Komunikasi
Organisasi
Konsep Utama Komunikasi
Organisasi:
1. Pendekatan Subjektif
2. Pendekatan Objektif
19
Pengantar
Modul 3 ini membahas tentang pendekatan subjektif dan pendekatan objektif dalam
konteks Komunikasi Organisasi. Pendekatan disebut juga dengan istilah Paradigma atau
Perspektif. Arti sederhana Pendekatan/Paradigma/Perspektif adalah cara/sudut pandang
seseorang tentang sesuatu. Setiap orang akan berbeda-beda dalam memandang sesuatu
(objek yang dinilai). Contoh klasik adalah ketika tiga orang (A,B,C) dengan mata tertutup
rapat sehingga tidak dapat melihat disekelilingnya. Mereka diminta untuk mendeskripsikan
seekor gajah, maka pandangan A tentang gajah tersebut akan berbeda dengan B, atau pun
C. Oleh karena yang dihadapinya berbeda dalam sudut/sisi yang dinilainya.
Dalam tradisi ilmu sosial, Pendekatan tersebut melahirkan dua pandangan, yaitu
Subjektif dan Objektif. Kedua pendekatan ini lahir karena cara pandang ilmuwan sosial
berbeda dalam menilai objek kajian. Objek kajian dalam ilmu sosial adalah Manusia.
Perspektif kita maknai juga sebagai paradigma. Terminologi ini pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Khun yang bermakna sama dengan diciplinary matrix atau
weltanschaung. Konsep paradigma didefinisikan sebagai cara pandang kita terhadap diri
dan lingkungan yang akan mempengaruhi kita dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku
dalam upaya mencari dan menemukan ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Ada dua dasar paradigma ilmu yang dibahas modul ini, yaitu rasionalisme dan
empirisme. Keduanya dijadikan sebagai bahan kajian oleh karena berada pada posisi yang
bertentangan dan mempunyai implikasi dalam metode penelitian, khususnya dengan ilmu
komunikasi. Selain rasionalisme dan empirisme, ada paham lain yait kritisisme sebagai
mana diajukan Emanuel Kant sebagai sikap kompromi antara rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme :
Rasionalisme merupakan paham atau mahzab yang menekankan pada rasio atau
hasil kerja akal, yang disebut logika sebagai primary source pengetahuan manusia. Akal
merupakan otoritas terakhir dalam menentukan kebenaran. Bila kita lihat dari sejarah
pertumbuhan ilmu, rasionalisme sebenarnya telah berakar pada zaman Yunani Kuno. Pada
masa itu, jenis pengetahuan manusia yang ada adalah filsafat dan ilmu hitung yang
Pemikiran Plato mengenai rasionalisme bahwa ia mempercayai ide bawaan dalam diri
manusia yang ada sejak awal disebutnya sebagai ‘ide abadi’. Kata Plato, ketika manusia
terlahir sudah membawa ide abadi dari alam sebelum kelahiran. Menurut Plato,
pengetahuan adalah hasil ingatan yang melekat pada diri manusia.
Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui oleh ide
abadi tersebut. Ini berarti, pengetahuan adalah kumpulan ingatan yang terpendam dalam
benak manusia. Karena itu, manusia harus mengandalkan akal atau rasionya yang sudah
mengenal ide abadi sejak awal. Katanya, “pejamkan mata, tutup telinga, duduk dengan
penuh konsentrasi, masuk ke dalam diri, menggali ide abadi.” Dalam perenungan ini,
manusia mengerahkan kemampuan akal. Dengan cara inilah manusia berfilsafat, mencari
pengetahuan, dan memperoleh kebenaran.
Konsep Plato dicoba tambahkan oleh Rene Descartes yang mengatakan bahwa, data
indrawi sebagai suatu kepastian bisa saja sebuah mimpi yang dirasakan sebagai
realitas/kenyataan. Dengan kata lain, “aku berpikir, maka aku ada.” Lilin jika dipanaskan
maka akan mencair dan bentuknya berubah. Apa yang membuat pemahaman kita
menyatakan bahwa yang tampak sebelum dan sesuadah mencair, masih lilin yang sama.
Kenapa setelah berubah bentuk masih dianggap lilin yang itu juga ? Jawabnya adalah,
karena akal manusia mampu menangkap ide secara jernih, tanpa terpengaruh oleh gejala
yang ditunjukkan lilin. Bagi Rene Descartes, penampakan dari luar tidak dapat dipercaya.
Kita harus mencari kebenaran dalam diri sendiri, pada rasio kita, yang bersifat benar dan
pasti.
Pola pikir rasionalisme tumbuh dan berkembang saat filsafat modern dan ilmu hitung
menuju kesempurnaannya. Dalam ilmu hitung, berlandaskan rumus yang berlaku umum,
dapat ditaksir berapa jarak bumi dengan matahari, tanpa harus membawa alat ukur dan
mengukur jarak tersebut secara empiris ke lapangan untuk menguji kebenarannya.
Empirisme :
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, emperia, artinya pengalaman. Dan karena itu
empirisme berarti sebagai paham yang menekankan pada pengalaman sebagai primary
source of science. Bagi empirisme, pengalaman adalah pemegang otoritas terakhir dalam
memperoleh pengetahuan dan menentukan kebenaran. Jika rasionalisme mengatakan
bahwa pengetahuan ada “di sini, di dalam sini”. Maka bagi empirisme, pengetahuan itu ada
“di sana, di luar sana”. Pemikiran ini dipelopori oleh Francis Bacon yang populer dengan
pernyataannya yang kesohor, “science is power”.
Menurutnya, sejak semula manusia ingin sekali menguasai alam, akan tetapi selalu
gagal karena ilmu pengetahuan tidak berdaya guna dan tidak memberi hasil konkrit. Agar
menguasai alam, manusia harus mengenalnya dengan lebih dekat, yaitu dengan metode
induktif berdasarkan eksperimen dan observasi sebagai cara mengumpulkan data faktual
yang bersifat empiris. Artinya, kita menggunakan kerja pancaindra dengan melihat,
Tokoh empirisme selain Francis Bacon adalah John Locke. Bagi Locke, ide bawaan
versi rasionalisme adalah omong kosong. Katanya, manusia lahir bagai kertas putih, tabula
rasa, untuk diisi pengetahuan yang berasal dari pengalamannya. Locke memang mengakui
bahwa manusia memiliki dua ide utama, yaitu : ide sederhana, yang diperoleh secara
langsung melalui pengalaman indrawi, dan ide kompleks, sebagai refleksi terhadap ide-ide
sederhana hingga membentuk pengetahuan tentang dunia.
Menurut aliran ini, pengetahuan manusia hanya bisa bertambah melalui pengamatan
empiris. Secara umum, dapat dikatakan bahwa paham empirisme sangat bertentangan
dengan rasionalisme. Bahwa manusia mutlak mendapatkan pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman. Artinya, menurut empirisme pengetahuan harus disupport oleh data
empiris. Oleh karena itu, dalam empirisme pola pikir yang dianut dalam menyimpulkan dan
membangun ilmu adalah dengan metode induktif. Dalam logika induktif, berdasarkah hal-hal
yang khusus ditarik kesimpulan umum yang tentu teruji secara empiris.
Contoh : Kamu mengenal Adi, anak pertama Pak Edy, pintar. Kamu juga mengenal
Dika, anak kedua Pak Edy, yang juga pintar. Kamu belum mengenal Inda, anak ketiga Pak
Edy. Tapi kamu berani menarik kesimpulan bahwa semua anak Pak Edy pintar. Bagi
empirisme, kesimpulan ini masih harus teruji kebenarannya secara empiris, bahwa Inda,
anak ketiga Pak Edy yang belum kamu kenal itu, memang juga pintar, sehingga kesimpulan
kamu teruji kiebenarannya bahwa semua anak Pak Edy memang pintar.
Bila kita kaitkan pemikiran dalam pendekatan objektif dan subjektif tersebut dengan
dimensi paradigma ilmu sosial, tampaknya akan sulit bertemu dalam satu titik
BENDA IDE
KONGKRIT ABSTRAK
(kasat mata) (multidimensi)
Salah satu kejadian paling penting sebelum abad ke dua puluh kaitannya dengan
perkembangan teori organisasi adalah revolusi industri. Dimulai pada abad ke delapan belas
di Inggris, revolusi tersebut menyebrangi samudra Atlantik dan ke Amerika pada akhir
perang dunia ke dua. Revolusi tersebut mempunyai dua elemen utama yaitu kekuatan
mesin telah menggantikan kekuatan manusia secara cepat, dan pembangunan sarana
transfortasi yang cepat mengubah metode pengiriman barang. Hasilnya adalah
menyebarnya pendirian pabrik-pabrik. Dampaknya terhadap desain organisasi jelas, yaitu
Pendekatan Subjektif
Cenderung memandang manusia yang mereka amati adalah aktif, dinamis, serta
mampu melakukan perubahan lingkungan di sekeliling mereka. Artinya manusia aktif
memilih dan mengubah aturan yang menyangkut kehidupannya.
Untuk memperoleh makna dibalik yang nampak peneliti harus dapat masuk pada
dunia subyek yang diteliti, interaktif dengan sumber data dan dapat dilakukan dengan
Pendekatan Objektif
Bahwa objek, perilaku dan peristiwa yang eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh
panca indera, dapat diukur dan diramalkan.
Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi dalam Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Dani Verdiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Indeks, Jakarta, 2005
Deddy Mulyana. 2000. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Denzin, Norman K., Yvonna S. Lincoln (eds.), 2000, Handbook of Qualitative Research,
second edition, Thousand Oaks – California, London – United Kingdom, New Delhi –
India: Sage Publications, Inc.
Gibson, Ivancevich, Donelly. 1994. Organisasi Perilaku, Struktur Proses. Erlangga, Jakarta
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2001
Linggar, M. Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan serta aplikasinya di Indonesia, Bumi
Aksara, Jakarta, 2000
Onong Uchjana Effendy. 1993. Ilmu,. Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pace R. Wayne dan Don F. Faules. 1993. Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan
Kinerja Perusahaan. Deddy Mulyana (ed). Bandung: Remaja Rosdakarya
Salim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman K. Denzin &
Egon Guba, dan Penerapannya, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.