Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

JUAL BELI

Disusun guna memenuhi tugas Fikih Muamalah


Dosen Pengampu H. Royani, Lc., LLM.

Oleh:
Isyfa’ Maulana (143120004)
Kresna Aji Saputra (143120005)
Lili Nur Indah Sari (143120006)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA (IBN) TEGAL
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis
kemudahan dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan
pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi agung
Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga makalah “Jual – Beli” dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah. Penulis berharap
makalah tentang “Jual – Beli” dapat menjadi referensi bagi masyarakat pada
umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya.
Penulis menyadari makalah Jual – Beli ini masih perlu banyak
penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik
dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan, penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tegal, 4 Oktober 2021

Penulis
DAFATAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................

KATAPENGANTAR…………………………………….......................................

DAFTAR ISI………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………

A. Latar Belakang………………………...…………………………………….....

B. Rumusan Masalah……………………….....…………………………………..

C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………..

A. Pengertian Jual Beli……………………………..………………………


B. Dasar Hukum Jual Beli…………………….……………………………
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ……………………………………………..
D. Sistem Jual Beli……………………………………………………………

BAB III PENUTUP………………………………………………………………..

Kesimpulan………………………………………………………………………

Daftar Pustaka..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak
yang satu menerima benda - benda dan pihak lain menerima sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan,
rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga
bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan
kehendak syara’.
Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan
perekonomian. Banyak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi
kehidupannya dengan cara berbisnis. Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah
suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis
lainnya untuk mendapatkan laba.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian jual beli?
2. Apa saja dasar hukum jual beli?
3. Apa saja rukun dan syarat jual beli?
4. Apa saja sistem dalam jual beli?

A. Tujuan
1. Memahami pengertian jual beli
2. Mengetahui dasar hukum jual beli
3. Mengetahui rukun dan syarat jual beli
4. Mengetahui system dalam jual beli
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Secara etimologi, Jual beli berarti proses menukar barang dengan barang.
Adapun secara secara terminologi adalah transaksi penukaran selain dengan
fasilitas dan kenikmatan. Menurut syara’ jual beli adalah pertukaran harta atas
dasar suka sama suka. Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan
adanya perbuatan dalam satu kegiatan, yaitu pihak penjual dan pembeli.
Maka dalam hal ini terjadilah transaksi jual beli yang mendatangkan akibat
hukum, Jual beli dalam Islam telah di tentukan baik berdasarkan Al-Qur’an
maupun As-Sunnah.
Landasan al-Qur’an dalam firman Allah surat al-Baqaroh ayat 275 :

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang - orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni
- penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”.
Dalam istilah fiqih , al-ba’i (jual beli) berarti menjual, mengganti, dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara istilah, menurut madzhab
Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta menggunakan
cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, diartikan harta yang
memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk
menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan
atau ijab dan qabul. Sedangkan menurut imam syafi’i definisi jual beli yaitu
pada prinsipnya, praktik jual beli diperbolehkan apabila dilandasi dengan
keridhaan dua orang yang diperbolehkan mengadakan jual beli barang yang
diperbolehkan.
Dan Jual beli juga merupakan akad yang umum digunakan oleh
masyarakat untuk melakukan transaksi, karena dalam setiap pemenuhan
kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling atau meninggalkan akad, yang
dimana untuk mendapatkan makanan dan minuman. Misalnya, terkadang ia
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi akan
membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan
besar akan terbentuk akad jual-beli. Sehingga jika ada orang yang mengikat
dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu juga atau beberapa
waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran
untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang melatar
belakangi mereka untuk melakukan transaksi yang pasti.
Dan perniagaan merupakan perantara ekonomi Islam yang paling
menonjol karena meliputi berbagai aktivitas bisnis lainnya, diantaranya
perubahan atau sewa menyewa barang dan jasa (ijarah), kerja sama usaha
manusia (syarikat), dan perantara ekonomi lain yang merupakan bentuk usaha
manusia dalam mencari nafkah. Untuk menjamin keselarasan dan
keharmonisan di dunia perdagangan, dibutuhkan kaidah, patokan, atau norma
yang mengatur hubungan manusia dalam perniagaan.

B. Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al hadits ataupun Ijma’ ulama. Di
antara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli
terdapat dalam Qs. Al – Baqarah: “...Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba...”

Dasar hukum jual beli dibolehkan dalam ajaran Islam. Hukum Islam
adalah hukum yang lengkap dan sempurna, kesempurnaan sebagai ajaran
kerohanian telah dibuktikan dengan seperangkat aturan-aturan untuk
mengatur kehidupan, termasuk didalamnya menjalin hubungan dengan
pencipta dalam bentuk ibadah dan peraturan antar sesama manusia yang
disebut muamalah.
1. Al-Qur’an

ِّ ‫َواَ َح َّل ال ٰلّهُ الَْبْي َع َو َحَّر َم‬


‫الربٰو ۗا‬
Artinya :”…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...”(Q.S. Al-Baqarah : 275).
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dalam bukunya yakni jual beli
adalah transaksi yang menguntungkan. Keuntungan yang pertama
diperoleh melalui kerja manusia, sedangkan yang ke dua, yang
menghasilkan uang bukan dari kerja manusia dan jual beli menurut
aktivitas manusia.
Riba adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba juga
tidak sedikit dalam kehidupan orang beriman. Jika pada zaman dahulu
sudah ada yang melakukan itu, maka sekarang karena sudah menjadi
muslim semua, hentikanlah hidup yang hina itu. Jika telah bertaubat, maka
dosa – dosa yang lama habislah bahkan diampuni oleh allah SWT.

ٍ ‫اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُك ْو َن جِت َ َارةً َع ْن َتَر‬


‫اض ِّمْن ُك ْم‬ ِ ‫ۗ ٰيٓاَيُّها الَّ ِذين اٰمُنوا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ َْ َ
Artinya : ”Hai orang – orang yang beriman! Janganlah kamu memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…”(Q.S An-Nisa: 29)
Quraish shihab menafsirkan ayat diatas dalam bukunya yaitu
“Wahai orang orang yang beriman, janganlah kamu memakan, yakni
memperoleh harta yang merupakan sarana kehidupan kamu, diantara kamu
dengan jalan yang batil. Yakni tidak sesuai dengan tuntunan syariat, tetapi
hendaklah kamu memperoleh harta itu dengan jalan perniagaan yang
berdasarkan kerelaan diantara kamu (kerelaan yang tidak melanggar
ketentuan agama).
2. As-Sunah

Dalam hadist Rasulullah SAW juga disebutkan tentang di


perbolehkanya jual beli, sebagaimana hadist Rasulullah yang menyatakan :

: ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُسئِ َل‬ َّ ‫اعةَ بْ ِن َرافِ ٍع َر ِضي اللَّهُ َعْنهُ أ‬
َ َّ ‫َن النَّيِب‬ َ َ‫َع ْن ِرف‬
َ
‫ َو ُك ُّل َبْي ٍع َمْبُرو ٍر َر َواهُ الَْبَّز ُار‬، ‫الر ُج ِل بِيَ ِد ِه‬ ِ
ُ َ‫َي الْ َك ْسب أَطْي‬
َّ ‫ َع َم ُل‬: ‫ب ؟ قَ َال‬ ُّ ‫أ‬

‫ص َّح َحهُ احْلَاكِم‬


َ ‫َو‬
Artinya : Dari Rifa’ah bin Rafi’i RA bahwasanya nabi saw pernah
ditanya, “pekerjaan apa yang paling baik?”, maka beliau menjawab
“pekerjaan seseorang dengan tanganya sendiri dan setiap jual beli yang
baik.” (HR. Al-Bazzar dan dianggap shahih menurut Hakim).
Hadist lain yang berkenaan dengan jual beli adalah :
Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda : “sesungguhnya
allah SWT, jika mengharamkan sesuatu, dia juga mengharamkan
harganya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban, Al Baihaqi, ath-
Thabrani dan ad-Dharaqutni).
Menurut mazhab yang masyhur dari mazhab As-Syafi’iyah, maka
seluruh kotoran hewan adalah najis, baik hewan yang halal maupun haram
di makan. Oleh karenaya mereka menghaamkan pula penjualan kotoran
hewan sebab hal tersebut merupakan penjualan benda najis, dan penjualan
benda najis hukumnya haram. Al-Mawardi berkata “Adapun apa yang
merupakan najis ‘aini (najis yang secara dzatnya) seperti khamr, bangkai,
darah, dan kotoran, serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun
dari hal ini.”
3. Landasan Ijma

Para ulama fiqih dari dahulu sampai sekarang telah bersepakat


bahwa jual beli itu diperbolehkan (mubah), jika didalam nya telah
terpenuhi rukun dan syarat. Alasanya karena manusia tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Alasan inilah yang
kemudian dianggap penting, karena dengan adanya transaksi seseorang
dapat dengan mudah memiliki barang yang diperlukan dari orang lain.
Oleh karena itu, praktik jual beli yang dilakukan manusia sejak
masa rasulullah SAW hingga saat ini menunjukan bahwa umat telah
sepakat akan disyariatkanya jual beli dalam kehidupan sehari – hari guna
untuk memenuhi kebutuhan mereka.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


1. Rukun Jual Beli
Jika suatu pekerjaan tidak dipenuhi rukun dan syaratnya maka
pekerjaan itu akan batal karena tidak sesuai dengan syara. Rukun dalam
jual beli antara lain ada dua pihak yang berakad (penjual dan pembeli),
terdapat objek transaksi (harga dan barang), akad (transaksi) yaitu segala
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menunjukan mereka
sedang melakukan transaksi (baik tindakan berbentuk kata – kata maupun
perbuatan).

2. Syarat Jual Beli


Dalam jual beli terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi sah atau
tidaknya akad tersebut. Diantaranya adalah syarat yang diperlukan bagi
dua orang yang melaksanakan akad dan syarat yang diperuntukan untuk
barang yang akan dibeli. Jika salah satu darinya tidak ada, maka akad jual
beli tersebut dianggap tidak sah.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad jual beli sebagai
berikut :
a. Syarat Terkait dengan Subjek Akad (aqid)
Aqid atau orang yang melakukan perikatan yaitu penjual dan pembeli,
transaksi jual beli tidak mungkin terlaksana tanpa kedua belah pihak
tersebut. Ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan jual beli harus
memenuhi syarat yakni, aqil (berakal), kehendak sendiri (terbebas dari
paksaan dan tekanan), tidak mubadzir (boros), dan Baligh.

b. Syarat Terkait Objek Akad (Ma’qud ‘Alaih)


Objek atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi jual beli,
dalam hal ini harus memenuhi syarat – syarat berikut :
1) Suci, artinya objek atau barang yang diperjual belikan bukanlah barang
yang dikategorikan kedalam barang najis atau diharamkan seperti
minuman keras, dan kulit binatang yang belum disamak (menyucikan
kulit hewan). Hal ini sebagaimana hadist rasulullah bersabda :
“Mewartakan Qutaibah mewartakan Laitsu dari Yasid bin Abi Habibi
dari Atha bin Rabah dari Jabir bin Abdullah ra bahwasanya ia
mendengar rasulullah bersabda pada tahun kemenangan di mekah :
“sesungguhnya allah dan rasulnya mengharamkan menjual minuman
yang memabukan (khamr), bangkai, babi dan berhala. Lalu ada orang
yang bertanya, Ya, Rasulullah bagaimana tentang lemak bangkai,
karena dipergunakan mengecet perahu supaya tahan air, dan meminyaki
kulit – kulit untuk penerangan lampu ? beliau menjawab : “tidak boleh,
itu haram”. Kemudian pada waktu itu rasulullah bersabda : allah
melaknat orang – orang yahudi, sesungguhnya allah tatkala
mengharamkan lemaknya bagi mereka, mereka cairkan lemak itu
kemudian dijualnya dan mereka memakan harganya.” (HR. Bukhari)
2) Dapat dimanfaatkan, barang yang diperbolehkan dalam penjualan
hendaknya barang yang bisa dimanfaatkan oleh suatu individu maupun
kelompok. imam syafi’i menyatakan bahwa setiap binatang buas yang
tidak dapat diambil manfaatnya ataupun beberapa jenis burung yang
tidak dapat diburu dan tidak dapat diambil dagingnya tidak boleh
diperjualbelikan dengan cara apapun.
3) Milik orang yang melakukan akad, maksudnya adalah bahwa orang
yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah
dari barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang
yang bukan pemilik sah dipandang sebagai jual beli yang batal.
4) Dapat diserahkan, barang yang ditransaksikan harus dapat dihitung
pada waktu penyerahanya secara syara dan rasa. Oleh karena itu sesuatu
yang tidak dapat dihitung pada waktu penyerahanya tidak sah untuk
dijual, seperti menjual burung yang sedang terbang dan tidak diketahui
kembali ketempatnya, sekalipun itu dapat kembali pada waktu malam
pun hal itu dipandang tidak sah menurut sebagian para ulama.
5) Dapat diketahui barangnya, keadaan barang, bentuk, takaran sifat harus
diketahui oleh penjual dan pembeli. Apabila terjadi sebaliknya maka
perjanjian tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung
unsur penipuan (gharar). Oleh karenanya penjual harus menerangkan
barang yang hendak diperjual belikan.

c. Syarat terkait sighat (ijab dan qobul)


Sebagaimana menurut ulama syafi’iyah tidak sah akad jual beli
kecuali dengan sighat yang diucapkan.
Adapun syarat sighat yakni satu sama lain berhubungan dalam satu
tempat tanpa ada pemisah, ada kesepakatan ijab dan qobul pada barang
dan harga (jika kedua belah pihak tidak sepakat maka transaksi tersebut
dianggap tidak sah), dan tidak berwaktu (boleh kapan saja) kecuali dalam
waktu tempo waktu tertentu (jual beli dihari jumat ketika sudah masuk
waktu jumat).
D. Sistem Jual Beli
Adapun system yang digunakan dalam jual beli menurut madzhab syafi’i
antara lain:
1. Bai’ul Murabahah, yaitu akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang
disepakati” karakteristik murabahah adalah penjual harus memberi tahu
tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut.

Adapun syarat - syarat murabahah yaitu :


a) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c) Harus bebas dari riba.
d) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat.
e) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang atau
cash.
2. Bai’ul Istisna’ adalah kontrak order yang di tandatangani bersama antara
pemesan dengan produsen untuk perbuatan suatu jenis barang tertentu
atau sesuatu perjanjian jual beli dimana barang yang akan diperjual
belikan belum ada. Dasar hukum bai’ul istisna adalah syafi’iah
mengqiaskan bai’ alisthisna dengan bai’as-salam karena dalam keduanya
barang yang dipesan belum berada ditangan penjual manakala kontrak
ditandatangani.
3. Bai’ul Ijaroh merupakan jual beli sewa. Secara makna dan konteksnya
dalam perbankan, ijarah adalah pemindahan hak guna suatu barang
dengan pembayaran biaya sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan
atas barang tersebut. Adapun rukun bai’ul ijaroh adalah orang yang
melakukan ijaroh sebaiknya orang yang berakal, ada sewa, terdapat
manfaat, sighat (ijab qobul).
Sedangkan syarat – syarat ijaroh meliputi :
Syarat bagi kedua orang yang berakad telah baligh dan berakal.
Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal seperti anak
kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau tenaga mereka sebagai
buruh maka ijarohnya tidak sah.
4. Bai’ul Mudharabah

Menurut madzhab syafi’i mudharabah adalah suatu perkongsian


antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan dana, dan pihak
kedua bertanggung jawab atas pengelolaan usaha dimana keuntungan akan
dibagikan sesuai dengan ratio laba pihak pertama akan kehilangan
sebagian imbalan dari kerja keras dan keterampilan manajerial selama
proyek berlangsung.
Syarat – syarat mudharabah antara lain modal harus dinyatakan
dengan jelas jumlahnya, modal harus diserahkan dalam bentuk tunai bukan
piutang, modal harus diserahkan pada pihak ke dua.
Syarat dari keuntungan mudharabah sebagai berikut :
a. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari
keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti.
b. Kesepakatan ratio presentase harus dicapai melalui negosiasi dan di
tuangkan dalam bentuk kontrak.
c. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah pihak kedua
mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada pihak pertama.

Sedangkan rukun mudharabah menurut ulama syafi’iyah ada 6


yakni:
1) Pemilik barang yang menyerahkan barang – barangnya
2) Orang yang bekerja yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik
barang
3) Aqad mudharobah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4) Maal yaitu harta pokok atau modal
5) Pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba
6) adanya keuntungan.
KESIMPULAN
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang yang disari atas
suka sama suka diantara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sesuai dengan
syara. Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan dalam islam dan
berlandaskan Al-Quran surah Al Baqarah : 275, HR. Al-Bazzar, dan landasan
ijma.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli adalah syarat
aqaid, ma’qud alaih, dan syarat sighat. Sedangkan rukun jual beli terdapat dua
pihak yang berakad (penjual dan pembeli), terdapat objek transaksi dan adanya
akad.
Jika salah satu syarat dan rukun jual beli tersebut tidak terpenuhi dalam
proses transaksi maka jual beli tersebut dianggap gagal atau tidak sah. Menurut
imam syafi’i terdapat empat system dalam islam mengenai jual beli yakni, bai’ul
murabahah, bai’ul istisna, bai’ul ijaroh, dan bai’ul mudharabah.
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, Op.Cit., hlm 721
https://digilib.uinsby.ac.id

Anda mungkin juga menyukai