Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Sejarah Filsafat Islam dan Pemikiran Tokohnya

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu Sukron Ma’mun M.Pd.I

Kelompok 9

1. Yuni Choirun Nisa (126406212160)

2. Eva Ayu Lestari (126406213176)

3. Distyna Lintang Sabilisyasa (126406213183)

4. Qurota Via Akyuni (126406213188)

JURUSAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH 1D

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga dapat menyelesaikan makalah dalam tugas mata kuliah
Filafat Umum. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita yakni Nabi Muhammad Saw yang telah menyampaikan petunjuk
Allah SWT untuk kita semua sebagai umatnya, yang mana menyampaikan
Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling
besar bagi seluruh alam semesta tanpa tuntunannya kita tidak akan berada dalam
kecermelangan seperti sekarang ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca maupun penulis
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Sejarah
Filsafat Islam dan Pemikiran Tokohnya”. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami susun di masa
mendatang. Mengingat tidak ada suatu yang sempurna tanpa adanya kritik dan
saran. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukron Ma’mun, M, Pd.I
selaku Dosen mata kuliah Filsafat Umum UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.

       Terakhir dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas terselesainya tugas


makalah ini dan semoga bermanfaat bagi pembaca maupun prnulis, Aamiin.

Tulungagung, 31 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I    PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Filsafat..................................................................................3

B. Definisi Filsafat Islam.........................................................................4

C. Hubungan Filsafat Islam dan Filsafat Yunani....................................4


D. Polemik Seputar Filsafat Islam...........................................................5
E. Perkembangan Filsafat Islam..............................................................6
F. Para Tokoh Filsafat dan Pemikirannya...............................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................23
B. Saran.................................................................................................24

DAFTAR RUJUKAN

iii
BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perkembangan sejarah dari zaman ke zaman memberikan pengaruh


terhadap kehidupan manusia di dunia ini. Manusia seiring dengan berjalannya
waktu berubah menjadi lebih baik. Untuk mengembangkan hal baru, para tokoh
menggunakan pemikiran dan pemahaman yang luas agar bisa menciptakan dan
mengembangkan hal baru dengan baik dan diterima seluruh manusia.

Seperti halnya dengan filsafat Islam, filsafat Islam juga memiliki sejarah
dalam diterimanya oleh seluruh umat Islam. Filsafat merupakan ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu serta
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dengan logika
yang sistematis.

Sebelum Filsafat Islam lahir, sudah ada berbagai pemikiran, diantaranya


Filsafat Yunani, Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat
Postmodern, dan Filsafat Kontemporer.

Dari berbagai pemikiran tersebut akhirnya Filsafat Islam lahir dan


berkembang. Dalam perkembangan filsafat Islam, filsafat Yunani banyak
memotivasi pengembangan filsafat Islam. Para filsuf menerapkan pemikiran
Yunani sebagai metodologi untuk menelaah subjek-subjek keislaman dan tataran
tertentu untuk mengembangkan metodologi baru, sehingga membuahkan gagasan-
gagasan cemerlang yang belum pernah ada di negeri Yunani. Selain itu juga ada
polemik yang terjadi dalam penamaan filsafat Islam dengan filsafat Arab.

Dalam menggagas konsep-konsep filosofinya, para filsuf muslim


menggunakan makna dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga membuahkan
produk-produk filsafat yang berbeda-beda diantara mereka.dalam sejarah, tidak
dapat dikaitkan bahwa Islam bersentuhan dengan tradisi-tradisi kebudayaan lain,
terutama filsafat Yunani.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Filsafat ?

2. Apa definisi dari Filsafat Islam ?

3. Bagaimana hubungan antara Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani ?

4. Bagaimana polemik yang terjadi seputar Filsafat Islam ?

5. Bagaiman perkembangan Filsafat Islam ?

6. Siapa saja para tokoh Filsafat Islam dan bagaimana pemikirannya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari Filsafat

2. Untuk mengetahui definisi dari Filsafat Islam

3. Untuk mengetahui hubungan antara Filsafat Islam dengan Filsafat


Yunani

4. Untuk mengetahui polemik yang terjadi seputar Filsafat Islam

5. Untuk mengetahui perkembangan Filsafat Islam

6. Untuk mengetahui para tokoh Filsafat Islam dan pemikirannya

2
BAB II

Pembahasan

A. Definisi Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Kata tersebut
berasal dari kata philein yang berarti mencintai dan sophia yang berarti
kebijaksanaan. Dengan demikian, philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan.
Dalam bahasa Inggris disebut love of wisdom, dalam bahasa Belanda disebut
wijsbegeerte, sedangkan dalam bahasa Arab disebut Muhibbu al-hikmah.
Berikut beberapa pengertian filsafat menurut para filsuf, yaitu sebagai
berikut :
a) Menurut Plato (427-374 SM), filsafat adalah ilmu yang membicarakan
hakikat sesuatu. Adapun Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika,
metafisika, dan pengetahuan praktis.
b) Menurut Herokleitos (550-480 SM) sudah memakai kata filsafat untuk
menerangkan hanya Tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah.
Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia sebagai pencari dan pecinta
hikmah.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah
hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu serta seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dengan logika yang
sistematis. Upaya ini tidak hanya dilakukan dengan eksperimen-eksperimen,
tetapi juga dengan mengutarakan problem secara persis mencari solusi untuk
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.

3
B. Definisi Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan,
kenabian, kemanusiaan, dan alam yang dilandasi ajaran Islam sebagai suatu aturan
pemikiran yang logis dan sistematis. Selain itu, filsafat Islam memaparkan secara
luas tentang ontologi dan menunjukkan pandangannya tentang ruang, waktu,
materi, serta kehidupan. Filsafat Islam berupaya memadukan antara agama dengan
filsafat dan menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan
akal.
Dalam perkembangan selanjutnya, cakupan filsafat Islam diperluas ke
segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman,
seperti ilmu kalam, ushul fiqih, tasawuf, dan ilmu pikir lainnya yang diciptakan
oleh ahli pikir Islam. Ibrahim Makdur memberikan batasan bahwa filsafat Islam
adalah pemikiran yang lahir dalam pemikiran dunia Islam untuk menjawab
tantangan zaman, meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan
filsafat. Pendapat lainnya mendefinisikan tentang filsafat Islam sebagai
pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

C. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani


Tidak dapat dimungkiri bahwa filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat
Yunani. Hal ini karena kontrak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan
waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, unsur-unsur
kebudayaan Yunani memberikan pengaruh dan corak tertentu, terutama dalam
bentuk dan isi. Pada bentuk pengaruh logika Yunani, ilmu-ilmu Islam diberi
warna baru serta ditempa menurut pola Yunani dan disusun dengan sistem
Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam
pikiran Islam pada zaman Dinasti Abbasiyyah.
Secara sederhana, filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga aspek, yaitu
sebagai berikut :
a. Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat
Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh. Namun,

4
penyelesaian filsafat Islam berada dengan para filsafat lain. Para filsuf
muslim juga mengembangkan dan menambahkan ke dalamnya hasil-hasil
pemikiran mereka sendiri.
b. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah di bahas oleh
generasi sebelumnya, seperti filsafat kenabian.
c. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, akidah
dan hikmah, serta wahyu dan akal.
Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara azali
telah ada. Filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sedangkan bahan-bahannya
telah ada dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, disatu pihak filsafat Islam
merupakan barang baru di dunia Islam. Namun, di pihak lain dalam
pengembangan ilmu ini terdapat hal original yang bukan milik Barat. Bahkan
bangsa baratlah yang meminjamkannya dari Islam seperti matematika dan kimia.

D. Polemik seputar Filsafat Islam


Terjadi perbedaan pendapat diantara para ilmuwan mengenai penanaman
filsafat Islam, yakni apakah lebih layak disebut filsafat Arab atau filsafat Islam. Di
antara penulis-penulis yang menanamkan filsafat Arab ialah Maurice de Wulf
dalam bukunya Histoire de la Philosophie Mediavale (Sejarah Filsafat Abad
Pertengahan). Lutfi as-Sayyid dari Mesir dalam mukadimah terjemahannya
terhadap buku Etika untuk Nikomakus karya Aristoteles.
Sementara itu, penulis-penulis yang menggunakan istilah filsafat Islam
antara lain adalah Marx Horten, seorang sarjana Jerman dalam soal-soal
keislaman, dan penulis pasal “Filsafat” dalam Encyclopedia Islam, De Bour dalam
bukunya The History of Philosophy in Islam, Gauthier dalam bukunya
Introduction a’Letude de la Philosophie Musulmane (Pengantar Studi tentang
Filsafat Islam) dan Carra de Vaux dalam bukunya Les Penseur de I’Islam (Tokoh-
Tokoh Pikir Islam).
Berikut beberapa tokoh yang menentang penamaan Filsafat Islam, sebagai
berikut :

5
a. Carlo Nallino, menitikberatkan argumentasinya pada analisis bahasa.
Nallino berpandangan bahwa ilmu filsafat lebih tepat dinamakan filsafat
Arab karena buku-buku ilmiah dengan tema filsafat ditulis dalam bahasa
Arab.
b. Corbin, mempertahankan istilah filsafat Islam. Menurutnya, jika
berpegang pada penamaan filsafat Arab, maka pemikiran tersebut menjadi
sempit.
c. Orang-orang India juga menentang penamaan filsafat Arab. Mereka
berpendapat, bahwa para pengembanng filsafat Islam bukan hanya orang-
orang Arab, melainkan juga orang-orang Persia, Mesir, Andalusia, dan
termasuk pula Asia Tengah. Islam juga tumbuh dari kebutuhan internal
umat Islam Klasik untuk menguraikan wacana-wacana keislaman secara
filosofis. Islam mencakup peradaban yang meliputi budaya, etika, sosial-
politik, ekonomi, akhlak, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pemikiran.
d. Mustafa Abdurrazzaq dan Ibrahim Madzkur telah sepakat memberi nama
filsafat Islam, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak
boleh dikisruhkan.
Sebenarnya, perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama, karena
bagaimanapun hidup dan suburnya filsafat adalah di bawah naungan Islam dan
kebanyakan karnyanya di tulis dalam bahasa Arab.

E. Perkembangan Filsafat Islam


Jika dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini
melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang
berpusat di Baghdad lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam
belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Untuk memperkuat pernyataan di atas, sejarah kebudayaan Islam mencatat
bahwa ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa
Daulah Abbasiyyah pertama (132-232 H/75-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia

6
Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di
daerah-daerah seperti Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Pada masa Al
Makmum yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M, kota Konstantinopel yang
dikenal sebagai kota Al Hikmah merupakan pusat dari ilmu filsafat. Dari kota
tersebut, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan. Kegiatan penerjemahan
ini disertai dengan uraian dan penjelasan seperlunya.
Aktivitas para filsuf muslim sangat bersentuhan dengan penafsiran Al-
Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis sangat
besar. Sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam,
sebagaimana dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu
begitu tinggi, karena pemerintahlah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya.
Dua imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibukota Baghdad (di
Timur), dan Umayyah dengan ibukota Kordova (di Barat) menjadi pusat
peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia
kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Filsafat Islam, maka,
kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa harus
di telusuri.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam
berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi yang bersifat
akomodatif, yakni filsafat Yunani memberi modal dasar penelusuran berpikir
yang sejatinya di topang oleh Al-Qur’an sejak dulu.

F. Para Tokoh Filsafat dan Pemikirannya

Eksplorasi wacana filosofis, baik mengenai logika, fisika, metafisika, atau


wilayah ketuhanan maupun ilmu matematika, dalam dunia Islam bisa dikatakan
berkembangnya sangat pesat. Fakta tersebut dapat dilihat dari terus
bermunculannya para filsuf muslim dan karya-karya besar mereka hingga era
kontemporer dewasa ini.

7
Di antara para filosof Muslim yang memiliki nama besar antara lain:

1) Al-Kindi (801-866M)

Nama Al-Kindi berasal dari nama sukunya yaitu Al kindah. Banu Kindah
adalah suku keturunan Kindah yang sejak lama menempati daerah selatan Jazirah
Arab. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq AshShabbah
ibn ‘Imran ibn Ismail ibn Al-Asy’ats ibn Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah
tahun 185H (801M). Ayahnya, Ishaq AshShabbah, adalah gubernur Kufah pada
masa pemerintahan Al Mahdi dan Harun al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya
meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Karena ia adalah satu satunya
filosof Muslim yang berasal dari keturunan Arab, Al-Kindi dikenal dengan
sebutan Failasuf Al-‘Arab.

Nama Al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan


Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833M), karena
ia dipercaya untuk menjadi guru pribadi putera Al-Mu’tashim, yaitu Ahmad ibn
Al-Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-
karyanya, setelah pada masa Al-Makmun ia menterjemahkan kitab-kitab Yunani
ke dalam bahasa Arab.

Sebagai seorang filosof yang mempelopori mempertemukan agama dan


filsafat Yunani, Al-Kindi banyak mendapat tantangan dari para ahli agama. Ia
dituduh meremehkan dan membodoh-bodohkan ulama yang tidak mengetahui
filsafat Yunani. Banyak fitnah yang dituduhkan kepada Al-Kindi, terutama pada
masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Akhirnya Al-Kindi menyingkir dari kemelut
politik istana dan meninggal pada tahun 252 H (866M) (Azhar Basyir, 1993:80-
81).

Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah. Ibn Nadim, dalam


kitabnya Al-Fihrits, menyebutkan karyanya lebih dari 230 buah, sementara
George N. Atiyeh menyebut ada 270 buah. Karya-karya Al-Kindi mengenai

8
filsafat menunjukan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-
batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat.

Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut


aliran eklektisme, yaitu suatu faham pemikiran atau kepercayaan yang tidak
mempergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada, melainkan mengambil
apa yang paling baik. Dalam metafisika dan kosmologi ia mengambil pendapat-
pendapat Aristoteles dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato dan dalam
bidang etika ia mengambil pendapat Sokrates dan Plato. Meskipun demikian,
kepribadian Al-Kindi sebagai seorang Muslim tetap tidak tergoyahkan.

Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan


antara agama dan filsafat, Al-Kindi berpendapat bahwa antara agama dan filsafat
tidak ada pertentangan. Filsafat menurutnya adalah semulia-mulia ilmu dan Ilmu
Tauhid adalah sebagai cabang termulia dari filsafat. Filsafat sejalan dan dapat
mengabdi kepada agama. Dengan demikian berfilsafat tidaklah berakibat
mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering
dituduhkan orang.

Al-Kindi menegaskan bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya


adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari
semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Menurutnya kalau ada kebenaran-
kebenaran atau hakekat-hakekat maka mesti ada kebenaran atau hakekat pertama
(al-Haqq al-Awwal).

Hakekat pertama itu adalah Tuhan. Tentang Metafisika. Sebagaimana


disebutkan di atas, Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat yang tertinggi adalah
Filsafat Pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Menurut Al- Kindi,
Tuhan adalah Wujud Yang Haq (Sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya
dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang sejak awal dan akan senantiasa
ada selama-lamanya. Tuhan adalah Wujud Sempurna yang tidak pernah didahului
wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud
lain melainkan dengan perantara-Nya.

9
Dalam pandangannya ini Al-Kindi sejalan dengan pemikiran Aristoteles
tentang Causa Prima dan Penggerak Pertama, penggerak yang tidak bergerak. Al-
Kindi mengajukan pertanyaan yang juga dijawabnya sendiri: “Mungkinkah
sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin?”.
Jawabannya adalah: “Yang demikian itu tidak mungkin”. Dengan demikian, alam
ini baru, ada permulaan dalam waktu demikian pula alam ini ada akhirnya oleh
karena itu alam harus ada yang menciptakannya. Karena alam itu baru, maka alam
adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptanya, yang mencipta dari tiada
(creatio ex nihilo).

Tentang keberadaan Tuhan ini, Al-Kindi memperkuatnya dengan dalil


keanekaan alam wujud dan dalil keteraturan alam wujud. Al-Kindi mengatakan
bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian
pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan. Karena alam wujud
ini semuanya mempunyai persamaan keanekaan dan kesatuan, maka sudah pasti
hal itu terjadi karena ada sebab dan sebab itu adalah berada di luar wujud itu
sendiri, esksistensinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu adanya. Sebab itu
tidak lain adalah Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi ini
tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat. Dan Zat yang
tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya
keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang
demikian disebut dengan argumen teleologik.

Tentang Epistemologi. Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam


pengetahuan manusia, yaitu:

 Pengetahuan inderawi, terjadi secara langsung ketika seseorang


mengamati suatu obyek material. Pengetahuan model ini bersifat tidak
tetap disebabkan obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam
keadaan menjadi, berubah setiap saat. Pengetahuan inderawi ini tidak
memberi gambaran tentang hakekat suatu realitas. Pengetahuan
inderawi selalu bersifat parsial.

10
 Pengetahuan rasional, Kedua, merupakan pengetahuan yang diperoleh
dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial,
dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu,
melainkan genus dan spesies. Apa yang diamati dari manusia
bukanlah tinggi pendeknya, warna kulitnya, lesung pipitnya, dan
seterusnya yang bersifat fisik, melainkan mengenai hakekatnya
sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah
makhluk berpikir (rational animal atau hayawan al-natiq).

 Pengetahuan isyraqi (iluminatif), merupakan pengetahuan yang


langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Pengetahuan dengan jalan
wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi. Akal meyakini
kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena
pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu
mengusahakannya.

Tentang Etika. Al-Kindi menyatakan bahwa keutamaan manusiawi tidak


lain adalah “Budi Pekerti Manusia yang Terpuji.

Keutamaan ini ada tiga bagian, meliputi :

 Pertama Hikmah (kebijaksanaan), adalah keutamaan daya berpikir, yang


bisa berupa kebijaksanan teortis dan praktis

 Kedua Najdah (keberanian), adalah keutamaan daya ghadabiyah (gairah),


berupa keinginan untuk mencapai sesuatu sehingga tercapai.

 Ketiga ‘iffah (kesucian), merupakan hasil keadaan lurus tiga macam


keutamaan itu tercermin dalam ‘keadilan’.

2) Al-Farabi (872-950M)

Filosof besar lain dalam Islam adalah Abu Nasr Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Al-Farabi adalah putera dari
seorang panglima perang Dinasti Samani (874-99M) yang berkuasa di daerah
Transoxania dan Persia. Nama al-Farabi berasal dari nama tempat kelahirannya,

11
yaitu Farab, Transaxonia; dilahirkan pada tahun 872 M, dan berasal dari
keturunan Turki. Sewaktu muda ia pergi ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan dan
filsafat, dan ia belajar filsafat, logika, matematika, metafisika, etika, ilmu politik,
musik dan lain-lain.

Al-Farabi pernah menjadi murid Bisyr ibn Yunus, salah seorang


penerjemah yang membantu Hunain ibn Ishaq di Bait al-Hikmah. Dari Bagdad
kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif Al-Daulah dari dinasti
Hamdani yang berkuasa di Suria. Di istana inilah ia banyak mengembangkan
pemikirannya, karena istana ini merupakan tempat berkumpulnya dan pertemuan
para ilmuwan. Di kalangan filosof Muslim al-Farabi dikenal dengan julukan al-
Mu’alim al-Tsani (Guru Kedua); sementara Guru Pertama (al-Mu’alim al-Awwal)
adalah Aristoteles.

Mengenai hubungan filsafat dan agama, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi


juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dengan agama.
Tetapi dalam hal ini ia menekankan bahwa filsafat bisa mengganggu keyakinan
orang awam. Untuk itu pemikiran yang bercorak filsafat harus dihindarkan dari
orang-orang awam.

Tentang Metafisika. Di antara pemikiran filsafat al-Farabi yang berkaitan


dengan masalah ketuhanan dan terjadinya alam terlihat dalam pemikirannya
tentang “Filsafat Emanasi”. Dalam filsafatnya ini al-Farabi sebagaimana halnya
Plotinus menerangkan bahwa “Segala yang ada atau alam ini memancar dari Zat
Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh”. Antara alam materi dengan Zat
Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berpikir tentang diriNya, dan dari pemikiran ini
memancarlah Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan, dan dari
pemikiran ini memancarlah Akal Kedua. Akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan
dari pemikiran ini memancarlah Akal Ketiga. Demikian seterusnya sampai
memancar Akal Kesepuluh. Akal Pertama selanjutnya berpikir tentang dirinya,
dan dari pemikiran ini timbullah langit pertama. Akal-akal lainnya juga berpikir
tentang dirinya masing-masing, dan dari pemikiran itu timbullah planet-planet
yang menghuni alam ini. Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa tidak

12
mempunyai hubungan langsung dengan alam materi yang mengandung arti
banyak ini. Demikian penjelasan Al-Farabi mengenai bagaimana yang banyak
bisa muncul dari Yang Satu (Tuhan).

Tentang Jiwa. Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal


memancar dari Akal Kesepuluh.

Jiwa itu menurutnya memiliki tiga daya, yaitu:

 Daya gerak (al-muharrakah/motion), yang memuat daya makan,


memelihara, dan berkembang

 Daya mengetahui (al-mudrikah/cognition), yang memuat daya merasa


dan berimaginasi

 Daya berpikir (alnatiqah/intellection), yang memuat akal praktis


(practical intellect) dan akal teoritis (the oritical intellect).

Tentang Akal. Menurut Al-Farabi akal atau daya berpikir ini mempunyai
tiga tingkat, yaitu:

 Al-‘aql al-hayulani (akal materil/akal potensial/material intellect). Akal


potensial menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat
ditangkap dengan panca indera.

 Al-‘aql bi al-fi’l (akal aktuil/actual intellect). Akal aktuil menangkap arti-


arti dan konsep-konsepdan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan menangkap inspirasi dari akal yang ada
di atas dan di luar diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh atau al-Aql al-fa’al
(active intellect), yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang
ada semenjak azal.

 Al-‘aql al-mustafad (aquered intellect). Akal pada tingkat terakhir inilah


yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan dari Tuhan melalui akal-
akal tersebut.

13
Tentang Filsafat Kenabian. Nabi atau Rasul dapat menerima wahyu,
karena ia mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Akal Kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat dalam pandangan Islam.
Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan dan ia dapat berkomunikasi dengan Akal
Kesepuluh bukan atas usahanya sendiri, melainkan atas pemberian Tuhan. Para
rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat oleh Tuhan, sehingga mereka dapat
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa latihan. Dengan imajinasi yang
kuat, para Nabi dapat melepaskan diri dari pengaruh panca indera dan dari
tuntutan jasmani.

Sementara itu para filosof dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh


adalah melalui akal mustafad dan itu dilakukan melalui latihan-latihan
kontemplasiKarena baik para Nabi atau Rasul dan para filosof mendapat
pengetahuan dari sumber yang sama, yaitu Akal Kesepuluh, maka wahyu yang
diterima para Nabi atau Rasul dan pengetahuan filsafat yang diperoleh para filosof
tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan Akal
Kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.

3) Ibn Sina (980-1037 M)

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husein ibn Abdillah Ibn Sina.
Popularitas yang diperoleh Ibn Sina melampaui poluplaritas al-Kindi dan al-
Farabi. Ia lahir di Afshana, suatu wilayah dekat Bukhara. Orang tuanya adalah
pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Ibn Sina dikenal di Barat
dengan nama atau sebutan Avicenna, dan lebih dikenal dalam bidang pengobatan
dari pada sebagai filosof. Dalam bidang ini karyanya yang terkenal adalah al-
Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Untuk bidang ini Ibn Sina mendapat gelar the
Prince of the Physicians.

Sementara di dunia Islam ia dikenal dengan sebutan al-Syaikh alRais


(Pemimpin Utama dari para Filosof). Tentang Metafisika. Dalam pemikiran
filsafatnya mengenai Tuhan dan kejadian alam, Ibn Sina juga mempunyai “Faham
Emanasi”. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar

14
Akal Kedua, demikian seterusnya sampai Akal Kesepuluh. Menurut Ibn Sina
akal-akal itu adalah malaikat, dan Akal Pertama adalah malaikat tertinggi,
kemudian Akal Kesepuluh, yang mengatur bumi, adalah Jibril.

 Menurut Ibn Sina, Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu :

 Sifat wajib wujudnya, karena ia sebagai pancaran Tuhan

 Sifat mungkin wujudnya, apabila dilihat dari hakekat dirinya, karena ia


sebagai hasil dari sesuatu yang lain.

Dari pemikiran tentang Tuhan munculah akal-akal dari pemikiran tentang


dirinya yang wajib wujudnya munculah jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang
dirinya yang mungkin wujudnya munculah langit-langit (planet).

Tentang Jiwa. Jiwa manusia yang memancar dari Akal Kesepuluh menurut
Ibn Sina dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

 Jiwa Tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang di dalamnya memuat daya


makan, daya tumbuh, dan daya berkembang biak.

 Jiwa Binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang di dalamnya memuat daya


gerak dan daya menangkap (meliputi menangkap dari luar dan menangkap
dari dalam indera bersama, representasi, imajinasi, estimasi, dan
rekoleksi).

 Jiwa Manusia (al-nafs al-Nathiqah), yang di dalamnya memuat daya


praktis dan daya teoritis. Daya praktis menurut Ibn Sina mempunyai
kedudukan penting, karena ia akan mengontrol badan manusia, sehingga
hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menghalangi berkembangnya
daya teoritis. Sementara daya teoritis mempunyai empat tingkatan, yaitu
akal materil, akal inelektual, akal aktuil, dan akad

Tentang Filsafat Kenabian. Di antara manusia ada yang dianugerahi akal


materil (al-aql al-hayulani) yang begitu besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina diberi
nama al-hads atau intuisi. Orang yang dianugerahi akal yang demikian, dengan

15
tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh.
Oleh karena itu, orang tersebutdengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu
dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci (quwwah qudsiyyah). Inilah
bentuk akal tertinggi yang dapat diproleh manusia, dan terdapat hanya pada para
nabi.

4) Ibn Miskawaih (932-1030M)

Abu ‘Ali al-Khazim Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih lahir
di Raiy (Teheran) dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M. Pada masa
mudanya bekerja sebagai pustakawan dari beberapa menteri, di antaranya Ibn al-
Amid, di Raiy.

Dalam pemikiran filsafatnya lebih banyak dikenal di bidang filsafat


akhlaq. Buku yang terkenal di bidang ini adalah Tahzib al-Akhlaq. Menurutnya
kata akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Pengertian khuluq
menurutnya adalah “peri keadaan yang mendorong untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”. Dengan kata lain,
khuluq adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
tanpa pemikiran sebelumnya atau secara spontan. Sikap mental atau keadaan jiwa
ini dapat merupakan fitrah sejak lahir, dan dapat pula merupakan hasil latihan
pembiasaan (ikhtiari).

Tentang Jiwa. Dalam kaitannya dengan jiwa, Miskawaih menyebutkan


adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu:

 Bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat), jiwa atau


sikap mental yang senantiasa mengejar kelezatan jasmani.

 Sabu’iyah (binatang buas), jiwa atau sikap mental yang senantiasa


bertumpu pada kemarahan dan keberanian

 Nathiqah (berpikir), jiwa atau sikap mental yang selalu berpikir tentang
hakekat segala sesuatu.

16
Apabila terjadi keselarasan dalam perimbangan di antara ketiganya, maka
tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci
(quwwah qudsiyyah). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diproleh manusia,
dan terdapat hanya pada para nabi.

Tentang Kebahagiaan. Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair


(kebaikan) dan al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan memiliki corak umum dan
menjadi tujuan semua orang; kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam
kedudukannya sebagai manusia.

Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum


tetapi relatif bergantung kepada orang per-orang. Kebahagiaan tertinggi
menurutnya adalah kebijaksaan yang menghimpun dua aspek, yaitu hikmah yang
bersifat teoritis dan hikmah yang praktis. Hikmah yang bersifat teoritis adalah
bersumber dari pengetahuan yang benar, sedangkan hikmah yang praktis adalah
keutamaan jiwa yang mampu melahirkan budi pekerti yang mulia. Kebahagiaan
yang diperoleh melalui kesenangan jasmani adalah kebahagiaan yang palsu yang
pada umumnya dicari oleh orang awam. Orang yang mencapai kebahagiaan
tertinggi jiwanya akan tenang, merasa selalu berdampingan dengan malaikat.
Jiwanya diterangi Nur Ilahi dan merasakan nikmat di dalamnya. Baginya tidak
akan menjadi masalah apakah dunia datang kepadanya atau meninggalkannya;
dan tidak merasa sedih bila berpisah dengan orang yang dicintainya. Akan
dilakukannya segala sesuatu yang menjadi kehendak Allah akan dipilihnya hal-hal
yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah tidak akan berkhianat kepada
dirinya juga kepada Allah.

Tentang Cinta. Menurut Ibn Miskawaih ada dua jenis cinta, yaitu cinta
kepada Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid kepada
gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah. Tetapi tipe cinta
ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia adalah
kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada gurunya.
Menurut Ibn Miskawaih cinta murid kepada gurunya dipandang lebih mulia dan

17
lebih berperanan. Guru adalah bapak ruhani bagi murid-muridnya. Gurulah yang
mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki keutamaan yang sempurna.
Kemuliaan guru terhadap murid laksana kemuliaan ruhani terhadap jasmani.

Tentang Pendidikan Anak. Menurut Ibn Miskawaih kehidupan utama pada


anak-anak memerlukan dua syarat, yaitu syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat
kejiwaan tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang
dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan dapat
dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk
cenderung kepada kebaikan.

Syarat kedua, syarat sosial, dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman
yang baik, menjauhkan dari pergaulan dari teman-temannya yang berperangai
buruk. Nilai-nilai keutamaan pada anak-anak yang harus menjadi perhatian juga
adalah mencakup aspek jasmani dan ruhani.

Keutamaan jasmani antara lain berkaitan dengan makanan dan kegiatan-kegiatan


fisik. Makanan hendaknya untuk tujuan kesehatan dan bukan kenikmatan.
Kegiatan-kegiatan fisik diarahkan ke arah yang bisa mendorong dan selaras
dengan kesehatan jiwa. Sedangkan keutamaan ruhani antara lain dengan
membiasakan anak bersikap cinta kepada sesama, jujur, berkata-kata yang baik,
percaya diri dan seterusnya. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa dengan
kebaikankebaikan dan terhindar dari kebiasaan yang buruk.

5) Al-Razi (863-925M).

Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Raiy, suatu kota dekat
Teheran. Dalam karir kehidupannya al-Razi pernah menjabat direktur rumah sakit
di Raiy dan di Bagdad. Ia terkenal di Barat dengan sebutan Rhazes dari buku-
bukunya mengenai ilmu kedokteran. Karyanya yang terkenal adalah tentang
“Cacar dan Campak” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa berulang kali,
cetakan yang keempat puluh dicetak pada tahun 1866. Kemudian kitab al-Hawi,
merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang tersusun dari lebih 20 jilid.

18
Tentang Agama dan Akal. Al-Razi merupakan seorang rasionalis sejati
yang hanya percaya kepada kekuatan akal, dan tidak percaya kepada wahyu dan
perlunya para nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk, untuk tahu Tuhan, dan untuk mengatur hidup
manusia di dunia ini. Sekalipun tidak percaya kepada wahyu dan tidak perlu para
nabi, al-Razi tetap sebagai filosof yang percaya kepada Tuhan. Dalam filsafatnya
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia berpendapat bahwa kesenangan
manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam
materi. Al-Razi mengatakan agar manusia tidak terlalu zahid dan juga tidak
terjebak dengan kesenangan materi.

Tentang Filsafat Lima Kekal. Menurut Al-Razi ada lima hal yang kekal
dalam kehidupan ini, yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang
Absolut, dan Zaman Absolut. Lima hal ini kemudian dikenal sebagai doktrin
Lima Yang Kekal. Mengenai kelima hal ini ia menjelaskan:

a) Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan pancai ndera tentang benda

b) Ruang, karena materi mengambil tempat

c) Zaman, karena materi berubah-ubah keadaannya

d) Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh.
Dan di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan
ciptaan-ciptaan yang teratur

e) Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

Dua dari Lima Kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan roh. Satu
daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak
aktif dan tidak pula pasif, yaitu ruang dan waktu.

Materi itu kekal, karena itu creatio ex nihilo (penciptaan dari tiada) adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Kalau materi itu kekal, ruang mesti kekal. Karena materi
mengalami perubahan, dan perubahan itu menunjuk pada adanya waktu, maka
waktu mesti juga kekal. Sungguhpun materi pertama itu kekal, tetapi alam tidak

19
kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilo, tetapi dalam arti
disusun dari bahan (materi) yang telah ada.

6) Ibn Rusyd (1126-1198M)

Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn


Muhammad ibn Rusyd. Ibn Rusyd berasal dari keluarga hakim-hakim di
Andalusia (Spanyol). Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville. Selain sebagai
hakim, ia pun pernah menjadi dokter istana di Cordova. Sebagai ahli hukum dan
filosof, pikiran Ibn Rusyd banyak berpengaruh di kalangan istana, terutama di
zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199M).Karyanya yang
terkenal di bidang fiqh Islam adalah Bidayah al-Mujtahid; sedang dalam bidang
kedokteran adalah Kitab al-Kulliat. Tulisan-tulisan lainnya adalah menyangkut
bidang filsafat.

Tentang Filsafat dan Agama. Ibn Rusyd memiliki pendapat bahwa antara
Islam dan filsafat tidak bertentangan. Bahkan ia menambahkan bahwa setiap
orang Islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajari filsafat.
Tugas filsafat tidak lain adalah berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta
semua yang ada ini. Tanda-tanda bagi orang yang berpikir adalah apabila manusia
berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Karena
banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan demikian, maka sesungguhnya al-Qur’an
menyuruh manusia untuk berfilsafat.

Lebih lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa setiap Muslim mesti percaya pada tiga
dasar keagamaan, yaitu:

 Adanya Tuhan

 Adanya Rasul

 Adanya pembangkitan

Apabila seseorang tidak percaya kepada salah satu di antara ketiga unsur
dasar tersebut maka ia dapat digolongkan sebagai orang kafir.

20
Tentang Pembelaan Terhadap Filosof. Seperti dinyatakan oleh Al-Gazali,
bahwa para filosof itu telah menjadi kafir karena tiga pendapatnya, yaitu:

 Alam itu bersifat kekal

 Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini

 Pembangkitan jasmani tidak ada.

Mengenai pendapat Al-Gazali ini Ibn Rusyd menyatakan:

a) Pertama, tentang kekekalan alam. Kaum teolog berpendapat bahwa alam


ini diciptakan olah Tuhan dari tiada (creatio ex nihilo). Pendapat ini
menurut Ibn Rusyd tidak berdasar. Menurutnya alam ini dijadikan
bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Beberapa ayat al-
Qur’an menujuk pada keadaan. Dari ayat-ayat ini dapat disimpulkan
bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam
sebagian ayat benda itu disebutkan air dan uap. Berpegang pada ayat itu
dapat disimpulkan bahwa alam itu kekal. Betul alam itu diwujudkan, tetapi
diwujudkan terus menerus.

b) Kedua, tentang Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi dialam.


Menurutnya al-Gazali telah salah dalam memahami pemikiran filosof,
karena para filosof tidak mengatakan seperti itu. Apa yang dikatakan kaum
filosof adalah ‘bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di
alam, tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu’.
Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil efek, sedang pengetahuan
Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab mengenai perincian itu. Pengetahuan
manusia adalah baru, sedang pengetahuan Tuhan adalah qadim.

c) Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Menurut Ibn Rusyd,


Al-Gazali menyatakan hal-hal yang saling bertentangan. Dalam kitabnya
Tahafut al-Falasifah, Al-Gazali menyatakan bahwa tidak ada orang Islam
yang menyatakan bahwa pembangkitan hanya akan terjadi dalam bentuk
rohani. Dalam buku itu dinyatakan bahwa pembangkitan bagi kaum sufi

21
hanya terjadi dalam bentuk rohani, tentu termasuk dirinya. Oleh karena
itu, menurut Ibn Rusyd, tidak ada ijma tentang persoalan ini. Dengan
demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangakitan jasmani
itu tidak ada, tidak dapat dikafirkan. Tetapi menurutnya bagi kaum awam
penggambaran pembangkitan jasmani sangat diperlukan untuk
menguatkan keislaman mereka (Harun Nasution, 1973:11-54)

22
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Filsafat Islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap
berada pada makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang
menyelamatkaan dan memberi kedamaian hati yang tetap berlandaskan pada Al-
Qur’an dan As-Sunah. Perbedaan filsafat Islam dengan filsafat Barat adalah
filsafat Barat memiliki paham sekularisme yang memisahkan antara agama
dengan filsafat sedangkan filsafat Islam bersifat universal namun berlandaskan
agama.

Latar belakang lahirnya filsafat islam adalah adanya usaha penerjemahan


naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak
masa klasik Islam. Tokoh-tokoh dalam filsafat Islam diantaranya, al-Kindi, al-
Farabi, dan Ibn Bajjah,Ibnu rusyd,Al Razi,Al Kawaid, dll. Pokok-pokok masalah
yang dibahas dalam filsafat Islam adalah hubungan filsafat (akal) dan agama,
tentang kejadian alam, dan tentang roh serta kelangsungan hidup.

Cara menyikapi perbedaan pendapat para filosof mengenai filsafat islam


adalah dengan cara sikap terbuka dan toleransi. Dengan mempelajari filsafat islam
kita dapat melihat segala sesuatu tidak hanya di permukaannya saja tetapi lebih
jauh dalam dan luas. Selain itu manfaat mempelajai filsafat membuat kita
memahami diri dan sekeliling dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar.Filsafat
mengasah pikiran untuk lebih kritis.Hal ini membuat kita tidak begitu saja
menerima sesuatu tanpa mengetahui maksudnya.

23
B. Saran

Diharapkan perkembangan ilmu yang pesat di zaman modern ini tidak


luput dari nilai-nilai agama dan agama dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya.Tanpa adanya bimbingan terhadap ilmu
dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin menyejahterakan
manusia, tetapi justru merusak bahkan menghancurkan kehidupan mereka.

24
DAFTAR RUJUKAN

Drajat, Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga.2006

Sulaiman, Asep, Mengenal Filsafat Umum, Bandung: Penerbit Yrama


Widya.2016

M.ag di Muzari, Filsafat Umum, Yogyakarta, Penerbit Teras. 2009

25

Anda mungkin juga menyukai