PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan DNA.
2. Untuk mengetahui DNA dapat menjadi penciri suatu individu.
3. Untuk mengetahui sumber perolehan DNA dan mengetahui tahap-tahap isolasi
DNA.
4. Untuk mengetahui metode-metode pemeriksaan tes DNA secara forensik.
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan tes DNA.
1. Sebagai bekal dalam menjalani profesi sebagai dokter muda dalam melakukan
proses identifikasi pemeriksaan berdasarkan tes DNA.
2. Dapat mengembangkan ilmu kedokteran forensik khususnya dalam mengidentifikasi
berdasarkan pemeriksaan DNA.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Identifikasi forensik pada bagian tubuh manusia sangat penting untuk alasan legalitas
dan kemanusiaan terutama untuk informasi pada kerabat yang masih hidup (ICRC, 2013).
Identifikasi berdasarkan temuan anatomi dan medis dibedakan menjadi dua aspek, yaitu
(Saukko et Knight, 2016):
1. Pembentukan kelompok luas tertentu, seperti jenis kelamin, perawakan (pendek atau
tinggi), keturunan dan umur. Ini dapat ditentukan semata-mata dari sisa-sisa jasmani
yang ada, meskipun pembuktian dapat diperoleh dari bukti lain. Contoh yang jelas
adalah penentuan seks dari pakaian dan perhiasan, meskipun hal ini mungkin tidak bisa
dapat dipercaya sepenuhnya.
2. Perbandingan antara sisa tubuh dengan informasi ante-mortem dan catatan dari orang-
orang yang dianggap sebagai korban
Identifikasi forensik pada bagian tubuh manusia secara umum meliputi tiga tahap
investigasi: (1) riset latar belakang; (2) penemuan sisa-sisa bagian tubuh; (3) analisis
laboratorium dan persetujuan. Identifikasi forensik pada sisa bagian tubuh manusia
merupakan ketentuan legal (disegel oleh tanda tangan otoritas yurisdiksi pada sertifikat
kematian) berdasarkan kesesuaian ilmiah pada informasi orang hilang dan bagian sisa
tubuh yang belum teridentifikasi. Identifikasi membutuhkan pendekatan holistik yang
menggunakan semua cara ilmiah dan bukti kontekstual (ICRC, 2013).
Menentukan identifikasi personal dengan tepat sangat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu
kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang
membusuk, terbakar, dan bencana alam yang mengakibatkan banyak korban meninggal,
serta potongan tubuh manusia atau kerangka (Gani, 2002).
2.1.1 Perolehan Data Identifikasi
2.1.1.1 Riset Latar Belakang
Investigasi pertama dibutuhkan untuk menentukan lokasi, penelitian, pengumpulan
data dan mengorganisasi informasi yang tersedia pada orang yang hilang atau keberadaan
sisa tubuh. Informasi ini dapat meningkatkan proses identifikasi dalam beberapa cara,
misalnya dengan (ICRC, 2013):
• Menguatkan pernyataan saksi tentang di mana dan kapan orang yang hilang itu
terakhir terlihat
• Memberikan rincian spesifik untuk perbandingan dengan karakteristik yang tercatat
pada sisa-sisa yang dipulihkan
• Membantu penyidik menemukan kemungkinan tempat penguburan.
Pemerolehan informasi seseorang sebelum dia menghilang sangatlah penting.
Informasi ini disebut ante-mortem data (AMD) yang dapat diperoleh dari anggota keluarga
dan kerabatnya. AMD pada orang hilang biasanya meliputi informasi berikut (ICRC, 2013):
• Informasi pribadi/sosial umum (nama, usia, alamat rumah, tempat kerja, perkawinan
status, dll)
• Penampilan fisik (tinggi badan, berat badan, warna mata, warna rambut, dll)
• Riwayat medis gigi (patah tulang, penyakit, gigi hilang, mahkota gigi, tambalan, dll.)
• Ciri khas (kebiasaan [misalnya merokok], karakteristik unik, seperti bekas luka,tanda
lahir atau tato)
• Pakaian dan barang pribadi lainnya yang orang hilang tersebut pakai atau bawa saat
dia terakhir kali terlihat
• Hal apa pun yang berhubungan dengan kehilangan tersebut.
Sebagai tambahan, sampel biologis yang diambil dari relatif orang hilang (dan/atau
sampel dari orang hilang yang didapatkan sebelum hilang) dapat dikumpulkan untuk
kepentingan proses identifikasi. Keluarga dan kerabat dari orang hilang merupakan sumber
informasi paling berharga. Biasanya, anggota keluarga akan melakukan pencarian oleh
mereka sendiri, untuk mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya pada orang hilang
tersebut (ICRC, 2013).
2.1.1.2 Penemuan Sisa-Sisa Bagian Tubuh
Penemuan dan manajemen sisa tubuh yang benar dan bukti terkait (misal baju,
barang pribadi, dan bukti lainnya) adalah komponen vital dalam identifikasi forensik dan
dapat membantu mengklarifikasi nasib orang yang dimaksud. Secara ideal, arkeologis
forensik harus melakukan proses ini, terutama pada keadaan pengambilan yang kompleks
(pemakaman klandestin (secara rahasia), kuburan massal, penyebaran tanah yang luas
seperti yang bisa terjadi di pesawat crash, dll). Keahlian dan pengetahuan mereka dapat
memastikan pengambilan sisa tubuh dengan benar dan mencari informasi tambahan
sebanyak mungkin untuk proses identifikasi (ICRC, 2013).
Secara keseluruhan, pemerolehan sisa tubuh meliputi tiga fase (ICRC, 2013):
1. Melokasi sisa tubuh
2. Pemetaan sisa tubuh dan seluruh situs serta dokumentasi seluruh informasi
relevan
3. Penerimaan sisa tubuh secara baik, melabel, dan mengamankannya saat
transportasi yang mana kesulitan berbeda-beda tiap individual
Sisa tubuh manusia dapat ditemukan dalam berbagai setting, indoor (didalam gedung
atau diantara bangunan runtuh) dan outdoor (situs kuburan, pada tanah, pada daerah
berair, sumur, atau gua). Terdapat banyak metode dan peralatan untuk menemukan sisa
tubuh namun tidak ada alat untuk mendeteksi keberadaan tulang. Informasi terbaik untuk
penentuan lokasi adalah dari saksi (ICRC, 2013).
2.1.1.3 Analisis Laboratorium dan Persejutuan
Setelah mayat-mayat tersebut didapatkan dengan benar, mereka harus dikirim untuk
analisis laboratorium dan rekonsiliasi, yang menjawab lima pertanyaan utama (ICRC, 2013):
• Apakah jasad manusia atau bukan manusia?
• Apakah jenazah terkait dengan konflik / bencana / situasi yang dimaksud?
• Berapa banyak individu yang dipulihkan tetap mewakili?
• Siapa mereka? Apa saja IDENTITAS mereka?
• Apa penyebab kematian?
Langkah pertama dalam analisis dan rekonsiliasi laboratorium adalah
mempersiapkan dan memeriksa jenazah. Ini harus dilakukan oleh para ahli yang terlatih
secara khusus (ahli patologi forensik, antropolog, odontologi, dan lain-lain) yang
mengumpulkan informasi - data post-mortem (PMD) - tentang tetap dan bukti tidak langsung
(ICRC, 2013).
PMD dapat mencakup jenis informasi berikut (ICRC, 2013):
• Informasi umum tentang jenazah (rentang usia, jenis kelamin, tinggi badan, dll.)
• fakta medis dan gigi termasuk karakteristik unik dari jenazah (tanda-tandapatah
tulang tua atau bukti pembedahan, kondisi gigi dan adanya apapun pekerjaan gigi
seperti tambalan, dll)
• Kerusakan trauma dan post-mortem pada jenazah (disengaja dan tidak
disengaja)
• informasi sidik jari
• Data DNA
• Pakaian dan barang-barang pribadi ditemukan dengan jenazah
• Informasi tidak langsung tentang jenazah (di mana mereka ditemukan dan
bagaimana mereka berada di lokasi tersebut, termasuk kesaksian saksi, dll.)
2.1.2 Karakteristik yang Ditemukan pada Tubuh Jenazah
2.1.2.1 Wajah
Walaupun dalam keadaan Jenazah baru, pengenalan mungkin saja sulit dilakukan
karena adanya perubahan bentuk wajah dikarenakan kematian. Hal tersebut merupakan
kejadian yang wajar terjadi pada ruang rumah duka oleh keluarga dekat, bahkan orang tua
atau pasangan, memiliki keraguan untuk menolak atau salah menerima identitas dari orang
yang meninggal tersebut, Karena, stress dan emosi bermain peran, sehingga ada
perubahan persepsi mungkin ditemukan. Adanya hypostasis, pendataran akibat sentuhan,
edema, flaccid otot, dan pucat bila digabungkan akan mendistorsi bentuk wajah.
Pengenalan pada orang hidup sebagian karena proses dinamik, dibantu oleh tonus wajah
dan terutama kontak dan pergerakan mata, yang mana semuanya tidak ada pada mayat
(Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.2 Warna Mata
Dalam jenazah baru, warna mata sesuai dengan keadaan hidup, tapi cepat
memburuk. Hilangnya ketegangan intraokular dan kelonggaran kornea berkembang secara
progresif dalam beberapa jam, membuat iris lebih sulit diamati. Rusaknya bagian depan bola
mata terjadi dalam satu atau dua hari dan, dengan mulainya pembusukan, semua iris
cenderung menjadi gelap sampai coklat. Tidak baik apabila bergantung pada warna mata
sebagai kriteria identitas apabila jenazah lebih dari beberapa hari setelah kematian - atau
bahkan lebih cepat lagi dimana kondisi lingkungan mempercepat dekomposisi (Saukko et
Knight, 2016).
2.1.2.3 Pigmentasi Kulit
Pada tubuh yang tidak rusak dan membusuk, perbedaan etnis dalam pigmentasi kulit
terlihat sangat jelas, meskipun peningkatan melanin sedikit dari ras 'kuning' yang salah pada
ras Asia mungkin tidak dapat dibedakan dari ras Mediterania atau Timur Tengah. Munculnya
pucat mati dan hipostasis post-mortem lebih terlihat daripada variasi antara orang kulit hitam
atau orang Asia utara. Saat pembusukan terjadi, kulit semakin menghilangkan lapisan
berpigmen dan akhirnya pigmentasi menjadi tidak bisa menjadi penanda identitas, meskipun
melanin secara histologis mungkin masih terlihat di lapisan basal epidermis yang masih
ada.Tubuh yang terbakar juga bisa kehilangan kulit berpigmen, baik dengan kerusakan
panas atau oleh endapan jelaga dan produk pembakaran lainnya di permukaan, meskipun
jarang terjadi untuk bisa mengaburkan semua bukti pigmentasi (Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.4 Struktur dan Warna Rambut
Rambut kepala, kemaluan, dan ketiak merupakan bagian tubuh yang paling bertahan
untuk menjadi ciri identifikasi, beberapa ada yang bertahan ribuan tahun pada lingkungan
yang mendukung. Warna rambut aslinya mungkin bisa dapat berubah saat sudah dikubur,
menjadi lebih merah kecoklatan seperti warna bulu serigala dalam waktu 3 bulan.
Kemungkinan adanya perubahan warna secara kimiawi atau bleaching harus dipikirkan
dalam menganalisis forensik dan dipastikan dengan temuan positif lainnya. Struktur rambut
pada ras negroid memiliki warna gelap dan putaran spiral dengan cross-section berbentuk
elips. Pada ras mongoloid pigmentasinya lebih rendah, lurus, dan bila di cross-section
berbentuk silinder. Pada ras kaukasian didapatkan cross-section yang bulat atau ovoid,
namun memiliki variasi warna rambut yang banyak dibandingkan ras lain. Sel dari akar
rambut dapat memberikan profil DNA dan analisis mitokondria DNA (mtDNA) dari batang
rambut memiliki kepentingan tinggi dalam pemeriksaan forensic (Saukko et Knight, 2016).
2.1.2.5 Tato
Kata 'tato' berasal dari bahasa Polinesia 'ta tau', yang berarti 'menandai'. Beberapa
ras seperti Ibans Sarawak dapat ditato di sebagian besar permukaan tubuh mereka, namun
banyak pria dan beberapa wanita di sebagian besar negara memiliki tato lokal, yang bisa
sangat membantu dalam identifikasi. Begitu berada di bawah kulit luar, bahan itu bertahan
lama. Warna seperti biru, hijau atau merah dapat dirusak oleh sel imun dan tercuci ke dalam
sistem limfatik setelah beberapa tahun atau puluhan tahun. Pigmen hitam, biasanya partikel
karbon dalam bentuk tinta India, sangat resisten karena hampir seumur hidup, meskipun
beberapa mungkin dibawa ke kelenjar getah bening regional (Saukko et Knight, 2017).
Gambar 3. Benda mirip tulang yang diduga tulang radius beserta tulang hewan, kayu keras,
dan lainnya (Saukko et Knight, 2016)
2.1.4.2 Menentukan Tulang Manusia
Pengenalan spesies itu penting, namun menentukan tulang tersebut manusia
biasanya mudah, kecuali terdapat fragmentasi tulang. Pertama, ukurannya dinilai, banyak
tulang kecil dan ramping dieksklusi dengan alasan yang jelas. Anatomi makro kemudian
dipelajari, sebagian besar tulang utuh dapat dikenali. Kesulitan timbul dengan tulang yang
lebih kecil dari beberapa hewan, terutama tangan dan kaki, di mana angka, metatarsal dan
metakarpal memerlukan perhatian yang cermat untuk membedakannya dari manusia
(Gambar 4) (Saukko et Knight, 2016).
Gambar 4. Persamaan Antara Tulang Ayam (A) Metatarsal Manusia (B) dan Tulang
Panjang Fetus (Saukko et Knight, 2016)
Bila tulang tidak lengkap atau berfragmen, masalah meningkat dengan cepat. Jika
ujung tulang ada, maka bentuk non-manusia mereka mungkin lebih mudah ditentukan,
namun segmen silindris pada tulang tengah memiliki sulit dibedakan, selain ukurannya.
Fragmen tulang yang terbakar juga memiliki masalah yang serupa, yang ditambahkan
kemungkinan adanya distorsi panas dan penyusutan (Saukko et Knight, 2016).
Gambar 6. Tulang Panggul Pria (M) dan Wanita (F) (Saukko et Knight, 2017)
Foramen obturator agak ovoid pada jantan, tapi segitiga pada wanita. Sulkus pra-
aurikular, yang merupakan pelekatan ligamentum sacroiliac anterior, terletak di sebelah
lateral ke sendi sakroiliaka dan biasanya terlihat dengan baik pada wanita tetapi seringkali
tidak ada pada laki-laki. Inlet panggul, yang dilihat dari atas, lebih melingkar pada wanita,
pria berbentuk hati sebagai hasil penonjolan sakrum ke dalam pinggiran posterior (Saukko
et Knight, 2016).
Karakteristik Jenis Kelamin pada Sakrum
Sakrum secara fungsional merupakan bagian dari panggul dan memiliki variasi jenis
kelamin. Sakrum wanita lebar dan memiliki lekuk dangkal, berhubungan dengan yang lebih
besar kanal panggul untuk persalinan. Sakrum lebih pendek pada wanita dan lekukannya
terbatas hampir seluruhnya pada bagian distal di bawah pusat vertebra sakral ketiga.
Sakrum pria mungkin memiliki lebih dari lima segmen, yang jarang terjadi pada wanita.
Kurva pada pria terus berlanjut di seluruh tulang dan bahkan mungkin ada proyeksi ke
depan sedikit dari tulang ekor. Fawcett membandingkan diameter melintang dari vertebra
sacral pertama (CW) dengan dasar dari sacrum (BW). Formula CW × 100 / BW rata-rata 45
pada pria dan 40 pada wanita (Saukko et Knight, 2016).
Karakteristik Jenis Kelamin pada Tulang Panjang
Tulang paha adalah yang paling berguna, panjang dan besarnya menjadi signifikan.
Ada cukup banyak tumpang tindih dengan semua karakteristik seks tulang panjang, namun
seri Brash menunjukkan bahwa tanda maksimum (oblique) pada femur pria sekitar 459 mm,
sedangkan perempuan hanya 426 mm. Angka lain dari Pearson dan Bell menyarankan nilai
rata-rata 447 mm untuk pria dan 409 mm untuk wanita. Dengan menggunakan panjang
miring trochanteric, mereka menyarankan kisaran 390-405 mm untuk wanita dan 430-450
mm untuk pria. Ukuran kepala femoralis diklaim sebagai diskriminasi seks yang lebih baik,
diameter vertikal yang dikatakan oleh Pearson dan Bell lebih besar dari 45 mm pada pria
dan kurang dari 41 mm pada wanita, namun sekali lagi terdapat tumpang tindih pada kurva
distribusi sekitar ukuran 43 mm (Tabel 3.1). Maltby, bagaimanapun, mengukur 43-56 mm
pada pria dan 37-46 mm pada wanita (Saukko et Knight, 2016).
Tabel 1. Tabel Dwight untuk Menentukan Jenis Kelamin Berdasarkan Kepala Femur dan
Humerus dengan Diameter (dalam Milimeter) (Saukko et Knight, 2016)
Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal diatur di dalam KUHP, KUHAP,
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang RI No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya. Pada pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa (Leden,
Marpaung, 1992):
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Dalam pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut (Solichin, Sudjari, 2012):
(1) Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
(2) Hal yang bersifat umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHAP
pasal 133 yaitu (Solichin, Sudjari, 2012):
1) Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yang diilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
DNA atau deoxyribonucleic acid merupakan asam nukleat yang menyusun informasi
genetis pada makhluk hidup. DNA terdapat sebagai rantai ganda (double helix) yang sangat
panjang, mengandung potongan potongan gen sebagai satuan terkecil pengendali sifat dan
ciri morfologi seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk jari dan sifat-sifat khusus pada
manusia (Kartika Ratna Pertiwi dan Paramita Cahyaningrum, 2012).
Dahulu kala, para peneliti menyatakan bahwa materi genetik berada di dalam
struktur yang disebut kromosom dalam inti sel (nukleus). Pada tahun 1927, Griffith dan
Avery mengungkapkan bahwa bakteri memiliki suatu senyawa mengekspresikan sifat sifat
yang berbeda tetapi belum mengetahui dengan jelas penyebabnya. Penelitian lebih lanjut
oleh Avery, MacLeod, dan McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa perbedaan
ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri dari dua pita yang berlawanan
arah, yang akhirnya dikenal dengan DNA. Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan
Francis Crick pada tahun 1953 merupakan temuan penting dalam perkembangan genetika
di dunia. Model struktur DNA hasil analisis Watson dan Crick mampu menjelaskan
bagaimana DNA membawa informasi genetis sebagai cetak biru (blueprint) yang dapat
dicopy dan diperbanyak saat sel membelah sehingga sel-sel baru juga mengandung
informasi genetis yang sama. Inilah mengapa sifat dan ciri fisik seseorang berasal dari
pewarisan orang tua dan nantinya akan diturunkan ke anak cucunya. Terjadinya pewarisan
sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke anak turunannya adalah akibat terjadinya
peleburan kromosom dari sel sperma dan sel telur. Masing masing sel kelamin memiliki 22
autosom dan satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin sekaligus
menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel telur yang telah dibuahi, bakal
calon anak atau zigot, mengandung dua set gen dalam kromosom dengan demikian untuk
setiap pasangan kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah dan
satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan karakter tubuh kita yang
mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ibu (Griffiths dkk.,
1996). Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa (deoksiribosa),
gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk rantai panjang dan berpasangan
secara teratur seperti terlihat pada gambar 1.
Semua kandungan DNA yang ada pada sel dinamakan genom. Genom manusia
terdiri dari genom inti sel (nukleus) dan genom mitokondria. Genom mitokondria
(ekstranuklear), mengandung lebih banyak kromosom, sehingga jika pada kromosom inti,
masing-masing hanya terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria tersusun dari ribuan
copy. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen di dalam mitokondria biasanya
diwariskan dari ibu ke anak karena mitokondria seorang manusia adalah hasil pewarisan
dari ibu. Hal ini disebabkan mitokondria lebih banyak ditemukan di dalam sel telur daripada
sperma. Setelah fertilisasi mitokondria dari spermatozoa juga akan mati sehingga hanya
meninggalkan mitokondria dari sel telur (Griffiths dkk., 1996)
2.4. Tes DNA
2.4.1. Pengertian Tes DNA
Tes DNA merupakan sebuah metode identfikasi fragmen dari asam
deoxyribonukleat, yang diawali dengan ekstraksi sampel DNA dari cairan atau lapisan tubuh
serti rambut , darah dan saliva. Hanya sebagian kecil berkas DNA yang dipakai untuk
pengujian, seperti bagian DNA yang berisi pengulangan urutan basa (variable number
tandam repeats / VNRT) (Romeika, 2013).
Tes DNA ini sangat dipercaya dan sudah diakui keabsahannya dapat
mengidentifikasi seseorang dengan keakuratan mencapai 100 %, sehingga banyak
dimanfaatkan dalam analisis, pihak kepolisian maupun pengadilan khusunya untuk
membantu mengungkap suatu perkara. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa
terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, yaitu dengan peluang satu
diantara satu juta. Jika pun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error
terutama pada kesalahan interpretasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia)
(Kusuma,2012).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah c-DNA dan mt-DNA. Sampel DNA
yang paling akurat digunakan dalam tes adalah c-DNA, karena inti sel tidak bisa berubah.
Sementara mt-DNA dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Namun, keunikan dari pola pewarisan
mt-DNA tersebut sekaligus menjadi kelebihannya, sehingga mt-DNA dapat dijadikan
sebagai marker (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan
kekerabatan secara maternal.
Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan antara DNA
korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat
digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut,
usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus kasus forensik,
sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes sidik DNA (Lutfig and Richey, 2000).
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen
lain yang dibutuhkan adalah (Handoyo, Darmo dan Rudiretna, Ari. 2000):
a. DNA Primer
DNA primer adalah sepasang DNA rantai tunggal atau oligonukleotida pendek yang
memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, dibuat secara sintetis, dan
dirancang agar menempel mengapit pada daerah tertentu yang diinginkan, serta mampu
menunjukkan urutan DNA yang akan diperbanyak, menginisiasi sekaligus membatasi reaksi
pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA.
b. dNTP (deoxynucleoside triphosphate)
dNTP atau building blocks merupakan ‘komponen’ penyusun DNA yang baru. dNTP
terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dCTP (deoksisitidin trifosfat), dGTP (deoksiguanosin trifosfat) dan dTTP
(deoksitimidin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA
yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada
ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat.
Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.
c. Buffer
Buffer yang biasanya digunakan terdiri atas bahan-bahan kimia untuk
mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffernya. Dalam
perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer
rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR
tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung
pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa
biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari
lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”.
d. Ion Logam
Ion logam meliputi ion logam monovalen dan bivalen. Ion logam monovalen yaitu
kalsium dan ion logam bivalen umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja
e. Master-Mix
Master-mix terdiri dari:
32 µl air
5 µl PCR-Buffer (dengan Mg2+)
5µl dNTP-Mix
2 µl D1S80 Primer-Mix
1 µl Taq Polymerase 45 µl (per orang).
Keunggulan PCR dibandingkan RFLP adalah simpel dan mudah dilaksanakan di
laboratorium, hasil diperoleh dalam waktu singkat (dalam beberapa hari), karena kapasitas
produksi segmen DNA yang tidak terbatas maka metode yang berdasarkan PCR
memungkinkan untuk menganalisis DNA dalam jumlah sangat sedikit (Samuel, 2010).
Adapun kekurangan metode PCR adalah mudah terkontaminasi karena jika ada sebuah
molekul DNA bakteri atau kontaminan lain tercampur maka molekul tersebut juga akan
diperbanyak dalam laju yang sama sehingga akan terjadi kesalahan kesimpulan dan
kebanyakan lokus dalam PCR memiliki alel lebih sedikit dibandingkan metode RFLP
(Samuel, 2010).
2.5.2 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah salah satu aplikasi
analisis DNA asli pada penelitian forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik
analisis DNA yang lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena
membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel yang bisanya diperoleh
juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau jamur tidak
dapat digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi
fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi dari sampel yang
kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction endonuclease. Enzim ini memotong
DNA pada pola sekuen tertentu yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi
yang dikenali oleh enzim restriksi). Ada atau tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel
DNA menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan
fragmen tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%. Fragmen
DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan dihibridisasi
spesifik dengan pelacak (probe) DNA berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan
sekuen DNA komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya muncullah pita-pita yang
unik untuk setiap individu (Marks dkk., 1996).
mtDNA
Kesimpulan Sekuensig Analisis data PCR
Bagian mtDNA yang diperiksa adalah daerah D-loop, yaitu pada segmen HVS I nt
16.024- 16.383, dipertajam dengan segmen HVS II nt 57- 372. Setelah dilakukan
perbanyakan kedua segmen, dilakukan sekuensing agar urutan DNA segmen dapat dibaca.
Dilakukan sekuensing dua arah yaitu hasil PCR yang disekuensing pada Hchain dan L-
chain. 3 Setelah urutan mtDNA sampel diperoleh dilakukan perbandingan dengan segmen
HVS I dan HVS II pembanding yaitu urutan standar rCRS yang diakses dari genebank. Jika
dua sampel yang diperiksa menunjukkan haplotipe yang berbeda, maka tidak masalah untuk
mengatakan bahwa kedua sampel tersebut berasal dari individu yang berbeda (eksklusi).
Ditetapkan standar minimum dua perbedaan urutan mtDNA HVS I dan HVS II. Jika urutan
mtDNA HVS I dan HVS II dari dua sampel identik atau match, maka orang tersebut tidak
dapat disingkirkan dari kemungkinan individu yang dicari (inklusi). Kesimpulan ini harus
ditunjang dengan probability of identity untuk dapat lebih meyakinkan (Syukriani Y, 2012).
2.5.4 Analisa Short Tandem Repeat (STR)
Teknologi short tandem repeat (STR) adalah analisis forensik yang mengevaluasi
lokus tertentu (lokus pendek) yang didapatkan pada DNA nuklir. Sifat variabel (polimorfik)
daerah STR yang dianalisis untuk pengujian forensik meningkatkan diskriminasi antara satu
profil DNA dan DNA lainnya. Misalnya, kemungkinan bahwa dua individu (kecuali kembar
identik) akan memiliki profil DNA 13-lokus yang sama bisa setinggi 1 dalam 1 miliar atau
lebih (National Institue of Justice. 2012)
STR merupakan core DNA, sehingga ia diturunkan menurut hukum Mendel dari kedu
aorang tua. Pada setiap lokus STR, setiap anak memiliki dua buah alel, dimana satu berasal
dari ibunya (DNA maternal) dan satu alel dari ayahnya (DNA paternal) (Atmadja, Djaja Surya
dan Untoro, Evi, 2008). Analisis STR dalam bidang forensik dapat dilakukan dengan dua
pendekatan yaitu analisis ayah-anak-ibu (FCM analysis) dan analisis pembandingan
(matching analysis). Pada analisis FCM dilakukan pembandingan alel STR tersangka ayah
(F), anak (C, dan ibu (M) dicari apakah DNA paternal anak ada padanya atau tidak dengan
salah satu DNA tersangka ayah. Adanya kesesuaian pada semua lokus STR yang diperiksa
menunjukkan bahwa tersangka ayah adalah ayah biologis dari anak tersebut. Ketepatan
kesimpulan ini dikalkulasi melalui penghitungan Paternity Index (PI) dengan memakai data
frekuensi alel pada populasi yang sama. PI adalah suatu angka yang menyatakan berapa
kali seorang tersangka ayah lebih mungkin menjadi ayah biologi dari seorang anak jika
dibandingkan pria lain yang diambil secara acak dari populasi yang sama. Semakin tinggi PI
pada analisis FCM, semakin tinggi keyakinan bahwa tersangka ayah memang ayah biologis
anak tersebut (Atmadja, Djaja Surya dan Untoro, Evi, 2008).
Pada analisis pembandingan (matching analysis) dilakukan pembandingan antara
dua set profil DNA dari dua buah sampel. Atas dasar ketentuan bahwa semua sel dari
individu yang sama memiliki profil DNA yang sama, maka dua sampel yang memiliki profil
DNA yang sama pastilah berasal dari individu yang sama. Analisis ini dilakukan untuk
melacak sumber bahan biologis berupa cairan maupun bercak (darah, liur, mani), rambut,
jaringan, dan lainnya. Setelah didapatkan dua profil DNA adalah identik, maka harus
dilakukan penghitungan Match Probability (MP) yang dikalkulasi dengan menggunakan data
frekuensi alel yang terdapat dalam populasi yang sama. MP adalah suatu angka yang
menyatakan bahwa sampel tertentu sekian kali lebih mungkin dari seorang individu,
dibandingkan individu lainnyayang diambil secara acak dari dalam populasi yang sama
(Atmadja, Djaja Surya dan Untoro, Evi, 2008).
2.5.6 Y-Short Tandem Repeats (Y-STRs)
Y- STRs adalah STRs yang ditemukan pada kromosom Y. Y- STRs dapat diperiksa
menggunakan jumlah sampel kecil dan rusak dengan metode dan alat yang sama dengan
pemeriksaan STRs pada kromosom autosomal. Karena kromosom Y hanya terdapat pada pria maka
Y- STRs dapat berguna untuk menyaring informasi genetik yang spesifik dari priayang yang
menjadi sampel. Pemeriksaan Y- STRs dapat digunakan untuk memeriksa sampel tanpa
sperma yang bercampur antara sampel laki-laki dan perempuan, seperti sampel darah atau
air liur yang diambil dari korban kasus perkosaan. Pemeriksaan ini juga dapat
mendeteksi profil pria ketika hanya profil wanita yang tampak jelas saatmenggunakan STRs.
Karena kromosom Y tidak mempunyai homolog pada genom manusia, maka disebut hemizygous.
Kromosom Y tidak mempunyai partner yang sama seperti pada kromosom autosomal.
Walaupun ia berpasangan selama pembelahan sel, rekombinasi genetik yang terjadi hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali, hal ini diwariskan kepada keturunannya. Y- STRs sangat
berguna untuk menyelesaikan kasus disputed paternity pada anak laki-laki, karena
kromosom Yditurunkan oleh ayah kepada anak laki-laki (Samuel, 2010)
2.5.7 CODIS (Combined DNA Index System)
CODIS merupakan analisis DNA yang baru dikembangkan FBI. FBI memilih 13 STR
yang digunakan sebagai deretan lokus utama standar dan meningkatkan pengembangan
kemampuan laboraturium untuk melakukan pemeriksaan pada lokus tersebut. Laboratorium
di seluruh dunia menggunakan lokus yang sama. Pengumpulan 13 lokus utama meningkatkan
kemampuan diskriminasi. Kemungkinan ditemukan kecocokan antara dua orang yang tidak
berhubungan berdasarkan random di Caucasian Amerika adalah satu diantara 575 trilyun.
Angkakemungkinan ini lebih kecil dibandingkan UK system. FBI secara aktif dilibatkan dalam
pengumpulan data frekuensi populasi pada grup dan subgrup populasi yang berbeda. Populasi ini
kemudian dibagi lagi, misalnya data dari Jepang, Cina, Korea dan Vietnam. Pada dunia
bagian barat terdapat data untuk Bahamian, Jamaica dan Trinidadian. FBI menyediakan
software sebagai fasilitas pada penggunaan CODIS, termasuk pelatihan penggunaan sistem
serta menyediakan dukungan bagi laboratorium untuk melakukan analisis DNA. CODIS
menggunakan dua indeks atau putunjuk untuk melakukan pemeriksaan pada kasus kriminal
dengan analisis dna. Convicted Offender Index mengandung profil narapidana yang melakukan
tindakan kriminal. The Forensik Index mengandung profil DNA dari fakta yang
didapatkan pada kasus criminal misalnya darah atau semen. Kedua indeks inididapatkan
dengan computer (Samuel, 2010)
2.6 KelebIhan Tes DNA