Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang berdasarkan nila-nilai Pancasila tidak terlepas dari
beberapa aspek yang merupakan sub system dari pembangunan nasional. Salah satu aspek
pembangunan tersebut adalah pembangunan dibidang hukum nasional. 1 Khususnya hukum
yang mengatur perhubungan hukum privat berdimensi public.
Dalam hubungan hukum privat yang berdimensi public ini sesungguhnya tidak
terdapat pemisahan melainkan perbedaan.2 Perbedaan ini dapat dilihat dalam aspek
kepentingan, subyek yang terlibat dan cara mempertahankannya berupa kebijakan hukum. 3
Kebijakan hukum ini harus memperhatikan dimensi yang mempengaruhinya, salah satu
dimensi yang sangat berpengaruh terhadap hukum adalah dimensi budaya yang di
dalamnya tersimpan seperangkat nilai yang menjadi dasar perumusan kebijakan dan
kemudian disusul dengan perbuatan hukum yang mengikat para pihak, sehingga terjadinya
satu kodifikasi yang bercorak unifikasi untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak
yang berkepentingan dalam lapangan hukum kekayaan.4
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda–benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor–kreditor lain.5Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang
termuat dalam defenisi tersebut, yaitu:
a. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
b. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
c. Hak tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan
dengan tanah itu.

1
Abdurrahman, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional Indonesia , Jakarta:
Akademika Persindo, 1998, hal 10.
2
Achmad Roestandi dan Ibrahim Bachtiar, Pengantar Teori Hukum, Bandung; Multi Karya Ilmu, 1983, hal
28.
3
James E. Anderson, Public Policy Making, New York: HoltInehart and Wiston, 1979, hal 3.
4
Marjam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1997, hal 9.
5
Pasal 1 angka 1 Undang-UndangNomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggunngan.

1
d. Hutang yang dijamin haruslah suatu hal tertentu
e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur
lain.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan merupakan hak
jaminan untuk pelunasan hutang (kredit) yang dapat dibebankan pada hak atas tanah,
dengan atau tanpa benda di atasnya dan menimbulkan kedudukan di dahulukan dari pada
kreditur-kreditur lain.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) telah menyediakan Lembaga hak jaminan atas tanah
yang diberi nama Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51, yakni “Hak
tanggungan yang dapat dibebankan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, yang
disebut dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39 diatur dengan Undang-Undang”. Ketentuan pasal
tersebut mengandung 3 dasar pokok berkenaan dengan pengaturan hak-hak jaminan atas
tanah, yaitu:
a. Hak jaminan di negara kita diberinama “Hak Tanggunganya itu suatu bentuk
Lembaga jaminan baru untuk menggantikan berbagai Lembaga jaminan yang ada
dan diakui menurut ketentuan yang berlaku di negara sekarang seperti hipotik,
creditverband, gadai, fidusia, dan lain-lain.
b. Lembaga jaminan yang diberinama “HakTanggungan” ini hanya dapat dibebankan
kepada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan.
c. Mengenai apa yang dinamakan hak tanggungan itu akan diatur dengan suatu
undang-undang tersendiri dalam artian akan ada suatu Undang-Undang tentang
HakTanggungan.
Salah satu tujuan diundangkan Undang-Undang Hak Tanggungan adalah
melaksanakan perintah yang tegas dari Pasal 51 UUPA sehingga meniadakan penafsiran
yang macam-macam tentang pranata jaminan dan sekaligus melaksanakan unifikasi yang
dikembangkan UUPA, yaitu pranata hak tanggungan sebagai pranata jaminan hutang
dengan tanah sebagai jaminan. 6 Undang-Undang tentang Hak Tanggungan ini sangat
berarti di dalam menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional, khususnya dibidang hak
jaminan atas tanah”.7

6
AP Parlindungan, Komentar UUHT dan Sejarah Berlakunya, Mundur Maju, Bandung, 1996, hal 31.
7
Maria Sandjono, Hak Jaminan dan Kepailitan I: HakTanggungan dan AsasPemisahan Horizontal , Nomor
1, Majalah Hukum Nasional, 2000

2
Menurut Soedikno Mertokusumo bahwa undang-undang tidak mungkin lengkap,
undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan
terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dan hakim. 8 Dalam praktek
pelaksanaan penjaminan hak atas tanah sebelum terbitnya UUHT telah terjadi hal-hal yang
tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala
dampaknya.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan
yang modern, maka diperlukan adanya hukum jaminan yang menngatur konstruksi yuridis
yang memungkinkan memberikan fasilitas kredit dengan menjaminkan benda-benda yang
akan diberikan sebagai jaminan. Dengan adanya pengaturan hukum jaminan dan lembaga
jaminan yang dibarengi dengan adanya lembaga kredit yang mampu menyediakan fasilitas
kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu yang lama dan bunga relative rendah.
UUHT bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga hak
tanggungan yang kuat, yang di dalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan persepsi
yang kurang tepat di waktu yang lampau. Adanya penegasan atau pelurusan berkenaan
dengan beberapa masalah tersebut memerlukan perubahan persepsi dan sikap semua pihak
yang berkaitan dengan pelaksanaan hak tanggungan ini.
UUHT merupakan upaya unifikasi lembaga hukum jaminan. Undang-undang ini
memberikan hak kepada kreditur pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek
hak tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur wanprestasi untuk dieksekusi
melalui proses yang singkat dan sederhana, yang pada dasarnya dapat dilakukan dengan
cara lelang dan tidak melalui fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan berdasarkan
Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan Tindakan pelaksanaan perjanjian. 9
Fungsi jaminan secara yuridis materil adalah pelunasan hutang atau kepastian
pengembalian kredit sehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak di inginkan dan terjadi
kemacetan dalam pengembalian kredit dikemudian hari, maka secara hukum jaminan dapat
berperan untuk melunasi hutang debitur melalui eksekusi benda jaminan atau pembayaran
oleh pihak ketiga.
Objek yang dapat dijadikan jaminan kredit bank adalah hak atas tanah. Ketentuan
yang mengatur tentang objek tanah yang dijadikan jaminan dirumuskan dalam UU No. 4
8
Soedikno Mertokusumo dan A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1993, hal 8.
9
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Surat
EdaranNomor: SE/23/PN/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan , butir 2.

3
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik 10. Tanah sebagai
objek hak tanggungan dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu. Hal tersebut dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu
kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa
bangunan permanen, tanaman keras dan hasil karya, dengan ketentuan bahwa benda-
benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain. 11
Masalah yang sering terjadi dalam perjanjian kredit adalah masalah ingkar janji.
Ingkar janji dalam perjanjian kredit dapat berupa keterlambatan pembayaran kredit
sebagaimana diperjanjikan atau dapat pula dalam bentuk kredit macet 12. Adapun
permasalahan lain yang sering terjadi dalam pemberian kredit oleh bank yaitu berkisar pada
surat kuasa membebankan hak tanggungan, pengikatan tanah yang belum bersertifikat,
pengikatan hak-hak atas bangunan yang dapat diikat dengan hak tanggungan dan eksekusi
hak tanggungan.13
Jika terjadi keterlambatan pembayaran maupun kredit macet sebagaimana dalam
perbuatan ingkar janji maka akan ada sanksi yang harus ditanggung. Sanksi bagi
keterlambatan pembayaran berupa keharusan membayar bunga tunggakan (sebagai
denda), sedangkan sanksi terhadap kredit macet secara hukum seharusnya dilakukan
eksekusi benda objek bangunan atau pembayaran oleh pihak ketiga.
Eksekusi benda jaminan dalam praktek perbangkan merupakan upaya terakhir untuk
mengembalikan kredit yang telah disalurkan. Biasanya bank melakukan upaya-upaya
penyelamatan kredit tersebut dan upaya penyelamatan ini akan ditempuh apabila bank
mempunyai keyakinan bahwa prospek usaha debitur masih dapat melancarkan kembali
kredit bermasalah tersebut.14
Upaya eksekusi yang dilakukan karena macetnya kredit bukan merupakan upaya
yang mudah untuk dilaksanakan. Banyaknya kendala yang dihadapi oleh bank dalam
melakukan upaya eksekusi ini. Salah satunya yang berhubungan dengan janji yang terdapat

10
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
11
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah , Jakarta, Djambatan, 1998, hal 45.
12
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada
Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal , Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, Hal 39
13
Muhammad Yamin, Transaksi Berjamin Bagian Pertama Hak Tanggungan Atas Tanah , Medan,
Universitas Sumatera Utara, 2004, hal 4.
14
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia , Bandung, Citra Aditya
Bakti, hal 36.

4
dalam UUHT, yang mana pemberi hak tangggungan akan mengosongkan objek hak
tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan.
Masalah yang mucul biasanya mengenai tata cara mengeksekusi objek hak
tanggungan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai kewajiban pemberi hak tanggungan
untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang dijaminkan pada saat pelelangan. Masalah
lain yang mungkin akan timbul adalah tentang waktu disahkannya pengeksekusian.
Pelelangan selalu akan dapat dicegah apabila hutang dibayar sebelum pelelangan
terlaksana.15 Cara yang biasa dilakukan selama ini jauh lebih adil karena mencegah
penjualan yang dipaksakan melalui pelelangan objek hak tanggungan yang pasti akan
merugikan pemilik objek hak tanggungan itu.

2. RumusanMasalah
Rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kedudukan hak atas tanah sebagai objek jaminan hak tanggungan?
b. Bagaimana tata cara pemberian hak tanggungan dalam pemberian kredit?

c. Mengapa hak tanggungan menjadi dasar dalam jaminan kredit?


d. Apakah kendala yang dihadapi dalam eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian
kredit?

15
Anis Idham, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut, Bandung, Alumni, 1995, hal 19.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Tanah Sebagai Objek Jaminan Hak Tanggungan


Ketentuan mengenai permasalahan tanah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau biasa juga disebut UUPA yang merupakan
ketentuan-ketentuan pokok dari seluruh peraturan mengenai pertanahan di Indonesia yang
bertujuan untuk meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyat dalam perwujudan masyarakat adil dan makmur, serta meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dari sejarah kehidupan manusia dapat diketahui bahwa proses timbulnya hak tanah
terjadi secara evolusi yang ditandai dengan adanya keeratan hubungan manusia dalam
menggunakan tanah secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu 16.
Dengan dikeluarkannya Kepres No. 26 Tahun 1988 yang sudah direvisi menjadi
Kepres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, bahwa
Direktorat Jendral Agraria yang bernaung di Kementerian Dalam Negeri diangkat statusnya
menjadi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki fungsi: 17
1. Merumuskan kebijakan dan perencanaa penguasaan dan penggunaan tanah.
2. Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan
prinsip-prinsip bahwa tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria.
3. Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya
memberikan kepastian hukum dan administrasi dibidang pertanahan.
4. Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib
administrasi.
5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dibidang pertanahan serta pendidikan dan
latihan tenaga-tenaga yang diperlukan dibidang administrasi pertanahan.
Berkembangnya hak tanggungan ini selaras dengan tuntutan kemajuan hukum
masyarakat dalam menjamin hak atas tanah. Hak tanggungan sangat dibutuhkan sebagai
bagian dari tak terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai
16
H. Moh Hatta, Hukum Tanah Nasional DalamPerspektif Negara Kesatuan , Yogyakarta, Media Abadi,
2005, hal 24.
17
M Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 31.

6
agunannya. Dengan adanya fasilitas dan menambah modal usaha kerja akan mudah
diperoleh dengan kredit. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan “dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan”.
Oleh sebab itu usaha untuk mengamankan lembaga jaminan ini berkembang sesuai
dengan harapan masing-masing pihak, perluadanya ketentuan-ketentuan hak tanggungan
yang tegas, mandiri dan konsisten yang dapat mengukur terutama hak tanggungan bila
tanah diaktifkan sebagaijaminan yang akan dimasukkan dalam lembaga pertemuan-
pertemuan ilmiah baik yang bersifat nasional maupun bersifat lokal.
Hak tanggungan atas tanah ini menjelaskan dengan tegas bahwa hak atas tanah
yang dijadikan objek jaminan tersebut. Hak atas tanah tunduk pada hukum benda yang
sebelumnya diatur dalam Buku II KUHPerdata maka dijumpailah sebagian ahli menyebut
bahwa hukum jaminan ini harus diatur dan dilindungi oleh hukum perdata itu sendiri
sehingga kalaupun berkembang harus dikembangkan dalam lingkup hukum perdata.
Kondisi hukum jaminan semenjak diundangkannya Undang-Undang Hak
Tanggungan bukan saja mempengaruhi hukum jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di
Indonesia, namun juga ikut terpengaruh bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan
investasinya khususnya yang berkaitan dengan dunia property atau konstruksi yang
menginvestasikan modalnya berhubungan dengan hak-hak atas tanah.
Hukum jaminan yang disebut dalam KUHPerdata (Hipotheek dan Gadai) masih
berlaku tetapi disesuaikan dengan kondisi UUPA, sementara dalam UUPA ketentuan hukum
jaminan dinyatakan secara tegas yang diatur oleh hukum tanah, baik objeknya maupun
subjeknya yang terbatas pada ketentuan hak atas tanah tertentu. Namun pada UUPA Pasal
51 dan 57 hak tanggungan ini masih dualisme, bahkan sampai pada tahun 1996 masih
disebut pluralism dengan adanya Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang Rumah
Susun yang secara parsial menyinggung tentang hukum jaminan.
Permasalahan yang banyak dihadapi oleh pihak bank sering berkisar pada surat
kuasa memasang hak tanggungan, pengikatan tanah yang belum bersertifikat, pengikatan
hak-hak atas banguan yang dinilai dapat diikat dengan hak tanggungan dan eksekusi hak
tanggungan apabila sampai ke pengadilan. Didalam UUHT apa yang menjadi permasalahan
tersebut sudah cukup mengatur namun undang-undang itu masih dinilai sebagai undang-

7
undang yang keluar dari system. Permasalahan hukum keperdataan harus taat asas karena
tanah yang dijadikan sebagai objeknya merupakan benda yang masih diatur dalam
KUHPerdata. Seyogyanya sebelum undang-undang hak tanggungan disusun terlebih dahulu,
disusun undang-undang hak milik, undang-undang hak jaminan baru kemudian diikat
dengan undang-undang hak tanggungan satu-satunya jaminan atas tanah dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, karena fidusia masih berlaku untuk undang-undang
Perumahan dan Pemukiman, disini asas konsistensi tidak diperhatikan. 18
Dalam undang-undang hak tanggungan, peraturan diakuinya apa yang diatur dalam
undang-undang hak tanggungan merupakan suatu kemajuan selama 35 tahun kondisi
hukum jaminan berada dalam situasi yang tidak menentu.

B. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit

18
Ibid

8
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda–benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur–kreditur lain.19
Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat dalam defenisi
tersebut, yaitu:
a. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
b. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
c. Hak tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)
saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah itu.
f. Hutang yang dijamin haruslah suatu hal tertentu
g. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur
lain
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan merupakan hak
jaminan untuk pelunasan hutang (kredit) yang dapat dibebankan pada hak atas tanah,
dengan atau tanpa benda di atasnya dan menimbulkan kedudukan didahulukan dari pada
kreditur-kreditur lain. Pengertian hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir
1 Undang-Undang Hak Tanggungan di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan
horizontal dalam hukum tanah berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria. Asas pemisahan
horizontal ini menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda
di atas tanah tersebut. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa banyak bangunan
yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan objek hak
tanggungan adalah hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu. Jika hal ini dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara
tegas didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan tersebut
adalah hak atas tanah beserta benda-benda lain di atasnya.
Jika dibandingkan defenisi hak tanggungan dengan defenisi hipotik sebagaimana
diatur dalam KUHPerdata Pasal 1162 yang menyebutkan bahwa hipotik adalah suatu hak
kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya

19
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

9
bagi pelunasan suatu perikatan. Dari defenisi tersebut disebutkan unsur-unsur hipotik
sebagai berikut:
a. Hipotik adalah suatu hak kebendaan.
b. Objek hipotik adalah benda tidak bergerak.
c. Untuk pelunasan suatu perikatan.
Membandingkan antara defenisi hak tanggungan dengan defenisi hipotik, ternyata
pembuat undang-undang hak tanggungan lebih baik dalam membuat rumusan defenisi hak
tanggungan dari padapembuatKUHPerdata. Dalamrumusandefenisihipotikbanyakunsur-
unsur dan hipotik yang belum dimasukkan, sehingga defenisi tersebut masih sangat jauh
untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan hipotik.
Sekalipun rumusan defenisi hak tanggungan lebih baik dari pada rumusan defenisi hipotik
dalam KUHPerdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan hak
tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan defenisinya. 20
Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Hak Tanggungan. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Tanggungan
akan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan. Artinya, apabila hutang (kredit) yang
di jamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian, maka Hak
Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan. Klausula “kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan” dalam Pasal 2 Undang-Undang Hak
Tanggungan, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan
dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut,
sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan
memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas
tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran.
Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan
bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut.
Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, HakTanggungan hanya akan
membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi. 21

20
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh
Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Hak Tanggungan) , Alumni Bandung, 1999, hal 12
21
Ibid, hal 13

10
Objek Hak Tanggungan
Untuk dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak jaminan atas tanah,
suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 22
a. Dapat dinilai dengan uang atau bernilai ekonomis
b. Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan
c. Benda mempunyai alas hak yang wajib didaftar
d. Menunjukkan benda yang dapat dijamin tersebut, haruslah dengan penunjukan khusus
dengan undang-undang.
Dan di dalam pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan diatur tentang berbagai
macam hak atas tanah yang dapat dijadikan objek HakTanggungan, yaitu: 23
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. HakPakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
e. Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Selain hak-hak diatas tanah seperti dikemukakan di atas, yang dapat dijadikan objek
HakTanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada diatas tanah
maupun dibawah tanah) tanaman dan hasilkarya (misalnyacandi, patung, gapura, relief)
yang telah ada atau akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan
yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas
bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut harus dinyatakan dengan tegas didalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud diatas tidak
dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dapat dilakukan dengan penanda tanganan serta (bersama) pada Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemilik bangunan, tanaman dan hasil
karya tersebut, atau yang diberikuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk
menadatangani serta (bersama) Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan akta otentik.

22
BoediHarsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid I Hukum Tanah Nasional , cetakan 12, Djambatan, Jakarta,
2008, hal 386
23
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal 105

11
Yang dimaksud dengan akta otentik adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) atas benda- banda diatas tanah tersebut.
Dengan penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan, disebutkan 2 unsur
mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang
terdapat pada Kantor Pertahanan.
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindah tangankan.
Berdasarkan kedua unsur mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka,
hak milik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan
hakekat perwakafanya kini hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik yang
sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, semua hak atas tanah
yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya tidak dapat
dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek
hak tanggungan, meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan
maupun diatas tanah hak Negara.
Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan Undang-Undang Hak Tanggungan
ini tidak dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut Undang-Undang
Pokok Agraria hak pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga
tidak memenuhi syarat publisitas. Dalam perkembangannya sekarang hak pakai atas tanah
Negara harus didaftarkan, sehingga dapat dipindah tangankan. Hak pakai yang tidak dapat
dipindah tangankan antara lain hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama
badan keagamaan dan sosial, hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang jangka
waktu berlakunya tidak ditentukan dan hak pakai tersebut diberikan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan instansi atau badan diatas.
Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan, karena
hingga saat ini tidak terdapat kewajiban untuk mendaftarkan hak pakai diatas tanah hak
milik. Akibatnya, salah satu syarat mutlak agar suatu hak atas tanah dapat dijadikan objek
hak tanggungan tidak terpenuhi. Menurut Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan,
pembebanan hak tanggungan atas hak pakai diatas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Menurut Undang-Undang, hak tanggungan didaftarkan atas
asas pemisahan horizontal ( horizontal escheiding), sebagai kebalikan dari pemisahan
vertical (vertical escheiding). Menurut BW yang berlaku terdahulu, tanah dan bangunan

12
yang didirikan diatasnya merupakan suatu kesatuan. Dengan kata lain pemilik dari tanah
adalah pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan vertikal.
Menurut hukum adat, bisa saja pemilik tanah berlainan dari pemilik bangunan yang
ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan horizontal dan karena Undang-Undang Pokok
Agraria Tahun 1960 menyatakan bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar, maka
tidak mengherankan jika pemakaian asas horizontal ini dipakai dalam system hak
tanggungan.

Tata Cara PemberianHakTanggungan


Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditur
dan debitur, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan:
1. Membuat perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (atara lain berupa perjanjian
pemberian kredit atau akad kredit) yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan.
2. Membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang dituangkan kedalam akta
pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaris / PPAT.
3. Melakukan pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan yang sekaligus
merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.
Perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian pemberian
kredit yang dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau
dengan akta otentik. Perjanjian ini merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian
pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian tambahan (accessoir) pada perjanjian
pokok. Dalam pemberian hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan
PPAT. Jika dengan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan tidak
dapat hadir sendiri, maka ia wajib menunjuk kuasa dengan surat kuasa membebankan hak
tanggungan yang berbentuk akta otentik. Pembuatan surat kuasa membebankan hak
tanggungan dapat dilakukan oleh notaris / PPAT yang keberadaannya sampai di wilayah
kecamatan.
Hak tanggungan baru lahir Ketika hak tanggungan tersebut dibukukan dalam buku
tanah di Kantor Pertanahan. Pendaftaran menentukan kedudukan kreditur sebagai kreditur
diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain dan menentukan peringkat kreditur dalam
hubungannya dengan kreditur lain yang juga pemegang hak tanggungan atas tanah yang
sama sebagai jaminannya. Peringkat masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan

13
menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang
didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut nomor urut Akta Pemberian Hak
Tanggungan-nya, hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak
Tanggungan atas satu objek hak tanggungan hanya dapat dilakukan oleh PPAT yang sama.
Menurut pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu objek hak tanggungan
dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari
satu hutang. Pemilik tanah atau persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat
menguasai tanah itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat
membebani tanah ditangan siapapun tanah itu berpindah. Menurut Pasal 11 Undang-
Undang Hak Tanggungan, dimungkinkan untuk mencantumkan janji-janji dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Janji-janji yang dicantumkan bersifat fakultatif dan tidak
berpengaruh terhadap keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pihak-pihak bebas
menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Pemuatan janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang kemudian didaftarkan pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-
janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud
antara lain:
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek
hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau
menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang hak tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk
atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari
pemegang hak tanggungan.
3. Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek
hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh ingkar
janji.
4. Janji yang memberikan wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk
menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi

14
objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-
undang.
5. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur ingkar janji. Janji yang
diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa objek hak tanggungan tidak
akan dibersihkan dari hak tanggungan.
6. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak
tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
7. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, apabila
objek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut
haknya untuk kepentingan umum.
8. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
objek hak tanggungan diasuransikan.
9. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada
waktu eksekusi hak tanggungan.

Janji yang dimaksud pada pasal 14 ayat 4 Undang-Undang Hak Tanggungan, karena tanpa
janji ini, sertifikat hak tanah yang dibebani hak tanggungan akan diserahkan kepada
pemberi hak tanggungan.

Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran Hak Tanggungan antara lain adalah:
1. Surat pengantardari PPAT
2. Surat permohonan pendaftaran
3. Identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan
4. Sertifikat asli hak atas tanah
5. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
6. Salinan APHT (untuk lampiran sertipikat Hak Tanggungan)
7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila dilakukan melalui kuasa.

15
C. Mengapa Hak Tanggungan menjadi dasar dalam jaminan kredit.
Istilah kredit berasal dari embag Romawi yaitu “credere” 24 yang berarti kepercayaan.
Oleh karena itu maka dasar dari pemberian kredit sebenarnya adalah kepercayaan atau
keyakinan dari kreditur bahwa debitur pada masa yang akan embag mempunyai kesanggupan
untuk memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Istilah kredit ini tidak ditemukan
dalam BW tetapi diatur dalam Undang-Undang Pokok Perbankan No. 10 Tahun 1998 (UU
Perbankan), Pasal 1 butir 11, dimana pengertian kredit disebutkan sebagai berikut:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan tau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”.
Dari rumusan tersebut diatas dapat diketahui, bahwa kredit merupakan perjanjian
pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebegai debitur. Dalam
perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya bahwa dalam jangka
waktu yang disepakatinya nasabah tersebut akan membayar lunas kredit yang diberikan oleh
bank tersebut. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini
merupakan suatu hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan
penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beebrapa bulan, tetapi dapat juga berjalan
dalam beberapa tahun.25
Di Indonesia bentuk-bentuk embaga jaminan yang mengatur pengikatan jaminan,
antara debitur dengan kreditur diatur oleh undang-undang. Macam-macam jaminan tersebut
adalah:
1. Hipotik, yang dapat dibebankan atas benda-benda tak bergera;
4. Credietverband, yang dapat dibebankan atas benda-benda takbergerak tetapi dalam hal
ini
hanya kreditur-kreditur tertentusaja yang dapat membebani credietverband atas benda tak
bergerak milik si berutang;
5. Hak gadai, hak yang dapat dibebankan atas benda-benda bergerak, termasuk dalam hal
ini

24
Miriam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 19
25
Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 10

16
adalah fidusia. Fidusia timbul berdasarkan kebutuhan yang disebabkan oleh perkembangan
hukum;
4. Borgtocht, dimana seorang pihak ketiga menyatakan kesediaannya untuk menanggung utang
debitur bila pihak yang disebut terakhir tidak dapat melunasi kewajibannya.
Dengan diundangkannya UUHT maka ketentuan-ketentuan tentang hak jaminan atas
tanah, yang berlaku sebelumnya, terutama ketentuan-ketentuan tentang hipotik dan
credietverband kecuali tentang eksekusi hipotik sepanjang sudah diatur dalam UUHT menjadi
hapus.
Sebenarnya ada banyak peraturan lain yang sekalipun tidak tegas dinyatakan
berdasarkan prinsip lex posterior embaga legi priori, tidak berlaku lagi, yaitu peraturan–
peraturan lama yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 51 jo Pasal 57 Undang-
undang Pokok Agraria yang sekarang sudah diatur dalam Pasal 5 UUHT.
Oleh sebab itu maka dengan diundangkannya UUHT telah terjadi suatu perubahan
perundang-undangan dalam bidang hukum jaminan, khususnya yang mengenai persil sebagai
jaminan UUHT.26
UUHT memberikan kedudukan yang istimewa kepada kreditur pemegang Hak
Tanggungan. Dalam penjelasan UUHT angka 3 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan sebagai
embaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya, yang
dikenal sebagai “droit de preference”.
Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang antara lain berbunyi:
“untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”
Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
apabila debitur cidera janji maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk
menjual obyek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang
berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak
mendahului dari pada kreditur lain yang bukan pemegang Hak Tanggungan atau kreditur
pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak istimewa ini tentu
saja tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang Hak Tanggungan.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan ditangan siapapun obyek itu berada.
26
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Kebendaan, Hak Tanggungan , Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997, hlm.54

17
Keistimewaan yang dikenal sebagai “droite de suite” ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUHT.
Biarpun obyek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur
pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan
umum, jika debitur cidera janji.
3. Memenuhi asas “spesialitas” dan “publisitas”, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Seperti telah dikemukan diatas jika debitur cidera janji kreditur pemegang Hak Tanggungan
berhak untuk melelang obyek yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutangnya.
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah muda dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya, jika debitor cidera janji. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi tersebut
dapat dilihat dengan disediakannya cara-cara eksekusi yang lebih mudah daripada melalui acara
gugatan seperti perkara perdata biasa.
Untuk pelaksanaan eksekusi ini UUHT menyediakan 2 (dua) cara yaitu:
1. Seperti diatur dalam Pasal 6 UUHT dan;
2. Parate Executie, yang diatur dalam pasal 224 RIB dan Pasal 258 RRBg, seperti ditegaskan
dalam Pasal 26 UUHT.
Sehubungan parate executie tersebut, pada sertifikat Hak Tanggungan yang berfungsi
sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Pasal 6 UUHT memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari dari hasil penjualan tersebut. Penjualan wajib melalui
pelelangan umum yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang. Dan dalam melaksanakan penjualan
obyek Hak Tanggungan tersebut dan mengambil pelunasan piutangnya berlaku kewenangan
istimewa yang ada pada kreditor pemengang Hak Tanggungan yaitu “droit de preference” dan
droit de suite”. Pasal 6 UUHT ini diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2)
UUHT yaitu janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.

18
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah
satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan,
atau oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang
Hak Tanggungan.
Dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT ditentukan adanya kemungkinan penjualan agunan
pinjaman secara dibawah tangan dan tidak melalui lelang umum. Cara ini dimungkinkan asal
saja ada kesepakatan antara debitur (pemberi Hak Tanggungan) dengan Bank atau Kreditur
(penerima Hak Tanggungan) dengan harapan akan diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak. Tetapi UUHT mengharuskan dipenuhinya beberapa syarat yaitu:
1. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh Debitur dan/atau Kreditur/Bank kepada pihak -pihak yang
berkepentingan;
2. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak adanya pihak yang menyatakan
keberatan.

D. Apakah kendala yang dihadapi dalam eksekusi hak tanggungan dalam


perjanjian kredit.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 40/PMK.07/2006
ditegaskan bahwa lelang adalah penjualan barang secara terbuka untuk umum dengna
penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Pengumuman lelang
adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk
menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan. Ketentuan
ini terdapat dalam Pasal 1 angka 3 Permenkeu No.40/PMK.07/2006.
Pasal 1 angka 4 dan 5 Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 mengklasifikasikan lelang
menjadi:
1. Lelang Eksekusi
Lelang Eksekusi merupakan lelang untuk melaksanakan putusan atu penetapan
pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka membantu penegakan hukum,
seperti lelang eksekusi atas sertifikat fidusia ataupun sertifikat Hak Tanggungan.

19
Lelang eksekusi sendiri merupakan jenis lelang yang ditentukan dalam pasal 200 aya
(1) HIR atau Pasal 215 RBg karena merupakan penjualan dimuka umum barang
milik tergugat yang dilakukan Pengadilan Negeri melalui Kantor Lelang. Intinya
semua penjualan umum yang dilakukan oleh pengadilan negeri disebut lelang
eksekusi.27
2. Lelang Non Eksekusi
Lelang non eksekusi merupakan jenis penjualan umum diluar pelaksanaan putusan
atau penetapan pengadilan. Lelang ini meliputi penjulan barang milik/yang dikuasai
negara atau lelang wajib dan lelang sukarela atas barang milik perorangan, klompok
masyarakat atau badan swasta termasuk BUMN/D berbentuk persero. Berdasarkan
Pasal 2 Permekeu No. 40/PMK.07/2006, lelang harus dilakukan oleh dan/atau
dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan. Pejabat lelang menurut Pasal 1 angka 13 Permenkeu No.
40/PMK.07/2006 adalah orang khusus yang diberi wewenang oleh Menteri Keuangan
dalam melaksanakan penjualan barang secara lelang. Brkaitan dengan Permenkeu
No. 40/PMK.07/2006, pejabat lelang yang diberi wewenang tersebut adalah pejabt
yang ada di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau Balai
Lelang.
Meskipun demikian kewenangan KPKNL saat ini masih dibatasi hanya pada pelaksanaan
lelang non eksekusi sukraela, asset BUMN/D berbentuk persero, asset milik bank dalam bentuk
likuidasi. KPKNL belum di izinkan melaksanakan lelang eksekusi dan lelang non eksekusi wajib,
termasuk diantaranya lelang asset yang dimiliki atau dikuasai pemerintah. Ha ini dikarenakan
adanya keinginan pemerintah untuk mengembangkan lelang sukarela asset milik perorangan,
kelompok masyarakat, dan dari dunia swasta. 28
Pelayanan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang meliputi:
1. Pelayanan Kekayaan Negara.
2. Pelayanan Penilaian
3. Pelayanan Piutang Negara
4. Pelayanan Lelang

27
M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata , Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 116
28
Dhaniarto, “Penyelesaian Kredit Macet di LIngkungan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang ”,
Makalah, Penyelesaian Kredit Macet di LIngkungan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, 2010,
hlm.6.

20
Dengan diberlakukannya PP No.33 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 14
tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Sejak tanggal 6 Oktober
2006 tersebut pengurusan kredit macet bank-bank pemerintah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku dibianga perseroan terbatas dan Badan
Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksananya.
Berdasarkan permohonan lelang pada prinsipnya penyelesaian eksekusi Hak
Tanggungan pada KPKNL dapat dilakukan oleh dua pihak yaitu pemohonya adalah pengadilan
negeri dan kreditur bukan pengadilan negeri. Apabila pemohonan lelang dilakukan oleh
pengadilan negeri, maka dapa dilakukan melalui lelang eksekusi putusan pengadilan dan lelang
eksekusi penetapan pengadilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi
Hak Tanggungan yang dilakukan oleh KPKNL dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
campur tangan dari pengadilan, baik itu untuk memberi putusan atau penetapan, atau tanpa
campur tangan dari pengadilan.
Faktor yang sering menjadi penghambat atas eksekusi Hak Tanggungan dikarenakan
beberapa hal yaitu;
1. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan Ketentuan Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tidak dapat
berjalan efektif.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya beberapa pihak yang belum memanfaatkan pelayanan
eksekusi pada KPKNL. Selain itu tidak semua eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan
sesuai ketentuan Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996, karena didalam Undang-undang Hak
Tanggungan diatur bahwa : (1) kreditur pemegang Hak Tanggungan Pertama yang dapat
memanfaatkan hak istimewa seperti ketentuan Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1996 dan (2)
dalam APHT harus dimuat janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
kekuasaan untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum apabila debitur wanprestasi.
2. Janji Pengosongan Obyek Hak Tanggungan tidak berjalan dengan Efektif.
Undang-undang Hak Tanggungan memberi kemungkinan pada para pihak untuk mmbuat
janji-janji dalam APHT, diantaranya janji untuk melakukan pengosongan objek hak
tanggungan saat debitur wanprestasi, sedangkan KPKNL sendiri tidak mempunyai
kewenangan utuk melakukan pengosongan, karena menurut HIR kewenangan pengosongan
ada pada pengadilan negari.
3. Kreditur tidak melakukan pengikatan Hak Tanggungan dengan sempurna.

21
Dalam Praktek pengikatan jaminan hak tanggungan, ternyata masih dijumpai kreditur yang
tidak melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dengan sempurna, dengan arti kata
kreditur hanya meminta untuk dibuatkan SKMHT saja dan tidak membuat APHT ke kantor
Notaris/PPAT, serta tidak didaftarkannya ke Kantor Pertanahan untuk mendapatkan
Sertifikat Hak Tanggungan. Pengikatan Hak Tanggungan hanya akan dilakukan apabila
debitur menunjukan tanda-tanda wanprestasi.
4. Gangguan dari pihak ketiga saat pelaksanaan eksekusi.
Gangguan dari pihak ketiga biasanya muncul saat akan dilakukan eksekusi. Gangguan ini
dapat berupa pengerahan massa yang mendukung pihak tereksekusi maupun munculnya
pihak ketiga yang mengakui bahwa objek hak tanggungan yang akan dieksekusi ini bukan
milik debitur tetapi milik pihak ketiga.
Berbagai hambatan tersebut dapat digolongkan menjadi hambatan yuridis dikarenakan
tidak efektifnya Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 dan title eksekutorial yang dicantumkan dalam
sertifikat hak tanggungan, serta tidak efektifnya janji pengosongan yang dimuat dalam APHT
seperti ditentukan UU No. 40 Tahun 1996 dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan.
Sementara hambatan lain berasal dari faktor sosiologis adalah kreditur tidak melakukan
pengikatan hak tanggungan dengan sempurna.

BAB III
KESIMPULAN

22
Pihak bank dalam memberikan kredit memerlukan adanya suatu jaminan, dimana fungsi
jaminan tersebut adalah untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit yang
bersangkutan. Hal yang demikian itu menyebabkan perbankan membutuhkan ketentuan
perundangan yang mampu memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap bank.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut maka lahirlah UUHT, sehingga bank dapat
memperoleh kepastian hukum terhadap hak jaminan atas tanah yang diberikan debitur kepada
bank.
Kepastian hukum yang didapat oleh Bank dengan berlakuknya UUHT ini antara lain
karena:
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang
Hak Tanggungan. Artinya jika debitur cidera janji, kreditur Pemegang Hak
Tanggungan dapat menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut Ketentuan yang diatur oleh UUHT (asas droit de preference);
2. Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek hak tanggungan itu beralih
kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga (asas droit de suite);
3. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
UUHT tidak hanya memperhatikan kepentingan kreditur juga kepentingan debitur
karena undang-undang tersebut melarang untuk memberikan kewenangan kepada debitur
untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji.
UUHT sangat mengakomodasi kebutuhan dunia perbankan karena:
1. Hak Tanggungan dapat untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari
berkenaan dengan utang sebagai akibat dari dilakukannya pencairan atas suatu bank
garansi atau untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas
Pinjaman pokok dan pembebanan biaya lain yang baru dapat ditentukan kemudian.

2. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Masing-masing piutang tersebut
dapat dijamin dengan satu Hak Tanggungan saja bagi semua kreditur yang dilakukan
dengan satu APHT, karena ketentuan UUHT memberikan kemungkinan jaminan berupa satu
Hak Tanggungan kepada beberapa kreditur.
Kendala-kendala yang dapat mempengaruhi kepastian hukum atas berlakunya UUHT
yaitu pada tanah yang belum bersertifikat (masih dalam proses permohonan hak atau sertifikat

23
belum dibalik nama atau diroya) karena sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya
Hak Tanggungan belum dapat diterbitkan oleh Kantor Pertanahan sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum karena Bank menjadi tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah
pemegang Hak Tanggungan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdurrahman, 1998, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional Indonesia,
Jakarta: Akademika Persindo.

24
Anderson, James E, 1979, Public Policy Making, New York: Holtinehart and Wiston.
Anis Idham, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut, Bandung, Alumni, 1995.
AP Parlindungan, 1996, Komentar UUHT dan Sejarah Berlakunya, Bandung: Mundur Maju.
Badrulzaman, Marjam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: Alumni.
Badrulzaman, Mirjam Darus, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni.
Hatta, H. Moh, 2005, Hukum Tanah Nasional DalamPerspektif Negara Kesatuan, Yogyakarta:
Media Abad.
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 12,
Jakarta: Djambatan.
Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang
Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mertokusumo, Soedikno dan A Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bhakti.
M Yamin, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan: Pustaka Bangsa Press.
M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar
Grafika.
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung,
Citra Aditya Bakti.
Roestandi, Achmad dan Ibrahim Bachtiar, 1983, PengantarTeori Hukum, Bandung; Multi
Karyailmu.
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta.
Satrio, J, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Hak Tanggungan), Bandung: Alumni.
Tje’Aman, Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989.
Usman, Rachmadi, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta:
Djambatan.
Yamin, Muhammad, 2004, Transaksi Berjamin Bagian Pertama Hak Tanggungan Atas Tanah,
Medan: Universitas Sumatera Utara.

B. Undang-Undang

25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
PP No.33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP No. 14 tahun 2005 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah
Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

C. Lainnya

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Surat
EdaranNomor: SE/23/PN/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan, butir 2.
Dhaniarto, “Penyelesaian Kredit Macet di Lingkungan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang”, Makalah, Penyelesaian Kredit Macet di Lingkungan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang, 2010.
Sandjono, Maria, 2000, Hak Jaminan dan Kepailitan I: Hak Tanggungan dan Asas Pemisahan
Horizontal, Nomor 1, Majalah Hukum Nasional

26

Anda mungkin juga menyukai