Percampuran, pertukaran dan derivasinya.
B.                 Rumusan Masalah
1)      Apakah yang di maksud bentuk akad perjanjian syariah percampuran?
2)      Apakah yang di maksud bentuk akad perjanjian syariah pertukaran?

C.                Tujuan Pembahasan


1)      Untuk menjelaskan bentuk akad perjanjian syariah percampuran
2)      Untuk menjelaskan bentuk akad perjanjian syariah pertukaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERCAMPURAN
Kerjasama atau As-syirkah secara etimologi berarti percampuran1[1], yaitu
percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara
terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.
Dasar hokum dari syirkah ini yaitu bukan hanya dari al-qur’an saja tapi melainkan
dari hadis Rasulullah dan juga ijma’ para ulama’
1) Al-Quran
QS. Shaad (38) : 24
tA$s% ô‰s)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4’n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur
#ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öNåkÝÕ÷èt/ 4’n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ
%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@‹Î=s%ur $¨B öNèd 3
£`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó™$$sù ¼çm/u‘ §yzur $YèÏ.#u‘
z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat

1[1] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta
ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
QS. an-Nisa (4) : 12
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 *
bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/”9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB ω÷èt/
7p§‹Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/”9$# $£JÏB óOçFø.ts?
bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ó‰s9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù
ß`ßJ›V9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr&
&ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u‘ ß^u‘qム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!
ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7‰Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß‰¡9$# 4 bÎ*sù
(#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 .`ÏB
ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h‘!$ŸÒãB 4 Zp§‹Ï¹ur
z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak,
Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

2) Hadits Rasulullah
Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda
: Allah SWT berfirman : “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang
yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada
perseroannya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari
mereka (tidak melindungi).
HR. Abu Daud : “Umat islam bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api…”
Syirkah memiliki syarat-syarat dalam pelaksanaannya dan diantara syarat umum
syirkah, yakni :
1)      Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. artinya, salah satu pihak jika
bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai
wakil seluruh pihak yang bersangkutan.
2)      Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan
ketika berlangsungnya akad.
3)      Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba perserikatan, bukan dari hasil harta lain.
Kemudian , Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah. hal-hal
yang menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara umum adalah sama dengan
berakhirnya akad pada umumnya. jika dilihat dari bentuk perserikatan secara khusus, ada
beberapa hal berakhirnya akad, yakni :
1)      Pada syirkah Amwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal perserikatan
hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2)      Pada syirkah Mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-masing pihak
tidak sama kuantitasnya, karena Mufawadhah berarti persamaan, baik dalam modal, kerja,
maupun keuntungan yang dibagi.
Syirkah menurut ulama’ juga memilik jenis-jenis sendiri yang berbeda dengan antar
satu dan lainnya. Syirkah secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah,
syirkah amlak, dan syirkah uqud.
1.      Syirkah ibahah
Yaitu persekutuan hak semua orang untuk di bolehkan menikmati manfaat sesuatu
yang belum ada di bawah kekuasaaan seseorang.
2.      Syirkah amlak
Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah
amlak ini terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Syirkah amlak jabriyah, syirkah ini terjadi tanpa keinginan para pihak yang bersangkutan,
misalnya persekutuan ahli waris.
2.      Syirkah amlak ikhtiyariyah, syirkah ini lawan dari syirkah amlak jabriyah, yaitu terjadi atas
keinnginan pihak yang bersangkutan, misalnya persekutuan dagang.
3.      Syirkah akad
yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian.
Syirkah ini terbagi menjadi 4, yaitu :
1.      Syirkah Amwal,
yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta. Syirkah bentuk ini
ada dua macam.
a.       Syirkah al-Inan, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian
tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara
para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak
harus sama.
b.      Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan
keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak
melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah
penanggung dan wakil dari anggota lainnya.
2.      Syirkah Ámal/Ábdan
adalah perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan
dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para
anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
3.      Syirkah Wujuh
adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar
untuk mengelola modal bersama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan
kesepakatan.
4.      Syirkah Mudharabah (Qiradh)
yaitu berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang
(pihak pertama/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan bahwa
keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan
kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan
sedikitpun kepada pengelola yang bekerja2[2].

B.     PERTUKARAN
kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek
pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti,
baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya
(time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature)
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-
kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll
2[2] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 101
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri
(tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko
bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si
A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di
sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai’).
Akad pertukaran terbagi dua, yaitu : pertukaran terhadap barang yang sejenis dan
barang yang tidak sejenis.3[3]
a.       Pertukaran barang yang sejenis, yaitu object pertukaran ini barangnya sejenis. Oleh karena
itu pertukaran ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu :
  Pertukaran uang dengan uang atau sharf
Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl (seimbang) 4[4]. Ash-
Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang berarti membayar dengan
penambahan5[5]. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata
uang dengan mata uang (emas dengan emas)6[6]. Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta
dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan
uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini, bentuk jual beli ini
banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer.
Dasar Hukum Al-Sharf
Fuqoha mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf didasarkan pada sejumlah hadis
Nabi antara lain pendapat Jumhur yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi', dari Abu
Sa'id al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ التبيعوا الذهب بالذهب‬:‫ ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬.‫عن ايب سعيد اخلدري‬
،‫ والتبيعوا الفضة بالفضة إالمثال مبثل‬،‫ والتثفوابعضها على بعض‬،‫إالمثال مبثل‬
)‫ (مثفق علية‬.‫ وال تبيعوا منها شيئا غا ئبابناجز‬،‫والتثفوابعضها على بعض‬
Artinya: "Dari Abu Said al Khudzriy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah
kamu menjual emas dengan emas kecuali dengan seimbang dan janganlah kamu

3[3] Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2005 ), hlm 95

4[4] Ghufron A Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149.

5[5] Murtadho Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi dan Riba", Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.

6[6] M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.
memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual perak dengan perak
kecuali dengan seimbang, dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain.
Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang tunai
(ada)". (H. Muttafaq Alaihi)7[7].
Hadits diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan
perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya melebih yang lain.
Dalam hadits Rasulullah SAW, yaitu:

،‫ الذ هب بالذ هب‬:‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫وعن عبادة بن الصامث قال‬
‫ سواء‬،‫ مثالمبثال‬،‫ وامللح بامللح‬،‫ والتمربالتمر‬،‫ والثعريبالثعري‬،‫ والرب بالرب‬،‫والفضة بالفضة‬
‫ (رواه‬.‫ فإذا اختلفت هذه األصناف فبيعواكيف سئتم اذا كان يذا بيد‬،‫ يدا بيد‬،‫بسواء‬
)‫مسلم‬
Artinya: "Dari Ubadah bin Shamith ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel
dengan jagung centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan sama,
tunai dengan tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka juallah sekehendakmu
apabila dengan tunai." (HR. Muslim)8[8].
Hadits ini juga menerangkan enam macam jenis yang tidak boleh dijual kecuali
dengan sama timbangannya dan tunai:
1.      Emas dijual dengan emas
2.      Perak dengan perak
3.      Gandum dengan gandum
4.      Jagung centel dengan jagung centel
5.      Kurma dengan kurma
6.      Garam dengan garam
Jika berlainan, misalnya emas dibeli dengan beras itu hukumannya boleh dengan
syarat harus kontan.
Jumhur Fuqoha juga telah sepakat, bahwa emas atau perak yang sudah dicetak, juga
masih lantakan atau sudah menjadi perhiasan, semuanya itu sama-sama dilarang menjualnya
7[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurahman, Haris Abdullah” Bidayatul  Mujtahid”, Semarang: Asy-
Syifa, 1990, hlm 145.

8[8] Ibnu Hajr Al-Asqolani, Bulugh al-Maram, Terj. Muh Rifai, A. Qusyairi Misbah "Bulughul maram",
Semarang: Wicaksana, 1989, hlm 479. 
satu dengan yang lainnya memakai pelebihan. Kecuali mu’awiyah yang membolehkan
pelebihan antara barang lantakan dengan barang yang sudah menjadi perhiasan, dengan
alasan bertambahnya unsur kebiasaan9[9].
Syarat-Syarat Al-Sharf
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf adalah:
1)      Masing-masing pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat
ini untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak
menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
2)      Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya
berbeda kualitas atau model cetakannya.
3)      Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf, karena akad ini sesungguhnya merupakan
jual beli dua benda secara tunai. Sedang khiyar syarat mengindikasikan jual beli secara tidak
tunai10[10].
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, bahwa apabila berlangsung jual beli
emas dengan emas atau gandum dengan gandum, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar
jual beli hukumnya sah, yaitu:
1)      Persamaan dalam kwantitas tanpa memperhatikan baik dan jelek, berdiri kepada hadits diatas

dan yang diriwayatkan oleh muslim bahwa seorang mendatangi Rasulullah, dengan
membawa sedikit kurma Rasullulah lalu mengatakan padanya:

‫ فقال صلى اهلل‬.‫ يارسول اهلل بعنا مترناصاعني بصاع‬:‫ماهذا من مترنا افقال الرجل‬
.‫ ذلك الرباردوه مث بيعو امترنامث اشرتوالنا من هذا‬:‫عليه وسلم‬
Artinya: "Ini bukanlah kurma kita." Orang tersebut berkata lagi: "Wahai Rasulullah, kami
jual kurma kami sebanyak dua sha' dengan satu sha'." Rasulullah lantas bersabda lagi:
"Yang demikian itu riba. Kembalikanlah, kemudian juallah kurma kita dengan setelah itu
belilah untuk kita dari jenis ini".
2)      Tidak boleh menangguhkan salah satu barang, bahkan pertukaran harus dilaksanakan secepat
mungkin11[11].
Adapun menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang
adalah sebagai berikut:
9[9] Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 146.

10[10] Ghufron A. Mas'adi, op.cit., hlm. 150.

11[11] Sayid Sabiq, al Fiqh al-Sunah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki, "Fiqh Sunnah", Bandung: Al Ma'arif, 1988,
hlm. 123-124.
1)      Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak
harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
2)      Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
3)      Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan
syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
4)      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5)      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan
(bai al-alfudhuli)12[12].
  Pertukaran barang dengan barang atau barter
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. 13
[13] Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi
barter yang mengandung unsur riba, umpamanya kita saling menukar beras, tapi takarannya
berbeda.
b.      Pertukaran barang yang tidak sejenis.
  Pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar barang
dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang
dibenarkan14[14].
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.)
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli
shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi
menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan
pembayaran dimuka).
  Pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa.
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan
imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju.

12[12] Gemala Dewi, et.al, op.cit., hlm. 99.

13[13] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 150

14[14] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 154
C.    PEMBERIAN KEPERCAYAAN
a.      Wadi’ah (Titipan)
  Pengertian
Lafadz Wadi’ah berasal dari wazan Wada’a yang berarti “ketika seseorang telah
meninggal “ , jadi menurut bahasa Wadi’ah ialah sesuatu yang yang ditinggalkan di tempat
bukan orang lain untuk dijaga. Sedangkan menurut istilah ialah suatu aqad yang bertujuan
untuk menjaga. Wadi’ah merupakan suatu amanah yang ada dalam kekuasaan wadii’ (orang
yang dititipi).15[15]
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 1 angka 4 peraturan Bank Indonesia
nomor 7/46/PBI/2005 bahwa yang dimaksud dengan wadiah ialah : “ penitipan dana atau
barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang denga kewajiban
pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-
waktu.”16[16]
  Dasar hokum wadiah
Al-Qur’an
&bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr¨ *

“ sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada
yang berhak menerimanya … “ (An-Nissa’: 58)
As-sunnah
ِ
َ َ‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم أ ََّد األ ََمانَ ةَ اىَل َم ِن ا ْئتَ َمن‬
‫ك َواَل خَتُ ْن َم ْن‬ َ َّ ‫ قَ َال النَّيِب‬:‫{ع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة قَ َال‬
َ
}‫ك‬
َ َ‫َخان‬
Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ sampaikanlah (tunaikanlah)
amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah menghianatimu.”

15[15] Drs.H.Imron Abu amar, Terjemahan Kitab Fathul Qarib Jilid 1, ( menara kudus, kudus,1982)
hlm 330

16[16] Rachmadi Usman, S.H., M.H., PRODUK DAN AKAD PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
IMPLEMENTASI DAN ASPEK HUKUM, ( Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009), hlm 148.
  Ketentuan Wadi’ah
Rukun wadiah yaitu :
1.      Orang yang menitipkan ( muwaddi’)
2.      Orang yang di titipi ( wadii’ )
3.      Barang yang disimpan ( wadi’ah )
4.      Ijab Qabul ( shighoh )
Wadi’ah itu wajib dijaga oleh wadii’ (orang yang dititipi ) secara sepantasnya, karena
wadi’ah merupakan amanah. Wadii’ tidak wajib menanggung atas wadi’ah apabila wadii’
telah menjaga wadi’ah secara semestinya dan terjadi kerusakan atau kehilangan bukan karena
kelalaiannya, tapi apabila wadii’ lalai, seperti si wadii’ menitipkan wadi’ah kepada orang lain
tanpa izin pemiliknya dan tidak ada udzur karenanya, kemudian wadi’ah tersebut rusak dan
hilang, maka wadii’ harus menanggungnya.

b.      Rahn (Barang Jaminan)


  Pengertian
Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah
hukum positif disebut barang jaminan atau agunan. ada beberapa definisi rahn yang
dikemukakan oleh ulama fiqh.
Ulama Maliki mendifinisikannya dengan harta yang dijadikan oleh pemiliknya
sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan
menjadikan sesuatu (barang) sebagai hak pembayar (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagian. Sedangkan Uama Syafi’ie dan Ulama Hambali mendefinisikannya dengan
menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya tersebut17[17].

  Dasar Hukum
Al-Quran
al-Baqarah (2) : 283
bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( *
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr&
È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ
ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ

17[17] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 129
Hadits
Dari ‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dan Beliau menggadaikan kepadanya baju besi Beliau (HR. Bukhari)
Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan atau tidak, asalkan
barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang. misalnya
apabila barang jaminan tersebut berbentuk tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan
tanah. Rahn dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya dalam
rangka hubungan antar sesama manusia.
  Ketentuan
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn
mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan,
sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar.
Apabila didalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib mengembalikan
kepada pemiliknya.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hambali berpendapat bahwa pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan barang
miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan
apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau
menghargai barang itu utuk melunasi utangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda
Rasulullah yang berbunyi : “barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya,
karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung
jawabnya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)18[18]
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan
memanfaatkan barang jaminan itu selama berada ditangannya, maka sebagian ulama Hanafi
membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang
jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafi lainnya, ulama
Maliki, ulama Syafi’ie berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena apabila barang jaminan
itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syari’at
sekalipun diizinkan pemilik barang.

18[18] www.wordpress,com
c.       Wakalah (perwakilan)
  Pengertian
Wakalah adalah pemberian kewenangan atau kekuasaan kepada pihak lain tentang apa
yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi
kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
  Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Al-Kahfi (18) : 19
y7Ï9ºx‹Ÿ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s%
öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4
(#qä9$s% öNä3š/u‘ ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2y‰ymr& öNä3Ï
%Í‘uqÎ/ ÿ¾ÍnÉ‹»yd ’n<Î) ÏpoYƒÏ‰yJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkš‰r& 4‘x.ø—r& $YB$yèsÛ
Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø—̍Î/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç„ öNà6Î/ #
´‰ymr& ÇÊÒÈ
Hadits
Dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada para
sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan
hukuman-hukuman dan melaksanakannya, dan lain-lain.
Ijtihad
Para ulama telah sepakat atas dibolehkannya wakalah karena kebutuhan umat
terhadapnya. Wakalah termasuk jenis ta’awwun atau tolong menolong atas dasar kebaikan
dan taqwa. (QS. Al-Maidah (5) : 2
  Ketentuan
Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa bayaran. Nabi
Muhammad memberikan komisi kepada para petugas penarik zakat. Dari Bisr Ibnu Said dari
Ibnu as-Sa’idi berkata “Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah).
Setelah pekerjaanku selesai, Umar memberikanku upah, maka saya protes : “saya bekerja ini
hanya untuk Allah”, Umar menjawab, “ambil saja apa yang diberikan kepadamu. Sungguh
aku pernah dipekerjakan oleh Rasulullah SAW dan beliau memberiku upah”.
Imam Abu Daud juga meriwayatkan tentang sahabat yang menerima upah, pemberian
dari kepala kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang (kalajengking)
melalui bacaan surat al-Fatihah. Jika diperhatikan, dua kasus diatas adalah termasuk amal
tabarru’ (suka rela dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima upah seiring
dengan perkembangan zaman, aktifitas yang terkait dengan jasa seperti mengajar,
pengobatan, dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang atau
imbalan.
d.      Kafalah (tanggungan)
  Pengertian
Kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang
kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan
dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut
bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak
gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’ie dan Hambali, kafalah adalah menjadikan
seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan
atau pembayaran utang, dan dengan demikian kedua-duanya dipandang berutang. Ulama
sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang
berutang tidak dirugikan karena ketidak mampuan yang berutang.
  Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Yusuf (12) : 66
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Å™ö‘é& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB šÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?
ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä† öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$#
4’n?tã $tB ãAqà)tR ×@‹Ï.ur ÇÏÏÈ

Hadits
HR. Abu Daud: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah
membayar. HR. Abu Daud, at-Tarmizi dishahihkan Ibnu Hibban … bahwa penjamin adalah
orang yang berkewajiban membayar.
Ijtihad
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah
dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
  Ketentuan
Secara umum, kafalah dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a)      Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak
penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung
kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah)
Penjamin yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang
ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena menyangkut badan bukan harta.
Penangungan tentang hak Allah, seperti had al-khamr dan had menuduh zina adalah tidak
sah, sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat
al-Baihaqi).
b)      Kafalah dengan harta
Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil
dengan pembayararan atau (pemenuhan) berupa harta.

e.       Hiwalah (Pengalihan Hutang)


  Pengertian
Menurut bahasa , yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil,
artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. 19[19]
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
‫نَ ْق ُل ْال ُمطَا لَبَ ِة ِم ْن ِذ ّم ِة ْال َم ْد يُوْ ِن إِ لَى ِذ ّم ِة ْال ُم ْلتَز َِم‬
Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang
punya tanggung jawab kewajiban pula.20[20]
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam
hal ini ada tiga pihak yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau
dain), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal alaih). Dipasar keuangan profesional
praktik hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring).
Namun kebanyakan ulama’ tidak memperbolehkan mengambil manfaat atas
pemindahan utang atau piutang tersebut.
  Dasar Hukum
Hiwalah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh
mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda. “Memperlambat pembayaran utang yang
dilakukan orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.” Disamping itu
terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan.
  Ketentuan

19[19] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si , Fiqh Muamalah , hlm.99

20[20] Ibid
a.       Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu sebagai berikut,
Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan belum
merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual
beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak sah.
b.      Apabila pengalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadah semua ulama fiqih sepakat,
bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada
pihak pertama, meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat perbedaan jumlah atau
kualitas, maka hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah
muthlaqah, maka kedua utang itu tidak mesti sama.
c.       Ulama dari mazhab Syafi’i menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh
tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.

f.       Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)


  Pengertian
Menurut terminologi fiqih, ada dua definisi dari al ariyah. Pertama, Ulama Maliki dan
Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama
Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain
tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa dampak hukum yang berbeda. Definisi pertama
membolehkan peminjam meminjamkan kembali barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga.
Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan.
  Dasar Hukum
Al Qur’an
QS. Al Maidah (5): 2
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur$
tök¤¶9$# tP#tptø:$# Ÿwur y“ô‰olù;$# Ÿwur y‰Í´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |
MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§‘ $ZRºuqôÊÍ‘ur 4 #sŒÎ)ur
÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs† ãb$t«oYx© BQöqs% br&
öNà2r‘‰|¹ Ç`tã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#r߉tG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur ’n?
tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ

Hadist
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi
Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu daud dan at Tirmidzi: Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib
dikembalikan.
  Ketentuan
Para Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah
bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama
Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam
memiliki akad yang ia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari
pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang
lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik
barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu Hasan Al Kharki, pakar fiqih Hanafi,
berpendapat bahwa ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga
pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh Ulama fiqih sepakat,
bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.

BAB III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN
Jadi, yang di maksud dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah percampuran yaitu
percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara
terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan. Bentuk perjanjian ini lebih cenderung disebut dengan kerja sama atau asy-
syirkah.
Dalam syirkah ini juga di bagi menjadi beberapa jenis, diantaranya yang paling pokok
yaitu menjadi 4 jenis: Syirkah Ibahah, Syirkah amlak, dan Syirkah Akad
Kemudian, yang disebut dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah pertukaran yaitu
system pertukaran aset yang dimiliki antara kedua pihak, yang objectnya baik berupa barang
maupun jasa harus ditetapkan di awal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-
kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll
Bentuk ini ada dua jenis, yaitu pertukaran sejenis yang dibagi lagi menjadi pertukaran
uang dengan uang dan barang dengan barang, serta pertukaran barang yang tidak sejenis, baik
uang dengan uang atau sebaliknya.
Selain bentuk perjanjian syariah percampuran dan pertukaran juga ada bentuk
pemberian kepercayaan, yaitu berbentuk atas rasa amanat dan saling percaya antara pihak
yang terlibat. Bentuk ini diantarnya yaitu : wadia’ah, rahn, wakalah, kafalah, hiwalah, dan
ariyah.

welcome to my blog (^_^)

Jumat, 25 Desember 2015


Resume Bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam Muamalah

Bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam Muamalah

Disusun guna memenuhi tugas Resume

Mata Kuliah : Fiqih Muamalah

Dosen Pembimbing: Zakiyah, M.Pd


A.    Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)

a.    Pengertian Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)


Menurut bahasa ijarah berarti “upah”, “ganti”, atau “imbalan”. Al-ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas baranag atau jasa, melalui upah sewa, tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. 21[1] Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah)
adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan menurut
Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepamilikan barang itu sendiri.22[2]
b.      Syarat dan Rukun Ijarah
Menurut golongan Syafi’iyah, Malikiah, dan Hanabilah bahwa rukun ijarah terdiri atas muajjir
(pihak yang memberikan ijarah), musta’jir (orang yang membayar ijarah), al-ma’qud ‘alaih, dan
sighat. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad
mestilah orang yang sudah dewasa dan tidak cukup hanya mumayiz saja. 23[3]
c.    Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kawajiban penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan wajib mempersiapkan
barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya mobil yang
disewakan ternyata tidak dapat digunakan karena akhirnya lemah, maka yang menyewakan wajib
menggantinya Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan
untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila dimikian adanya, apakah harga
sewa masih harus dibayar penuh?. Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak membatalkan
akad, harga sewa harus diabayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat harga sewa dapat
dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
d.   Pembatalan dan Berakhirnya Sewa-Menyewa
Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa-menyewa antara lain:
1.    Terjadinya aib pada barang sewaan
2.    Rusaknya barang yang disewakan
3.    Terpenuhinya manfaat yang diakadkan.24[4]
21[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani,
Jakarta, 2013, hlm 117.

22[2] Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hlm, 52.

23[3] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 29-35

24[4] Adiwarman A Karim, Bank Islam Anlisis Fiqih dan Keuanga, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm, 138-140.
e.    Landasan syariah
1.      Al Qur’an
Allah swt berfirman Q.S Albaqarah 233Artinya : Dan jika kamu berkehendak akan meminta
disusukan anak-anakmu oleh wanita lain, maka tidak ada halangan juga bagikamu, apabila kamu
memberikan upah menurut yang patut. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, dan ketahuilah kamu,
bahwa sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang menjadi dasar pokok dalam ijarah ini, ialah ungkapan upah yang patut diberikan sebagai jasa
membayar upah (fee) secara patut.dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2.      Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “ berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
(HR. Ibnu Majah)25[5]

B.     Pinjam-Meminjam (‘Ariyah)

a.       Pengertian Ariyah


Ariyah secara etimologi berarti pinjaman dalam pelaksanaannya, Ariyah diartikan sebagai
perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang
menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang
diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib
mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. 26[6]
b.      Dasar Hukum
Pada surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman yang artinya:
“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah bantu

membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan”.

c.       Syarat dan Rukun

Rukun pinjam meminjam itu adalah adanya pihak yang meminjamkan, adanyapihak yang

dipinjamkan, adanya objek yang dipinjamkan, dan terjadinya akad pinjam meminjam. Para ulama’

pun mensyaratkan supaya pihak-pihak yang mengadakan transaksi pinjam meminjam itu mestilah

orang yang memiliki kecakapan bertindak, yaitu orang yang berakal sehat serta mengerti akan maksud
25[5] Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002 hlm77-78

26[6] Helmi Karim, Ibid, hlm 37.


dan tujuan dari perbuatan yang dilakukannya. Kelompok Syafi’iyah mensyariatkan orang yang

melakukan akad pinjam meminjam haruslah yang sudah berusia dewasa. 27[7]

d.      Ketentuan Dalam Pinjam Meminjam

Menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan Iskhaq bila peminjam telah memegang

barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiabn menjaminnya baik karena

pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki

berpedapat bahwa, meminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena

tindakannya yang berlebihan.28[8]

27[7] Helmi Karim, Ibid, hlm 39-40.

28[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm, 98.
 
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A Karim, Bank Islam Anlisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2004.

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002.

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2013.

Anda mungkin juga menyukai