Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Forensik seringkali dikaitkan dengan suatu tindakan pidana (tindakan yang


melanggar hukum). Dalam beberapa buku, ilmu forensik pada umumnya diartikan sebagai
penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan
hukum dan keadilan. Pemecahan suatu kasus kejahatan akan menyertakan proses
penyidikan di dalamnya, dimana observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil
analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut
(Anderson, 2000).
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Menentukan identitas personal dengan
tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam
proses peradilan. Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah
tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan massal,
bencana alam, huru-hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan
tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai
kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orang tuanya (Nasution,
2013).
DNA Forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik yang juga dikenal sebagai
bidang ilmu biologi molekuler. DNA telah dijadikan instrumen yang sangat berguna dan
memegang peranan penting dalam penyelidikan kasus kejahatan serta untuk konfirmasi
kebenaran. DNA merupakan kode kimiawi yang dapat ditemukan di setiap sel pada seluruh
individu dan memiliki karakteristik tersendiri yang unik serta spesifik untuk masing-masing
individu sekalipun pada pasangan kembar identik. Asam deoksiribonukleat atau yang lebih
dikenal sebagai DNA merupakan materi kinetik yang mengkode setiap sel yang berada di
dalam tubuh. DNA merupakan sebuah polimer yang terdapat pada bagian nukleus sel (inti
sel) dan terdiri dari dua untaian berbentuk spiral (double helix structure). DNA terdiri dari unit
gula deoksiribosa, fosfat dan 4 basa organik yang berbeda, yaitu adenin (A), Timin (T),
Cytosin (C), dan Goanin (G) (Murakami, 2008).
Pemeriksaan identifikasi forensik melalui analisis DNA telah diakui sebagai suatu
sarana yang canggih untuk membantu pihak penyidik dan penuntut umum tindak pidana
maupun perdata. DNA juga terbukti mempunyai kegunaan yang sangat besar dalam
identifikasi forensik. Hanya sepersepuluh dari 1% DNA (sekitar 3 juta basis) berbeda dari
satu orang ke orang lain. Para ilmuan dapat menggunakan wilayah-wilayah variabel untuk
menghasilkan profil DNA dari individu, menggunakan sampel dari darah, tulang, rambut, dan
jaringan tubuh lainnya. Saat ini penerimaan bukti DNA dalam persidangan di berbagai
belahan dunia semakin memperkokoh peranan analisis DNA dalam sistem peradilan
(Imwinkelried, 2001).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan identifikasi forensik?


2. Bagaimana DNA dapat menjadi penciri suatu individu?
3. Bagaimana sampel DNA diperoleh dan dipersiapkan untuk analisis?
4. Bagaimana metode pemeriksaan tes DNA secara forensik?
5. Apa kelebihan dan kekurangan tes DNA?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan DNA.
2. Untuk mengetahui DNA dapat menjadi penciri suatu individu.
3. Untuk mengetahui sumber perolehan DNA dan mengetahui tahap-tahap isolasi
DNA.
4. Untuk mengetahui metode-metode pemeriksaan tes DNA secara forensik.
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan tes DNA.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sebagai bekal dalam menjalani profesi sebagai dokter muda dalam melakukan
proses identifikasi pemeriksaan berdasarkan tes DNA.
2. Dapat mengembangkan ilmu kedokteran forensik khususnya dalam mengidentifikasi
berdasarkan pemeriksaan DNA.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Forensik

Identifikasi forensik pada bagian tubuh manusia sangat penting untuk alasan legalitas
dan kemanusiaan terutama untuk informasi pada kerabat yang masih hidup (ICRC, 2013).
Identifikasi berdasarkan temuan anatomi dan medis dibedakan menjadi dua aspek, yaitu
(Saukko et Knight, 2016):
1. Pembentukan kelompok luas tertentu, seperti jenis kelamin, perawakan (pendek atau
tinggi), keturunan dan umur. Ini dapat ditentukan semata-mata dari sisa-sisa jasmani
yang ada, meskipun pembuktian dapat diperoleh dari bukti lain. Contoh yang jelas
adalah penentuan seks dari pakaian dan perhiasan, meskipun hal ini mungkin tidak bisa
dapat dipercaya sepenuhnya.
2. Perbandingan antara sisa tubuh dengan informasi ante-mortem dan catatan dari orang-
orang yang dianggap sebagai korban
Identifikasi forensik pada bagian tubuh manusia secara umum meliputi tiga tahap
investigasi: (1) riset latar belakang; (2) penemuan sisa-sisa bagian tubuh; (3) analisis
laboratorium dan persetujuan. Identifikasi forensik pada sisa bagian tubuh manusia
merupakan ketentuan legal (disegel oleh tanda tangan otoritas yurisdiksi pada sertifikat
kematian) berdasarkan kesesuaian ilmiah pada informasi orang hilang dan bagian sisa
tubuh yang belum teridentifikasi. Identifikasi membutuhkan pendekatan holistik yang
menggunakan semua cara ilmiah dan bukti kontekstual (ICRC, 2013).
Menentukan identifikasi personal dengan tepat sangat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu
kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang
membusuk, terbakar, dan bencana alam yang mengakibatkan banyak korban meninggal,
serta potongan tubuh manusia atau kerangka (Gani, 2002).
2.1.1 Perolehan Data Identifikasi
2.1.1.1 Riset Latar Belakang
Investigasi pertama dibutuhkan untuk menentukan lokasi, penelitian, pengumpulan
data dan mengorganisasi informasi yang tersedia pada orang yang hilang atau keberadaan
sisa tubuh. Informasi ini dapat meningkatkan proses identifikasi dalam beberapa cara,
misalnya dengan (ICRC, 2013):
• Menguatkan pernyataan saksi tentang di mana dan kapan orang yang hilang itu
terakhir terlihat
• Memberikan rincian spesifik untuk perbandingan dengan karakteristik yang tercatat
pada sisa-sisa yang dipulihkan
• Membantu penyidik menemukan kemungkinan tempat penguburan.
Pemerolehan informasi seseorang sebelum dia menghilang sangatlah penting.
Informasi ini disebut ante-mortem data (AMD) yang dapat diperoleh dari anggota keluarga
dan kerabatnya. AMD pada orang hilang biasanya meliputi informasi berikut (ICRC, 2013):
• Informasi pribadi/sosial umum (nama, usia, alamat rumah, tempat kerja, perkawinan
status, dll)
• Penampilan fisik (tinggi badan, berat badan, warna mata, warna rambut, dll)
• Riwayat medis gigi (patah tulang, penyakit, gigi hilang, mahkota gigi, tambalan, dll.)
• Ciri khas (kebiasaan [misalnya merokok], karakteristik unik, seperti bekas luka,tanda
lahir atau tato)
• Pakaian dan barang pribadi lainnya yang orang hilang tersebut pakai atau bawa saat
dia terakhir kali terlihat
• Hal apa pun yang berhubungan dengan kehilangan tersebut.
Sebagai tambahan, sampel biologis yang diambil dari relatif orang hilang (dan/atau
sampel dari orang hilang yang didapatkan sebelum hilang) dapat dikumpulkan untuk
kepentingan proses identifikasi. Keluarga dan kerabat dari orang hilang merupakan sumber
informasi paling berharga. Biasanya, anggota keluarga akan melakukan pencarian oleh
mereka sendiri, untuk mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya pada orang hilang
tersebut (ICRC, 2013).
2.1.1.2 Penemuan Sisa-Sisa Bagian Tubuh
Penemuan dan manajemen sisa tubuh yang benar dan bukti terkait (misal baju,
barang pribadi, dan bukti lainnya) adalah komponen vital dalam identifikasi forensik dan
dapat membantu mengklarifikasi nasib orang yang dimaksud. Secara ideal, arkeologis
forensik harus melakukan proses ini, terutama pada keadaan pengambilan yang kompleks
(pemakaman klandestin (secara rahasia), kuburan massal, penyebaran tanah yang luas
seperti yang bisa terjadi di pesawat crash, dll). Keahlian dan pengetahuan mereka dapat
memastikan pengambilan sisa tubuh dengan benar dan mencari informasi tambahan
sebanyak mungkin untuk proses identifikasi (ICRC, 2013).
Secara keseluruhan, pemerolehan sisa tubuh meliputi tiga fase (ICRC, 2013):
1. Melokasi sisa tubuh
2. Pemetaan sisa tubuh dan seluruh situs serta dokumentasi seluruh informasi
relevan
3. Penerimaan sisa tubuh secara baik, melabel, dan mengamankannya saat
transportasi yang mana kesulitan berbeda-beda tiap individual
Sisa tubuh manusia dapat ditemukan dalam berbagai setting, indoor (didalam gedung
atau diantara bangunan runtuh) dan outdoor (situs kuburan, pada tanah, pada daerah
berair, sumur, atau gua). Terdapat banyak metode dan peralatan untuk menemukan sisa
tubuh namun tidak ada alat untuk mendeteksi keberadaan tulang. Informasi terbaik untuk
penentuan lokasi adalah dari saksi (ICRC, 2013).
2.1.1.3 Analisis Laboratorium dan Persejutuan
Setelah mayat-mayat tersebut didapatkan dengan benar, mereka harus dikirim untuk
analisis laboratorium dan rekonsiliasi, yang menjawab lima pertanyaan utama (ICRC, 2013):
• Apakah jasad manusia atau bukan manusia?
• Apakah jenazah terkait dengan konflik / bencana / situasi yang dimaksud?
• Berapa banyak individu yang dipulihkan tetap mewakili?
• Siapa mereka? Apa saja IDENTITAS mereka?
• Apa penyebab kematian?
Langkah pertama dalam analisis dan rekonsiliasi laboratorium adalah
mempersiapkan dan memeriksa jenazah. Ini harus dilakukan oleh para ahli yang terlatih
secara khusus (ahli patologi forensik, antropolog, odontologi, dan lain-lain) yang
mengumpulkan informasi - data post-mortem (PMD) - tentang tetap dan bukti tidak langsung
(ICRC, 2013).
PMD dapat mencakup jenis informasi berikut (ICRC, 2013):
• Informasi umum tentang jenazah (rentang usia, jenis kelamin, tinggi badan, dll.)
• fakta medis dan gigi termasuk karakteristik unik dari jenazah (tanda-tandapatah
tulang tua atau bukti pembedahan, kondisi gigi dan adanya apapun pekerjaan gigi
seperti tambalan, dll)
• Kerusakan trauma dan post-mortem pada jenazah (disengaja dan tidak
disengaja)
• informasi sidik jari
• Data DNA
• Pakaian dan barang-barang pribadi ditemukan dengan jenazah
• Informasi tidak langsung tentang jenazah (di mana mereka ditemukan dan
bagaimana mereka berada di lokasi tersebut, termasuk kesaksian saksi, dll.)
2.1.2 Karakteristik yang Ditemukan pada Tubuh Jenazah
2.1.2.1 Wajah
Walaupun dalam keadaan Jenazah baru, pengenalan mungkin saja sulit dilakukan
karena adanya perubahan bentuk wajah dikarenakan kematian. Hal tersebut merupakan
kejadian yang wajar terjadi pada ruang rumah duka oleh keluarga dekat, bahkan orang tua
atau pasangan, memiliki keraguan untuk menolak atau salah menerima identitas dari orang
yang meninggal tersebut, Karena, stress dan emosi bermain peran, sehingga ada
perubahan persepsi mungkin ditemukan. Adanya hypostasis, pendataran akibat sentuhan,
edema, flaccid otot, dan pucat bila digabungkan akan mendistorsi bentuk wajah.
Pengenalan pada orang hidup sebagian karena proses dinamik, dibantu oleh tonus wajah
dan terutama kontak dan pergerakan mata, yang mana semuanya tidak ada pada mayat
(Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.2 Warna Mata
Dalam jenazah baru, warna mata sesuai dengan keadaan hidup, tapi cepat
memburuk. Hilangnya ketegangan intraokular dan kelonggaran kornea berkembang secara
progresif dalam beberapa jam, membuat iris lebih sulit diamati. Rusaknya bagian depan bola
mata terjadi dalam satu atau dua hari dan, dengan mulainya pembusukan, semua iris
cenderung menjadi gelap sampai coklat. Tidak baik apabila bergantung pada warna mata
sebagai kriteria identitas apabila jenazah lebih dari beberapa hari setelah kematian - atau
bahkan lebih cepat lagi dimana kondisi lingkungan mempercepat dekomposisi (Saukko et
Knight, 2016).
2.1.2.3 Pigmentasi Kulit
Pada tubuh yang tidak rusak dan membusuk, perbedaan etnis dalam pigmentasi kulit
terlihat sangat jelas, meskipun peningkatan melanin sedikit dari ras 'kuning' yang salah pada
ras Asia mungkin tidak dapat dibedakan dari ras Mediterania atau Timur Tengah. Munculnya
pucat mati dan hipostasis post-mortem lebih terlihat daripada variasi antara orang kulit hitam
atau orang Asia utara. Saat pembusukan terjadi, kulit semakin menghilangkan lapisan
berpigmen dan akhirnya pigmentasi menjadi tidak bisa menjadi penanda identitas, meskipun
melanin secara histologis mungkin masih terlihat di lapisan basal epidermis yang masih
ada.Tubuh yang terbakar juga bisa kehilangan kulit berpigmen, baik dengan kerusakan
panas atau oleh endapan jelaga dan produk pembakaran lainnya di permukaan, meskipun
jarang terjadi untuk bisa mengaburkan semua bukti pigmentasi (Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.4 Struktur dan Warna Rambut
Rambut kepala, kemaluan, dan ketiak merupakan bagian tubuh yang paling bertahan
untuk menjadi ciri identifikasi, beberapa ada yang bertahan ribuan tahun pada lingkungan
yang mendukung. Warna rambut aslinya mungkin bisa dapat berubah saat sudah dikubur,
menjadi lebih merah kecoklatan seperti warna bulu serigala dalam waktu 3 bulan.
Kemungkinan adanya perubahan warna secara kimiawi atau bleaching harus dipikirkan
dalam menganalisis forensik dan dipastikan dengan temuan positif lainnya. Struktur rambut
pada ras negroid memiliki warna gelap dan putaran spiral dengan cross-section berbentuk
elips. Pada ras mongoloid pigmentasinya lebih rendah, lurus, dan bila di cross-section
berbentuk silinder. Pada ras kaukasian didapatkan cross-section yang bulat atau ovoid,
namun memiliki variasi warna rambut yang banyak dibandingkan ras lain. Sel dari akar
rambut dapat memberikan profil DNA dan analisis mitokondria DNA (mtDNA) dari batang
rambut memiliki kepentingan tinggi dalam pemeriksaan forensic (Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.5 Tato
Kata 'tato' berasal dari bahasa Polinesia 'ta tau', yang berarti 'menandai'. Beberapa
ras seperti Ibans Sarawak dapat ditato di sebagian besar permukaan tubuh mereka, namun
banyak pria dan beberapa wanita di sebagian besar negara memiliki tato lokal, yang bisa
sangat membantu dalam identifikasi. Begitu berada di bawah kulit luar, bahan itu bertahan
lama. Warna seperti biru, hijau atau merah dapat dirusak oleh sel imun dan tercuci ke dalam
sistem limfatik setelah beberapa tahun atau puluhan tahun. Pigmen hitam, biasanya partikel
karbon dalam bentuk tinta India, sangat resisten karena hampir seumur hidup, meskipun
beberapa mungkin dibawa ke kelenjar getah bening regional (Saukko et Knight, 2017).

Gambar 1. Pigmen tato bewarna hitam pada limfonodus regional


(Saukko et Knight, 2016)
Tato paling banyak digunakan untuk pengenalan individu, cukup dengan
membandingkan dengan desain yang diketahui pada orang yang hilang. Desainnya sering
dilengkapi dengan nama sebenarnya, meski ini kebanyakan nama depan daripada nama
keluarga. Desain tidak berarti unik dan seorang tato profesional bisa menghasilkan ratusan
hiasan yang sama, jadi nama adalah bonus saat mencoba mendapatkan identitas (Gambar
2) (Saukko et Knight, 2017).
Gambar 2. Tato individual dapat membantu identifikasi pada orang yang tidak diketahui
(Saukko et Knight, 2016)
2.1.2.6 Sidik Jari, Telapak, Kaki, dan Bibir
Ilmu sidik jari, klasifikasi, pengambilan dari catatan dan metode pencatatan terletak
berdasarkan prosedur kepolisian, dan, seperti tato, peran ahli patologi hanyalah untuk
memudahkan pengambilan sidik oleh petugas polisi. Terkadang ketika ada sidik janggal
ditemukan di tempat kejadian, polisi mungkin ingin mengambil sidik jari dokter yang
mengunjungi lokasi untuk menghilangkannya dari pertanyaan mereka dan jelas tidak ada
yang tidak pantas mengenai hal ini. Memang, beberapa ahli patologi forensik yang biasa
membantu polisi meninggalkan cetakan mereka agar disimpan secara permanen untuk
eksklusi. Saat dipanggil ke tempat kejadian kematian, dokter harus berhati-hati untuk
menghindari penanganan benda dan perabotan untuk mengurangi kebutuhan skrining sidik
jari yang sulit dilakukan (Saukka et Knight, 2016).
Dokter tidak perlu tahu apa-apa tentang sidik jari kecuali untuk kepentingannya
sendiri, meskipun juga dipersiapkan untuk pertanyaan yang tak terelakkan - tidak ada dua
sidik jari yang pernah ditemukan sebagai kembar identik dan bahkan kembar identik yang
memiliki sidik berbeda. Polisi biasanya datang ke kamar mayat untuk mengambil set
lengkap sidik jari dengan cara yang biasa dengan menggulung tinta ke bantalan jari dan
menekannya ke kartu catatan. Seperti sidik jari, pola kulit telapak tangan, telapak tangan
dan bahkan bibir dikatakan unik dan telah digunakan dalam identifikasi, tapi sekali lagi ini
benar-benar bisnis polisi.
Pola pembuluh darah di punggung tangan juga dikatakan khas untuk satu individu (Saukka
et Knight, 2016).
2.1.2.7 Identifikasi Jaringan Parut
Jaringan parut penting dalam identifikasi jenazah tak dikenal, bahkan pada beberapa
kejadian pembusukan jenazah. Bekas luka pada kulit mungkin timbul dari cedera
sebelumnya yang telah menembus epidermis, karena luka dangkal pada lapisan atas kulit
akan sembuh tanpa bekas. Dimana dermis telah masuk, penyembuhan terjadi dengan
mengorganisir klot bekuan darah dan/atau jaringan granulasi. Jika luka itu sempit, seperti
yang diakibatkan oleh alat bedah, pisau tajam, pisau cukur atau kaca, maka jika celah
tersebut akan bersatu, terutama oleh jahitan atau ditutup kassa, bekas luka yang dihasilkan
akan sempit dan tidak signifikan. Celah atau infeksi akan melebarkan bekas luka dan
laserasi yang jelas lebih besar atau luka bakar akan menghasilkan jaringan parut yang sama
lebih besar. Berkaitan dengan identifikasi, bekas luka hanya digunakan jika orang-orang
yang dianggap sebagai korban diketahui memiliki bekas luka yang sama, baik di alam
maupun posisinya (Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.8 Perawakan Tubuh
Perawakan jenazah belum tentu persis seperti yang diukur orang pada waktu ia
hidup. Di ruang jenazah, harus dilakukan untuk mengukur tubuh dari tumit ke kepala, dan
tidak menerima pengukuran peti jenazah, yang dibuat dari kaki sampai mahkota. Karena
fleksi plantar kaki yang biasa dilakukan mungkin sama dengan hilangnya tinggi 10 cm dari
panjang tumit. Tinggi badan pada tubuh yang mati mungkin berbeda dari ketinggian selama
hidup, bisa sedikit lebih panjang atau lebih pendek, meskipun kejadian memanjang lebih
sering terjadi. Karena hilangnya otot secara lengkap pada tahap pertama flaccidity, relaksasi
pada sendi besar, seperti pinggul dan lutut, bersamaan dengan efek ketegangan yang
hilang pada otot paraspinal cakram intervertebralis, tubuh dapat memanjang hingga 2-3 cm.
Rigor mortis kemudian bisa merubah tonus otot, memperpendek tubuh dan cenderung
melenturkan kaki sedikit. Ketika kekakuan berlalu dan dekomposisi terjadi, sendi menjadi
lemah. Hilangnya ketegangan pada cakram intervertebralis cenderung memperpendek
kolom tulang belakang dengan total sekitar satu sentimeter atau lebih. Kenaikan rata-rata
tinggi badan sekitar 2-5 cm. Kesalahan dalam pengukuran panjang paska mortem yang
benar-benar akurat adalah termasuk sulitnya menemukan alat ukur persis di tumit dan
mahkota kepala, serta sepenuhnya memperpanjang tungkai, tulang belakang dan leher
tubuh dengan kencang (Saukko et Knight, 2016).
2.1.3 Identifikasi dengan DNA
Identifikasi sisa-sisa manusia oleh DNA saat ini adalah prosedur standar berkat
banyaknya alel dan daerah DNA yang dapat diperkuat dan digunakan untuk
membandingkan pola genetik. Cairan manusia, residu, dan sisa-sisa manusia sekarang
dapat diidentifikasi dengan hampir 100 persen kepastian dalam kebanyakan kasus. Dalam
kasus manusia tetap hanya dua faktor yang dapat menghambat pengujian genetik:
degradasi sampel dan permasalahan terkait data komparatif DNA. Pada contoh pertama,
DNA mungkin terutama 'hancur' oleh faktor taphonomis, atau DNA yang dipelihara dengan
baik mungkin masih ada namun sulit untuk terbebas dari kristal hidroksiapatit atau dari
produk samping dari pembusukan, yang dapat menjadi penghambat PCR. Dalam kasus
kedua, sumber DNA antemortem (misalnya sikat gigi, pisau cukur, dll.) yang tidak memadai
atau tersedia atau keluarga yang sesuai mungkin tidak hadir untuk perbandingan DNA yang
tepat (Saukko et Knight, 2016).
2.1.4 Identifikasi dengan Sisa Tulang
Salah satu masalah klasik dari patologi forensik, identifikasi tulang secara
keseluruhan atau sebagian, melibatkan teknik dan keahlian yang mencakup sejumlah
disiplin ilmu dari anatomi hingga radiologi, dari arkeologi hingga kedokteran gigi, dan juga
genetika. Seperti yang diamati dalam kaitannya dengan tubuh utuh, prosedurnya untuk
mengidentifikasi sisa-sisa tulang terbagi menjadi dua bagian yang berbeda bagian (Saukko
et Knight, 2016):
- Memindahkan tulang ke kategori umum berdasarkan kriteria mutlak mengenai
spesies, keturunan, jenis kelamin, umur, umur dan tanggal
- Studi komparatif, dimana jenazahnya disesuaikan dengan data ante-mortem yang
berasal dari orang-orang yang mungkin menjadi korban potensial.
2.1.4.1 Menentukan Tulang
Kesalahannya bahkan lebih umum bila tulangnya bercampur dengan batu berbentuk,
asal hewan, yang bisa ditemukan terbakar, dikuburkan atau bercampur dengan reruntuhan,
plastik, dan bahkan kayu keras, yang dianggap tulang biasanya. Penentuan tulang biasanya
mudah, dengan bentuk, tekstur dan terutama berat benda. Kesulitan yang lebih besar bisa
dialami saat simulasi 'tulang' manusia ditemukan, seperti 'radius'. Dalam kasus yang lebih
sulit, tes mikroskopik dan kimia biasanya akan menghasilkan solusi yang memadai (Gambar
3) (Saukko et Knight, 2017).

Gambar 3. Benda mirip tulang yang diduga tulang radius beserta tulang hewan, kayu keras,
dan lainnya (Saukko et Knight, 2016)
2.1.4.2 Menentukan Tulang Manusia
Pengenalan spesies itu penting, namun menentukan tulang tersebut manusia
biasanya mudah, kecuali terdapat fragmentasi tulang. Pertama, ukurannya dinilai, banyak
tulang kecil dan ramping dieksklusi dengan alasan yang jelas. Anatomi makro kemudian
dipelajari, sebagian besar tulang utuh dapat dikenali. Kesulitan timbul dengan tulang yang
lebih kecil dari beberapa hewan, terutama tangan dan kaki, di mana angka, metatarsal dan
metakarpal memerlukan perhatian yang cermat untuk membedakannya dari manusia
(Gambar 4) (Saukko et Knight, 2016).
Gambar 4. Persamaan Antara Tulang Ayam (A) Metatarsal Manusia (B) dan Tulang
Panjang Fetus (Saukko et Knight, 2016)
Bila tulang tidak lengkap atau berfragmen, masalah meningkat dengan cepat. Jika
ujung tulang ada, maka bentuk non-manusia mereka mungkin lebih mudah ditentukan,
namun segmen silindris pada tulang tengah memiliki sulit dibedakan, selain ukurannya.
Fragmen tulang yang terbakar juga memiliki masalah yang serupa, yang ditambahkan
kemungkinan adanya distorsi panas dan penyusutan (Saukko et Knight, 2016).

Gambar 5. Struktur Histopatologi tulang kompak menunjukkan perbedaan spesies pada


morfologi osteon pada individu manusia muda (A) tua (B) domba (Ovis aries) (C) dan Sapi
(Bos taurus) (D) (Saukko et Knight, 2016)
2.1.4.3 Penentuan Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin sulit dibedakan sebelum pubertas, biasanya dalam periode
5-18 tahun, meskipun pengukuran khusus pada panggul terkadang menunjukkan jenis
kelamin bahkan pada janin. Keakuratan seks sulit diperkirakan, karena berbagai faktor
perancu yang ada. Krogman berkomentar bahwa dia mendapatkan 100 persen akurasi
dengan menggunakan keseluruhan kerangka tulang, 95 persen pada panggul, 92 persen
pada tengkorak, 98 persen pada panggul dan tengkorak, 80 persen pada tulang panjang
dan 98 persen pada tulang panjang ditambah panggul (Saukko et Knight, 2016).
Tengkorak
Hal berikut mulai terdapat setelah pubertas dan mengalami perubahan saat usia tua,
jadi hanya berlaku antara usia antara 20 dan 55 tahun. Umur dan juga keturunan memiliki
efek besar (Saukko et Knight, 2016).
 Penampilan umum. Tengkorak perempuan itu bulat dan lebih halus dari pada pria kasar.
 Ukuran. Tengkorak pria lebih besar, dengan volume endokranial sekitar 200 ml lebih
besar.
 Tonjolan otot lebih membekas pada tengkorak laki-laki, terutama di daerah oksipital
dimana otot yang lebih besar melekat pada puncak nuchal, dan di daerah temporal dan
mandibula untuk otot masseter dan temporalis yang lebih besar.
 Tonjolan supraorbital lebih membekas pada tengkorak laki-laki dan mungkin tidak ada
pada wanita.
 Prosesus mastoideus lebih besar pada tengkorak laki-laki
 Peninggian frontal dan parietal ini lebih menonjol pada tengkorak perempuan, yang
menyerupai bentuk pada bayi lebih dari pada pria.
 Palatum. Pada pria lebih besar dan bentuk U yang lebih teratur. Palatum wanita yang
lebih kecil dan cenderung lebih parabola.
 Orbita terletak lebih rendah pada wajah di tengkorak pria, dengan tepi yang lebih persegi
dan kurang tajam (terutama tepi atas) daripada wanita.
 Glabella (pusat dahi menonjol di atas hidung) lebih terlihat pada pria dan tepi orbital
lebih bulat dan kurang tajam.
 Bentuk hidung. Lebih tinggi dan sempit di tengkorak laki-laki dan memiliki tepi yang lebih
tajam. Tulang hidung lebih besar dan terus maju untuk bertemu di sudut lebih tajam
dibanding pada wanita.
 Dahi pada perempuan tinggi dan curam, dengan kontur infantile lebih bulat dari pada
pria.
 Prosesus Zygomatic. Tonjolan posterior melewati meatus auditorius dalam tengkorak
pria. Arkus zygomatic membungkuk lebih jauh daripada wanita, di mana mereka tetap
lebih medial.
 Puncak nuchal lebih terasa pada pria.
 Mandibula berukuran besar di tengkorak laki-laki, dengan daerah simfisis lebih persegi.
Rahang wanita lebih bulat dan kurang menonjol pada titik anterior. Tinggi vertikal pada
simfisis secara proporsional lebih besar pada pria. Sudut yang dibentuk oleh badan dan
ramus mandibula lebih tegak pada pria, kurang dari 125 °. Kondilus lebih besar di
tengkorak laki-laki, seperti ramus ascending yang lebih lebar, dan ada prosesus
koronoid yang lebih menonjol (Saukko et Knight, 2016).
Karakteristik Jenis Kelamin pada Pinggul
Pelvis wanita pasca pubertas lebih lebar dan lebih dangkal daripada panggul pria
yang benar-benar tegak untuk memungkinkan perjalanan janin saat melahirkan. Seperti di
tengkorak, pelvis pria lebih kasar karena menempelnya otot yang lebih kuat. Pelvis pria
berdiri lebih tinggi dan lebih tegak daripada panggul wanita yang lebih halus, datar. Sudut
subpubik, yang diukur pada persimpangan medial dua garis yang ditarik sepanjang
perkiraan terbaik batas bawah rami pubis inferior, dengan sudut 90° di panggul wanita, tapi
biasanya sekitar 70° pada pria. Badan dari tulang kemaluan dan bagian lateral ke simfisis,
cenderung berbentuk segitiga pada pria, sementara pada wanita pubis lebih persegi.
(Saukko et Knight, 2016).
Jika indeks ischiopubic (ras kulit putih) kurang dari 90, panggul adalah pria; Jika lebih
dari 95 adalah perempuan. Asetabulum lebih besar pada pria, rata-rata berdiameter 52 mm,
dibandingkan dengan 46 mm pada wanita. Celah sendi pria juga menghadap lebih lateral
daripada perempuan, yang cenderung terlihat lebih maju. Tentu saja, ukuran acetabular
berhubungan dengan kepala femoral, yang akan dipertimbangkan kemudian. Incisura
ischiadica mayor, merupakan kriteria penting, menjadi dalam dan sempit pada pria, lebar
dan terbuka pada wanita. Sudut yang dibentuk oleh tepi mendekati mendekati sudut kanan
pada wanita daripada yang ada pada pria. Tulang isiadikum yang lebih besar adalah salah
satu penentu jenis kelamin terbaik, memiliki tingkat keberhasilan 75 persen dengan
menggunakan kriteria ini saja (Gambar 6) (Saukko et Knight, 2016).

Gambar 6. Tulang Panggul Pria (M) dan Wanita (F) (Saukko et Knight, 2017)
Foramen obturator agak ovoid pada jantan, tapi segitiga pada wanita. Sulkus pra-
aurikular, yang merupakan pelekatan ligamentum sacroiliac anterior, terletak di sebelah
lateral ke sendi sakroiliaka dan biasanya terlihat dengan baik pada wanita tetapi seringkali
tidak ada pada laki-laki. Inlet panggul, yang dilihat dari atas, lebih melingkar pada wanita,
pria berbentuk hati sebagai hasil penonjolan sakrum ke dalam pinggiran posterior (Saukko
et Knight, 2016).
Karakteristik Jenis Kelamin pada Sakrum
Sakrum secara fungsional merupakan bagian dari panggul dan memiliki variasi jenis
kelamin. Sakrum wanita lebar dan memiliki lekuk dangkal, berhubungan dengan yang lebih
besar kanal panggul untuk persalinan. Sakrum lebih pendek pada wanita dan lekukannya
terbatas hampir seluruhnya pada bagian distal di bawah pusat vertebra sakral ketiga.
Sakrum pria mungkin memiliki lebih dari lima segmen, yang jarang terjadi pada wanita.
Kurva pada pria terus berlanjut di seluruh tulang dan bahkan mungkin ada proyeksi ke
depan sedikit dari tulang ekor. Fawcett membandingkan diameter melintang dari vertebra
sacral pertama (CW) dengan dasar dari sacrum (BW). Formula CW × 100 / BW rata-rata 45
pada pria dan 40 pada wanita (Saukko et Knight, 2016).
Karakteristik Jenis Kelamin pada Tulang Panjang
Tulang paha adalah yang paling berguna, panjang dan besarnya menjadi signifikan.
Ada cukup banyak tumpang tindih dengan semua karakteristik seks tulang panjang, namun
seri Brash menunjukkan bahwa tanda maksimum (oblique) pada femur pria sekitar 459 mm,
sedangkan perempuan hanya 426 mm. Angka lain dari Pearson dan Bell menyarankan nilai
rata-rata 447 mm untuk pria dan 409 mm untuk wanita. Dengan menggunakan panjang
miring trochanteric, mereka menyarankan kisaran 390-405 mm untuk wanita dan 430-450
mm untuk pria. Ukuran kepala femoralis diklaim sebagai diskriminasi seks yang lebih baik,
diameter vertikal yang dikatakan oleh Pearson dan Bell lebih besar dari 45 mm pada pria
dan kurang dari 41 mm pada wanita, namun sekali lagi terdapat tumpang tindih pada kurva
distribusi sekitar ukuran 43 mm (Tabel 3.1). Maltby, bagaimanapun, mengukur 43-56 mm
pada pria dan 37-46 mm pada wanita (Saukko et Knight, 2016).
Tabel 1. Tabel Dwight untuk Menentukan Jenis Kelamin Berdasarkan Kepala Femur dan
Humerus dengan Diameter (dalam Milimeter) (Saukko et Knight, 2016)

2.2 Dasar Hukum Identifikasi Forensik

Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal diatur di dalam KUHP, KUHAP,
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang RI No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Pada pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa (Leden,
Marpaung, 1992):
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Dalam pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut (Solichin, Sudjari, 2012):
(1) Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
(2) Hal yang bersifat umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHAP
pasal 133 yaitu (Solichin, Sudjari, 2012):
1) Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yang diilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

1.1. Definisi DNA

DNA atau deoxyribonucleic acid merupakan asam nukleat yang menyusun informasi
genetis pada makhluk hidup. DNA terdapat sebagai rantai ganda (double helix) yang sangat
panjang, mengandung potongan potongan gen sebagai satuan terkecil pengendali sifat dan
ciri morfologi seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk jari dan sifat-sifat khusus pada
manusia (Kartika Ratna Pertiwi dan Paramita Cahyaningrum, 2012).
Dahulu kala, para peneliti menyatakan bahwa materi genetik berada di dalam
struktur yang disebut kromosom dalam inti sel (nukleus). Pada tahun 1927, Griffith dan
Avery mengungkapkan bahwa bakteri memiliki suatu senyawa mengekspresikan sifat sifat
yang berbeda tetapi belum mengetahui dengan jelas penyebabnya. Penelitian lebih lanjut
oleh Avery, MacLeod, dan McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa perbedaan
ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri dari dua pita yang berlawanan
arah, yang akhirnya dikenal dengan DNA. Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan
Francis Crick pada tahun 1953 merupakan temuan penting dalam perkembangan genetika
di dunia. Model struktur DNA hasil analisis Watson dan Crick mampu menjelaskan
bagaimana DNA membawa informasi genetis sebagai cetak biru (blueprint) yang dapat
dicopy dan diperbanyak saat sel membelah sehingga sel-sel baru juga mengandung
informasi genetis yang sama. Inilah mengapa sifat dan ciri fisik seseorang berasal dari
pewarisan orang tua dan nantinya akan diturunkan ke anak cucunya. Terjadinya pewarisan
sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke anak turunannya adalah akibat terjadinya
peleburan kromosom dari sel sperma dan sel telur. Masing masing sel kelamin memiliki 22
autosom dan satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin sekaligus
menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel telur yang telah dibuahi, bakal
calon anak atau zigot, mengandung dua set gen dalam kromosom dengan demikian untuk
setiap pasangan kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah dan
satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan karakter tubuh kita yang
mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ibu (Griffiths dkk.,
1996). Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa (deoksiribosa),
gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk rantai panjang dan berpasangan
secara teratur seperti terlihat pada gambar 1.

Semua kandungan DNA yang ada pada sel dinamakan genom. Genom manusia
terdiri dari genom inti sel (nukleus) dan genom mitokondria. Genom mitokondria
(ekstranuklear), mengandung lebih banyak kromosom, sehingga jika pada kromosom inti,
masing-masing hanya terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria tersusun dari ribuan
copy. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen di dalam mitokondria biasanya
diwariskan dari ibu ke anak karena mitokondria seorang manusia adalah hasil pewarisan
dari ibu. Hal ini disebabkan mitokondria lebih banyak ditemukan di dalam sel telur daripada
sperma. Setelah fertilisasi mitokondria dari spermatozoa juga akan mati sehingga hanya
meninggalkan mitokondria dari sel telur (Griffiths dkk., 1996)
2.4. Tes DNA
2.4.1. Pengertian Tes DNA
Tes DNA merupakan sebuah metode identfikasi fragmen dari asam
deoxyribonukleat, yang diawali dengan ekstraksi sampel DNA dari cairan atau lapisan tubuh
serti rambut , darah dan saliva. Hanya sebagian kecil berkas DNA yang dipakai untuk
pengujian, seperti bagian DNA yang berisi pengulangan urutan basa (variable number
tandam repeats / VNRT) (Romeika, 2013).
Tes DNA ini sangat dipercaya dan sudah diakui keabsahannya dapat
mengidentifikasi seseorang dengan keakuratan mencapai 100 %, sehingga banyak
dimanfaatkan dalam analisis, pihak kepolisian maupun pengadilan khusunya untuk
membantu mengungkap suatu perkara. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa
terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, yaitu dengan peluang satu
diantara satu juta. Jika pun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error
terutama pada kesalahan interpretasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia)
(Kusuma,2012).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah c-DNA dan mt-DNA. Sampel DNA
yang paling akurat digunakan dalam tes adalah c-DNA, karena inti sel tidak bisa berubah.
Sementara mt-DNA dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Namun, keunikan dari pola pewarisan
mt-DNA tersebut sekaligus menjadi kelebihannya, sehingga mt-DNA dapat dijadikan
sebagai marker (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan
kekerabatan secara maternal.
Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan antara DNA
korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat
digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut,
usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus kasus forensik,
sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes sidik DNA (Lutfig and Richey, 2000).

2.4.2. Tujuan Tes DNA


DNA forensik digunakan untuk membantu proses identifikasi personal dengan
menggunakan profil DNA yang bersifat unik dan berbeda pada setiap orang.
Tes DNA pada umumnya digunakan untuk 3 tujuan yaitu :
a. Tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari
anak (Tes Paternitas)
b. Tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik, seperti identifikasi korban yang
telah hancur maupun untuk pembuktian kasus kejahatan semisal kasus
pemerkosaan atau pembunuhan, untuk mennetukan spesies dan jenis kelamin
c. Tujuan analisis kelainan genetik yang disebut marfan’s disease (Kusuma,2012)
Tes paternitas adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Metode tes paternitas terbagi atas
metode analisis DNA dan metode konvensional. Tes paternitas dengan menggunakan
analisis DNA merupakan analisis informasi genetik yang sangat spesifik dalam
membedakan ciri setiap individu, sehingga dapat memastikan (hampir 100%) bahwa
seseorang adalah ayah biologis si anak atau bukan. Sedangkan metode konvensional
dengan analisis fenotip dibagi menjadi tiga, yaitu
1. Sistem sel darah merah terdiri dari: sistem ABO, Rhesus (Rh), MNS, Kell (K), Duffy
(Fy), Kidd (Jk), Lutheran.
2. Sistem biokimia meliputi pemeriksaan plasma protein dan enzim sel darah merah
terdiri dari: haptoglobin (Hp), phosphoglucomrantaie (PGM), Esterase D (EsD),
Erythrocyte Acid Phosphatase (EAP), Glyoxalase (GLO), Adenosine Deaminase
(ADA), Adenylate Kinase (AK), Group specific Component (GC), Gm dan KM.
3. Human Leucocyte Antigen (HLA) yang mengidentifikasi antigen pada leukosit.

2.4.3 SAMPEL DAN PENYIAPAN SAMPEL UNTUK TES DNA

2.4.3.1 PERSIAPAN PENGUMPULAN SAMPEL DNA


Beberapa sampel yang dapat digunakan untuk analisa DNA diantaranya berupa
darah, saliva, semen, cairan vagina, feces atau urin dengan menggunakan spectrometer
massa. Tripsin dapat digunakan untuk mencerna sampel DNA untuk memperoleh peptida
yang ada kemudian peptida-peptida tersebut disuntikkan kedalam spectometer massa.
Pengumpulan sampel secara tipikal termasuk pengambilan dengan menggunakan kapas
dan touch DNA. Dimana touch DNA merupakan suatu teknik dengan mengkoleksi sel-sel
kulit dari seseorang dari benda-benda yang dipegang. Koleksi sampel dengan touch DNA
lebih baik dibandingkan dengan fingerprinting. Pengumpulan sampel dengan menggunakan
lidi kapas yaitu dengan membasahi lidi kapas dengan menggunakan air steril pada ujungnya
kemudian diusapkan pada area spesimen. Selain itu, pengumpulan sampel DNA pada
tempat kejadian perkara dapat menggunakan selotip tetapi metode ini hanya digunakan
untuk mengumpulkan sel-sel epidermal. Namun kelemahan dari metode dengan selotip ini,
dengan mobilisasi sampel yang kurang baik akan menyebabkan peluang kehilangan sampel
yang relatif lebih besar (Romeika, 2013).
Sedikitnya ada 4 titik kritis yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan analisis
forensik berdasarkan uji DNA. Keempat tahap penting tersebut adalah (1) penanganan dan
penyiapan sampel, (2) isolasi DNA dan penggandaannya, (3) analisis DNA, dan (4)
interpretasi dan penetapan hasil.

Gambar 1. Swab sterile (alibaba.com)

2.4.3.2 BAHAN UNTUK PEMERIKSAAN ANALISIS DNA


Diantara bahan-bahan yang berasal dari tubuh manusia yang biasa digunakan untuk
pemeriksaan analisa DNA adalah (Hoediyanto dan Hariyadi, 2012) :
- Darah dan bercak darah
- Sperma dan bercak sperma
- Jaringan dan sel
- Tulang dan organ
- Rambut dan folikel
- Urin yang mengandung sel berinti
- Saliva dan bercak saliva yang mengandung sel berinti
- Pulpa gigi
- Cairan amnion
Pada dasarnya bahan tersebut harus mengandung inti sel karena DNA berada pada
inti sel.
2.4.3.3 Cara Pengumpulan/ Pengambilan Sampel (Hoediyanto dan Hariyadi, 2012)

2.4.3.3.1 Sampel Darah


1. Sampel Darah cair
a. Darah diambil dari seseorang
- Siapkan 2 tabung dengan EDTA. Dapat dipakai antikoagulan lain, Tahapan isolasi
DNA darah bertujuan untuk mengisolasi jaringan sel darah putih, sehingga darah
yang masih memiliki komponen-komponen lengkap perlu dipisahkan satu dengan
lainnya sehingga yang tersisa hanya sel darah putih. Karena itu ke dalam tabung
yang berisi darah diberikan larutan pelisis sel darah merah yang merupakan larutan
hipotonis. Karena larutan tersebut hipotonis, maka akan terjadi hemolisis. Larutan
pelisis sel darah merah terdiri atas EDTA (ethylenediamine tetraacetic acid) yang
akan membentuk kompleks (chelate) dengan ion logam, seperti Mg2+ yang
merupakan kofaktor DNAse.
- Isi tiap tabung dengan kurang lebih 5 ml darah
- Tiap tabung ditutup dan diberi label
- Simpan di pendingin
- Dipak dan kirim ke laboratorium

Gambar 2. Tabung EDTA

b. Darah cair di TKP


- Hisap dengan semprit bersih (steril) atau pipet disposable
- Pindahkan dalam tabung steril
- Darah beku dapat diambil dengan spatel yang bersih
- Dapat dipakai kain katun bersih untuk menyerap darah
- Sampel darah cair diberi antikoagulan
- Diberi label, simpan di pendingin
- Dipak dan kirim ke laboratorium
c. Darah cair dalam air atau salju, es
- Segera mungkin diambil untuk menghindari pengenceran lebih lanjut
- Dalam jumlah cukup dimasukkan dalam tempat bersih (botol)
- Hindari kontaminasi
- Simpan di pendingin, bila mungkin dibekukan
- Beri label, dipak dan kirim ke laboratorium
2. Bercak Darah Basah
a. Di pakaian
- Pakaian dengan noda darah diletakkan pada permukaan bersih, keringkan di udara
- Jangan letakkan pada tempat tertutup, kedap udara atau tas plastik. Akan
menyebabkan bahan pemeriksaan menjadi basah dan timbul bakteri yang dapat
merusak barang bukti.
- Setelah kering masukkan dalam kantong kertas (amplop)
- Beri label dan segera kirim ke laboratorium
b. Benda dengan bercak darah basah
- Benda kecil biarkan kering diudara, kumpulkan
- Pada benda besar dan tidak dapat dipindahkan, maka hisap bercak tersebut
dengan kain katun bersih kemudian keringkan di udara
- Masukkan dalam kantong kertas
- Beri label dan segera kirim ke laboratorium
3. Bercak darah kering
a. Pada benda yang dapat dipindahkan, misal : senjata, kain, sprei
- Kumpulkan benda tersebut
- Tiap item masukkan dalam kantong kertas
- Beri label, dipak kemudian dikirim ke laboratorium
b. Pada benda padat dengan permukaan tidak menyerap dan tidak dapat dipindahkan,
misal : lantai
- Bercak dikerok dengan alat yang bersih
- Masukkan dalam kantong kertas
- Beri label, dipak kemudian kirim ke laboratorium
c. Bercak darah kering pada benda yang besar yang tidak dapat dipindahkan atau dipotong
atau tidak dapat dikerok
- Bercak dapat dilarutkan dengan kapas bersih yang telah dibasahi dengan cairan
salin steril atau air steril yang digosokkan pada area bercak.
- Beri label, dipak dan kirim ke laboratorium
- Kapas dikeringkan di udara
- Setelah kering dimasukkan dalam kantong kertas
- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium
4. Bercak darah kering di karpet, alat rumah tangga atau pada benda yang dapat dipotong
- Potong bagian dengan bercak dengan alat bersih
- Tiap potongan diberi label dan dipak
- Sertakan bagian kontrol potongan benda yang tidak berbercak
- Kirim ke laboratorium
5. Percikan darah kering
- Seringkali sulit dipisahkan dengan permukaan benda
- Gunakan cellotape. Tempelkan pada pada percikan sehingga dapat menempel
- Masukkan cellotape dalam kantong plastik
- Beri label, dipak dan kirim ke laboratorium
2.4.3.3.2 Sperma dan Bercak Sperma
1. Sperma Cair
- Hisap dengan semprit bersih (steril) atau pipet disposible
- Pisahkan dalam tabung steril
- Diberi label, simpan di pendingin
- Dapat pula sperma cair diserap dengan kapas bersih, keringkan di udara
- Beri label, dipak dan kirim ke laboratorium
2. Bercak sperma pada benda yang dapat dipindah. Misal : celana, pakaian, sprei, bantal
dan guling, dll
- Bila bercak masih basah, keringkan di udara
- Bila perlu benda yang berbercak dipotong
- Masukkan ke kantong kertas
- Beri label, dipak dan kirim di laboraotrium
3. Bercak sperma pada benda besar yang bisa dipotong, misal:karpet, tempat tidur, kasur
atau perkakas kain
- Potong daerah berbercak dengan pisau atau gunting bersih
- Masukkan tiap potongan dalam kantong kertas
- Hindari kontaminasi
- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium
4. Bercak sperma pada benda yang tidak dapat dipindah dan permukaan tidak menyerap,
misal lantai, logam, kayu, dll
- Bercak dikerok dengan alat yang bersih
- Letakkan kerokan pada kertas bersih dan lipatlah
- Masukkan dalam kantung kertas
- Beri label
- Dipak kemudian kirim ke laboratorium
5. Barang bukti sperma pada tubuh korban kejahatan seksual
- Korban biasanya diperiksa di RS
- Barang bukti dapat ditemukan di mulut,vagina dan anus korban
- Tiap item ditempatkan pada wadah tersendiri, beri label
- Dipak dan kirim ke laboratorium
2.4.3.3.1 Jaringan, Organ dan Tulang
1. Jaringan, Organ dan tulang segar
- Ambil tiap jaringan, organ dan tulang segar dengan pinset
- Tiap item ditempatkan pada wadah yang bersih tanpa diberi pengawet
- Beri label
- Simpan di pendingin
- Dipak dan kirim ke laboratorium
2. Jaringan, organ dan tulang yang lama (tidak segar)
- Ambil tiap jaringan, organ dan tulang dengan sarung tangan bersih
- Tiap item ditempatkan pada wadah yang bersih tanpa diberi pengawet
- Beri label
- Simpan di suhu kamar
- Dipak dan kirim ke laboratorium
Untuk jaringan otot minimal jumlah 25 mg, karena DNA otot sangat sedikit, sedangkan
jaringan lain seperti hati dan ginjal cukup 15mg.
2.4.3.3.1 Urin, Saliva dan Cairan Tubuh Lain
1. Sampel Cair
- Urin atau saliva masukkan ke tempat steril dari plastik atau kaca sesegera mungkin
- Simpan di pendingin
- Beri label, dipak dan kirim ke laboratorium
2. Bercak urin, saliva
- Bercak dikerok dengan alat yang bersih atau memotong benda yang mengandung
bercak
- Masukkan kerokan pada kantong kertas
- Beri label, dipak kemudian kirimkan ke laboratorium
3. Rambut
- Cabut beberapa helai dengan pinset bersih, berikut dengan akarnya
- Usahakan pencabutan tidak merusak folikel
- Rambut yang tercampur darah, jaringan atau cairan tubuh yang lain diperlakukan
dengan hati-hati
- Tempatkan pada wadah bersih
- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium
4. Pulpa Gigi
- Cabut gigi yang masih utuh (tidak rusak)
- Masukkan dalam kantong kertas
- Beri label, dipak kemudian kirim ke laboratorium
5. Cairan Aminion
- Dilakukan oleh tenaga ahli yang terlatih (dokter spesialis obgyn)
- Dilakukan pada kehamilan > 14 minggu
- Dengan bimbingan USG, tentukan lokasi amniosentesis, setinggi mungkin dalam
uterus, menjauhi janin dan plasenta
- Lakukan prosedur asepsis dan antisepsis tanpa anastesi lokal insersi jarum dengan
dituntun USG sampai mencapai kantong amnion yang bebas
- Aspirasi cairan aminion 0,5 ml, kemudian buanglah, karena kemungkinan
terkontaminasi dengan sel maternal
- Aspirasi lagi 30 ml (pada prakteknya 10 ml sudah dianggap mencukupi)
- Jarum dicabut, janin dimonitor keadaan jantungnya
- Simpan di pendingin
- Beri label, di pak dan kirim ke laboratorium
2.4.3.4 LABEL
Dibuat dengan kertas agak tebal, memuat :
- Identitas korban
- Jenis dan bahan pemeriksaan yang dikirim
- Tempat dan saat pengambilan bahan atau pembungkusan dan penyegelan
- Tandatangan, nama terang petugas penyegel dan dokter yang melakukan otopsi
- Cap stempel dinas
- Segel dinas
Label tersebut diatas diikatkan pada wadah bahan pemeriksaan yang akan dikirim
2.4.3.5 CARA PENGEPAKAN/PEMBUNGKUSAN
Untuk kasus forensik perlu dijaga keaslian bahan dan jangan sampai rusak sehingga
dapat diperiksa dengan baik, maka bahan tersebut harus diperlakukan sebagai berikut :
- Masukkan wadah berisi bahan pemeriksaan ke dalam kotak kardus
- Tempatkan wadah tersebut sedemikian rupa agar bahan-bahan cair tidak tumpah
- Jaga suhu dalam keadaan dingin, dengan pemberian dry ice atau masukkan dalam
termos es
- Bungkus kardus tersebut dengan rapi
- Ikat kardus dengan tali tak bersambung
- Pada ikatan tali diberi label dan segel
- Kemudian bungkuslah sekali lagi dengan kertas yang bersih
- Tulis alamat laboratorium yang dituju dan alamat pengirim jelas dan lengkap
2.5 Metode Menganalisa DNA

2.5.1 Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR)


Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk membuat jutaan kopi
DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR menyebabkan
analisis DNA pada sampel biologis hanya membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh
dari sampel yang halus seperti rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi sejumlah
kecil DNA memungkinkan untuk menganalisa sampel yang sudah terdegradasi sekalipun.
Namun, tetap saja harus dicegah kontaminasi dengan materi biologis yang lain selama
melakukan identifikasi, koleksi dan menyiapkan sampelnya (Marks dkk., 1996). Selain itu,
PCR adalah suatu metode untuk memperbanyak DNA template tertentu dengan enzim
polymerase DNA. PCR pertama kali diperkenalkan oleh Karyl Mullis. Seperti halnya fotokopi,
DNA dapat dikopi dan dilipat gandakan. Polymerase adalah enzim yang ada secara normal
dalam tubuh makhluk hidup. Peran enzim tersebut adalah mengkopi materi genetik, meneliti,
dan mengkoreksi kopian dari DNA. Setelah enzim melekat pada DNA, DNA double helix
tersebut terbentuk dua single strand DNA, kemudian ikatan tersebut bergerak sepanjang
strand dan kemudian mensintesis strand nukleotida dan setelah strand dikopi double helix
menutup kembali. Diperlukan DNA original untuk dikopi, dua molekul primer yang berbeda
untuk mengurung DNA yang utuh. Nukleotida diperlukan untuk kerangkanya, larutan buffer
dan taq DNA polymerase. Dua primer untuk mengkomplement, satu strand DNA pada awal
daerah target dan primer kedua untuk mengkomplement strand lainnya pada akhir daerah
target (Yudianto, Ahmad dan Kusuma, Soekry Erfan.2012).
Kekuatan metode Analisa PCR adalah kemampuan untuk menganalisa beberapa
lokus secara bersamaan dengan proses yang otomatis. PCR dilakukan dengan
menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan menurunkan suhu dalam
waktu secara cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Proses pencampuran PCR mengikuti 3
tahap yaitu: (Yudianto, Ahmad dan Kusuma, Soekry Erfan. 2012)
 Denaturation
Satu potong DNA original didenaturasi pada suhu 94-96oC, double helix strand
dipisahkan menjadi single strand
 Annealing atau Hybridization
Primer mengikat masing-masing strand DNA pada suhu sekitar 50-65oC. Pada
proses ini setiap rantai tunggal tersebut dipersiapkan dengan cara mengikatkannya dengan
DNA primer selama 20-40 detik.
 Extension atau Elongasi
Pada tahap ini suhu dinaikkan sampai 72oC sebagai suhu optimum enzim DNA
polymerase dalam melakukan replikasi DNA. DNA polymerase akan memasangkan dNTP
yang sesuai dengan pasangannya, dilanjutkan dengan proses replikasi. Enzim akan
memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung, dan lamanya waktu ekstensi bergantung
pada panjang daerah yang akan diamplifikasi.

Gambar 1. 3 Tahap Proses PCR

Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen
lain yang dibutuhkan adalah (Handoyo, Darmo dan Rudiretna, Ari. 2000):
a. DNA Primer
DNA primer adalah sepasang DNA rantai tunggal atau oligonukleotida pendek yang
memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, dibuat secara sintetis, dan
dirancang agar menempel mengapit pada daerah tertentu yang diinginkan, serta mampu
menunjukkan urutan DNA yang akan diperbanyak, menginisiasi sekaligus membatasi reaksi
pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA.
b. dNTP (deoxynucleoside triphosphate)
dNTP atau building blocks merupakan ‘komponen’ penyusun DNA yang baru. dNTP
terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dCTP (deoksisitidin trifosfat), dGTP (deoksiguanosin trifosfat) dan dTTP
(deoksitimidin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA
yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada
ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat.
Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.
c. Buffer
Buffer yang biasanya digunakan terdiri atas bahan-bahan kimia untuk
mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffernya. Dalam
perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer
rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR
tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung
pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa
biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari
lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
d. Ion Logam
Ion logam meliputi ion logam monovalen dan bivalen. Ion logam monovalen yaitu
kalsium dan ion logam bivalen umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja
e. Master-Mix
Master-mix terdiri dari:
 32 µl air
 5 µl PCR-Buffer (dengan Mg2+)
 5µl dNTP-Mix
 2 µl D1S80 Primer-Mix
 1 µl Taq Polymerase  45 µl (per orang).
Keunggulan PCR dibandingkan RFLP adalah simpel dan mudah dilaksanakan di
laboratorium, hasil diperoleh dalam waktu singkat (dalam beberapa hari), karena kapasitas
produksi segmen DNA yang tidak terbatas maka metode yang berdasarkan PCR
memungkinkan untuk menganalisis DNA dalam jumlah sangat sedikit (Samuel, 2010).
Adapun kekurangan metode PCR adalah mudah terkontaminasi karena jika ada sebuah
molekul DNA bakteri atau kontaminan lain tercampur maka molekul tersebut juga akan
diperbanyak dalam laju yang sama sehingga akan terjadi kesalahan kesimpulan dan
kebanyakan lokus dalam PCR memiliki alel lebih sedikit dibandingkan metode RFLP
(Samuel, 2010).
2.5.2 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah salah satu aplikasi
analisis DNA asli pada penelitian forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik
analisis DNA yang lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena
membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel yang bisanya diperoleh
juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau jamur tidak
dapat digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi
fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi dari sampel yang
kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction endonuclease. Enzim ini memotong
DNA pada pola sekuen tertentu yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi
yang dikenali oleh enzim restriksi). Ada atau tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel
DNA menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan
fragmen tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%. Fragmen
DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan dihibridisasi
spesifik dengan pelacak (probe) DNA berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan
sekuen DNA komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya muncullah pita-pita yang
unik untuk setiap individu (Marks dkk., 1996).

Gambar 2. Proses RFLP


Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi sejumlah DNA tanpa
terdegradasi. Pada persidangan kasus kriminal, hal ini bisa menjadi suatu masalah jika
jumlah DNA sangat sedikit dan kualitasnya rendah. Ini terlihat dari hasil pita-pita sidik DNA
yang tidak tajam. Jumlah pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika
jumlah pitanya berkurang akibat terdegradasi secara statistik menurunkan taraf
kepercayaan. Semakin banyak pita yang cocok akan semakin meyakinkan. Oleh karena itu
pada kasus ini dapat digunakan teknik sidik DNA dengan memperkuat (mengamplifikasi)
daerah spesifik pada DNA yang disebut mikrosatelit dengan satuan pengulangan yang
dinamakan Simple Tandem Repeat (STR). Analisis dengan PCR pada daerah STR tersebut
dapat mengatasi masalah tersebut. Teknik ini dapat menghasilkan data dalam waktu singkat
dan sangat cocok untuk otomatisasi (Yeni Hartati dan Iman Maksum, 2004).
2.5.3 Analisis Mitochondrial DNA (mtDNA)
Sekuen lengkap mtDNA manusia ditentukan pertama kali di laboratorium Frederick
Sanger di Cambridge, Inggris. Sekuen mtDNA manusia disebut juga referensi Anderson dan
ditetapkan sebagai Cambridge Reference Sequence (CRS) (Rapley R, 2007). Molekul
mtDNA merupakan molekul polimer rantai ganda, satu rantai heavy (H) strand dan rantai
lainnya light (L) strand. H-strand kaya akan purin (adenin dan guanin), sedangkan L-strand
didominasi pirimidin (timin dan sitosin). Ketika sel yang aktif secara metabolik diobservasi
dibawah mikroskop elektron, sekumpulan besar mtDNA muncul untuk mengisi tiga struktur
pendek. Struktrur ini mewakili tahap inisial replikasi dan disebut displacement loop (D-loop)
(Rapley R, 2007).
Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menentukan DNA di
sampel yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan RFLP atau STR. Jika DNA pada
inti sel (nukleus) harus diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan menggunakan RFLP,
PCR, dan STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak DNA
dari organela sel yang lain, yaitu mitokondria. Contohnya pada sampel biologis yang sudah
berumur tua sehingga tidak memiliki materi nukleus, seperti rambut, tulang dan gigi, maka
karena sampel tersebut tidak dapat dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat
dianalisa dengan menggunakan mtDNA (Marks dkk.,1996). Semua ibu memiliki DNA
mitokondria yang sama dengan anak perempuannya karena mitokondria pada masing-
masing embrio yang baru berasal dari sel telur ibunya. Sperma ayah hanya berkontribusi
memberikan DNA inti sel (nukleus). Membandingkan profil mtDNA dari seseorang yang tidak
teridentifikasi dengan profil seseorang yang kemungkinan adalah ibunya merupakan teknik
yang penting dalam investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia
puluhan tahun (Lutfig and Richey, 2000).
DNA mitokondria sangat baik untuk digunakan sebagai alat untuk analisis DNA,
karena mempunyai 3 sifat penting, yaitu DNA ini mempunyai copy number yang tinggi
sekitar 1000-10.000 dan berada di dalam sel yang tidak mempunyai inti seperti sel darah
merah atau eritrosit. DNA mitokondria dapat digunakan untuk analisis meskipun jumlah
sampel yang ditemukan terbatas, mudah terdegradasi dan pada kondisi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan analisa terhadap DNA inti. Kedua, DNA mitokondria
manusia diturunkan secara maternal, sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu
yang sama memiliki tipe DNA mitokondria yang identik. Karakteristik DNA mitokondria ini
dapat digunakan untuk penyelidikan kasus orang hilang atau menentukan identitas
seseorang dengan membandingkan DNA mitokondria korban terhadap DNA mitokondria
saudaranya yang segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA mitokondria mempunyai laju
polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali lebih cepat dari DNA inti.
D-loop merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme tertinggi dalam DNA
mitokondria dimana terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat variasi terbesar
antara individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Karena itu, dalam
penentuan identitas seseorang atau studi forensik dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan daerah D-loop DNA mitokondria saja (Yeni Hartati dan Maksum, 2004).
Prinsip pemeriksaan mtDNA secara umum mirip dengan pemeriksaan DNA inti,
dengan perbedaan pada proses genotyping. Prinsip pemeriksaan mtDNA secara skematik
seperti digambarkan sebagai berikut:

Pengumpulan Pengambilan Isolasi DNA


bahan pemeriksaan sampel

mtDNA
Kesimpulan Sekuensig Analisis data PCR

Gambar 3. Tahapan Pemeriksaan mtDNA (Syukriani Y, 2012)

Bagian mtDNA yang diperiksa adalah daerah D-loop, yaitu pada segmen HVS I nt
16.024- 16.383, dipertajam dengan segmen HVS II nt 57- 372. Setelah dilakukan
perbanyakan kedua segmen, dilakukan sekuensing agar urutan DNA segmen dapat dibaca.
Dilakukan sekuensing dua arah yaitu hasil PCR yang disekuensing pada Hchain dan L-
chain. 3 Setelah urutan mtDNA sampel diperoleh dilakukan perbandingan dengan segmen
HVS I dan HVS II pembanding yaitu urutan standar rCRS yang diakses dari genebank. Jika
dua sampel yang diperiksa menunjukkan haplotipe yang berbeda, maka tidak masalah untuk
mengatakan bahwa kedua sampel tersebut berasal dari individu yang berbeda (eksklusi).
Ditetapkan standar minimum dua perbedaan urutan mtDNA HVS I dan HVS II. Jika urutan
mtDNA HVS I dan HVS II dari dua sampel identik atau match, maka orang tersebut tidak
dapat disingkirkan dari kemungkinan individu yang dicari (inklusi). Kesimpulan ini harus
ditunjang dengan probability of identity untuk dapat lebih meyakinkan (Syukriani Y, 2012).
2.5.4 Analisa Short Tandem Repeat (STR)
Teknologi short tandem repeat (STR) adalah analisis forensik yang mengevaluasi
lokus tertentu (lokus pendek) yang didapatkan pada DNA nuklir. Sifat variabel (polimorfik)
daerah STR yang dianalisis untuk pengujian forensik meningkatkan diskriminasi antara satu
profil DNA dan DNA lainnya. Misalnya, kemungkinan bahwa dua individu (kecuali kembar
identik) akan memiliki profil DNA 13-lokus yang sama bisa setinggi 1 dalam 1 miliar atau
lebih (National Institue of Justice. 2012)
STR merupakan core DNA, sehingga ia diturunkan menurut hukum Mendel dari kedu
aorang tua. Pada setiap lokus STR, setiap anak memiliki dua buah alel, dimana satu berasal
dari ibunya (DNA maternal) dan satu alel dari ayahnya (DNA paternal) (Atmadja, Djaja Surya
dan Untoro, Evi, 2008). Analisis STR dalam bidang forensik dapat dilakukan dengan dua
pendekatan yaitu analisis ayah-anak-ibu (FCM analysis) dan analisis pembandingan
(matching analysis). Pada analisis FCM dilakukan pembandingan alel STR tersangka ayah
(F), anak (C, dan ibu (M) dicari apakah DNA paternal anak ada padanya atau tidak dengan
salah satu DNA tersangka ayah. Adanya kesesuaian pada semua lokus STR yang diperiksa
menunjukkan bahwa tersangka ayah adalah ayah biologis dari anak tersebut. Ketepatan
kesimpulan ini dikalkulasi melalui penghitungan Paternity Index (PI) dengan memakai data
frekuensi alel pada populasi yang sama. PI adalah suatu angka yang menyatakan berapa
kali seorang tersangka ayah lebih mungkin menjadi ayah biologi dari seorang anak jika
dibandingkan pria lain yang diambil secara acak dari populasi yang sama. Semakin tinggi PI
pada analisis FCM, semakin tinggi keyakinan bahwa tersangka ayah memang ayah biologis
anak tersebut (Atmadja, Djaja Surya dan Untoro, Evi, 2008).
Pada analisis pembandingan (matching analysis) dilakukan pembandingan antara
dua set profil DNA dari dua buah sampel. Atas dasar ketentuan bahwa semua sel dari
individu yang sama memiliki profil DNA yang sama, maka dua sampel yang memiliki profil
DNA yang sama pastilah berasal dari individu yang sama. Analisis ini dilakukan untuk
melacak sumber bahan biologis berupa cairan maupun bercak (darah, liur, mani), rambut,
jaringan, dan lainnya. Setelah didapatkan dua profil DNA adalah identik, maka harus
dilakukan penghitungan Match Probability (MP) yang dikalkulasi dengan menggunakan data
frekuensi alel yang terdapat dalam populasi yang sama. MP adalah suatu angka yang
menyatakan bahwa sampel tertentu sekian kali lebih mungkin dari seorang individu,
dibandingkan individu lainnyayang diambil secara acak dari dalam populasi yang sama
(Atmadja, Djaja Surya dan Untoro, Evi, 2008).
2.5.6 Y-Short Tandem Repeats (Y-STRs)
Y- STRs adalah STRs yang ditemukan pada kromosom Y. Y- STRs dapat diperiksa
menggunakan jumlah sampel kecil dan rusak dengan metode dan alat yang sama dengan
pemeriksaan STRs pada kromosom autosomal. Karena kromosom Y hanya terdapat pada pria maka
Y- STRs dapat berguna untuk menyaring informasi genetik yang spesifik dari priayang yang
menjadi sampel. Pemeriksaan Y- STRs dapat digunakan untuk memeriksa sampel tanpa
sperma yang bercampur antara sampel laki-laki dan perempuan, seperti sampel darah atau
air liur yang diambil dari korban kasus perkosaan. Pemeriksaan ini juga dapat
mendeteksi profil pria ketika hanya profil wanita yang tampak jelas saatmenggunakan STRs.
Karena kromosom Y tidak mempunyai homolog pada genom manusia, maka disebut hemizygous.
Kromosom Y tidak mempunyai partner yang sama seperti pada kromosom autosomal.
Walaupun ia berpasangan selama pembelahan sel, rekombinasi genetik yang terjadi hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali, hal ini diwariskan kepada keturunannya. Y- STRs sangat
berguna untuk menyelesaikan kasus disputed paternity pada anak laki-laki, karena
kromosom Yditurunkan oleh ayah kepada anak laki-laki (Samuel, 2010)
2.5.7 CODIS (Combined DNA Index System)
CODIS merupakan analisis DNA yang baru dikembangkan FBI. FBI memilih 13 STR
yang digunakan sebagai deretan lokus utama standar dan meningkatkan pengembangan
kemampuan laboraturium untuk melakukan pemeriksaan pada lokus tersebut. Laboratorium
di seluruh dunia menggunakan lokus yang sama. Pengumpulan 13 lokus utama meningkatkan
kemampuan diskriminasi. Kemungkinan ditemukan kecocokan antara dua orang yang tidak
berhubungan berdasarkan random di Caucasian Amerika adalah satu diantara 575 trilyun.
Angkakemungkinan ini lebih kecil dibandingkan UK system. FBI secara aktif dilibatkan dalam
pengumpulan data frekuensi populasi pada grup dan subgrup populasi yang berbeda. Populasi ini
kemudian dibagi lagi, misalnya data dari Jepang, Cina, Korea dan Vietnam. Pada dunia
bagian barat terdapat data untuk Bahamian, Jamaica dan Trinidadian. FBI menyediakan
software sebagai fasilitas pada penggunaan CODIS, termasuk pelatihan penggunaan sistem
serta menyediakan dukungan bagi laboratorium untuk melakukan analisis DNA. CODIS
menggunakan dua indeks atau putunjuk untuk melakukan pemeriksaan pada kasus kriminal
dengan analisis dna. Convicted Offender Index mengandung profil narapidana yang melakukan
tindakan kriminal. The Forensik Index mengandung profil DNA dari fakta yang
didapatkan pada kasus criminal misalnya darah atau semen. Kedua indeks inididapatkan
dengan computer (Samuel, 2010)
2.6 KelebIhan Tes DNA

Beberapa kelebihan tes DNA dibandingkan dengan pemeriksaan konvensional lainnya


adalah sebagai berikut:
1. Ketepatan yang lebih tinggi.
Tidak seperti sidik jari pada ujung jari seseorang yang dapat diubah dengan
operasi, sidik DNA tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun.
Bahkan, sidik DNA mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada
setiap individu. Oleh karena itu sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi yang
sangat akurat (Lutfig and Richey, 2000)
2. Kestabilan yang tinggi.
Pada kasus-kasus dimana bukti sebagai sampel sudah membusuk, maka
hanya tes DNA yang masih dapat dilakukan, karena DNA bersifat tahan pembusukan
dibandingkan protein.
3. Pilihan sampel yang luas.
Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA,
tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian
dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus kasus forensik, sperma, daging, tulang,
kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian
perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes DNA (Lutfig and Richey, 2000).
4. Dapat mengungkap kasus sulit
Hanya tes DNA yang dapat dilakukan untuk pemecahan kasus-kasus sulit
yang tidak dapat dipecahkan oleh metode konvensional antara lain seperti:
penentuan keayahan, kasus incest, kasus paternitas dengan bayi dalam kandungan,
kasus paternitas dengan bayi yang sudah meninggal dan kasus paternity tanpa
kehadiran sang “ayah”.
5. Dapat mengungkap kasus perkosaan dengan banyak pelaku, pemeriksaan DNA
dapat memastikan berapa orang pelaku dan siapa saja pelakunya.
6. Sensitifitas yang amat tinggi
Sensitifitas tes DNA dapat mencapai 99,9 %. Tes DNA juga dapat dilakukan
pada sampel dengan jumlah kecil dengan metode PCR.
7. Tidak butuh sampel yang banyak
Tes sidik DNA menjadi pilihan dalam penyelidikan kasus-kasus forensik
dibanding teknologi konvensional seperti serologi dan elektroforesis karena kedua
tes ini hanya mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan
sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya membutuhkan
sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots misalnya sudah mampu
menedeteksi loki polimorfisme dengan materi DNA sekecil 60 nanogram, sedangkan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya memerlukan DNA sejumlah
beberapa nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang bukti
yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka
metode yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks dkk. 1996).
2.6.1 Perbandingan Tes sidik DNA dengan Pemeriksaan Sidik Jari dan Teknik
Polimorfik Protein
Sejak sidik DNA berkembang dengan pesat dan digunakan sebagai alat untuk
tujuan-tujuan forensik maka sebaiknya dilakukan perbandingan dengan metode tradisional.
Dari seluruh alernatif yang ada, pernyataan dari saksi kurang bisa diandalkan, sedangkan
visualisasi sidik jari dapat digunakan tetapi kurang kuat dibandingkan analis DNA. Karena
pada kasus kriminalitas professional sidik jari sukar ditemukan. Pemeriksaan dengan HLA,
antigen golongan darah (ABO) dan marker protein lain akan sangat berguna tetapi agar
dapat dipertanggungjawabkan dibutuhkan sampel segar dalam jumlah yang banyak.
(Hornstar and Yang, 1993). Oleh karena itu jenis-jenis pemeriksaan ini tidak dapat
digunakan untuk korban kecelakaan, kriminalitas dengan kondisi tubuh hancur atau sudah
mengalami pembusukan.
Tes DNA mempunyai keuntungan yang jelas dibandingkan metode-metode tersebut
karena analisis DNA lebih kuat dan hanya membutuhkan sedikit sampel serta sedikit
pengawetan sampel dibandingkan metode klasik, dan karena marker lebih efektif dalam
membedakan individu sehingga dapat lebih mudah menjelaskan tersangka yang tidak
bersalah dalam suatu kasus pengadilan. Kira-kira 37% dari kasus federal di USA dengan
menggunakan teknik ini menyimpulkan ekslusi dari tersangka. (Nishimi, 1992)
Kekurangan yang utama dalam teknik ini dibandingkan dengan metode klasik adalah
tingginya biaya, peralatan dan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun teknik ini terus
berkembang dan menjadi populer diseluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
ICRC (International Committee of the Red Cross). 2013. (Website: www.icrc.org
diakses pada 21 Oktober 2017 pukul 10:15)
Gani, MH. 2002. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas, Padang, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai