Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN

‘’ Sistem Penyelenggaraan Organisasi Negara’’


Disusun Sebagai Tugas Matakuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan
Dosen Pengajar Haeruddin,S.Pd,M.Pd

OLEH:
KELOMPOK 9

NUR ALIZA (50900121087)


ANDI AMRAENI PUTRI REZKIYA (50900121102)
YULIANA FAJRIN (50900121097)
MARWAN (50900121091)

JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita kepada Allah Subuhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dalam mata
kuliah “PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN’’
Makalah ini disusun untuk memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan atas kerja, usaha dan do’a. Sebagaimana kita ketahui
bahwa Rasulullah Muhammad saw. Di utus oleh Allah untuk menebar rahmat semesta alam.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia, ini menunjukkan bahwa keberhasilan beliau dalam mengemban amanah Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, ada pepatah yang mengatakan
bahwa “Tiada gading yang tak retak”, begitu juga dengan makalah ini yang tak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dan memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan menjadi bekal pengetahuan bagi penyusun di kemudian hari.

Gowa, 28 November 2021

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara sebagai organisasi pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan nasional memerlukan adanya pegawai yang penuh kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, UUD 45, negara dan pemerintah, bermental baik,
berwibawa, berdaya guna dan berhasil guna,berkualitas tinggi dan sadar akan
tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur pemerintah, abdi negara dan abdi
masyarakat. Kedudukan, fungsi dan peranan pegawai negeri adalah unsur aparatur
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional.
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata dan berkesinambungan antara material dan spiritual
berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, berdaulat, dan bersatu, dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tenteram, tertib dan dinamis, serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai. Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan nasional, terutama tergantung dari kesempurnaan
aparatur negara, dan kesempurnaan aparatur negara sangat tergantung dari
kesempurnaan pegawai negeri.
Persyaratan untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan nasional tidak sekedar
tersedianya aparat yang memiliki keahlian dan kompetensi, tetapi yang lebih penting
dari itu adalah terbentuknya aparat yang mempunyai akuntabilitas, moral dan etos
kerja. Secara nyata hal itu mencerminkan fungsinya sebagai public servant dan yang
mampu menjaga konsistensi peran birokrasi sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Pembangunan aparat negara pada hakikatnya merupakan serangkaian kegiatan
mengupayakan penyempurnaan pendayagunaan dan pembinaan sistem administrasi
negara. Fokus utamanya meliputi unsur penataan kelembagaan, penyempurnaan
ketatalaksanaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia aparat dan pemantapan
mekanisme pelaksanaan pengawasan di bidang pemerintahan dan pembangunan.
Untuk menunjang peran strategis aparatur dalam mengantisipasi laju perkembangan
lingkungan nasional, regional dan global dewasa ini, maka aparatur dituntut mampu
untuk tampil secara profesional dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi
pemerintahan, baik di bidang pelayanan publik, pembangunan maupun
pemberdayaan masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan sistem penyelenggaraan Negara?
2. Apa saja macam-macam sistem penyelenggaraan organisasi Negara?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas
pembantuan?
4. Bagaimana dasar-dasar penyelenggaraan Negara?
5. Bagaimana sistem pemerintahan di Negara?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sistem penyelenggaraan Negara
2. Untuk mengetahui macam-macam sistem penyelenggaraan organisasi Negara
3. Untuk mengetahui dekonsentralisasi dan pembantuan
4. Untuk mengetahui dasar-dasar penyelenggaraan Negara
5. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Negara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Penyelenggaraan Organisasi Negara


Organisasi merupakan wadah dimana banyak orang berkumpul bekerja bersama- sama
untuk mencapai tujuan yang sama. Organisasi Negara adalah wadah dimana para pejabat-
pejabat Negara bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mensejahterakan
rakyat.

Setiap Negara memiliki sistem dalam rangka menjalankan kehidupan pemerintahannya


untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sitem tersebut adalah dengan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang dikenal dunia seperti presidensial dan parlementer.
Setiap sistem pemerintahan memiliki kelebihan dana kekurangan, karakteristik,dan
perbedaan masing-masing.

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara pada hakikatnya merupakan uraian tentang


bagaimana mekanisme pemerintahan Negara di jalankan oleh presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan Negara.

Negara Republik Indonesia sendiri saat ini (setelah amandemen UUD 1945) menganut
sistem presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresu=ional, merupakan sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara republik dimana kekuasaan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaann legislatif.

Berikut beberapa ciri sistem penyelenggaraan pemerintahan presidensial:

1. Penyelenggaraan Negara berada ditangan presiden sebagai kepala Negara sekaligus


kepala pemerintahan. Presiden ini tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung
oleh rakyat.
2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada
presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada kepada parlemen. Hal itu dikarenakan
presiden tdak dipilih oleh parlemen.
4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5. Parlemen memiliki kekuasaan legislative dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota
parlemen dipilih oleh rakyat.
6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.

Menurut pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Hal ini mengandung arti bahwa
Presiden Republik Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memegang
kekuasaan pemerintah kemudian Presiden adalah Penyelenggara atau pemegang
kekuasaan pemerintahan Negara. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu
oleh seorang Wakil presiden. Presiden dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh
manteri-menteri Negara, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
(pasal 17 UUD 1945), Presiden tidak dapat membekukan atau mebubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat
dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih
ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap Negara, dan terlibat masalah criminal, posisi
presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran
tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.

Jika suatu sistem penyelenggaraan pemerintah dilihat dari elemen yang ada di
dalamnya maka tatanan atau susunan pemerintahan berupa suatu struktur yang terdiri
dari elemen pemegang kekuasaan di dalam Negara dan saling melakukan hubungan
fungsional di antara eleme tersebut baik secara vertical (Legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) maupun horizontal (Pemerintah Daerah).

B. Macam-Macam Sistem Penyelenggaraan Organisasi Negara


Sistem pemerintahan merupakan suatu tatanan utuh yang terdiri dari berbagai komponen
yang saling bergantung dan mempengaruhi, dalam mencapai tujuan dan fungsi
pemerintahan.

Sistem pemerintahan yang baik memunculkan pemerintahan yang tak dianggap


memberatkan rakyat. Secara luas, itu akan menjaga kestabilan masyarakat, menjaga
tingkah laku kaum mayoritas serta minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, politik,
pertahanan, ekonomi, dan keamanan.

Akhirnya terbentuklah sistem pemerintahan yang demokratis, di mana masyarakat bisa ikut
andil dalam pembangunan.

Berikut 6 macam sistem pemerintahan dunia penyelenggaraan organisasi Negara:

A. Sistem Pemerintahan Presidensial


Berasal dari kata presiden, sehingga sistem pemerintahan presidensial meletakkan
hubungan fungsional antar lembaga dan pelaksanannya, dipimpin oleh presiden.
Sejak amandemen UUD 1945 yang ketiga dan keempat, pemerintah negara Indonesia
menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara nyata. Sebelumnya Indonesia sempat
menjalankan sistem pemerintahan demokrasi seiring berjalannya waktu mengalami perubahan.
Trias Politica dalam Presidensial
Pembagian tugas yang dijalankan lembaga negara dengan sistem pemerintahan presidensial,
secara murni menggunakan doktrin Trias Politica, yakni:

 Legislatif yang berkuasa membuat Undang-Undang.

 Eksekutif yang berperan menjalankan Undang-Undang

 Yudikatif yang memiliki hak memilih pelanggaran Undang-Undang

Ciri Sistem Pemerintahan Presidensial:

 Presiden yang dipilih rakyat melalui pemilu.

 Masa jabatan presiden dengan jangka waktu tertentu.

 Presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Melalui jabatan tersebut presiden mengangkat pejabat pemerintahan lain yang terkait,
seperti menteri.

 Presiden memiliki kewenangan legislatif oleh UUD atau konstitusi.

 Presiden memiliki hak prerogratif untuk eksekutif. Hak prerogatif ialah hak istimewa untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-
departemen.

 Presiden memiliki hak berpendapat menurut UUD/UU/peraturan akan diberlakukan atau


dicabut.

 Keputusan kepala negara tidak bisa diganggu gugat.


B. Sistem Parlementer
Macam sistem pemerintahan selanjutnya parlementer, di mana ada presiden dan perdana
menteri yang berkuasa. Parlemen memiliki peran sangat besar dalam pemerintahan.
Beberapa negara yang melaksanakan sistem pemerintahan ini, seperti Malaysia, Jepang,
Inggris, Belanda, Singapura dan sebagainya.
Parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan bisa menjatuhkan
pemerintahan, yakni dengan mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Posisi presiden sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri menjadi kepala
pemerintahan.

Ciri Sistem Pemerintahan Parlementer :

 Parlemen menjadi pemegang kekuasaan.

 Negara dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan kepala
negara dipegang oleh presiden atau raja.

 Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif, sedangkan raja diseleksi berdasarkan
undang-undang.

 Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa).

 Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab pada kekuasaan legislatif.

 Menteri-menteri bertanggung jawab pada kekuasaan legislatif.

 Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.


 Pemilihan kepala pemerintahan melalui dipilih rakyat (langsung) atau parlemen (tidak
langsung).

 Pemilihan parlemen, dapat berubah-ubah sesuai dengan keputusan Perdana Menteri.

C. Sistem pemerintahan semipresidensial


Macam sistem pemerintahan semipresidensial merupakan gabungan dari Presidensial dan
Parlementer hingga disebut sebagai Dual Eksekutif atau Eksekutif Ganda.
Terlihat kuat, sebab posisi perdana menteri dan presiden menjalankan kekuasaan bersama. Di
lain sisi, terdapat parlemen atau wakil rakyat yang memiliki hak kuat dalam pemerintahan.

Ciri Sistem Pemerintahan Semipresidensial:

 Presiden memiliki hak prerogratif atau hak istimewa, dalam mengangkat atau
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.

 Negara dipimpin oleh perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan presiden menjadi
kepala negara.

 Masa jabatan kepala pemerintahan tidak ditentukan jangka waktu.

 Masa pemilihan umum ditentukan jangka waktu (4-6 tahun).

 Eksekutif tanggungjawab kepada legislatif.

 Eksekutif tidak dijatuhkan legislatif.

 Kedudukan legislatif lebih tinggi dibandingkan eksekutif.


 Pemilihan kepala negara dipilih rakyat (langsung) atau

 parlemen (tidak langsung).

 Pemilihan kepala pemerintahan dengan ditunjuk Presiden.

D. Sistem pemerintahan Komunis


Sistem pemerintahan dikendalikan penuh oleh partai komunis. Macam sistem yang masih
hingga saat ini, yakni Korea Utara, Vietnam, Laos, Republik Rakyat Tiongkok, Transnistia,
dan Kuba.

Komunisme atau Marxisme merupakan ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai
komunis. Berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi.
Tujuan utamanya untuk menciptakan masyarakat komunis dengan aturan sosial dan ekonomi
berdasar kepemilikan bersama alat produksi, serta tidak adanya kelas sosial, uang, dan negara.

Ciri Sistem Pemerintahan Komunis:

 Sistem pemerintahan didominasi oleh satu partai, yakni Partai Komunis.

 Paham komunisme atau Marxisme-Leninisme (berasal dari pemikiran Lenin) dianggap


sebagai paham negara.

 Sistem ekonomi menggunakan sistem komunisme dengan perencanaan terpusat.

 Sifatnya otoriter dan tidak memiliki kebebasan berpendapat.

 Seluruh alat produksi dikuasai oleh negara, swasta tidak memiliki peran.

E. Sistem pemerintahan Demokrasi Liberal


Macam sistem pemerintahan berikutnya ialah demikrasi liberal atau demokrasi konstitusional.
Politiknya menganut pada kebebasan individu.
Berusaha supaya keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan, serta hak-hak individu
seperti tercantum dalam konstitusi.
Sistem yang diterapkan oleh Amerika Serikat, Kanada dan Britania Raya. Tetap melalui
konstitusi yang digunakan berupa sistem presidensial, republik, dan monarki konstitusional.

Ciri Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal:

 Mengutamakan kepentingan individu, terutama di lingkungan masyarakat.

 Agama menjadi urusan masing-masing, sebab keyakinan beragama merupakan hak asasi
manusia yang sifatnya sangat pribadi. Baik mempercayai adanya Tuhan maupun tidak
(Atheis).

 Mengutamakan hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan individu.

F. Sistem Pemerintahan Liberal


Macam sistem pemerintahan Liberal menganut pada asas kebebasan sebagai landasan
penetapan kebijakan. Pemerintah tak begitu banyak menetapkan kebijakan. Mayoritas
aktivitas pemerintahan negara dijalankan oleh pihak swasta.
Liberal atau liberalisme merupakan sebuah ideologi, pandangan filsafat, serta tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman, bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah
nilai politik yang utama.

Ciri Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal:

 Mengutamakan kepentingan individu, terutama di lingkungan masyarakat.


 Agama menjadi urusan masing-masing, sebab keyakinan beragama merupakan hak asasi
manusia yang sifatnya sangat pribadi. Baik mempercayai adanya Tuhan maupun tidak
(Atheis).

 Mengutamakan hak asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan individu.

C. Dasar-Dasar Penyelenggaraan Negara


Sebagaimana telah disebutkan di atas, konsep, gagasan serta dasardasar yang ada dalam
Pembukaan akan dijabarkan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD
1945. Ada beberapa dasar fundamental yang diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945, yakni:
Pertama; dasar bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik. Dasar bentuk
negara kesatuan menunjukkan bahwa Indonesia hanyak mengenal satu satuan organisasi
yang bersifat kenegaraan. Hal ini berbeda dengan negara federal yang mengenal dua satuan
organisasi yang bersifat kenegaraan, yakni satuan kenegaraan federal dan satuan
kenegaraan negara bagian.

Bentuk pemerintahan republik dipilih karena Negara Indonesia merdeka bertujuan, antara
lain, mengikutsertakan rakyat dalam penyelenggaraan negara (demokrasi). Bentuk
pemerintahan yang paling langsung berhubungan dengan demokrasi adalah republik.
Republik yang berasal dari kata ’res’ dan ’publika’ berarti kembali kepada publik (rakyat).

Kedua; dasar demokrasi. Dari berbagai sistem penyelenggaraan pemerintahan, seperti


aristokrasi, oligarki, dan lain-lain, demokrasi masih dianggap sebagai sistem yang terbaik,
meskipun tidak sempurna dan mengandung kelemahan. Aristoteles, misalnya, mengatakan
demokrasi mudah sekali berubah menjadi pemerintahan oleh orang awam yang tidak
bertanggung jawab (government by the mob). Peringatan lain disampaikan oleh filsuf
Yunani yang lain, dengan mengatakan pemerintahan yang baik tidak akan berjalan dengan
baik apabila terlalu banyak kebebasan, purbasangka (prejudice) dan dilaksanakan oleh
orang-orang tidak kompeten. Selain itu, Mac Iver mengingatkan demokrasi tidak akan
berjalan dengan baik apabila masyarakat masih banyak yang miskin dan kurang
berpendidikan (less educated). Berbagai pendapat tersebut memperlihatkan bahwa
demokrasi bukan hanya memiliki dimensi politik, melainkan pula dimensi ekonomi, dan
social.

Ketiga; dasar negara hukum. Salah satu materi terpenting dalam perubahan UUD 1945
adalah dipindahkannya prinsip negara hukum dari Penjelasan ke Batang Tubuh.
Dari aspek hukum hal ini berarti dari yang semula tidak memiliki akibat hukum karena
Penjelasan bukanlah norma hukum, menjadi mempunyai akibat hukum karena Batang
Tubuh merupakan norma konstitusi.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan telah menempatkan ’negara hukum’ sebagai salah
satu prinsip utama penyelenggaraan negara. Ketentuan ini merupakan pindahan dari
Penjelasan UUD, yang antara lain berbunyi ’Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machsstaat)’. Penempatan dan
pengaturan prinsip negara hukum sebagai kaidah konstitusi merupakan suatu hal yang tidak
lazim, meskipun Konstitusi RIS dan UUDS 1950 pernah memuatnya. Konstitusi beberapa
negara, misalnya, Perancis, Jerman, Filipina, atau Rusia, tidak memuat prinsip negara
hukum dalam konstitusi mereka masing-masing, melainkan pada umumnya secara tegas
menyatakan penganutan prinsip demokrasi, bentuk negara ataupun sifat pemerintahan.
Besar kemungkinan para perubah UUD 1945 menempatkan prinsip negara hukum sebagai
salah satu upaya penegasan konstitusional semata. Ataukah penempatan tersebut sebagai
upaya apa yang disebut oleh Tim Lindsey sebagai ’rewriting rule of law’? Dengan
demikian, pengaturan konstitusional tersebut semata-mata dimaknai sebagai pengakuan
formal.
Terdapat beberapa pelajaran menarik untuk diperhatikan dari perdebatan konsep negara
hukum yang terjadi dalam proses perubahan UUD 1945
Pertama; adanya keinsyafan dari para perubah UUD 1945 memasukkan prinsip negara
hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945, dengan cara memindahkannya dari Penjelasan.
Hal ini merupakan konsekuensi dari kesepakatan mengenai sistematika UUD 1945 yang
hanya akan terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Selain itu, pengaturan prinsip negara
hukum menjadikannya sebagai constitutional norm yang memiliki daya ikat lebih kuat
dibandingkan sebelumnya.

Kedua; secara sadar para perubah UUD 1945 memasukkan prinsip negara hukum ke dalam
Bab I UUD 1945 karena adanya anggapan bahwa Bab ini, antara lain, berfungsi sebagai
’umbrella’ bagi bab-bab selanjutnya.18 Pendapat ini menarik untuk disimak karena tanpa
memberi judul bab secara eksplisit yang mencerminkan fungsi bab, ternyata Bab I
dipahami sebagai payung yang menyediakan prinsip-prinsip dasar bernegara. Di Filipina,
Konstitusi Filipina 1987, secara eksplisit memberi judul Bab II ’Declaration of Principles
and State Policies’, dimana dimuat pasal-pasal yang merupakan prinsip-prinsip
penyelenggaraan negara serta kebijakan-kebijakan negara.

Ketiga; meskipun mengkaitkan dengan paham demokrasi, para perubah UUD 1945 tidak
melakukan perdebatan yang substansial dan mendalam. Perdebatan akhirnya ’hanya’
mengerucut pada kesimpulan bahwa prinsip negara hukum yang dianut adalah negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). Sebagaimana demokrasi, konsep
negara hukum juga berkembang. Paham negara hukum yang semula hanya bersifat
normatif (supremasi hukum), dan politik (mencegah kelaliman penguasa), berkembang
menjadi paham sosial. Paham sosial negara hukum berkaitan dengan paham negara
kesejahteraan (welfare state) dan pertemuan antara paham murni negara hukum dengan
paham negara kesejahteraan, melahirkan konsep negara hukum untuk kesejahteraan atau
sociaal rechtsstaat. 20 Bagir Manan berpendapat:
UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 – seperti dimuat Pasal 33 dan
Pasal 34 – melukiskan dengan tegas asas negara hukum kesejahteraan. Dengan demikian,
ada sumber asas negara hukum kesejahteraan dalam UUD 1945, yaitu:
Pertama; ajaran demokrasi yaitu demokrasi sosial atau disebut juga demokrasi ekonomi.
Dari segi demokrasi, asas negara kesejahteraan menjelma dalam bentuk:
(1). Penguasaan oleh negara atau rakyat atas segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
rakyat banyak.
(2). Sistem pengelolaan usaha melalui koperasi. Koperasi adalah pranata demokrasi di
bidang ekonomi. Kedua; ajaran negara hukum kesejahteraan (sociaal rechtsstaat). Dengan
demikian, sistem penyelenggaraan negara menurut UUD 1945, tidak hanya politieke-
economische democratie, tidak juga hanya democratische rechtsstaat, tetapi juga
democratische social rechtsstaat.

Keempat; para perubah UUD 1945 saat melakukan perdebatan konsep negara hukum,
khususnya yang berkaitan dengan politik, kurang menunjukkan implikasi konsep ini di
bidang-bidang lain, misalnya dalam proses pemberhentian jabatan presiden dan/atau wakil
presiden. Pasal 7B UUD 1945 tidak mengatur satu ayatpun yang menegaskan bahwa MPR
’tunduk’ pada apapun putusan MK mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
presiden dan/atau wakil presiden. Bahkan melalui Pasal 7B ayat (7), MPR masih
memberikan kesempatan kepada presiden dan/atau wakil presiden memberikan penjelasan
dalam rapat paripurna MPR. Ketentuan ini menyiratkan MPR tidak terikat oleh putusan
MK. Jika MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan
pelanggaran hukum, MPR dapat berpendapat sebaliknya. Keadaan semacam ini
menggambarkan terjadinya ’clash of principle’. Jika Bab I dimaksudkan sebagai
’umbrella’ untuk bab-bab selanjutnya, maka seharusnya ’pertentangan’ prinsip
diselesaikan dengan cara mendahulukan prinsip yang diatur dalam Bab ini, yaitu prinsip
negara hukum. Dengan demikian, maksud para perubah UUD 1945 yang menjadikan Bab
ini sebagai ’payung’ menjadi bermakna.
Kelima; pelajaran paling mendasar yang dapat diambil dari perubahan UUD 1945 adalah
konsep negara hukum apakah yang sebenarnya ingin diletakkan oleh para perubah UUD
1945? Secara formal sebagaimana dijelaskan di atas, UUD 1945 masih memuat ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi dan paham negara kesejahteraan. Artinya
secara formal, UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai sociaal rechtsstaat atau negara
hukum kesejahteraan. Bagir Manan menjelaskan bahwa rumusan baru yang terdapat dalam
UUD 1945 dapat dimaknai sebagai:
(1). Menghilangkan kesan seolah-olah konsep negara hukum berhubungan atau
berkaitan dengan paham liberalisme, individualisme yang mengagung-agungkan individu
(individuality) yang berlawanan dengan paham kekeluargaan atau paham integralistik
(Supomo). Negara hukum adalah kebutuhan universal untuk mencegah atau meniadakan
kediktatoran. Negara hukum merupakan sarana menegakkan demokrasi.
(2). Konsep negara hukum yang diatur dalam UUD 1945 tidak hanya terpaku pada
salah satu paham negara hukum, melainkan mencakup segala unsur yang diperlukan bagi
tegaknya negara hukum dan demokrasi. Dengan demikian, isi negara hukum menjadi lebih
luas dan dapat menampung segala dinamika masyaraat dan Negara.
Dalam kenyataan, pemindahan ini dapat tidak berarti apapun jika dalam pelaksanaan
penyelenggaraan negara tidak dibarengi dengan elemen-elemen penting untuk
mengefektifkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut. Menurut Marjanne Termorshuizen-
Artz, Indonesia telah memiliki berbagai perangkat keras, yaitu trias politica, konstitusi
yang memuat hak-hak asasi manusia, demokrasi, institusi-institusi hukum, dan lain-lain.23
Yang menjadi persoalan adalah apakah perangkat-perangkat keras tersebut dalam
pelaksanaannya telah berfungsi secara wajar, terutama dalam suatu negara yang selama
lebih dari 30 tahun tidak menjalankan tradisi demokrasi dan konstitusionalisme (khususnya
pada masa Orde Lama dan Orde Baru).
D. Sistem pemerintahan
UUD 1945, baik sebelum maupun setelah perubahan, tidak mengatur secara eksplisit
sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia. Kalaupun para ahli hukum dan politik
mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan tertentu, pandangan tersebut
didasarkan pada analisis pasalpasal UUD yang dikaitkan dengan ciri-ciri umum masing-
masing sistem pemerintahan. Hal ini dikarenakan istilah sistem pemerintahan merupakan
istilah yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

Secara umum dijumpai pandangan yang berbeda dari para ahli hukum tata negara
mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945.
Bagir Manan, misalnya, berpendapat Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil,
baik sebelum maupun setelah perubahan UUD 1945.
Moh. Mahfud M.D. juga berpendapat bahwa secara konstitusional Indonesia menganut
sistem presidensil dengan merujuk pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa
sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 adalah sistem presidensil karena telah
memenuhi ciri-ciri utama sistem tersebut. Bahkan menurutnya jika dibandingkan dengan
sebelum perubahan, sistem presidensil yang dianut sekarang bersifat lebih murni, karena
sebelumnya dianut sistem quasi presidensil. Pendapat berbeda justru dikemukakan oleh Sri
Soemantri, yang menyatakan, paling tidak sebelum perubahan UUD 1945, sistem
pemerintahan campuran yang dilaksanakan oleh Indonesia karena dijumpai segi-segi
sistem parlementer dan presidensial.

Bagir Manan berpendapat bahwa ‘sistem pemerintahan merupakan suatu pengertian yang
berkaitan dengan tata cara pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan eksekutif
dalam suatu tatanan negara demokrasi’.31 Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam negara
demokrasi terdapat prinsip bahwa tidak ada suatu kekuasaan tanpa pertanggungjawaban,
dan pertanggungjawaban yang dimaksud adalah pertanggungjawaban kepada rakyat. Jimly
Asshiddiqie menjelaskan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian
penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.
Apabila pendapat Bagir Manan dikaitkan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie maka sistem
pemerintahan berkaitan dengan pengertian pertanggungjawaban pihak eksekutif terhadap
legislatif dalam arti apakah eksekutif bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab
terhadap legislatif. Jika eksekutif bertanggung jawab maka sistem pemerintahannya
dinamakan sistem parlementer, sedangkan apabila eksekutif tidak bertanggung jawab maka
disebut sistem presidensil.

Secara umum dikenal tiga sistem pemerintahan, yaitu sistem presidensil, parlementer, dan
campuran dengan berbagai variasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
negara. Sistem presidensil, misalnya, meskipun suatu negara memenuhi beberapa ciri
utama, namun dalam praktiknya dapat berbeda dengan negara lain yang menganut sistem
yang sama. Hal ini tampak nyata dalam penyelenggaraan presidensialisme di Amerika
Serikat dan negara-negara Amerika Latin. Dalam kaitan ini Scott Mainwaring membagi
presidensialisme menjadi dua bagian, yaitu presidensialisme di sistem demokratis dan
sistem otoriter.

Amandemen UUD 1945 merupakan sebagai suatu hal tepat dipandang dari keinginan untuk
mempertahankan dan memperkuat sistem presidensil. Namun, hasilnya juga dipertanyakan
karena terjadi ‘ketidakseimbangan antar cabang kekuasaan yang menyebabkan eksekutif
terkendala’.36 Akibatnya muncul pertanyaan apakah Amandemen UUD 1945 betul-betul
telah memperkuat presidensialisme sesuai dengan ciri-ciri sistem ini ataukah justru
meneguhkan presidensialisme ala Indonesia.

Problema presidensialisme Indonesia dikarenakan dua hal yaitu, pertama, bersumber dari
konstitusi yang terefleksi pada ketentuan-ketentuan konstitusional dan, kedua, praktik.

Dari sudut pandang ilmu politik, Arbi Sanit menyatakan bahwa kerancuan terjadi karena
dua hal, yaitu, pertama, ‘pemaknaan dan pengadaptasian institusi demokrasi dari khasanah
global maupun nasional yang tidak cermat’. Kedua, ‘inkoherensi dan asinergis institusi
demokrasi yang bermuara kepada irelevansi produk institusi dimaksudkan dengan
kebutuhan solusi masalah dan kemajuan’. Kedua kelemahan tersebut berakibat pada
munculnya ‘inkoherensi paradigma bernegara, inkoherensi sistem politik dan
pemerintahan, dan inkoherensi tingkah laku kekuasaan berdemokrasi’. Uraian di bawah ini
hanya akan menjelaskan kedua problema presidensialisme Indonesia yang berasal dari
konstitusi dan praktik.

Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa para perubah UUD 1945 memasukkan
ketentuan Pasal 20 ayat (5), namun tanpa melengkapi Presiden dengan hak veto
sebagaimana terdapat dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Penulis berpendapat
Pasal ini merupakan salah satu contoh ‘transplantasi hukum’ (legal transplant) dari sistem
ketatanegaraan lain, namun tidak disertai dengan design yang jelas dari konsep
presidensialisme yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan yang tegas. Presiden
Amerika Serikat tidak ikut serta dalam pembahasan suatu rancangan undangundang, oleh
karena itu adalah wajar jika Konstitusi menyediakan mekanisme balancing.

Persoalan lain dengan presidensialisme di Indonesia berkaitan dengan praktik


pembentukan kabinet koalisi. Secara umum koalisi diartikan sebagai sistem eksekutif yang
disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang
mempunyai wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang
dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislatif. Berdasarkan pengertian
umum tersebut, ciri-ciri suatu pemerintahan koalisi adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah (eksekutif) disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili
lebih dari satu a partai.
b. Partai politik dalam koalisi adalah partai politik yang mempunyai wakil di badan
legislatif.
c. Pemerintahan koalisi dibentuk karena tidak ada satu partai politik yang menguasai
jumlah kursi mayoritas mutlak (lebih dari 50%) di badan legislatif.
d. Pemerintahan koalisi bertanggung jawab kepada badan legislatif. Dengan perkataan lain,
pemerintahan koalisi adalah tatanan sistem pemerintahan parlementer atau campuran.

E. Dekonsentrasi, Desentralisasi dan Tugas Pembantuan


Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut
asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas
pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat
dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu, sebagai konsekuensi
negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang pemerintah
didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur
sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam
pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan
fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Dasar pertimbangan dan tujuan
diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a. Terpilihnya Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar
daerah
c. Terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan
antarpemerintahan di daerah
d. Teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya
daerah
e. Tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta
pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat
dan
f. Terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system
administrasi NKRI

Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur
penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang
disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas
pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas
dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah
memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu
penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan
desa.

Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah
dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam
bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang
diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-
tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang
kabupaten/kota.

Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas memberikan


konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan pemerintahan yang
sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari
APBD, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
harus didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga.
Pengaturan pendanaan kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup
pendanaan sebagian urusan pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur
berdasarkan asas dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang akan
ditugaskan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan
bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas
penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan .
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah yang dalam system
pengaturannya tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga aspek
pengelolaan dan pertanggungjawaban.

Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek


penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan,
pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi4 . Penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:
a. Pelimpahan urusan pemerintahan;
b. Tata cara pelimpahan;
c. Tata cara penyelenggaraan dan
d. Tata cara penarikan pelimpahan.

Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang


bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana
tugas pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapat
dihibahkan kepada daerah. Penghibahan, penatausahaan, penggunaan dan
pemanfaatan barang dalam Pasal 57 ayat (2) PP 7/2008, merupakan agian yang
tidak terpisahkan dari pengelolaan barang milik negara/daerah.

Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek


manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan
realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi,
dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala
SKPD provinsi atau kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang
tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:


1. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan,
pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.
2. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas
3. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK
dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem pemerintahan Indonesia pernah mengalami perubahan sistem
terpakai, baik menggunakan Sistem pemerinahan Presidensial maupun
Sistem pemerintahan parlementer, Sistem pemerintahan Presidensial
awalnya di gunakan pemerintahan orde lamanamun mengalami gejolak dari
dalam (adanya ketidakpuasan dari tokoh-tokoh tentang sistem di pakai)
maupun dari luar (agresi militer Belanda) membuat para tokoh merubah
kembali dari sistem parlemeter ke sistem presidensial.

Sistem pemerintahan Indonesia Sesudah Amademen UUD 1945 Sistem


pemerintahan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945 mejadi UUD RI
1945 memakai sistem pemerintahan Presidensial walaupun tidak murni
sistem presidensial atau pelaksaan melenceng dari sistem presidensial
sehingga memunculkan nama baru untuk sistem pemerintahan Indonesia,
yang oleh para ahli hukum tata Negara. Sesudah diamandemennya UUD
tahun 1945, diperoleh gambaran bahwa sistem pemerintahan yang dianut di
Indonesia bercirikan sistem pemerintahan Presidensil Konstitusional yaitu
“suatu sistem pemerintahan yang penyelenggaraan pemerintahan negaranya
dilaksanakan oleh presiden dimana tugas dan kewenangan presiden diatur
dalam konstitusi baik dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
pemerintahan maupun sebagai penyelenggara negara dengan arah
pertanggungjawabannya adalah terhadap konstitusi.

B. SARAN
Saya sebagai penyusun makalah menyadari bahwa makalah ini banyak
sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya penyusun
akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
di pertangungjawabkan nantinya. Oleh karena itu penyusun tentunya sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Mahmuzar, 2010, Sistem pemerintahan Indonesia : menurut UUD 45 sebelum


dan sesudah Amandemen, Nusamedia, Bandung Isra, Saldi, 2019, Sistem
Pemerintahan Indonesia: pergulatan ketatanegaraan menuju sistem
pemerintahan Presidensial, RajaGrafindo, Depok Gaffar, Afan, 2002, Prospek
Reformasi politik: Perdebatan tentang amandemen undang-undang dasar
Negara, Pustaka Pelajar, Jakarta, Assiddiqie, Jimly, 1996, Pergumulan Peran
pemerintah dan parlemen dalam sejarah: Telaah perbandingan konstitusi
berbagai Negara, UI Press, Jakarta. Budiarjo, Miriam, 1999, Dasar-dasar ilmu
politik, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta. Martosoewignyo, Sri Soemantri, 1992,
Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Pustaka Alumni, Bandung.
Zulkarnain, Ridlwan, 2015, Cita demokrasi dalam politik hukum pengawasan DPR
terhadap konstitusi, Gramedia, Jakarta Montesqueie, (tt), The Spirit of the law,
Hafner Press, London.

Anda mungkin juga menyukai