Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dian Octaviani

NIM : 20/463158/SA/20725
Prodi : Sejarah

Review Artikel Seni sebagai Ekspresi Eksistensi Tantangan


Kebijakan Multikulturalisme

Kebijakan kebudayaan pada masa Orde Baru telah menghapuskan warna kebhinekaam di
Indonesia dan menggantikan keekaan. Meskipun kepercayaan ini sering muncul dalam berbagai
forum seperti seminar, diskusi, makalah tetapi diantaranya yang paling dominan adalah
pengenalan lurah dalam struktur pemerintahan yang meberikan impoten struktur pimpinan local
serta proses jawanisasi dalam bebrapa aspek. Reformasi yang terjadi pada penghujung abad 20
telah meberikan banyak perubahan terutama kehidupan budaya. Perubahan kebudayaan adalah
munculnya kepercayaan, cita – cita, keyakinan pada sekelompok orang khususnya para
pembicara kebudayaan bahwa kehidupan budaya negara indonesia harus diubah. Kehidupana
pada masa Orde Baru adalah kehidupan budaya yang bersifat memaksa sehingga harus diubah
kepada kehidupan kebudayaan yang Bhinneka pernyataan inilah yang muncul dalam Simposium
Antropologi pertama di Makasar yang bertemakan Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah?
Dan jawabannya harus bisa. Karena semangat inilah muncul Simposium ke 3 dengan semangat
multikularisme yang mengakui dan melindungi keragaman budaya serta menyetarakan derajat
dari kebudayaan yang berbeda – beda. Kesan yang muncul dari euphoria reformasi sebagai
kekecewaan masyarakat atas penekanan ke ekaan serta dominasi etnis jawa dalam kehidupan
budaya di Indonesia pada pra reformasi. Artikel ini berusaha mengeskplorasi seni sebagai media
ekspresi dalam konteks tantangan dalam penerapan kebijakan multikularisme. Hal pertama yang
dibahas dalam artikel ini adalah Perubahan seni dan implikasinya. Penolakan suatu kesenian oleh
satu kelompok sosial karena kesenian tersebut dianggap tidak sesuai dengan status sosial dari
suatu kelompok dan dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kesenian merupakan indikator status
sosial dan eksistensi suau kelompok. Demikian pula bertahan atau punahnya satu kesenian
merupakan cerminan eksistensi dari pendukungnya. Misalnya pada tahun 1970 seni Betawi
sangat langka dan menimbulkan mitos di Jakarta bahwa penduduk asli Jakarta sedang dalam
proses menghilang dan di dalam dinamikannya menyebabkan adanya perubahan, perkembangan,
bahkan dinamika. Bukan hanya dinamika satu kesenian yang merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan bila kelompoknya mengalami perubahan tetapi suatu kelompok dapat menggunakan
seni secara sengaja untuk merubah statusnya. Hubungan dialektik seperti ini dapat terjadi tanpa
direncanakan. Bila perubahan yang terjadi pada dunia seni baik perubahannya terjadi secara
alamiah atau direncanakan hanya terbatas pada kehidupan seni sehingga nantinya masalah
tersebut kurang menarik dan dianggap kurang penting. Seni juga dapat memberikan dampak
yang jauh diluar apa yang kita pikirkan dan sering kali dampaknya muncul sebagai hal yang
tidak direncanakan. Perubahan yang terjadi didalam kesenian akan berdampak ke dalam berbagai
aspek meskipun perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama dan terkadang juga tidak
disadari oleh masyarakat. Perubahan seni dapat menyangkut perubahan pada penampilan seni,
fungsi seni, pemilik seni, dan konsumen seni. Perubahan seni dapat dikategorika kedalam 2 hal
yaitu perubahan yang alamiah dan perubahan yang rekacipta. Perubahan rekacipta ini dilakukan
oleh pihak luar dan perubahan ini mengandung dua warna yaitu untuk merubah seni dan untuk
mencapau satu tujuan di luar seni. Barongsai adlah salah satu kesenian Cina di Indonesia yang
memasuki ambang kematian karena pada tahun 1950 pemerintah pernah melarang kesenian ini
dengan alasan nasionalisme. Karena hal inilah hubungan antara pemerintah Indonesia dan Cina
semakin buruk. Namun pada awal 2000 kebijakan ini dicabut karena Barongsai diyakini sebagai
kesenian yang tidak dapat dipisahkan dengan perayaan Imlek. Dengan dicabutnya larangan ini
masyarakat Indonesia bisa kembali menyaksikan pertunjukan Barongsai ini dan bisa
menambahkan wawasan masyarakat tentang kebudayaan lain yang telah masuk dan diadopsi ke
dalam kebudayaan Indonesia dimana masyarakat dapat saling menghargai kebudayaan orang
lain. Beberapa kesenian pernah dilarang untuk tampil dimuka umum karena alasan yang
sebenarnya hanya digunakan untuk kepentingan politik. Namun lambat laun kesenian itu
diperbolehkan tampil dimuka umum dan justru bisa menjadi referensi bagi masyarakat tentang
kebudayaan – kebudayaan lain. Contoh kasus Lombok memperlihatkan lahir dan matinya cabang
kesenian Lombok yang berhubungan dengan perubahan suhu politik. Otonomi abad 20 telah
memberikan kesempatan baru pada orang Sasak penduduk asli Lombok dan telah mempersempit
kesempatan pada orang jawa dan bali. Karena sebelum adanya otonomi daerah tersebut Lombok
lebih didominasi oleh orang Jawa dan Bali. Jika kasus barongsai dan Lombok memberikan
gambaran hubungan seni dan otoritas maka kasus revitalisasi kesenian betawi telah menunjukkan
bagaimana revitalisasi seni telah memberikan otoritas pada pendukungnya. Revitalisasi Betawi
dilakukan untuk kepentingan pariwisata. Dengan adanya revitalisasi ini yang awalnya
kebudayaan Betawai dilakukan oleh orang kalangan bawah sekarang sudah mulai dilakukan atau
diminati oleh orang – orang dari kalangan atas. Dimana mereka aktif dan terlibat dalam kegiatan
kesenian Betawi ini, sebab dengan adanya revitalisasi kesadaran akan budaya yang hampir
memudar itu mulai meningkat. Hal – hal ini berkaitan dengan kebijakan multicultural dalan seni
dan otoritas politik. Kebijakan multicultural adalah kebijakan yang mengakui dan melindungi
keragaman budaya yang berbeda. Penekanannya berfokus pada konteks perbedaan sosial budaya.
Kasus Barongsai, Betawi, Lombok, Mamanda dan Damarwulan telah membawa pada
kesimpulan bahwa ada hubungan dialektik antara kehidupan seni, eksistensi kelompok etnik dan
dunia kehidupan politik/otoritas. Kehidupan seni dapat membawa dampak diluar seni yang
membawa pada otoritas politik. Tahap pertama dalam rekacipta seni amat ditentukan oleh
kekuatan sosial dan ekonomi. Otoritas ada ditangan perekacipta baik itu anggota dari pemiliki
seni atau orang diluar kelompok. Bila perkembangan kesenian ditentukan oleh derajat
kemampuan pendukung kelompok pemiliknya dapat diproyeksikan bahwa kelompok –
kelompok yang kuat akan melaju dengan cepat serta menghidupkan dan mengembangkan
kesenian jauh meninggalkan kawan yang kurang mampu dibelakang. Demikianlah konsep
menyetarakan derajat konsep multikultural. Penyetaraan derajat yang dimaksud karena
tampaknya mereka yang kuatlah yang akan menguasai kehidupan seni. Apabila rekacipta serta
pengembangan seni memperkuat identitas dan eksistensi kelompok sosial ekonomi yang kuat
makan akan melesat identitas dan eksistensinya meninggalkan kelompok sosial lain yang
tergolong rendah. Kebijakan – kebijakan multikultural diharapakan dapat menghapuskan
primordialisme dan eksklusifitas. Sehingga kesenian – kesenian yang ada tetap terjaga dan dapat
menjadi warisan yang bermakna bagi generasi – generasi muda penerus bangsa. Materi yang
disampaikan didalam artikel ini sangatlah lengkap dan dapat dipahami dengan baik, bahasa yang
digunakan pun lugas dan tidak berbelit – belit, serta topik bahasannya sangat menarik dan tidak
menyebabkan kebosanan pembaca saat membacanya. Dengan membaca artikel ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang dampak yang timbul dari perkembangan
dan perubahan kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai