Anda di halaman 1dari 14

Volume 8, Nomor 1, April 2019

KONVENSI KETATANEGARAAN DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL


DI INDONESIA PASCA ERA REFORMASI
(Constitutional Convention in Indonesia National Law System After The Reformation)

Ahmad Gelora Mahardika


Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
Jl. Major Sujadi Timur No.46 Tulungagung
Email : geloradika@gmail.com

Naskah diterima: 28 Januari 2019; revisi: 25 Februari 2019; disetujui: 19 Maret 2019

Abstrak
Sejak era reformasi, Konvensi ketatanegaraan sebagai hukum tertulis mulai tergerus oleh formalisasi hukum. Hampir
semua tradisi bernegara Indonesia saat ini dinormakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sebagai salah satu
sumber hukum, konvensi seharusnya tetap dipertahankan keberadaannya, meskipun karakteristik itu jarang terjadi di
negara civil law. Di Indonesia konvensi perlahan demi perlahan mulai menghilang, dikarenakan semua konvensi cenderung
untuk dinormakan dalam peraturan tertulis. Apabila kondisi ini dipertahankan secara terus menerus, konvensi sebagai
salah satu sumber hukum akan punah. Penelitian ini menggunakan metoda yuridis normatif, dan menyimpulkan bahwa
pembuat undang-undang seharusnya menempatkan posisi konvensi dalam hierarki peraturan perundang-undangan untuk
memberikan kepastian hukum atas kedudukan konvensi dalam sistem hukum Indonesia. Artikel ini mencoba untuk melihat
posisi konvensi yang tersisa hingga saat ini dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, serta bagaimana kita menempatkannya
dalam sistem hukum nasional sebagai upaya untuk menjaga tradisi kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Kata kunci : konvensi, norma, praktek, tradisi

Abstract
Since reform era,`The Constitutional Convention as written constitution began to be eroded by the formalization of the
law. Almost all the traditions of the Indonesian constitution are currently formulated in the form of legislationAs one of
the sources of law, its existence should be maintained, although this characteristic is rare in a country that adheres to the
principle of civil law. In Indonesia this convention slowly began to vanished, because all conventions tended to be regulated
in written regulations. If this condition is maintained continuously, the convention as a source of law will become extinct.
This research used juridical-normative method and conclude that legislative must place the position of the convention in
the hierarchy of legislation to provide legal certainty over the position of the convention in the Indonesian legal system. This
article tries to look at the conventions that are left now in the Indonesian constitutional system, and how we place them in
the national legal system as an effort to keep tradition in Indonesian constitutional.
Keywords : convention, norm, practices, tradition

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 55
Volume 8, Nomor 1, April 2019

A. Pendahuluan dilakukan setiap tahun dan menjadi tradisi yang


wajib dilakukan oleh Presiden setiap tanggal 16
Dalam negara yang menganut asas common
Agustus.
law, konvensi ketatanegaraan adalah sesuatu
Dalam tradisi negara yang menganut asas
hal yang lumrah bahkan pada dasarnya hampir
civil law, undang-undang merupakan sumber
semua proses ketatanegaraan tidak diatur dalam
hukum utama. Namun meskipun menggunakan
undang-undang, akan tetapi hanya diatur oleh
sumber hukum tertulis sebagai rujukan
konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.1 Akan
utamanya, negara yang menganut asas civil
tetapi di negara yang menganut asas civil law,
law kerap kali juga menggunakan putusan
konvensi ketatanegaraan bisa dibilang langka
pengadilan sebagai salah satu rujukan. Bahkan
atau keberadaannya tidak ada sama sekali. Hal
dalam konteks negara Indonesia, putusan
itu disebabkan segala proses ketatanegaraan
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
di negara yang menganut asas civil law identik
kerap kali menjadi rujukan utama dalam
dengan norma dalam peraturan perundang-
pengambilan keputusan.3 Hal ini membuktikan
undangan.2
bahwa dalam negara yang menganut asas civil
Konvensi dalam sejarah ketatanegaraan
law pun, tradisi-tradisi hukum common law juga
Indonesia ada sejak era kemerdekaan hingga
turut digunakan.
Orde Baru meski jumlahnya tidak terlalu
Sebagai salah satu negara di dunia ini yang
banyak. Akan tetapi, sejak Era Reformasi, jumlah
menjadikan civil law sebagai sistem hukumnya,
konvensi ketatanegaraan semakin lama semakin
Indonesia mempunyai banyak tradisi
berkurang. Hal itu disebabkan karena semua
ketatanegaraan yang cukup panjang. Dahlan
tradisi politik yang sudah berjalan sekian tahun
Thaib mengemukakan terdapat sejumlah
kemudian dinormakan dalam aturan tertulis,
tradisi ketatanegaraan di Indonesia yang tidak
seperti pembacaan pidato Presiden setiap
dinarasikan dalam aturan tertulis, seperti
tanggal 16 Agustus di depan sidang paripurna
Praktik di Majelis Permusyawaratan Rakyat
DPR. Secara konstitutional, hal tersebut tidak
(MPR), mengenai pengambilan keputusan
diatur dalam UUD 1945 karena Presiden
berdasarkan musyawarah untuk mufakat atau
bertanggung jawab secara langsung kepada
pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di
rakyat bukan kepada DPR sebagai perwujudan
depan sidang paripurna MPR.4
sistem pemerintahan presidensiil murni. Akan
Kesemua tradisi diatas adalah tradisi
tetapi karena ini sudah menjadi kebiasaan
ketatanegaraan Indonesia yang berlangsung
ketatanegaraan di Indonesia, proses itu tetap

1
Menurut Judge Peter J. Messitte adalah suatu kesalahan menyebut bahwa karakteristik common law adalah
hukum tidak tertulis (unwritten law). Putusan pengadilan yang diinterpretasikan sebagai hukum kenyataannya
selalu tertulis dan mudah diakses. Lihat Judge Peter J.Mesitte, “Common Law V. Civil Law Systems”, http://web.
ntpu.edu.tw/~markliu/common_v_civil.pdf diakses pada tanggal 27 Januari 2019
2
H. Mustaghfirin, “Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem
Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni,” Jurnal Dinamika Hukum (2011):91.
3
Oly Viana Agustine, “Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi (2018):647.
4
Tri Suhendra Arbani, “Eksistensi Konvensi sebagai Sumber dan Praktek Ketatanegaraan di Indonesia,” Supremasi
Hukum (2016):124.

56 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

secara rutin meskipun tidak ada dasar hukum harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut;
kuat yang mengatur hal tersebut. Akan tetapi Konvensi ketatanegaraan itu berkenaan
sejak era reformasi, hampir semua kebiasaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan;
ketatanegaraan itu dinormakan kedalam Kemudian konvensi ketatanegaraan tumbuh,
peraturan perundang-undangan. Artikel ini berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik
mencoba untuk melihat bagaimana posisi penyelenggaraan negara; serta Konvensi
konvensi ketatanegaraan Indonesia dalam sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada
beberapa tahun belakangan ini serta bagaimana pelanggaraan terhadapnya tak dapat diadili
proyeksi kedudukan konvensi ketatanegaraan oleh badan pengadilan.8
dalam sistem hukum nasional di masa yang Sejak era kemerdekaan Indonesia, konvensi
akan datang. menjadi hal lumrah yang terjadi dalam sistem
ketatatanegaraan Indonesia. Hal itu disebabkan
B. Metode Penelitian belum adanya tradisi untuk mencantumkan
Metode penelitian dalam artikel ini adalah segala sesuatu dalam peraturan perundang-
yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan undangan. Menurut Ismail Sunny hal ini
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau disebabkan adanya Express agreement
norma-norma dalam hukum positif.5 Penulis (persetujuan yang dinyatakan) antara sejumlah
mencoba untuk menggali persoalan terkait elit, bak itu eksekutif maupun legislatif
konvensi dengan cara menelaah teori- sehingga konvensi tersebut merasa tidak
teori, konsep-konsep, asas-asas hukum perlu dinormakan dalam bentuk peraturan
serta peraturan perundang-undangan yang perundang-undangan.9
berhubungan dengan penelitian ini. Untuk dianggap sebagai konvensi, suatu
norma tidak tertulis harus memenuhi
C. Pembahasan persyaratan-persyaratan yang jelas. Apabila
syarat terciptanya kebiasaan itu diberlakukan
Convention atau lebih dikenal dengan pada kebiasaan ketatanegaraan, maka konvensi
istilah constitutional convention, yang diteliti ketatanegaraan sebagai kebiasaan akan
lebih dalam oleh Dicey seorang sarjana Inggris terbentuk melalui proses yang relatif lama.
sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib,6 berarti Sebagai kebiasaan, konvensi ketatanegaraan
rules for determining the mode in which the harus memenuhi beberapa persyaratan antara
discretionary powers of the crown (or of the lain, (1) harus ada preseden yang timbul berkali-
ministers as servants of the crown) ought to kali; (2) preseden yang timbul karena adanya
be exercise.7 Suatu konvensi ketatanegaraan sebab secara umum dapat dimengerti atau

5
Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia Publishing, 2006), hlm.
295.
6
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), hlm.12.
7
A.V. Dicey, An Introduction to the study of the law of the constitution, (London: EL and S and Macmillas, 1967), hlm.
422.
8
Weldy Agiwinata, “Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Batu Uji Dalam Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah
Konstitusi,” Yuridika (2014):153.
9
I Gede Yusa, Hukum Tata Negara Paasca Perubahan UUD NRI 1945, (Malang:Setara Press, 2016), hlm. 48.

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 57
Volume 8, Nomor 1, April 2019

dapat diterima; dan (3) preseden itu karena bersifat mendasar, yang dilakukan dalam
adanya kondisi politik yang ada.10 menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh
Syarat pertama, merupakan hakikat alat-alat kelengkapan negara, dan belum diatur
kebiasaan itu sendiri, sebab tidak ada dalam konstitusi serta peraturan ketatanegaraan
kebiasaan yang tidak dilakukan secara lainnya, dengan maksud untuk melengkapi
berulang-ulang. Syarat kedua, sama dengan ketentuan-ketentuan ketatanegaraan atau
“opinion necessitatis” atau keyakinan akan sebagai faktor pendinamisasi pelaksanaan
kewajiban (hukum) yang berlaku di Eropa konstitusi.13
Kontinental. Keyakinan sebagai kewajiban Sebelum dan sesudah era reformasi,
hukum ini idealnya tidak hanya dirasakan oleh terdapat beberapa konvensi ketatanegaraan
seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh di Indonesia yang dapat diinventarisasi oleh
sebagian terbesar warga negara. Syarat ketiga, penulis:
dibutuhkan karena tuntutan kondisi politik 1. Upacara Bendera Setiap Tanggal 17 Agustus;
dalam skala yang luas. Karena kehidupan politik 2. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus;
menuntut dibentuknya tindakan baru sebagai 3. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu
awal terciptanya konvensi ketatanegaraan atau oleh Presiden;
tetap mempertahankan tradisi ketatanegaraan 4. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor
lama yang dianggap selama ini sudah menjadi Pemerintahan;
konvensi ketatanegaraan.11 5. Pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi, atau
Rehabilitasi;
1. Konvensi di Indonesia 6. Program 100 Hari Kerja;
Berkenaan dengan pengertian konvensi 7. Menteri Non Departemen;
ketatanegaraan menurut sistem di Indonesia, 8. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN
Bagir Manan menjelaskan Konvensi atau (hukum) (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) Negara) Kepada DPR;
yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan 9. Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis
negara, melengkapi, menyempurnakan, Permusyawaratan Rakyat).
menghidupkan (mendinamisasi), kaidah-kaidah Semua praktek ketatanegaraan di atas tidak
hukum perundang-undangan atau hukum adat diatur dalam peraturan perundang-undangan,
ketatanegaraan.12 dan mengacu pada asas legalitas apabila
Hal ini disepakati pula oleh Donald A. tindakan tersebut dilanggar maka tidak akan
Rumokoy, yang dalam pendapatnya mengatakan
bahwa konvensi ketatanegaraan adalah segenap
kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang

10
Weldy Agawinata, Op.Cit, hal.154.
11
Ibid.
12
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, (Bandung: Armico,1987), hlm. 1.
13
Weldy Agiwinata, Op.Cit, Hal.154

58 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

ada juga konsekuensi hukum yang terjadi.14 Padahal apabila kita melihat ke belakang, di
Dengan kondisi sebagaimana Penulis sebutkan era orde baru tidak ada undang-undang yang
diatas, apakah implikasi yang terjadi apabila mengatur praktek tersebut, akan tetapi hanya
tradisi ketatanegaraan tersebut ditiadakan? mendasarkan pada instruksi semata. Praktek
Dalam negara yang menganut asas common pengibaran bendera merah-putih pada tanggal
law, praktek yang didasarkan pada tradisi 17 Agustus berjalan serentak dan sangat
adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan sedikit ada pihak yang tidak tunduk dan taat
bernegara. Hal ini berbeda dengan negara yang pada instruksi tersebut. Bandingkan dengan
menganut asas civil law, tradisi ketatanegaraan kondisi saat ini, meskipun dinarasikan dalam
masih ada meskipun sebagian besar sudah bentuk peraturan perundang-undangan, masih
dinormakan dalam bentuk peraturan banyak pihak yang tidak tunduk serta taat pada
15
perundang-undangan. ketentuan tersebut.
Berdasarkan inventarisasi konvensi Selain kewajiban pengibaran bendera merah
ketatanegaraan yang sudah ada sejak era putih, terdapat pula undang-undang yang
reformasi, dapat dilihat bahwa tradisi yang mengatur terkait upacara kemerdekaan, yaitu
sebelumnya berbentuk hukum tidak tertulis Pasal 16 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010
perlahan-lahan mulai diformalkan dalam norma tentang Keprotokolan yang berbunyi:
tertulis. Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan
untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:
a. Pelaksanaan Upacara Bendera setiap tanggal
a. Hari Ulang Tahun Proklamasi
17 Agustus Kemerdekaan Republik Indonesia;
Upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus b. hari besar nasional;
merupakan agenda rutin ketatanegaraan di c. hari ulang tahun lahirnya lembaga
negara;
seluruh wilayah Indonesia. Pada awalnya tradisi
d. hari ulang tahun lahirnya instansi
ini dilandasi oleh konvensi atau kebiasaan pemerintah; dan
ketatanegaraan di seluruh Indonesia. Namun, e. hari ulang tahun lahirnya provinsi dan
sejalan dengan waktu, tradisi ini diformalkan kabupaten/kota.

dalam sejumlah peraturan perundang- Ketentuan di atas, memberikan


undangan. Formalisasi itu dimulai dari legitimasi yang kuat bagi pemerintah untuk
munculnya pasal terkait kewajiban pengibaran menyelenggarakan upacara setiap tanggal 17
bendera merah putih dalam Pasal 7 ayat (3) Agustus. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.16 tentang Keprotokolan bersifat komplementer
dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009

14
Arti penting asas legalitas sebagai suatu prinsip ketatanegaraan di mana rakyat harus mendapatkan
perlindungan hukum. Seperti dikemukakan Oemar Seno Adji dengan “Prinsip Legality” merupakan
karakteristik yang essentieel, baik ia di kemukakan oleh Rule of Law konsep, maupun oleh faham
rechstaat dahulu, maupun oleh konsep socialist. Oleh karena itu rumusan asas legalitas yang dirumuskan di
dalam bahasa Latin: Nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali” pada
pengaplikasian awal lebih menekankan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu di dalam Undang-undang.
Lihat di Hwian Christianto, “Pembaharuan Makna Asas Legalitas,” Jurnal Hukum dan Pembangunan (2009) : 354.
15
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kntroversi Isu, (Jakarta:Rajawali Press, 2012),hlm.256
16
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 59
Volume 8, Nomor 1, April 2019

tentang Bendera. Oleh karena itulah meskipun Akan tetapi sejak tahun 2010, tradisi
sejak era orde baru sudah ada pelaksanaan ketatanegaraan ini diformalkan dalam bentuk
upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus, saat peraturan perundang-undangan, yaitu terdapat
ini hal ini menjadi tradisi rutin yang dinormakan pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
serta dilaksanakan disetiap kantor atau instansi tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
pemerintahan diseluruh wilayah Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Tidak cukup hanya di instansi pemerintahan, Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
penormaan kebiasaan ketatanegaraan ini (MD3).17
di lembaga pendidikan juga diatur dalam Merujuk pada Undang-Undang tersebut,
peraturan perundangan-undangan, yaitu Presiden melakukan 2 (dua) kali pidato dalam
Permendiknas Nomor 39 Tahun 2008 tentang satu hari tanggal 16 Agustus. Pidato pertama
Pembinaan kesiswaan. Dengan tujuan untuk adalah Pidato Kenegaraan menyambut Hari
pembinaan kesiswaaan yang sasarannya Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dan
meliputi siswa TK/TKLB, SD/SDLB dan SMA/ pidato kedua adalah Pidato Penyampaian RUU
SMK/SMALB yang dilaksanakan melalui kegiatan tentang APBN. Pidato Penyampaian RUU APBN
ekstrakurikuler dan kokurikuler, maka dibentuk dilakukan di hadapan DPR, sedangkan Pidato
10 materi pembinaan yang butir nomor 3 Kenegaraan Hari Ulang Tahun Proklamasi
adalah membentuk kepribadian unggul, Kemerdekaan RI dilakukan dalam Sidang
wawasan kebangsaan dan bela negara (pasal 3 Bersama (joint session) antara DPR dengan
butir 2c).Pada lampiran yang menjelaskan jenis DPD. Sidang bersama DPR-DPD diatur dalam
kegiatan pembinaan kesiswaan butir nomor Peraturan Bersama DPR dan DPD yang
3 dijelaskan Pembinaan kepribadian unggul, disahkan pada tanggal 3 Agustus 2010, dan
wawasan kebangsaan dan bela negara antara penyelenggaranya bergantian antara DPR dan
lain dilakukan dengan melaksakan upacara DPD. Di Pasal 228 Undang-Undang Nomor 17
bendera pada hari senin dan/atau sabtu, serta Tahun 2014, praktek diatur lebih tegas dan
hari-hari besar nasional. mendetil.
Adanya Undang-Undang MD3 yang
b. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus
meformalkan ketentuan terkait tradisi
Sejak era orde baru, Presiden Soeharto
ketatanegaran yang dilakukan oleh Presiden
merupakan pelopor tradisi kenegaraan
setiap tanggal 16 Agustus, secara otomatis
dimana Presiden menyampaikan pidatonya di
mengubah konvensi ketatanegaraan sejak era
depan seluruh anggota MPR setiap tanggal 16
orde baru ini menjadi hukum tertulis.
Agustus. Pidato kenegaraan ini pada dasarnya
tidak relevan dengan sistem pemerintahan c. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu
Indonesia yang menganut sistem pemerintahan oleh Presiden
presidensiil, yaitu Presiden bertanggung Dalam sistem pemerintahan presidensiil
jawab langsung kepada rakyat bukan kepada kewenangan Presiden untuk mengangkat
parlemen. Akan tetapi tradisi itu berjalan secara Menteri dan jabatan lain setingkat Menteri
rutin meskipun tidak ada dasar hukumnya.

17
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3

60 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

mutlak menjadi kewenangan Presiden.18 Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah


Meskipun mempunyai kewenangan mutlak Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
dalam hal pengangkatan, namun dalam Sejak adanya ketentuan ini, tradisi
prakteknya Presiden kerap kali melibatkan ketatanegaraan yang mana pengangkatan Hakim
lembaga lain seperti KPK atau Kejaksaan atau MK melalui Tim Seleksi yang sempat dilanggar
membentuk Tim Seleksi yang dibentuk untuk di era Pemerintahan SBY menjadi norma terikat
melakukan seleksi dalam memilih pejabat yang harus ditaati oleh setiap Presiden RI.
tertentu yang mempunyai kelayakan dan Begitu pula dalam hal pengangkatan Menteri,
kecakapan sebagai contoh pengangkatan hakim tradisi yang muncul saat ini adalah ketika
Mahkamah Konstitusi. Presiden hendak mengangkat Menteri maka dia
Preseden itu sempat tidak diikuti oleh akan melibatkan KPK dan PPATK untuk melihat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bagaimana profil calon menteri tersebut. Akan
dalam pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria tetapi tradisi ini baru berjalan beberapa waktu,
Farida sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. sehingga saat ini tradisi ini masih berjalan
Presiden SBY pada waktu itu mengeluarkan sebagai salah satu konvensi dalam sistem
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 ketatanegaraan Indonesia.
tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria
d. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor
Farida sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi
Pemerintahan
(MK) tanpa melalui proses uji kompetisi dan
Apabila mengacu pada Pasal 51 jo. Pasal 53
kelayakan (fit and proper test).19 Pada akhirnya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Kepres itu digugat ke PTUN, dan sempat dicabut
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta
oleh Putusan PTUN. Akan tetapi, Mahkamah
Lagu Kebangsaan yang wajib dipasang di Gedung
Agung memutuskan bahwa Keputusan Presiden
dan/atau Kantor Lembaga Negara atau Instansi
SBY yang mengangkat Patrialis Akbar dan
Pemerintah adalah Lambang Negara yaitu
Maria Farida tanpa melalui uji kompetisi dan
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
kompetensi tidak melanggar undang-undang.
Tunggal Ika. Namun apabila kita melihat pasal
Meskipun sudah menjadi tradisi
55 undang-undang tersebut, secara implisit
pengangkatan Hakim MK melalui tim ahli, ketika
terdapat perintah untuk pemasangan gambar
Presiden SBY melanggar tradisi itu, Pembuat
wakil Presiden di antara lambang negara.
undang-undang kemudian menormakan itu di
Undang-undang ini tidak mengatur secara
dalam peraturan perundang-undangan, yaitu
tegas terkait kewajiban pemasangan foto
Pasal 18 A Undang-Undang Nomor 4 Tahun
presiden dan wakil presiden di setiap instansi
2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
pemerintahan. Hanya saja sebagai sebuah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
konvensi, praktik ini sudah dilakukan sejak
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
lama sehingga saat tidak ada dasar hukum

18
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:PT Bhuana Ilmu Populer,2007), hlm.337.
19
Kompas, “Presiden Jilat Ludah Sendiri dengan Angkat Patrialis Jadi Hakim MK,” Kompas, https://nasional.
kompas.com/read/2013/08/11/1739017/Presiden.Jilat.Ludah.Sendiri.dengan.Angkat.Patrialis.Jadi.Hakim.MK
(diakses 27 Januari 2019)

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 61
Volume 8, Nomor 1, April 2019

yang mengaturnya, tidak ada seorangpun kewenangan Mahkamah Agung terkait dengan
yang mempermasalahkanya. Apalagi saat pemberian nasehat hukum kepada Presiden
ini ada aturan yang mengatur hal tersebut untuk pemberian/penolakan grasi , meskipun
secara implisit, oleh karena itu sebagai sebuah sebelum ada norma tersebut pada prakteknya
praktek hal ini sudah dinormakan dalam aturan Presiden selalu meminta pertimbangan kepada
perundang-undangan. Mahkamah Agung. Tradisi itu kemudian di
normakan lebih tegas dalam Pasal 14 UUD NRI
e. Pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi, atau 1945 setelah amandemen, apabila Presiden
Rehabilitasi ingin memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti
Pemberian grasi, amnesti, abolisi atau ataupun abolisi, maka Presiden wajib meminta
rehabilitasi sejak era orde baru merupakan pertimbangan DPR atau Mahkamah Agung.
kewenangan mutlak Presiden sebagai kepala
f. Program 100 Hari Kerja
negara meskipun dalam prakteknya Presiden
Program 100 hari kerja merupakan tradisi
selalu meminta pertimbangan kepada DPR atau
ketatanegaraan yang kita bangun sejak era
Mahkamah Agung. Sebelum era amandemen
reformasi. Sebenarnya hal ini pada awalnya
UUD 1945, berdasarkan ketentuan dalam Pasal
adalah upaya masyarakat untuk mengukur
14 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan
indikator keberhasilan Presiden baru, yaitu
absolut terhadap pemberian grasi, rehabilitasi,
Presiden BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid
amnesti dan abolisi. Selain keberadaan
dan Megawati Soekarnoputri. Namun sejak
konstitusi sebagai dasar hukum, pada era
Pilpres 2004, Presiden SBY pertama kali
sebelum amandemen konstitusi juga terdapat
memperkenalkan program 100 hari kerja yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1947,
Pemberantasan mafia hukum, Revitalisasi
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948
industri pertanian, Penangggulangan terorisme,
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
Kesediaan listrik, Peningkatan produksi dan
tentang Permohonan Grasi.
ketahanan pangan, Revitalisasi pabrik pupuk
Ketiga peraturan perundang-undangan
dan gula, Penataan tanah dan tata ruang,
tersebut hanya mengatur terkait tata cara
Peningkatan infrastruktur, Peningkatan
mengajukan permohonan grasi serta siapa
pinjaman usaha mikro usaha kecil dan usaha
saja yang berhak mengajukan grasi, begitupula
menengah, Pendanaan, Penanggulangan
dengan rehabilitasi, amnesti dan abolisi ketiga-
perubahan iklim dan lingkungan, Reformasi
tiganya pada era sebelum amandemen UUD
kesehatan, Reformasi pendidikan, Kesiagaan
1945 mutlak menjadi kewenangan Presiden
dalam penanggulangan bencana, dan Koordinasi
dan tidak ada kewajiban untuk mendapatkan
erat pemerintah pusat dan daerah.20 Setelah
pertimbangan ataukah persetujuan dari tahun 2004, Setiap calon presiden pasti punya
Mahkamah Agung ataupun DPR. Pada tahun tradisi untuk melakukan pencapaian tertentu
1973, berdasarkan TAP MPR No.VI/MPR/1973 selama 100 hari kerja. Hingga saat ini, kebiasaan
pasal 11 ayat 3, MPR kemudian menormakan

20
Viva, “Ini 15 Program Pilihan SBY untuk 100 Hari, “ Viva, https://www.viva.co.id/amp/berita/nasional/103225-
ini-15-program-pilihan-sby-untuk-100-hari (diakses 22 Februari 2019)

62 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

ini masih berjalan dan belum dinormakan dalam h. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN
peraturan perundang-undangan. (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
g. Menteri Non Departemen Negara) Kepada DPR
Pengangkatan Menteri non departemen Salah satu tradisi ketatanegaraan di
bersamaan dengan pengangkatan Menteri Indonesia adalah setiap tanggal 16 Agustus
merupakan tradisi ketatanegaraan yang sudah Presiden menyampaikan tentang RUU APBN,
berlangsung sejak era orde baru. Biasanya baik perubahannya atau untuk ke depannya.
jabatan yang diangkat secara bersamaan dengan Penyampaian penjelasan itu dilakukan di depan
Menteri adalah Jaksa Agung dan Gubernur anggota DPR dalam bentuk sidang paripurna
BI. Pelaksanaan tradisi ketatanegaraan ini bersamaan dengan pidato kenegaraan.
berhenti di era kepemimpinan Presiden Susilo Pada awalnya hal ini tidak diatur secara
Bambang Yudhoyono. Presiden SBY pada waktu formal dalam peraturan perundang-undangan.
itu memutuskan untuk tidak mengangkat lagi Hingga saat ini pun yang diatur terkait pidato
Jaksa Agung pada periode II kepemimpinannya tangal 16 Agustus adalah pidato kenegaraan,
sebagai Presiden. Presiden SBY tetap dan tidak mengatur terkait detil hal yang
membiarkan Jaksa Agung Hendarman Supandji dibicarakan dalam pidato kenegaraan tersebut.
menduduki jabatannya sebagai Hakim Agung Akan tetapi penjelasan Presiden terkait UU
tanpa melantiknya kembali. APBN dan APBN-Perubahan selalu dilakukan
Pada pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 pada tanggal 16 Agustus dan menjadi tradisi
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik ketatanegaraan Indonesia hingga saat ini.
Indonesia, mengatakan bahwa Jaksa Agung i. Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis
adalah pejabat negara sehingga diangkat dan Permusyawaratan Rakyat)
diberhentikan oleh Presiden. Sehingga Jaksa Proses pengambilan keputusan MPR yang
Agung merupakan bagian dari Kabinet yang usia dilakukan secara musyawarah merupakan
jabatannya sama dengan usia jabatan Presiden tradisi kenegaraan Indonesia sejak era orde
yang memilihnya, yaitu lima tahun. baru. Padahal apabila mengacu pada UUD NRI
Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan 1945 sebelum amandemen, di dalamnya tidak
bahwa pasal terkait ketentuan ini adalah ada satupun kata pengambilan keputusan
konstitusional bersyarat (Conditionally secara musyawarah mufakat. Akan tetapi
Constitutional). Akan tetapi sebagai sebuah karena pada waktu itu sudah menjadi tradisi
tradisi ketatanegaraan sejak era orde baru, ketatanegaraan yang sudah ada sejak era orde
tindakan Presiden SBY yang memutuskan baru, tradisi ini masih berjalan. Satu-satunya
untuk tidak melantik lagi Jaksa Agung untuk dasar hukum yang pernah mengatur terkait
periode kedua karena tidak ada ketentuannya konsep musyawarah mufakat adalah. TAP MPR
merupakan kesalahan politik. Saat ini tradisi ini No. II/MPR/1999 yang pada pasal 83 mengatur
masih tetap berjalan namun sudah dinormakan terkait syarat sahnya pengambilan keputusan
secara tertulis dalam peraturan perundangan- melalui musyawarah, yaitu apabila diambil
undangan, jabatan Jaksa Agung selalu diangkat dalam suatu rapat yang daftar hadirnya telah
dan dilantik setiap 5 tahun sekali pada ditandatangani lebih dari separuh jumlah
pergantian pemerintahan.

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 63
Volume 8, Nomor 1, April 2019

anggota rapat yang mencerminkan setiap fraksi 2) Ketetapan MPR (TAP MPR)
kecuali dalam penetapan GBHN. 3) Undang-Undang (UU)/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
2. Konvensi dalam Sistem Hukum (PERPU).
Nasional 4) Peraturan Pemerintah (PP).
Dari paparan sebelumnya, dapat terlihat 5) Peraturan Presiden (PERPRES).
bahwa konvensi sebagai salah satu sumber hukum 6) Peraturan Daerah (PERDA).
ketatanegaraan jumlahnya semakin berkurang. a) PERDA provinsi
Hal ini disebabkan adanya kecenderungan b) PERDA Kota/Kabupaten
mengformalkan semua tradisi ketatanegaraan c) Peraturan Desa.
dalam bentuk hukum tertulis. Keberadaan c. Traktat, yaitu perjanjian internasional
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang contoh Traktat ASEAN, PBB, dll
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan d. Yurisprudensi, yaitu putusan pengadilan
yang didalamnya terdapat hierarki peraturan terdahulu;
perundang-undangan di Indonesia menciptakan e. Pendapat Ahli; dan
kompleksitas persoalan terkait posisi konvensi, f. Konvensi.
karena dalam penjelasannya terdapat semangat Sebagai salah satu sumber hukum yang
untuk memformalkan semua peraturan mempunyai karakteristik tidak tertulis,
perundang-undangan menjadi norma tertulis konvensi yang sudah diformalkan dalam
agar sesuai dengan sistem hukum nasional.21 bentuk peraturan perundang-undangan secara
Adanya Undang-Undang inilah yang menjadi otomatis tidak termasuk dalam konvensi
salah satu dasar formalisasi konvensi dalam ketatanegaraan. Padahal sebagai salah satu
bentuk hukum tertulis. sumber hukum, konvensi merupakan tradisi
Sebagai sebuah sumber hukum, keberadaan ketatanegaraan yang sudah ada dan disepakati
konvensi yang tidak jelas pengaturannya menjadi bersama sehingga tidak perlu lagi dinormakan
persoalan dalam ketatanegaraan Indonesia. dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi
Sebagaimana yang diketahui terdapat 6 sumber ini bisa menciptakan perspektif bahwa hukum
hukum di Indonesia, yaitu: tidak akan berlaku kalau tidak ada norma
a. Sumber Hukum Materiil, yaitu sumber tertulis yang mengaturnya, dan secara tidak
dari segala sumber hukum, dalam konteks langsung serta perlahan demi perlahan akan
negara Indonesia adalah Pancasila. menegasikan konvensi sebagai salah satu
b. Sumber Hukum Formil, berdasarkan undang- sumber hukum bangsa Indonesia.
undang nomor 12 tahun 2011, sumber Perkembangan konvensi di negara lain
hukum formil di Indonesia adalah:22 misalnya Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu
1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

21
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, definisi Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
22
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

64 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

negara yang menganut sistem hukum common ada kecenderungan untuk menormakan tradisi
law menunjukkan perbedaan yang menarik. tersebut dalam peraturan yang tertulis. Hal itu
Negara AS merupakan salah satu negara pernah terjadi dalam kasus terpilihnya Presiden
demokrasi yang mana justru dalam tradisi Franklin D.Rosevelt untuk ketiga kalinya pada
ketatanegaraannya dipenuhi oleh konvensi- tahun 1940. Padahal tradisi ketatanegaraan di
konvensi (kebiasaan). Secara sederhana, hampir Amerika Serikat Presiden hanya menjabat sekali
semua proses ketatanegaraan di Amerika Serikat dan dapat dipilih kembali untuk satu masa
tidak ada norma kongkret yang mengaturnya. jabatan. Pada tahun 1947,Kongres kemudian
Mulai dari proses pemilu pendahuluan (primary melakukan amandemen dan menormakan
election), lalu ajang debat kandidat calon tradisi ketatanegaraan tersebut dalam konstitusi.
presiden, pidato kemenangan (victory speech), Sementara itu Belanda yang menganut sistem
pidato pengakuan kekalahan (concession civil law, tradisi ketatanegaraan yang sudah ada
speech), hingga Presiden berbicara di depan juga tidak pernah dipersoalkan, dan hingga saat
seluruh kekuasaan legislatif dan yudikatif yang ini praktik itu tidak dinormakan dalam aturan
dikenal dengan state of the union. Semua tradisi tertulis.
itu tidak terdapat aturan yang tertulis, akan Saat ini ada beberapa konvensi
tetapi sampai saat ini praktek itu masih berjalan ketatanegaraan Indonesia yang masih bertahan
dan tidak timbul persoalan. Hal ini pun terjadi di salah satunya adalah pengangkatan pejabat
negara lainnya yang mana menempatkan sistem setingkat Menteri setiap 5 tahun sekali. Khusus
common law sebagai sistem hukumnya, seperti untuk pengangkatan pejabat setingkat Menteri
Inggris ataupun Australia. bahkan sudah diuji konstitusionalitasnya
Begitupula di negara dengan sistem hukum di Mahkamah Konstitusi dengan putusan
civil law seperti Belanda, masih terdapat banyak MK adalah Konstitusional bersyarat. Hal ini
tradisi ketatanegaraan yang sampai sekarang mengindikasikan bahwa MK sejatinya juga
masih dipertahankan keberadaannya dan tidak melihat bahwa posisi konvensi dalam sistem
diatur dalam norma tertulis, seperti jabatan ketatanegaraan Indonesia masih simpang siur,
Perdana Menteri yang secara otomatis akan apakah konstitusional ataukah inkonstitusional.
dijabat oleh Pimpinan tertinggi dari Partai yang Oleh karena itulah tindakan pemerintah untuk
memperoleh suara terbesar dalam pemilihan menormakan segala tradisi ketatanegaraan
umum. dalam norma tertulis sejatinya merupakan
Melihat pelaksanaan konvensi di Amerika upaya untuk menghapus konvensi sebagai salah
Serikat dan Belanda terlihat bahwa eksistensi satu sumber hukum tata negara Indonesia.
konvensi sejatinya tidak dibatasi oleh sistem Dengan merujuk praktik konvensi yang ada di
hukum. Di negara yang terbangun dengan Amerika Serikat dan Belanda, sejatinya konvensi
tradisi common law seperti Amerika Serikat, tidak mengenal batas terkait negara dengan
hampir semua praktik ketatanegaraan tidak sistem hukum civil law ataukah common law.
dinormakan dalam peraturan yang tertulis Keberadaan konvensi yang disepakati bersama
dan dibiarkan tetap ada sebagai bagian dari sebagai tradisi ketatanegaraan akan membuat
tradisi ketatanegaraan, namun ketika ada Indonesia tidak terjebak dalam problematika
pelanggaran terhadap tradisi tersebut memang banjirnya aturan di masyarakat (Over regulated

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 65
Volume 8, Nomor 1, April 2019

society). Ketika segala sesuatu harus diatur Semakin hilangnya konvensi sebagai salah
dengan norma tertulis, maka ketika ada dinamika satu sumber hukum harus dipikirkan oleh para
masyarakat yang berubah, Pemerintah terlihat pembuat undang-undang, karena konvensi
dalam posisi yang dilematis. Sebagai contoh adalah tradisi bernegara yang tidak bisa
aturan yang sangat mendetail dalam Pasal 344 dihilangkan dan dinegasikan dengan alasan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tidak adanya aturan tertulis. Para pembuat
tentang Pemilu yang mengatur jumlah kertas undang-undang harus mulai memikirkan hal
suara yang dicetak sama dengan jumlah DPT ini, bagaimana membuat suatu peraturan
ditambah 2% dari jumlah DPT sebagai cadangan. untuk mengatur keberadaan konvensi, bukan
Ketentuan ini sangat detail, yang akhirnya ketika justru mengformalkannya dalam norma
ada potensi penumpukan suara di beberapa tertulis, akan tetapi negara bisa menempatkan
TPS, KPU tidak berani menambah kertas suara konvensi sebagai salah satu sumber hukum
karena takut melanggar UU. Oleh karena itulah dalam undang-undang tentang pembentukan
keberadaan konvensi masih diperlukan di peraturan perundang-undangan. Pengakuan
Indonesia, agar tidak semua hal harus diatur konvensi sebagai salah satu sumber hukum yang
dengan norma tertulis. diakui posisinya dalam sistem ketatanegaraan
Untuk memberikan kepastian hukum Indonesia, akan membuat nihilnya upaya
terkait dengan posisi konvensi, Pembuat formalisasi konvensi dalam norma tertulis.
undang-undang harus menempatkan konvensi Dan untuk kedepannya tidak muncul lagi
sebagai salah satu sumber hukum yang diakui perdebatan terkait konstitusionalitas suatu
dalam Undang-Undang tentang Pembentukan tradisi ketatanegaraan, sebagaimana dengan
Peraturan Perundang-undangan. Dengan yang terjadi di negara-negara dengan sistem
memberikan kepastian hukum bagi keberadaan hukum common law.
konvensi sebagai norma tidak tertulis, maka
untuk kedepannya tidak semua praktik Daftar Pustaka
ketatanegaraan harus diatur dengan norma Buku
tertulis. Asshidiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia (PT Bhuana Ilmu Populer: Jakarta,
D. Penutup 2007)
Dicey, A.V, An Introduction to the study of the law of
Sebagai salah satu sumber hukum, the constitution (EL and S and Macmillas:London,
konvensi semakin lama semakin tergerus oleh 1967)
arus formalisasi undang-undang. Sebagai Friedman, Lawrence, American Law (London: W.W.
Norton & Company, 1984)
tradisi ketatanegaraan di Indonesia, konvensi MD, Mahfud, Konstitusi dan Hukum dalam
selayaknya tetap dipertahankan keberadaannya. Kontroversi Isu (Rajawali Press: Jakarta, 2012)
Selain masih dipertanyakan terkait dengan Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi (PT
Grafindo Persada:Jakarta, 2006)
konstitusionalitasnya, praktik ini juga mencegah Yusa, I Gede, Hukum Tata Negara Paasca Perubahan
Indonesia terjebak ke dalam kondisi over UUD NRI 1945 (Setara Press: Malang, 2016)
regulated society, dimana segala sesuatu harus
diatur dengan hukum tertulis secara mendetail.

66 Jurnal RechtsVinding, Vol. 8 No. 1, April 2019, hlm. 55–67


Volume 8, Nomor 1, April 2019

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Weldy Agiwinata,”Konvensi Ketatanegaraan Sebagai


Batu Uji Dalam Pengujian Undang-Undang Di
H. Mustaghfirin, “Sistem Hukum Barat, Sistem
Mahkamah Konstitusi”,Yuridika (2014)
Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam Menuju
Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide
Yang Harmoni”, Jurnal Dinamika Hukum (2011) Internet
Hwian Christianto, “Pembaharuan Makna Asas Judge Peter J.Mesitte, “Common Law V. Civil Law
Legalitas”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Systems”,http://web.ntpu.edu.tw/~markliu/
(2009) common_v_civil.pdf (diakses 12 Februari 2019)
Tri Suhendra Arbani, “Eksistensi Konvensi sebagai
Sumber dan Praktek Ketatanegaraan di
Indonesia”, Supremasi Hukum ( 2016)

Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi (Ahmad Gelora Mahardika) 67
Volume 8, Nomor 1, April 2019

”Halaman ini dikosongkan”

68 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

Anda mungkin juga menyukai