Anda di halaman 1dari 7

Aktivitas Budaya Pernikahan Adat Jawa

PENDAHULUAN

Hidup di dunia yang besar ini, tentu saja manusia membutuhkan satu sama lain untuk saling
membantu. Ada pihak yang membantu satu sama lain dan menjalin hubungan simbiosis
mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan. Untuk menjadi dekat dengan sesama
diperlukan adanya timbal-balik atau saling memberi feedback. Hubungan inilah yang membuat
manusia semakin dekat dan memiliki tali persaudaraan yang kuat. Tak heran bila ditemui
banyak individu yang membentuk kelompok untuk membela kelompoknya. Mereka bersikap
solid dan tidak menjatuhkan satu sama lain.

Dalam sebuah kelompok sosial, pasti ada yang namanya aturan dan budaya. Aturan
merupakan sebuah patokan dan larangan untuk melakukan suatu hal yang dirasa salah.
Sedangkan, budaya merupakan hal yang berkaitan dengan akal dan budi manusia. Kedua hal ini
tidak akan lepas dari tata cara hidup sosial. Budaya digunakan untuk mengatur manusia agar
dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap dalam
menghadapi suatu masalah atau fenomena sosial yang lainnya. Selain itu, secara umum,
kebudayaan dapat berfungsi sebagai (1) suatu pedoman dalam berhubungan antar manusia
atau kelompok, (2) wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan renungan kehidupan
lainnya, (3) pembimbing kehidupan manusia secara umum, baik sebagai individu dan kelompok.

Salah satu budaya yang ada di Indonesia adalah pernikahan yang mengusung adat Jawa.
Pernikahan ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan melalui proses upacara. Upacara
Panggih disebut juga upacara dhaup atau temu, prosesi inilah puncak acara pernikahan adat
Jawa. Setelah kedua pengantin resmi menikah secara agama, orang tua dari kedua belah pihak
bertemu secara adat Jawa. Jadi, prosesi ini hanya akan dilaksanakan setelah pernikahan sah
secara agama, bukan sebaliknya.

ISI

Pengertian komunikasi menurut Everett M Rogers dan Lawrence Kincaid dalam buku
Communication Network: Toward a New Paradigm for Research (1981) menyebutkan
komunikasi ialah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran
informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.
Lalu, Bernard Berelson dan Gary A. Steiner dalam buku Human Behavior: An Inventory of
Scientific Finding (1964) menyebutkan bahwa komunikasi merupakan proses transmisi
informasi, gagasa, emosi, keterampilan, dan lain-lain melaui penggunaan kata, angka, simbol,
gambar, dan lain sebagainya. Maka dari penjelasan para ahli mengenai komunikasi, dapat
disimpulkan bahwa komunikasi merupakan cara manusia saling memberi respon satu sama lain
baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Seperti yang telah disebutkan di pendahuluan,
komunikasi memiliki relevansi dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Selain
itu, Menurut Liliweri (2002: 8) kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok
orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa
sadar yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Tentu saja berkaitan dengan kebudayaan upacara pernikahan jawa, upacara
tersebut memiliki makna yang tersirat dan tersurat yang disisipkan dalam pernikahan adat
tersebut agar bisa dimaknai secara mendalam oleh kedua mempelai.

Dalam upacara pernikahan tentu saja ada pihak yang bersangkutan. Pihak yang
dimaksudkan adalah keluarga. Keluarga dari kedua mempelai yang melakukan pernikahan pasti
menjalankan perannya dalam mendidik mempelai tersebut sebelum menuju ke jenjang
pernikahan. Keluarga tersebut tentu saja mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan
reproduksi, nilai ekonomi, sosialisasi, nilai dasar dan pola pikir, perkembangan identitas, serta
pelatihan komunikasi. Tak hanya itu, dalam keluarga juga mengajarkan peranan gender,
perubahan peranan gender, individu dan kolektivisme, pengelompokan usia, serta kemampuan
manusia sebagai individu yang mampu bersosialisasi. Selain itu, keluarga juga harus mampu
mengajarkan sejarah adanya pernikahan yang dianut, yakni pernikahan yang mengusung
budaya dan adat Jawa. Asal muasal tata cara perkawinan adat jawa adalah dari keraton. Pada
mulanya hanya keluarga keratonlah yang mempunyai hak untuk melaksanakan upacara
pernikahan dengan tata cara adat tersebut. Namun sejak adanya akulturasi budaya dengan
agama islam, khususnya di Keraton Yogya dan Solo, tata cara penikahan adat mulai berbaur
antara budaya hindu dan islam. Mulai saat itulah tata cara pernikahan adat dikenal oleh
masyarakat luas di luar keraton. Hingga saat ini, secara turun temurun tata cara upacara
pernikahan terus di lestarikan, tentunya dengan pertimbangan waktu, kesempatan dan dana
acara-acara adat tersebut diadakan penyesuaian-penyesuaian. Meski hampir setiap hari kita
saksikan upacara dan pesta pernikahan, namun ternyata tidak mudah untuk
menyelenggarakannya. Tahap demi tahap yang harus dilalui serta mempersiapkan pernak-
pernik alat upacara adat yang mengandung nilainilai ritual tersendiri merupakan "tugas" yang
tidak bisa dianggap remeh untuk menyambut hajat keluarga ini. Sebagai suatu peristiwa yang
diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup, semua calon pengantin tentu mengharapkan
agar semua rangkaian upacara itu bisa berlangsung sukses. Keterbatasan tempat dan
pengetahuan tentang upacara adat seringkali menjadi alasan utama keluarga untuk
menyelenggarakan pernikahan di sebuah gedung pertemuan dengan melibatkan wedding
organizer.

Begitu banyak adat pernikahan yang ada di Indonesia, pernikahan adat Jawa pasti memiliki
pandangan tertentu dari banyak sudut pandang. Tak jarang dari mereka yang masih melihat
mitos yang beredar di masyarakat mengenai pernikahan adat Jawa (dengan orang asli suku
Jawa). Dari mitos tersebut, mereka mengatakan bahwa bulan suro atau Muharram adalah
bulan yang perlu dihindari, anak pertama dan anak ketiga tidak boleh menikah, larangan
pernikahan siji berjajar telu, rumah pasangan hanya berjarak lima langkah atau bersebrangan,
menggunakan perhitungan weton, dan rumah pasangan dekat dengan rumah ipar. Selain itu,
ada juga yang mengatakan dalam laman kumparan.com bahwa “Pada akhirnya, saat pernikahan
dua manusia berbeda suku, itu juga merupakan sebuah perayaan dan pesta keluarga luas yang
mementingkan hubungan sesama, bawahan dan atasan, juga Tuhan dan manusia.” Selain itu,
pernikahan adat Jawa juga memiliki pandangan dari berbagai sudut agama. Dalam hukum
islam, pernikahan dapat diartikan sebagai ibadah untuk mentaati perintah Allah SWT. Dalam
budaya pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat jawa ada beberapa hal yang tidak
diperbolehka noleh agama islam, yaitu (1) pemasangan sesajen, (2) mengadakan pesta yang
berlebihan, (3) memperbaiki niat agar selalu berada di jalan Allah SWT, (4) menghindari
percampuran lawan jenis dengan cara tempat untuk tamu laki-laki dan perempuan disediakan
secara terpisah, dan (5) tidak mengisi acara resepsi dengan perkara mungkar (maksiat).

Identitas dalam suatu budaya sangatlah diperlukan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, identitas adalah jati diri atau ciri yang melekat pada seorang individu. Identitas
memliki peran penting, yakni komponen dari konsep diri yang memungkinkan individu untuk
memelihara pendirian yang konsisten dan karenanya memungkinkan seseorang untuk
menempati posisi yang stabil di lingkungannya (Rawlins, 1993). Begitu pula pernikahan dengan
adat Jawa. Pernikahan adat juga miliki identitas atau ciri di susunan acara seperti pasang tarub,
sungkeman, siraman, pecah kendi dan dodol dawet, midodareni, srah srahan, akad /
pemberkatan, dan balangan gantal. Selain itu, orang yang berasal dari Suku Jawa memiliki
kararteristik etnis antara lain menjunjung tinggi tatakrama (unggah-ungguh), mementingkan
kebersamaan, selalu mawas diri dan sadar posisi, serta pasrah dan kerja keras (Roqib, 2007, h. 7
dan 58-65). Pada etnis Jawa pemilihan calon pasangan atas pertimbangan individu, karena
perkawinan untuk membentuk keluarga baru dan mendapat status dalam kemasyarakatan.
Jenis penyesuaian diri dalam perkawinan antara lain penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
(Hurlock, 2006, h. 290-293). Beberapa hal inilah yang menjadi ciri atau identitas dari pernikahan
jawa, baik dari sisi pernikahan maupun yang melakukan pernikahan. Diharapkan dengan adanya
identitas ini, masyarakat dapat lebih mengerti tentang adat pernikahan yang mengusung
konsep ‘Jawa’ sebagai tema pernikahan kedua memperlai.

Untuk membentuk realitas budaya pernikahan Jawa, diperlukan pengetahuan yang cukup
untuk merealisasikannya. Persepsi pernikahan Jawa, contohnya. Kata ‘persepsi’ memiliki arti
suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra atau juga disebut proses
sensoris. Stimulus tersebut akan diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi.
Persepsi merupakan peran yang sangat penting dalam keberhasilan komunikasi. Budaya
memiliki pengaruh besar pada cara pandang dan persepsi seseorang pada hal-hal yang dia lihat,
rasakan dan alami. Melalui nilai-nilai budaya itulah seseorang akan menilai dan
mempersepsikan sesuatu sebagai sesuatu yang salah atau sebagai sesuatu yang benar menurut
budaya yang ia yakini. Seperti yang telah tertera pada mitos mengenai pernikahan adat Jawa,
pantangan dan larangan merupakan salah satu contoh persepsi pernikahan yang menggunakan
adat Jawa. Tak hanya itu, setiap prosesi yang dilakukan dalam pernikahan adat Jawa juga
mengandung arti yang memiliki arti. arti inilah yang disebut dengan kepercayaan pola
kebudayaan. Pola kebudayaan pernikahan adat Jawa memiliki pola bermain dan bekerja.
Menurut Sudono, bermain adalah Kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa alat yang
menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun
mengembangkan imajinasi. Sedangkan bekerja dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan
manusia untuk mendapatkan penghasilan demi memenuhi tujuan tertentu. Selain tujuan pokok
bekerja tersebut, dalam dunia kerja (work-life), bekerja memiliki tujuan tersendiri dalam
mewujudkan rasa kemanusiannya.

Peran sosial budaya dan bahasa dalam suatu pernikahan merupakan hal yang crucial. Kata
sosial berasal dari bahasa latin yaitu 'socius' yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan
berkembang dalam kehidupan bersama (Salim, 2002). Pengertian dari budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang menjadi nilai, asumsi
tentang kehidupan, dan kegiatan bertujuan bersama yang secara sadar diterima sebagai
sesuatu yang benar atau jalan terbaik oleh orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka
sebagai anggota dari masyarakat tertentu yang telah secara serentak menyepakatinya baik
sengaja maupun tidak. Sedangkan pengertian dari bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang
dengan perantaraan onomata (nama benda) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin
dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut. Nilai budaya adat pernikahan Jawa Upacara
perkawinan suku Jawa ini sering dikenal orang sebagai suatu ritual/ upacara yang cukup ribet
karena ada begitu banyak prosesinya, yaitu ada 11 banyaknya yang meliputi siraman,
midodareni, injak telur, sikepan siundur, pangkuan, kacar kucur,dulang dulangan, sungkeman,
janur kuning, kembar mayang, dan tarub. Prosesi-prosesi ini tidak hanya dilakukan tanpa makna
tetapi sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang sangat indah. Makna dan prosesi dari
pernikahan adat Jawa akan diulas pada paragraf berikutnya secara mendetail karena akan
mengandung komunikasi verbal dan non-verbal.

Pada paragraf ini, penulis akan lebih memfokuskan ke komunikasi non-verbal. Komunikasi
verbal berupa kata-kata yang diucapkan langsung (berbicara) bisa dilakukan secara langsung
(face to face) atau dengan perantara media, contohnya berinteraksi menggunakan sosial media
atau telepon genggam. Sedangkan komunikasi verbal yang melalui tulisan bisa dilakukan
menggunakan media seperti surat, postcard, chating di media sosial, dan sebagainya.
Komunikasi verbal dan non-verbal pada hakikatnya saling terkait dan saling melengkapi. Dalam
komunikasi langsung, kita terus-menerus mengirimkan pesan pada lawan bicara kita.
Komunikasi non-verbal sering terjadi seacar otomatis dan tanpa kita kontrol. Dalam pernikahan
adat Jawa, komunikasi non-verbal terjadi melalui perilaku tubuh, ekspresi wajah, kontak mata
dan tatapan, sentuhan, parabahasa, ruang dan jarak, waktu, dan sikap diam. Perilaku tubuh
sang mempelai harus menunjukkan bahwa mereka siap mengikuti prosesi jalannya upacara
pernikahan. Kemudian, ekspresi wajah mereka harus menunjukkan wajah gembira karena akan
menyelesaikan prosesi pernikahan untuk menjadi pasangan yang sah. Begitu pula kontak mata
dan tatapan harus dijaga satu sama lain untuk menjaga kelangsungan upacara pernikahan. Tak
hanya itu, sentuhan dan parabahasa perlu diminimalisir karena kata orang-orang sekitar aka
nada ‘masanya’ dimana mempelai akan mendapatkan ruang, jarak, waktu sesuai dengan
kebutuhan mereka. Selain itu, setiap susunan acara juga memiliki arti sendiri-sendiri yang
memiliki makna tersirat.

Meskipun memiliki makna tersirat dan tersurat dan prosesi yang indah, pernikahan adat
Jawa juga memiliki pengaruh terhadap budaya lain dalam konteks ruang lingkup bisnis. Banyak
orang yang secara mandiri mengatur acara pernikahan mereka sendiri. Contohnya
memanfaatkan keluarga untuk memegang jalannya pernikahan, mulai dari akad atau
pemberkatan sampai dengan resepsi yang acaranya adalah makan-makan dengan para tamu
undangan. Namun tak sedikit dari mereka yang menggunakan jasa wedding organizer. Wedding
organizer adalah tim wedding coordinator yang bekerja bersama untuk membantu pelaksanaan
acara pernikahan. Mereka memiliki tugas yang umumnya meliputi merencanakan konsep dan
tema pernikahan yang menyediakan paket-paket tertentu agar calon klien lebih mudah dalam
menentukan pilihan. Dalam paket tersebut sudah termasuk konsep acara yang diinginkan.
Apakah mau menggelar acara bertema adat atau resepsi pernikahan dengan konsep modern
saja., mempersiapkan susunan acara dengan membuat rundown acara mulai dari pembukaan
hingga penutup. Susunan ini kemudian diajukan kepada klien. Jika klien memiliki keinginan lain,
WO akan mengakomodasi hal tersebut, kemudian membuat rincian anggaran dengan
menanyakan alokasi budget yang disediakan oleh calon pengantin dan keluarga, mencari lokasi
pernikahan  sesuai dengan konsep dan tema yang sudah dipilih, mengorganisir jalannya acara
pernikahan, dan menyelesaikan tugas setelah acara yakni menyimpan dan mengirimkan
hantaran, kado, dan mahar milik penganting hingga ke kediaman mereka. Selain itu, WO juga
harus bisa menjamin keamanan kotak amplop yang digunakan selama acara. Maka tak heran
jika banyak ditemui wedding organizer yang berlomba-lomba menjadi wedding organizer
terbaik demi sang mempelai.

Terlepas dari adat Jawa, pernikahan bagi lingkup pendidikan menimbulkan pro dan
kontra. Hal ini bergantung pada bagaimana pernikahan tersebut disosialisasikan kepada para
pengejar tingginya pendidikan. Dari pernyataan terset, tentulah kita mengerti bahwa
pendidikan memiliki relevansi dengan pernikahan dimanapun dan kapanpun tanpa memandang
usia. Maraknya pernikahan di usia muda mendorong para generasi berumur belia juga ingin
menikah. Pernikahan dini merupakan fenomena yang berkaitan dengan kondisi social ekonomi di
negara berkembang. Pernikahan dini dapat diartikan juga sebagai pernikahan anak. Fenomena
tersebut semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun sehingga menjadi fokus target
Sustainable Development Goals poin ke-5. Pernikahan dini di Indonesia merupakan hal yang umum
terjadi, mengingat bahwa pernikahan secara kultur tradisional merupakan bagian dari
tanggungjawab keluarga bukan keinginan individu, sehingga keluarga memegang peranan penting
untuk menentukan sebuah pernikahan dibandingkan keinginan anak. Secara global, Indonesia
merupakan Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, sehingga kondisi sosio kultural
sangat berkaitan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh seseorang. Konstruksi sosial pada
masyarakat muslim membuat pernikahan dini didefinisikan sebagai tindakan mencegah zina pada
kalangan remaja. Selain itu, konsep menjaga keperawanan hingga terjadi pernikahan juga
mendasari terjadinya pernikahan dini di Indonesia. Pernikahan dini merupakan masalah sosial yang
kompleks serta dapat menimbulkan dampak secara fisik, termasuk juga psikologis. Remaja putri
sangat rentan mengalami kematian ibu, kematian anak, keguguran, dan melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah karena pengetahuan terkait maternitas masih sangat minim, serta organ
reproduksi yang belum siap untuk hamil dan melahirkan. Maka dari itu pentinglah sosialiasasi untuk
menghindari pernikahan usia dini.

Selain itu, pernikahan dini dalam suku Jawa yang banyak dilakukan juga berdampak pada
kesehatan. Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan ibu dan anak antara lain, terjadinya
keguguran, kelahiran premature, perdarahan hingga kematian ibu. Biro Sensus AS tahun 2013
melaporkan bahwa usia ideal menikah adalah mulai usia 27 tahun untuk perempuan dan 29 untuk si
pria. Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa usia ideal menikah terbaik adalah sekitar 28-32
tahun. Tekanan darah tinggi. Hamil di usia sangat muda memiliki risiko yang tinggi terhadap naiknya
tekanan darah. Anemia. Bayi lahir prematur dan BBLR. Ibu meninggal saat melahirkan. Pernikahan
wanita yang masih usia remaja atau berusia kurang dari 17 tahun sebaiknya memang dilarang. Hal
ini karena pernikahan usia dini memicu tingginya angka kematian ibu. Dampak negatif nikah muda
dalam Islam berdampak buruk ditinjau dari sisi sosial, yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta
meningkatnya kasus perceraian. "Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda,
dan cara pola pikir yang belum matang. MUI atau Majelis Ulama Indonesia telah memutuskan
bahwa pernikahan dini pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun untuk
nikah dalam islam. Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru
menimbulkan madharat. Kemudian, kedewasaan usia adalah salah satu indikator bagi tercapainya
tujuan pernikahan

Dengan memasuki masa baru, maka hal ini akan menjadi suatu kompetensi bagi
pernikahan adat Jawa untuk bersaing dengan pernikahan adat yang lainnya. Kompetensi ini
dapat dilihat dari komunikasi barik verbal maupun non-verbal. Mengutip Spitzberg dan Cupach
(1989), DeVito (1992: 27) menjelaskan bahwa: ”kompetensi komunikasi mengacu pada
kemampuan anda untuk berkomunikasi secara efektif”. Jadi, merujuk kepada kemampuan
untuk berkomunikasi dalam sikap yang efektif secara personal serta layak secara sosial.
Berdasar pada arti estimologi kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang kemampuan yang
dibutuhkan dibutuhkan untuk melakukan atau untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan
yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Kompetensi komunikasi
mencakup (1) kemampuan berbiacara, (2) kemampuan berbahasa tubuh, (3) kemampuan
menulis, (4) kemampuan untuk mendengarkan, (5) kemampuan untuk melakukan presentasi,
(6) kemampuan untuk membangun networking, dan (7) kemampuan untuk bernegosiasi.
Sedangkan kompetensi antarbudaya menurut Bennet dan Bennet adalah kemampuan
berkomunikasi efektif dalam situasi lintas budaya dan berhubungan layak dalam berbagai
konteks budaya (Moodian dalam Mulyana, 2011: xi). Menurut Samovar, Porter, dan Mc.Daniel
(2010:461), kompetensi komunikasi antarbudaya meliputi: (1) motivasi untuk berkomunikasi;
(2) pengetahuan yang cukup mengenai budaya; (3) kemampuan komunikasi yang sesuai; (4)
sensitivitas, dan (5) karakter. Oleh sebab itu, pernikahan adat Jawa harus memiliki beberapa
kompetensi yang telah disebutkan diatas untuk mencapai budaya yang dapat diminati oleh
masyarakat yang bukan hanya Jawa saja melainkan juga orang-orang luar pulai Jawa bahkan
orang luar negeri sekalipun.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, pentingnya untuk memperhatikan kembali pernikahan yang


mengusung tema adat Jawa memiliki beberapa pantangan dan larangan. Tabu rasanya apabila
hal tersebut dilanggar semena-mena. Selain itu, pernikahan adat Jawa yang berlangsung di
tanah pulau Jawa juga harus dilaksanakan sebagik mungkin dengan tidak merusak tata cara
susunan yang telah diatur oleh sang coordinator acara pernikhanan. Mempelai akan
menjalankan prosesi upacara pernikahan secara hikmat dan khusyuk, sedangkan coordinator
atau wedding organizer yang telah dipercaya untuk memegang kendali sebuah acara
diharapkan dapat membantu menyukseskan acara upacara pernikahan adat Jawa. Tak hanya
itu, pemimpin dari adanya pernikahan adat Jawa di tanah Jawa, mengharuskan agar pernikahan
dini di Jawa tidak meluas. Sebab banyaknya pernikahan dini di pulau Jawa dikarenakan
kurangnya didikan orang tua dan guru serta pihak berwenang yang bertanggung jawab.
Edukasi, kondisi ekonomi, kondisi kesehatan dan lain sebagainya juga harus diperhitungkan
agar tidak salah kaprah dalam memahami pernikahan adat Jawa yang dirasa memiliki banyak
pantangan dan larangan.

Anda mungkin juga menyukai