6 Alwi
6 Alwi
ABSTRAK
Lahan rawa pasang surut di Indonesia memiliki peranan makin penting dan strategis bagi
pengembangan pertanian terutama mendukung ketahanan pangan Nasional. Hal ini
disebabkan oleh potensi serta produktivitas lahan dan teknologi pengelolaannya sudah
tersedia. Luas lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian
khususnya tanaman padi masih tersedia cukup luas. Berbagai kendala yang dihadapi dalam
usahatani padi di lahan rawa pasang surut antara lain: (1) tingkat kesuburan lahan rendah,
(2) infrastruktur yang masih belum berfungsi secara optimal, (3) tingkat pendidikan petani
masih rendah, (4) indeks panen masih sekali tanam setahun, dan (5) tingginya serangan
organisme pengganggu tanaman. Ke depan kontribusi lahan rawa pasang surut terhadap
produksi padi akan semakin besar mengingat: (1) lahan yang dapat dijadikan sawah masih
luas, (2) peningkatan produktivitas lahan, indeks panen, dan penurunan kehilangan hasil
dapat dilakukan melalui penerapan komponen teknologi usahatani padi mencakup:
penataan lahan dan sistem tata air, jenis komoditas dan varietas toleran, pengelolaan lahan,
ameliorasi dan pemupukan, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman),
penanganan panen dan pasca panen. Agar tujuan dan sasaran pengembangan usahatani padi
dapat tercapai dengan baik, maka semua upaya hendaknya dilakukan terencana, cermat, dan
hati-hati mengacu pada optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya yang ada.
Menuju tahun 2025 mendatang, Indonesia dituntut untuk mampu mencukupi minimal 95%
dari kebutuhan beras Nasional. Upaya pemenuhan kebutuhan beras Nasional akan ditempuh
melalui dua cara: (1) peningkatan produktivitas padi dengan laju pertumbuhan 1,0-1,5% per
tahun dan (2) peningkatan areal panen padi melalui peningkatan intensitas tanam (IP),
pengembangan di areal baru, termasuk sebagai tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan
bukaan baru.
Pendahuluan
Penduduk Indonesia dalam kurun waktu empat puluh tahun ke depan masih akan
terus bertambah dengan laju pertumbuhan sekitar 1,5% tahun-1, sehingga kebutuhan akan
pangan juga terus meningkat. Agus dan Irawan (2007) memperkirakan pada tahun 2025
Indonesia akan mengimpor beras sekitar 11,4 juta ton jika konversi lahan sawah tetap terjadi
dengan laju 190.000 ha th-1 dan pencetakan sawah baru hanya 100.000 ha th-1. Di luar Jawa
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 46
sekitar 830.439 ha yang tersebar di Kalimantan 333.601 ha, Sumatera 485.679 ha, Sulawesi
2.504 ha dan Papua 8.655 ha.
Tabel 1. Luas lahan rawa pasang surut potensial yang sudah dan belum direklamasi, 2006
Luas Lahan Sudah Direklamasi (ha) Belum
Direklamasi
Pulau Pemerintah Masyarakat Jumlah Total (ha)
(ha)
Kalimantan 500.228 551.980 1.052.208 445.630 1.497.838
Sumatera 814.582 623.765 1.438.347 573.340 2.011.687
Sulawesi 81.922 101.705 183.627 459.116 642.743
Papua - 8.655 8.655 4.208.295 4.216.950
Jawa 36.369 114.608 150.977 15.513 166.490
Total 1.433.101 1.400.713 2.833.814 5.701.894 8.535.708
Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang pengelolaannya memerlukan
genangan air. Oleh karena itu, sawah selalu mempunyai permukaan datar atau didatarkan
(dibuat teras), dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan. Berdasarkan
sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi
sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah pasang surut
adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan air pasang dan surut serta letaknya di
wilayah datar tidak jauh dari laut. Sumber air sawah pasang surut adalah air tawar dari
sungai yang karena adanya pengaruh pasang dan surut air laut dimanfaatkan untuk mengairi
sawah melalui saluran irigasi dan drainase. Sawah pasang surut umumnya terdapat di sekitar
jalur aliran sungai besar yang dapat di pengaruhi oleh pasang dan surut air laut
(Puslitbangtanak, 2003).
Luas baku lahan sawah pasang surut di Indonesia berdasarkan hasil sensus pertanian
(BPS 2008) adalah sekitar 657.000 hektar. Luas dan sebaran lahan sawah pasang surut di
tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) masing-masing 324.231, 331.072
dan 1.584 ha. Berdasarkan hasil kesepakatan berbagai instansi/lembaga terkait dengan luas
dan sebaran lahan sawah diantaranya BPN, Kementan, PU, Bakosurtanal, dan Lapan yang
selanjutnya dikoordinasikan oleh BPN, maka disepakati luas baku lahan sawah sawah
pasang surut 407.594 hektar atau 5,03% dari luas lahan sawah di Indonesia (Tabel 2).
Tabel 2. Luas lahan sawah pasang surut di masing-masing provinsi pada tiga pulau besar
(Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) tahun 2011
Sumatera Kalimantan Sulawesi
Provinsi Luas (ha) Provinsi Luas (ha) Provinsi Luas (ha)
NAD 1.250 Kalteng 56.724 Sulbar 29
Sumatera Barat 1.358 Kalsel 125.644 - -
Jambi 92.302 Kalbar 20.532 - -
Sumatera 108.500 - - - -
Selatan
Bengkulu 309 - - - -
Lampung 946 - - - -
Total 204.666 202.900 29
Sumber: Ritung, 2011
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 48
Pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut khususnya tanaman padi sering
menghadapi kendala seperti: (1) genangan air dan kondisi fisik lahan, (2) kemasaman tanah
tinggi karena kelarutan aluminium (Al3+), besi ferri (Fe3+), dan sulfat (SO42-) yang tinggi, (3)
ketersediaan unsur hara menurun dan pada kondisi terreduksi sering muncul masalah
keracunan besi ferro (Fe2+), dihidrogen sulfida (H2S), karbon dioksida (CO2), dan asam-
asam organik.
Keracunan besi pada tanaman padi disebabkan karena tingginya konsentrasi besi
terlarut dalam tanah (200-500 ppm). Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi, gejala
keracunan besi dapat dilihat dari jaringan daun yang mengakibatkan penurunan hasil.
Kejadian ini hanya terjadi pada kondisi lahan tergenang, sebagai akibat dari proses reduksi
oleh mikroba yang merubah besi tidak larut (Fe3+) menjadi besi larut (Fe2+) (Beckers dan
Ash, 2005). Dobermann dan Fairhurst (2000); Audebert (2006); Mehbaran et al. (2008)
menyatakan tentang kondisi terjadinya keracunan besi pada tanaman seperti: (1) konsentrasi
Fe2+ yang tinggi dalam larutan tanah karena kondisi reduksi yang kuat pada tanah, (2) status
hara dalam tanah yang rendah dan tidak seimbang, (3) kurangnya oksidasi akar dan
rendahnya daya oksidasi akar (ekslusi Fe2+) oleh akar yang disebabkan karena defisiensi
hara P (fosfor), Ca (kalsium), Mg (magnesium), dan K (kalium), (4) Kurangnya daya
oksidasi akar akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat respirasi (H2S,
FeS, dan asam-asam organik), (5) aplikasi bahan organik dalam jumlah besar yang belum
terdekomposisi, dan (6) suplai Fe secara terus-menerus dari air bawah tanah atau rembesan
secara lateral dari tempat yang lebih tingggi.
Berbagai kegagalan dan keberhasilan telah mewarnai kegiatan pengembangan lahan
rawa pasang surut. Terjadinya lahan bongkor misalnya, yaitu lahan yang ditinggalkan petani
karena telah mengalami oksidasi pirit sehingga produksinya sangat rendah, merupakan
akibat dari reklamasi yang kurang tepat. Kegagalan ini dapat menjadi pelajaran dalam
pengembangan lahan sulfat masam di masa yang akan datang. Potensi lahan rawa pasang
surut yang demikian besar dapat dimanfaatkan untuk menunjang pogram peningkatan
ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian.
Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian bahwa lahan rawa pasang surut dapat
menjadi basis pengembangan ketahanan pangan untuk kepentingan jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang. Oleh karena itu, investasi pemerintah dan swasta dalam
pemanfaatan lahan rawa seyogianya dapat lebih ditingkatkan.
Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan rawa pasang surut sangat beragam dan tergantung pada kondisi
tanah, tata air serta penerapan teknologi terutama teknologi pengeloloaan lahan dan varietas
yang ditanam. Berdasarkan tipologi lahan, produktivitas padi sawah eksisting di lahan sulfat
masam potensial berkisar antara 3,2-4,0 t GKG ha-1, di lahan sulfat masam aktual berkisar
2,6-3,5 t GKG ha-1, di lahan gambut berkisar antara 2,7-3,0 t GKG ha-1, dan lahan salin
berkisar antara 2,6-3,9 t GKG ha-1. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi
produksi padi pada masing-masing tipologi lahan berkisar 6,3-7,0 t GKG ha-1, pada lahan
sulfat masam potensial 4,5-6.0 t GKG ha-1, lahan sulfat masam aktual 4,0-5,0 t GKG ha-1
dan lahan gambut serta salin 4,0-4,5 t GKG ha-1. Bahkan dengan pengelolaan lahan yang
baik, ketersediaan infrastruktur dan sarana produksi yang memadai, disertai oleh kebijakan
insentif yang tepat, ternyata lahan rawa pasang surut mampu menghasilkan padi 7- 8 ton
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 50
Pembukaan lahan rawa pasang surut beberapa dekade yang lalu akan menstimulasi
perkembangan tanah. Proses tanah utama yang terjadi dan masih berlangsung hingga
sekarang adalah perkembangan fisik, homogenitas, desalinisasi, gleisasi, perkembangan
lapisan coklat dan oksidasi pirit yang berkaitan dengan tanah sulfat masam (Prasetyo, et al.,
1990). Tanah sulfat masam berkembang sebagai akibat drainase bahan induk yang kaya
dengan pirit (FeS2) (Shamsuddin dan Sarwani, 2002). Pirit terakumulasi pada tanah
tergenang yang banyak mengandung bahan organik dan sulfat terlarut yang biasanya berasal
dari air laut. Ketika drainase membawa oksigen melalui tanah tergenang tersebut, maka
pirit akan teroksidasi menjadi asam sulfat. Tanah sulfat masam berkembang jika produksi
asam melebihi kemampuan netralisasi dari bahan induk, sehingga pH tanah turun menjadi
kurang dari 4.
Sekali pirit teroksidasi, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit bereaksi
dengan oksigan. Inilah awal rusaknya lahan rawa pasang surut akibat kemasaman tanah
dan air yang meningkat dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan
perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen (H+), dan sulfat (SO42-)
pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak didrainase. Hal
ini memberikan implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan
jaringan drainase akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan tanah dan air.
Konsten et al. (1990) menunjukkan total SO42- yang tercuci (leached) dari lahan yang
didrainase adalah 3,34 mol m-2 tahun-1, sebanding dengan 1,17 mol pirit m-2 tahun-1 atau
140 g pirit m-2 tahun-1. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol
pirit m-2 tahun-1 yang sebanding dengan 0,59 mol pirit m-2 tahun-1 atau 71 g pirit m-2 tahun-
1
.
Penggenangan dan pengeringan tanah menyebabkan perubahan beberapa sifat kimia
tanah antara lain peningkatan pH tanah, ketersediaan P meningkat, dan kadar Fe 2+ makin
berkurang. Perubahan sifat kimia tersebut berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
tanaman padi (Luki et al., 1990). Takahashi (1999) menyatakan bahwa pengeringan
menyebabkan oksida besi ferri secara bertahap terkeristalisasi menjadi bentuk besi yang
kurang reaktif. Penggenangan berkala merupakan cara yang paling efektif untuk
menghilangkan pengaruh buruk yang timbul akibat penggenagan seperti: akumulasi CO2,
H2S, asam-asam organik, Fe, dan Mn tereduksi. Kondisi oksidasi dan reduksi secara
bergantian dalam tanah dapat menyebabkan penambahan senyawa-senyawa besi ferro.
Sekarang ini telah ditemukan teknologi percepatan perbaikan lahan rawa pasang
surut sulfat masam yang telah mengalami degradasi akibat kesalahan dalam pengelolaan
lahan. Malaui oksidasi tanah secara intensif dan investasi bakteri Thiobacillus feroxidans,
kemudian diikuti dengan pelindian menggunakan air insitu dengan sistem pompanisasi
dapat mempercepat peningkatan produktivitas lahan. Lahan rawa pasang surut sulfat
masam yang tidak dapat ditanami tanaman jika dibiarkan secara alami akan pengalami
perbaikan produktivitas lahan sehingga dapat ditanami tanaman memerlukan waktu 25-30
tahun. Jika menggunakan teknologi tersebut, maka perbaikan produktivitas lahan dapat
berlangsung lebih cepat yaitu 3-5 tahun.
Indeks Pertanaman
Dari sekitar 407.594 hektar lahan sawah pasang surut yang ditanami padi, hanya 10%
areal ditanami dua kali setahun (IP 200) dan sisanya hanya ditanam sekali setahun (IP 100).
Rendahnya indeks pertanaman (IP) ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a)
300 18
CH HH
16
250
Jlh. Curah Hujan (mm)
14
Hari hujan
200 12
150 10
8
100
6
50 4
Juni
Juli
Mart
Mei
Nov
April
Feb
Sept
Agu
Jan
Des
Okt
Bulan
Gambar 2. Pola curah hujan dan hari hujan di lahan rawa pasang surut Kalimantan
Tengah
Berdasarkan pengkajian dan pengalaman di Teluk Belanti I dan II, Kec. Pandih
Batu, Kab. Pulang Pisau, Kalteng penanaman padi dengan IP 300 telah dilakukan. Lahan
usahatani di lokasi ini termasuk lahan rawa pasang surut dengan jenis tanah potensial dan
tipe luapan air B. Air pasang hanya menggenangi lahan sawah pada saat pasang besar,
sedang pada pasang kecil air hanya masuk ke saluran tersier. Persiapan lahan dilakukan
dengan hand tractor dan pengaturan air dengan sistem pipanisasi. Tanam padi pertama
dimulai pada awal musim hujan (Oktober) secara sebar benih langsung. Hal ini dilakukan
mengingat waktu dan tenaga kerja terbatas. Setelah tanam, dilakukan pemeliharaan meliputi
pemupukan, penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit. Panen padi pertama
sekitar Januari. Tanam padi kedua dilakukan minggu kedua Pebruari dan panen sekiar
pertengahan Mei. Kemudian tanam padi ketiga dilakukan awal Juni dan panen sekitar awal
September. Hasil panen padi yang dicapai dangan IP 300 tersebut sekitar 3-4 t GKG ha-1
setiap musim tanam. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan petani dalam budidaya padi
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 52
di lokasi tersebut, terbuka peluang bagi daerah lain di lahan rawa pasang surut dengan tipe
luapan yang sama untuk meningkatkan IP tanaman padi menjadi IP 300.
Hasil proyeksi melalui peningkatan indeks tanam padi dari IP 100 menjadi IP 200 di
lahan rawa pasang surut yang telah dikembangkan sebagai lahan sawah seluas 407.594 ha
dengan target hasi 4,0 t/ha maka diperoleh produksi sebesar 1.630.196 ton gabah. Jika lima
puluh persen saja dari seluruh lahan rawa pasang surut yang telah direklamasi seluas
2.833.814 ha ditanami padi IP 200 dengan target hasil rata-rata 3 t/ha, maka kontribusi lahan
rawa pasang surut terhadap produksi padi nasional adalah 8.501.442 ton gabah. Melalui
perbaikan jaringan infrastruktur sistem pengelolaan air secara makro dan mikro pada
wilayah-wilayah lahan rawa pasang surut yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian,
maka peluang pengembangan lahan sawah baru akan semakin terbuka.
Teknologi Tersedia
Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama
keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan
air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan
pemupukan. Tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi
tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah
terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4)
mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran.
Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di
sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan
dan pengelolaan air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman selain dapat memperlancar pencucian bahan beracun. Sedangkan pengelolaan air
pada saluran tersier bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air
pada saluran dan petakan, dan 3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun
yang terbentuk di petakan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem
pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro bergantung pada tipe luapan air pasang dan
tingkat keracunan. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam
sistem aliran satu arah, sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu
ditabat (disekat) dengan stoplog untuk menjaga permukaan air sesuai dengan kebutuhan
tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.
Penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan
hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat
masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit
akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik.
Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman
padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan
tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah
untuk guludan diambil dari lapisan atas untuk menghindari oksidasi pirit. Sistem surjan
merupakan salah satu contoh penataan lahan rawa melalui diversifikasi tanaman. Lebar
guludan dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m, sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap hektar
lahan dapat dibuat 6−10 guludan dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami padi sawah,
sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan
kelapa.
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 54
lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, Bayur serta berbagai
varietas Siam.
Dua faktor penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit
tanaman adalah (1) kedekatan lokasi lahan rawa pasang surut dengan hutan dan (2)
sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit
terkonsentrasi. Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit diarahkan pada strategi
pengelolaan hama terpadu (PHT) melalui penggunaan varietas tahan dan musuh alami,
teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkungan. Penggunaan pestisida kimia dilakukan
sebagai tindakan terakhir. Sebagai contoh, pengendalian hama tikus terpadu yang
strateginya didasarkan pada kombinasi taktik-taktik pengendalian berdasarkan stadia
tanaman padi di lapangan. Untuk keberhasilan pengendalian hama dan penyakit ini
diperlukan partisipasi aktif petani dan dukungan aparat pemerintah serta sarana dan
prasarana penunjang yang memadai.
Gulma di lahan rawa pasang surut memiliki tingkat perkembangan yang cepat dan
dapat menurunkan hasil padi hingga 74,2%. Gulma yang banyak tumbuh di lahan rawa
pasang surut tipe luapan C dan D adalah gulma darat seperti: alang-alang, gerintingan dan
babadotan. Sedangkan pada tipe luapan A adalah gulma air seperti: eceng gondok,
semanggi, jajagoan dan jujuluk. Kemudian pada lahan tipe luapan B adalah gulma darat dan
gulma air (Noor dan Ismail, 1995). Gulma dapat dikendalikan secara manual atau
menggunakan herbisida. Gulma pada pertanaman padi dapat dikendalikan dengan Diuron
80 WP, Metachlor 500 EC, Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC. Pemberian herbisida
tersebut masing-masing dengan takaran 0,5; 2,0; dan 2,0 l ha-1 satu hari setelah tanam (HST)
diikuti dengan penyiangan secara manual pada umur tanaman 35 HST dapat memberantas
gulma secara efektif. Hasil penelitian Yusuf et al. (1993) pada padi sawah di lahan gambut
memperlihatkan hasil serupa, yaitu penyiangan dengan herbisida DMA 6 takaran 1,5 l ha-1
diikuti dengan cara manual pada umur tanaman 30 HST memberikan hasil sama dengan
penyiangan secara manual dua kali.
Unsur penunjang bagi keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan teknologi hasil
penelitian oleh petani di lahan rawa pasang surut menurut Alihamsyah (2002) mencakup :
(1) peta dan informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah.
Peta dan infromasi karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola
pemanfaatan lahan dan perakitan komponen teknologi pengelolaan lahan dan sistem
usahataninya. Peta tersebut minimal memuat informasi penyebaran tipologi lahan dan tipe
luapan serta sifat fisiko-kimia penting tanah dan air termasuk masalah biofisiknya. Apabila
informasi ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi
wilayah di calon lokasi atau wilayah pengembangan.
Untuk bisa diadopsi dan diterapkan, teknologi hasil penelitian dan pengkajian
tersebut perlu dimasyarakatkan kepada petani dan penyuluh melalui berbagai cara, antara
lain pelatihan dan pembinaan secara intensif serta percontohan dan kunjungan lapang.
Untuk efisiensi, pelatihan bisa dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan kepada
para penyuluh pertanian dan selanjutnya kepada para petani dan kelompoknya yang
dilakukan oleh para penyuluh yang sudah dilatih disertai dengan berbagai percontohan.
Materi pelatihan tidak hanya aspek teknologi tersebut saja, tetapi termasuk pula
berorganisasi, kedisiplinan dan kekompakan serta kerjasama antar anggota kelompok dalam
berusahatani. Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi
juga permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu dukungan lembaga perkreditan
atau keuangan yang dapat menyediakan modal usaha bagi petani secara cepat dengan
Penutup
1. Masih terbuka peluang untuk mengembangkan lahan sawah baru di lahan rawa pasang
surut karena luas lahan yang tersedia masih luas (2.426.220 ha). Pengembangan sawah
dapat dilakukan terutama pada lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan B dan C.
2. Melalui perbaikan produktivitas lahan, produksi padi pada masing-masing tipologi
lahan rawa pasang surut masih bisa ditingkatkan menjadi 6,3-7,0 t GKG ha-1, pada
lahan sulfat masam potensial 4,5-6.0 t GKG ha-1, lahan sulfat masam aktual 4,0-5,0 t
GKG ha-1 dan lahan gambut serta salin 4,0-4,5 t GKG ha-1.
3. Melalui peningkatan peran aparatur pemerintah (penyuluh), pedagang (pengusaha), dan
motivasi petani, serta perbaikan infrastruktur masih terbuka peluang untuk
meningkatkan IP dari 100 menjadi IP 200 bahkan IP 300.
4. Telah banyak teknologi peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut
dihasilkan melalui penelitian, tinggal bagaimana teknologi tersebut di adopsi dan
diterapkan oleh petani.
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 56
Daftar Pustaka
Agus, F. dan Irawan. 2007. Agricultural land conversion as a threat to food security and
environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(3):90-98.
Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. 29 hal.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya
Lahan di Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat.
Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi
(Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan.
Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, IW. Suastika dan B.
Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera
Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. 18 hal.
P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian.
Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U. Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir, Hermanto
dan D.K.S. Swastika. 1998. Prospek pengembangan sistem usaha pertanian modern
di lahan pasang surut Sumatera Selatan. 16 hal. P2SLPS2, Badan Litbang Pertanian.
Aribawa, I. B., M. Noor, dan S. Ali. 1997. Pengaruh pemberian kapur, fosfat, dan
residunya terhadap perubahan kualitas tanah, air, dan hasil padi di tanah sulfat
masam. Kalimantan Sciantiae 18:47-57.
Audebert, A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in low land
rice. In. Audebert, A., L. T. Narteh, D. Killar, and B. Beks. (Ed.). Iron Toxicity in
Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA).
Becker, M. and F. Ash. 2005. Iron toxicity in rice condition and management concept.
Journal of Plant Nutrition and Soil Science 168: 558-573.
Biro Pusat Statistik. 2008. Survei Susut Panen MT 2007/2008. Kerjasama BPS, Ditjen
Tanaman Pangan, Badan Pengendalian Bimas, dan Bolog.
Direktorat Rawa dan Pantai. 2006. Pengembangan Daerah Rawa. 172 hal. Direktorat
Rawa dan Pantai, Dirjen Sumberdaya Air. Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2007. Kebijakan pengembangan lahan rawa dalam
mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Lahan Rawa. 3-4 Agustus 2007. Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice, Nutrient Disorders and Nutrient
Management. Handbook series. Potash and Phosphate Institute (PPI). Potash and
Phosphate Institute of Canada (PPIC) and International Rice Institute.
Gani, A. 2010. Multiguna arang-hayati biochar. Sinar Tani. Edisi 13-19 Oktober 2010.
Konstens, C. J. M., S. Suping, I B. Aribawa, and IPG. Widjaja Adhi. 1990. Chemical
processes in acid sulphate soil in Pulau Petak, South and Central Kalimantan. p. 109-
135. In. AARD/LAWOO. Paper Workshop on Acid Sulphate Soils In The Humik
Tropics. Bogor.
Muhammad Alwi : Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi | 58
Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan
Pengelolaan Rawa dalam Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional. 16
Desember 2009, Hotel Nikko Jakarta. 27 hal.
Sutomo, S. dan K. Suhariyanto. 2005. Data Konversi Lahan Pertanian, Hasil Sensus
Pertanian 2003. BPS-Statistics Indonesia.
Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang
surut dengan penerapan sistem usaha tani terpadu. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25–27 Juli 2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 176−186.
Takahashi, T., C. Y. Park, H. Nakajima, H. Sekiya, and K. Toriyana. 1999. Ferric ion
transformation in soils with rotation of irrigated rice and effect on soil tillage
properties. Soil Sci. Plant Nutr. 45:163-173.
Yusuf, A., Nusyirwan dan E. Rusdi. 1993. Penyiangan gulma padi sawah secara manual
dan kimiawi di lahan gambut. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi
Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Proyek ISDP.
Badan Litbang Pertanian.
Widjaja-Adhi, IP.G. 1995b. Potensi peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan
rawa di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng, 7−8 November 1995. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 1−12.