Jurnal HAM merupakan majalah Ilmiah yang memuat naskah-naskah di bidang Hak Asasi Manusia (HAM)
yang berupa hasil penelitian, kajian dan pemikiran di bidang HAM. Jurnal HAM terbit secara berkala 2 (dua)
nomor dalam setahun yakni pada bulan Juli dan Desember.
Percetakan
PT. Pohon Cahaya
Jl. Gedung Baru Nomor 18 Jakarta Barat (11440)
Telepon (021) 5600111; Faksimili (021) 5670340
Catatan
Redaksi menerima naskah asli yang aktual dalam bidang Hak Asasi Manusia berupa hasil penelitian dari
berbagai kalangan, seperti : Peneliti Hak Asasi Manusia, praktisi dan teoritisi serta kalangan lainnya. Tulisan-
tulisan yang dimuat merupakan hasil penelitian terbaru yang memuat data dan fakta serta pendapat para ahli
maupun pribadi penulisnya, bukan merupakan pendapat redaksi.
Redaksi berhak tidak menerima, menyingkat naskah tulisan yang dikoreksi dari segi teknis penulisan sepanjang
tidak mengubah isi tulisan. Naskah tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi, maksimum 30 (tiga puluh) halaman
A4 dan dikirim melalui E-mail: ejournalham@gmail.com / pusbangdatin@gmail.com serta wajib mengupload
tulisan tersebut melalui Open Journal System (OJS) pada ejournal.balitbangham.go.id.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
KUMPULAN ABSTRAK
Jurnal HAM merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Terbitan ini
merupakan elemen penting dalam upaya penyebarluasan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah yang berkaitan
dengan isu Hak Asasi Manusia aktual yang sesuai dengan perkembangan terkini kebutuhan masyarakat, baik
yang dilakukan oleh para peneliti internal di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak
Asasi Manusia maupun pihak-pihak yang terkait lainnya.
Pada Volume 7 Nomor 2, Desember 2016, Jurnal HAM menyajikan 6 (enam) tulisan, dengan masing-
masing judul: (1) Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati di Indonesia Dilihat dari Perspektif HAM, (2) Pemenuhan
Hak atas Perumahan yang Layak bagi Masyarakat Miskin Kota dalam Perspektif HAM, (3) Aspek Hak Sipil
dalam Kesetaraan Gender di Sektor Kerja Formal di Ternate, (4) Penanaman Budaya Anti Kekerasan Sejak
Dini melalui Kearifan Lokal Permainan Tradisional pada Pendidikan Anak, (5) Pemenuhan Hak atas Layanan
Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin, (6) Penegakkan Hukum Kelompok Rentan (Anak dan Perempuan).
Akhir kata, Dewan Redaksi menyampaikan selamat membaca dan semoga beberapa topik yang diangkat oleh
redaksi dalam terbitan Jurnal HAM Volume 7 Nomor 2, Desember 2016 ini dapat bermanfaat bagi pembaca
serta dapat berkontribusi positif bagi upaya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kami menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Pusat Pengembangan Data dan
Informasi Penelitian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta kepada Prof. DR. Hafid Abbas, Prof. DR. Rianto
Adi, M.A., DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Marulak Pardede, S.H., M.H., APU., DR. Alie Humaedi, S. Ag.,
M.Hum., selaku Mitra Bestari yang telah bersedia membantu memeriksa dan mengoreksi substansi tulisan dari
para penulis.
Jakarta, Desember 2016
Redaksi
Jurnal Penelitian
ABSTRACT
The death penalty is an important thing in the criminal justice process. Its practice by the state with a verdict,
that means state takes a life right of convict which is a nonderogable right. Therefore, its practice must pay
attention to their human right. The purpose of this research is to know death penalty of the offenders and its
criteria against to the human right or not. This method of this research is normative juridical with secondary
data. It concludes that death penalty against to human right and its stipulation can be justifiable by reasoning
to defend the human right and merely on crime tend to beyond humanity.
Keywords: death penalty, human rights.
ABSTRAK
Penjatuhan pidana mati merupakan bagian terpenting dari proses peradilan pidana. Penerapan pidana mati
oleh Negara melalui putusan pengadilan, berarti Negara mengambil hak hidup terpidana yang merupakan
hak asasi manusia yang sifatnya tidak dapat dibatasi (non derogable). Oleh karena itu penerapannya harus
memperhatikan Hak Asasi Manusia terpidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penjatuhan
hukuman mati bagi pelaku kejahatan, bertentangan dengan atau tidak dengan hak asasi manusia dan kriteria
penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Metode yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa
penjatuhan pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan penetapan dapat dibenarkan dengan
alasan membela hak asasi manusia dan hanya pada kejahatan yang bersifat melampaui batas kemanusiaan.
Kata kunci: Pidana Mati, HAM.
menghapus penjatuhan hukuman mati.1Meskipun negara hukum yang demokrasi yang berdasarkan
Indonesia ikut serta sebagai pihak dalam konstitusi,menetapkan bahwa hak asasi manusia
instrumen-instrumen HAM Universal, dengan tersebut merupakan unsur penting yang harus ada
klausul yang mengikat bahwa Negara pihak tidak dan memperoleh perlindungan dan penghormatan
akan lagi menerapkan hukuman mati, dengan yang dijamin dan dipenuhi oleh Negara dan
pengecualian terhadap apa yang disebut “the most Pemerintah. Justru perlindungan dan jaminan
serious crime” maka dengan pemahaman yang pemenuhan terhadapnya menjadi salah satu
berbeda dari ketentuan “the most serous crime” tujuan yang paling dasar dari dibentuknya
dalam instrument HAM Universal. suatu negaradan menjadi tolok ukur keabsahan
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tindakan pemerintahan. Pelanggaran terhadapnya
RI.Nomor 2-3/PUU-VI/2007 mengenai perkara yang dilakukan pemerintah,baikdalam tindakan
pengujian konstitusionalitas hukuman mati dalam atau perbuatan tertentu dan terutama dalam
Undang-Undang narkotika MK telah menyatakan pembentukan kebijakan-kebijakan publik, me
hukuman mati tidak bertentangan dengan nyebabkan tindakan dan produk kebijakan
konstitusi, meskipun pertimbangannya merujuk publik yang dibuat menjadi tidak sah. Hak asasi
juga kepada hak asasi manusia khususnya hak yang meliputi hak sipil dan politik maupun hak
untuk hidupyang diakui secara universal, tetapi sosial,ekonomidan budaya,telah menjadi bagian
meletakkannya dalam suatu keseimbangan dengan dari hukum dan konstitusi Indonesia setelah
kewajiban hak asasinya untuk menghormati ratifikasi ICCPR dan ICSECR yang menjadi
hak asasi sosial masyarakat dan hak asasi orang tolok ukur berdasarkan kebijakan dan tindakan
lain.2Dengan pertimbangan yang sarat keragaman pemerintahan.
perspektif, seperti isu agama, dasar negara, budaya, Perkembangan Konstitusional yang didasar
ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat, kan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang
maka terlepas dari pendapat umum yang mengatur lembaga-lembaga negara,memberi
berkembang di masyarakat bahwa hukuman mati kewenangan dan membatasi penggunaannya,secara
dibutuhkan untuk menangkal meluasnya kejahatan tradisional hanya didasarkan pada konstitusi yang
narkoba yang berakibat merusak generasi muda. lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan
Seorang penulis memberi komentar putusan (separation of powers) dan/atau pembagian
Mahkamah Konstitusi tersebut mencerminkan kekuasaan negara (division of powers), untuk
perspektif kultural dan regional tentang hukum mencegah pemusatan kekuasaan disatu tangan,dan
hak asasi manusia internasional,termasuk untuk mencegah kesewenang-wenangan serta
pencerahan yang dilakukan tentang perdebatan penindasan atas hak-hak warga. Konstitusionalisme
“asian values”mengenai hak asasi manusia.3 tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan
Hak Asasi Manusia sebagai perangkat hak semacam itu,tidak menegaskan hak asasi manusia
yang melekat pada kodrat manusia sebagai mahluk sebagai bagian dari pembatasan yang substantif
Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah atas kekuasaan yang diselenggarakan oleh
Tuhan untuk menempatkan manusia dalam cabang-cabang kekuasaan yang ada. Orang dapat
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak mendalilkan hak asasi nya,dan dapat diterapkan
asasi tersebut bukan pemberian negara dan telah oleh hakim,tetapi hanya sejauh hak-hak ini telah
ada sebelum negara dan organisasi kekuasaan diciptakan atau diatur dalam Undang-Undang.
dalam masyarakat terbentuk. Penghormatan Hukum konstitusi membentuk hierarki norma,dan
dan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak hirarki ini mengkondisikan interprestasi. Akibat
asasi secara efektif merupakan indikator akan langsung dari inkorporasi hak asasi manusia
tingkat perkembangan peradaban satu bangsa. dalam konstitusi,adalah terbentuknya hubungan
Ciri-ciri negara modernyang mengaku sebagai hierarkis antara teks norma konstitusi dengan
Undang-Undang. Tiap pasal Undang-Undang
1 United Nations General Assembly Resolution 65/206, 21
yang melanggar hak asasi manusia,maka Undang-
Desember 2010 Undang demikian cacat sejak awal (void ab initio).
2 Kutipan merupakan pendapat penulis dalam putusan Secara khusus hukum menyiratkan status istimewa
Nomor 2-3/PUU-VI/2007.
kepada hak asasi yang menjadi hak konstitusi.
3 Natalie Zerial, Decision No.2-3/PUU-V/2007 (Indonesian
Constitusional Court), dalam Australian International Law Bagi banyak orang sebagaimana telah diuraikan
Journal, hal.218. diatas, hak asasi manusia memiliki eksistensi yang
lebih awal dan independen atau tidak tergantung terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
kepada negara. Statusnya yang istimewa tersebut konvensi internasional, perjanjian internasional
didasarkan pada jenis normativitasnya yang dan putusan pengadilan dimana sumber datanya
lebih unggul sehingga disebut norma supra didapat dari bahan kepustakaan atau data sekunder
konstitusional (supraconstitusional normativity)4 yang terdiri dari bahan hukum primer, antara lain
yang membuatnya tidak dapat diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI.Nomor 2-3/
revisi atau amandemen konstitusi,meskipun PUU-VI/2007 pembukaan UUD NRI 1945, batang
dengan mayoritas di MPR. tubuh UUD NRI 1945, peraturan perUndang-
Pergeseran menuju konstitusionalisme baru Undangan, bahan hukum sekunder, antara lain
terjadi setelah perang dunia kedua yang melihat buku-buku hasil penelitian serta pendapat para
kehancuran dan penghinaan martabat manusia, pakar, kemudian dianalisis dengan metode
Dunia Eropah mengalami revolusi yang sangat deskriptif kualitatif.
penting dengan mengkodifikasikan hak-hak
manusia.5 Secara masif diseluruh dunia terjadi PEMBAHASAN
konstitusionalisasi hak asasi manusia,sehingga
konstitusi mengatur dan menjadikan hak asasi A. Mahkamah Konstitusi dan Constitutional
manusia sebagai bagian dari konstitusi serta Review
membentuk suatu sistem keadilan untuk menjamin
Penegakan konstitusionalisme de
dan mempertahankan hak-hak tersebut,mana
ngan isi yang memberi pembatasan ter
kala terjadi pelanggaran terhadapnya. Gerak
hadap penyelenggaraan kekuasaan, memuat
menginkorporasikan hak-hak asasi manusia
tolok ukur hak asasi manusia untuk menguji
kedalam konstitusi dan menjadikannya sebagai
tindakan-tindakan pemerintahan dalam
tolok ukur dan pembatasan kekuasaan negara dan
kerangka perlindungan dan kebahagiaan
pemerintahan,menciptakan hirarki norma dalam
warga. Tugas dan fungsi untuk menegakkan
kontitusi itu sendiri. Hak asasi yang memiliki satu
konstitusionalisme berdasarkan hak asasi yang
kedudukan yang lebih tinggi dan permanen,tidak
membentuk norma konstitusisebagai sistem
dapat diubah dan dihapus oleh kekuatan politik
kontrol yang demokratis diserahkan kepada
mayoritas,pertentangan antara norma konstitusi
sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga dan
yang merupakan hak asasi dengan norma yang
tugas pokok mengawal konstitusionalitas
bukan hak asasi, maka norma yang merupakan hak
tindakan pemerintahan,dengan kewenangan
asasi akan mengesampingkan norma yang bukan
constitutional review untuk membatalkan
hak asasi. Yang menjadi permasalahan adalah:
tindakan pemerintah dalam legislasi atas
1) Mengapa perlu penghapusan hukuman mati dasar bahwa tindakan itu telah melanggar
sebagai salah satu instrumen penghukuman konstitusi termasuk hak asasi manusia.
utama di Indonesia? Meskipun kewenangan Mahkamah
2) Apa yang menjadi pertimbangan atau KonstitusiIndonesia masih terbatas dalam
landasan filosofis, sosiologis, HAM dan penegakan atau jaminan atas hak asasi
teologis penghapusan hukuman mati bagi manusia6, Mahkamah Konstitusi dapat
pelaku kejahatan? dengan konsepsi judical activism yang
lebih kuat,memampukan diri untuk lebih
memperdayakan pengawalan konstitusi dan
METODE PENELITIAN
Hak Asasi Manusia,tanpa harus terlebih
Penelitian ini menggunakan metode dahulu melakukan perubahan konstitusi.
penelitian hukum yuridis normatif, yaitu data Undang-Undang Dasar 1945 mengenal
yang ada hubungannya dengan objek penulisan, satu pembatasan atas hak asasi, dengan
baik melalui studi kepustakaan, (library research), syarat-syarat dan bentuk pembatasan yang
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang
mengacu kepada norma-norma hukum yang 6 Pasal 24C Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Jo.Undang-
Undang No.8 Tahun 2011, penegakan HAM dalam
4 Alec stone Sweet, The Politics of Constitusional Review in kewenangannya baru secara tegas dapat dilakukan melalui
France and Europe, I.CON Volume 5, 2007 pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap
5 Ibid. UUD1945 (constitutional review).
disebut dengan tegas, namun tidak mudah dengan Undang-Undang. Semangat inilah
menerapkannya dalam praktek, ketika yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
dikatakan bahwa; Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 28I UUD 1945
“Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk Mahkamah Konstitusi juga mencoba
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan melihat dari perkembangan sejarah
Undang-Undang dengan maksud semata- konstitusionalisme Indonesia tatkala
mata untuk menjamin pengakuan serta merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia),
penghormatan atas hak dan kebebasan orang dengan rujukan atau latarbelakang
lain dan untuk memenuhi tuntutanyang adil Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai Dari ketetapan MPR tersebut kemudian
agama, keamanan dan ketertiban umum lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun
dalam suatu masyarakat yang demokratis”. 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat
keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39
2-3/PUU-VI, Tahun 2007 Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut
Mahkamah Konstitusi (MK) pendirian bahwa hak asasi manusia bukan
menolak permohonan tentang pengujian tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat
konstitusionalitas hukuman matidan yang sama juga terdapat dalam pengaturan
menyatakan hukuman mati tidak tentang hak asasi dalam UUD 1945,yaitu
bertentangan dengan UUD 1945,dengan bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-
memperhatikan berbagai titik pandang bebasnya melainkan dimungkinkan untuk
oleh parah ahli yang sudah didengar oleh dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan
Mahkamah Konstitusi,sehingga tampak dengan Undang-Undang. Semangat inilah
bahwa meskipun hak untuk hidup diakui yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
dalam pasal 28A,namun keberlakuannya Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
tidak mutlak karena adanya pembatasan Pasal 28J itu mencakup Pasal 28A sampai
yang dikenal dalam Pasal 28J ayat (2) dengan Pasal 28I UUD 19457.
UUD 1945. Kita melihat bahwa mayoritas Ketetapan MPR Nomor XVII/
hakim MK dalamputusan tersebut mencoba MPR/1998 tentang Hak Asasi oleh
mencari keseimbangan antara hak asasi Manusia,yang kemudian dijabarkan lebih
individu dengan perlindungan kepentingan lanjut dalam UU HAM, MK dipandang
masyarakat dan bangsa. sebagai kelanjutan sekaligus penegasan
Dikatakan bahwa tatkala merumuskan bahwa pandangan konstitusionalisme
Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya Indonesia tidaklah berubah karena ternyata
atau yang melatar belakanginya adalah keduanya juga memuat pembatasan terhadap
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. hak asasi manusia,termasuk hak untuk
Dari ketetapan MPR tersebut kemudian hidup,sebagaimana terlihat dalam:
lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun (a) Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat selain memuat “Pandangan dan
keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/ Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi
MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Manusia” yang bersumber dari ajaran
Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut agama,nilai normal universaldan nilai
pendirian bahwa hak asasi manusia bukan luhur budaya bangsa,serta berdasarkan
tanpa batas.
Pancasila dan UUD 1945,dalam Pasal
Dikatakan pula bahwa semangat yang 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat
sama juga terdapat dalam pengaturan tentang ketentuan tentang hak untuk hidup
hak asasi manusia dalam UUD 1945,yaitu yang berbunyi,“Setiap orang berhak
bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas
untuk hidup,mempertahankan hidup
bebasnya,melainkan dimungkinkan untuk
dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan 7 Putusan No. 2-3/PUU-VI/2007 hal. 411
emosi yang tinggi,sehingga boleh jadi kita bersama dalam uji konstitusionalitas norma
terjebak dalam keinginan akan adanya konsep yang dipermasalahkan. Keterangan ahli
penanggulangan yang diwarnai kekerasan. Jeffry Fagan bersesuaian dengan pendirian
Juga tidak disangkal pidana mati,seperti kita,yang padapokoknya telah menerangkan
jenis hukuman lain, pasti memiliki dayat hal-hal seperti tidak terdapat bukti ilmiah
tangkal (deterrence) terhadap penjahat bahwa hukuman yang keras menangkal
potensial secara individual,maupun terhadap perdagangan narkotik,dan tingkat peredaran
masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi nya tetap tinggi meski sudah lebih dari
masalah detterence tidaklah semata-mata satu juta orang dipenjarakan karenanya.
hasil yang dapat dicapai dengan pidana Dinegara yang lebih sering menerapkan
mati. Penyelesaian dan cara yang cenderung pidana mati tidak tampak hubungan antara
membenarkan sikap kekerasan yang hendak pidana mati dengan tertangkalnya peredaran
diperlakukan terhadap pelaku kejahatan narkotik tersebut, tidak terjadi dampak yang
(narkoba) sebagai metode yang efektif, mengurangi peredaran maupun perubahan
justru akan menghadapkan kita pada ujian harga narkoba. Harga merupakan faktor yang
sejarah dalam mencapai peradaban bangsa paling sensitif, dengan tingginya resiko yang
yang tinggi. Meskipun argumen tingkat harus diambil,`maka harganya akan menjadi
kesalahan (error) dalam penjatuhan pidana tinggi. Sebaliknya dinegara dimana pidana
mati,dalam sejarah hukum pidana sangat mati tidak diterapkan harganya justru lebih
dikenal,dan untuk kejahatan narkoba hal tinggi.
demikian mungkin dapat dihindarkan dengan
proses peradilan bertingkat dalam criminal D. Hukuman Mati Dilihat dari Ideologi
justice system yang memungkinkan check Pancasila
and recheck,bagi kita bukanlah hal demikian Sebagai seorang dissenter dalam
yang menjadi pokok permasalahan. putusan MK tersebut diatas, penulis melihat
Masalah pokok sekarang adalah bahwa perspektif yang paling tepat dalam
bukti-bukti empirik secara ilmiah untuk pengujian konstitusionalitas hukuman mati
mendukung dalil bahwa pidana mati tersebut di Indonesia,adalah dengan melepaskan diri
merupakan faktor detterence satu-satunya dari perdebatan universal tentang kesalahan
yang sungguh efektif luar biasa,yang tidak yang tidak dapat diperbaiki ketika bukti-
dapat dicapai dengan metode lain,sehingga bukti baru muncul,dan aspek dampak jera
kita dapat menundukkan argumen filosofis (detterance effect) terhadap kejahatan yang
dalam hukum dasar sebagai hukum tertinggi terjadi,melainkan dengan menggunakan
terhadap argumen utilitarian spekulatif indikator konstitusional dalam konstitusi RI,
tersebutmeskipun bersifat sementara. menyangkut falsafah bangsa dan ideologi
Tentang ketidakmutlakan efektivitas pidana negara dalam Pancasila yang serasi dengan
mati sebagai detterance,yang dapat dirujuk hak asasi manusia secara universal dan
pada para ahli yang telah dihadapkan didepan menjadi sumber dari segala sumber hukum
Mahkamah Konstitusi,justru mengemukakan negara.10
hal-hal yang sebaliknya. Titik tolak perdebatan UUD 1945,yang terdiri dari Pembukaan
yang sesungguhnya telah berlangsung dan Batang Tubuh, yang dijadikan
berabad-abad tersebut,dan terulang dalam sebagai hukum dasar untuk menguji
pengujian konstitusionalitas,meskipun secara konsistensi produk perundang-undangan
keilmuan tetap dipandang penting,namun dibawahnya,mengandung bukan hanya norma
bukan lagi menjadi fokus atau titik tolak dasar secara juridis-konstitusional,meliputi
berpikir. juga;
Perspektif filosofis dengan batu ujian 1. Cita hukum dalam Pembukaan UUD
UUD 1945 yang sarat dengan nilai moral 1945 sebagai pandangan hidup atau
dan etika dalam pembukaan yang memberi dasar falsafah berbangsa dan bernegara,
warna pada pasal-pasal batang tubuh UUD yang membentuk moralitas konstitusi.
1945 yang relevan,harus menjadi pedoman
10 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan.
ngandung kewajiban konstitusional untuk meskipun tidak sesuai dengan standar yang
menghormati HAM manusia lain, dengan tepat, tanpa melibatkan amarah, kekecewaan
segala konsekuensi juridis yang timbul dari dan kebencian serta kecurigaan, yang mampu
cita hukum keadilan bagi seluruh rakyat melihat permasalahannya secara obyektif
Indonesia. dan jernih.Perang melawan narkotika
Jaminan perlindungan konstitusional yang merupakan kejahatan narkotikatelah
atas hak untuk hidup yang diatur dalam pasal menimbulkan penderitaan dan ancaman
28A, yang oleh pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merugikan bagi masa depan bangsa,
dinyatakan sebagai salah satu non-derogable yang secara riil juga dapat menimpa
rights, akan tetapi secara kontradiktif berdasar tiap keluarga Indonesia dan terlepas dari
pasal 28J ayat (2) dikenai pembatasan yang definisi yang kit inginkan bahwa kejahatan
oleh sebagian pihak diartikan bahwa hak demikian merupakan the most serious
untuk hidup tidak bersifat mutlak, sehingga crime, meskipun tidak sesuai dengan standar
diartikan pula bahwa pidana mati tidak yang ditetapkan secara internasional untuk
bertentangan dengan kostitusi. Saya dapat membenarkan diterapkannya pidana mati,
memahami pengertian demikian timbul hendaknya dapat diajukan analisis yang
dari ketidaktegasan perumusan hubungan tepat, tanpa melibatkan amarah, kekecewaan
antara hak untuk hidup dalam pasal 28A dan kebencian serta kecurigaan, yang
dan 28I ayat (1) dengan diperbolehkan mampu melihat permasalahannya secara
tidaknya pidana mati dalam sistem hukum obyektif dan jernih. Oleh karenanya titik
Indonesia. Pemahaman hak untuk hidup tolak dalam pengujian yang dilakukan MK
sebagai salah satu non-deragable rights yang seyogianya harus kemabali pada penilaian
dipahami dalam pengertian instrumen HAM secara filosofis menurut jiwa dan moralitas
internasional, sebagaimana dikemukakan konstitusi yang termuat dalam pembukaan
oleh pihak ahli pemerintah dan pihak UUD 1945, dan pasal-pasal yang berkaitan
terkait bahwa pasal 6 ayat (2) ICCPR masih dalam batang tubuhnya. Sila-sila dalam
membolehkan diterapkannya pidana mati pancasila membentuk kesatuan pandangan
untuk the most serious crime. Demikian pula hidup pancasila, yang bertolak dari
preambule UN convention against lllicit pandangan bahwa alam semesta dan segala
traffict in narcotics, drugs and psychotrohpic sesuatu yang ada didalamnya yang terjalin
substances 1988, dimana dikatakan bahwa secara harmonis adalah ciptaan Tuhan Yang
kejahatan narkotika menjadi ancaman Maha Esa.
terhadap kesehatan dan kesejahtraan Manusia yang diciptakan dalam kodrat
manusia, serta merongrong dasar ekonomi kebersamaan dengan manusia dan realitas
dan politik masyarakat, terutama karena lain dalam semesta alam, dengan keunikan
anak juga dilibatkan, sehingga negara kepribadiannya masing-masing, membentuk
pihak diperkenankan untuk mengadopsi satu kemanusiaan. Setiap manusia untuk
tidakan yang lebih keras daripada hukuman dapat tetap menjadi manusia, harus
penjara, denda, penyitaan hasil kejahatan mengakui dan menerima adanya kepribadian
dan lain-lainnya, telah diartikan pula sebagai unik tersebut sebagai konsekuensi kodrat
pembenaran untuk sahnya pidana mati. kebersamaan. Pengakuan dan penerimaan
Terlepas dari pendirian yang kita pribadi manusia berimplikasi lahirnya
setujui bahwa kejahatan narkotika telah pengakuan dan penghormatan atas martabat
menimbulkan penderitaan dan ancaman yang manusia, yang juga meliputi pengakuan dan
merugikan bagi masa depan bangsa, yang penghormatan akan “the sanctity of (human)
secara riil juga dapat menimpa tiap keluarga life.” Struktur kehidupan manusia dalam
Indonesia, dan terlepas dari definisi yang kebersamaan dengan sesama, dilandasi
kita inginkan bahwa kejahatan demikian pandangan hubungan kekeluargaan.
merupakan Indonesia, dan terlepas dari Tertib hukum yang diperlukan
definisi yang kita inginkan bahwa kejahatan oleh manusia adalah yang mampu untuk
demikian merupakan the most serious crime, menciptakan dan membangun kondisi yang
memungkinkan manusia secara wajar dapat Akal budi dan pengalaman empirik
merealisasikan diri secara utuh dan penuh, manusia untuk menghadapi tantangan
dan hal demikian hanya terwujud jika titik kemasyarakatan yang mengalir secara historis
tolak dan tujuan penyelanggaraan ketertiban dalam proses penegasan dan penciptaan teori,
adalah pengakuan dan penghormatan atas yang tunduk pada mekanisme pengujian
martabat dan kehormatan manusia dalam dan penyangkalan (falsifikasi), menempa
kebersamaan yang menyiratkan pengakuan manusia mampu untuk mengembangkan
atas the sanctity of life. Oleh karenanya peradabannya secara bertahap melalui ilmu
tujuan hukum berdasar pancasila adalah pengetahuan dengan segala metodologinya.
pengayoman terhadap manusia dalam Meskipun kadang-kadang karena alasan yang
kebersamaan dengan sesamanya, yang sering kali emosional dan irrasional, dan
meliputi pemeliharaan dan pengembangan alasan-alasan sosial, politik dan ekonomi,
budi pekerti manusia dan cita-cita moral penghargaan dan pandangan yang positif
yang luhur berdasar ketuhanan Yang Maha terhadap peradaban dunia yang lebih maju
Esa. justru dianut tanpa objektivitas. Sejarah
Jikalau hukum agama membenarkan peradaban umat manusia sebagaimana
penerapan pidana mati karena adanya prinsip tampak dari segala bukti empirik yang
pembalasan yang setimpal (an eye for an eye), tersaji dihadapan Mahkamah, baik dalam
maka hal demikian harus juga dilihat secara instrumen-instrumen hukum internasional
hermeneutik, yaitu teks yang diturunkan HAM, bukti empirik studi-studi sosial,
ada dalam konteks tingkat kemampuan dan filsafah pidana dan tujuan pidana yang
perkembangan masyarakat manusia saat itu melihat faktor deterrence sebagai pembenar
dalam mengelola kehidupan bersama yang pidana mati, serta studi perkembangan
tertib menurut hukum yang dapat dipahami pidana mati diseluruh dunia, menunjukkan
dan tingkat kompleksitas kelembagaan yang dengan jelas kepada kita, bahwa peradaban
ada pada saat itu. Akan tetapi sekaligus manusia sedang menuju penghapusan pidana
juga Tuhan memberi manusia akal budi mati tersebut. Oleh karenanya juga beralasan
dan pengetahuan tentang hal yang baik untuk mengutip keterangan Ahli, Abdul
dan buruk untuk mengembangkan diri dan Hakim Garuda Nusantara SH.LL.M, Ketua
kemanusiannya. Sejak manusia memakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia saat
buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, itu, yang merujuk pada proses perubahan
sejak itu manusia harus hidup berbekal yang terjadi dengan keterangannya secara
pengetahuannya, untuk mengetahui mana ringkas sebagai berikut:
yang baik dan mana yang buruk. Secara Pengamatan seorang sarjana muslim
terus menurus dia dipaksa harus mengambil di bidang HAM yaitu Mashud Baderin
pilihan. dalam bukunya International Human
Dalam melakukan pilihan ini manusia Rights and Islamic Law, menemukan
berpaling kepada pengetahuan (Jujun S. bahwa sebagian besar negara islam
Suriasumantri, 2007:39). Akal budi dan berupaya menghindari hukuman mati
pengetahuan demikian, adalah privilege melalui ketentuan prosedural atau
yang diberikan Allah kepada manusia dan keringanan procedular and commutative
tidak kepada mahluk yang lain. Kesadaran provisions yang tersedia dalam syariat
serta kepercayaan (tauhid) kepada Allah ketimbang pelarangan langsung. Nabi
ini akan menentukan kualitas progresivitas
Muhammad SAW juga diriwayatkan
sains. (Raharjo, 2006:6). Akal budi dan
menganjurkan penghindaran pidana
pengetahuan yang menghasilkan sains serta
mati sebisa mungkin.
kepercayaan kepada Tuhan tersebut menurut
hemat saya, membimbing manusia untuk Hanya terdapat 68 negara sampai
menuju keadaan yang lebih baik dalam bulan juli tahun 2006 yang masih
konteks situasi dan tingkat perkembangan menerapkan pidana mati, dan lebih dari
masyarakatnya. setengah dari negara-negara di dunia
sendiri. Original intent pembuat perubahan pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi
UUD 1945 tentang hal ini tidak dapat dilihat karena hukum membutuhkankeadilan untuk
dengan jelas dari risalah yang ada, untuk mengembalikan kesimbangan yang dicederai
menentukan apakah memang pembatasan oleh pelanggaran yang dilakukannya
pada pasal 28J ayat (2) tersebut dimaksudkan berupa pembatasan ruang geraknya dengan
secara eksplisit mengandung pembenaran ditempatkan dalam tempat khusus serta
pada pidana mati. Dari risalah juga tidak menjalani pembinaan-pembinaan tertentu
ditemukan fakta apakah pembicaraan pasal yang diwajibkan.
28J ayat (2) tersebut berkaitan dengan Oleh karenanya seandaipun dipahami
diperbolehkan tidaknya pidana mati tersebut bahwa hak untuk hidup tidak diartikan bersifat
dalam sistem pidana Indonesia. mutlak dan karenanya dapat dibatasi, maka
Meskipun sejarah perubahan UUD pembatasan tersebut tidak dapat ditafsirkan
1945 menyangkut pemuatan rangkaian sebagai hak negara untuk menghilangkan
Hak Asasi Manusia dalam Bab XA UUD hidup itu sendiri, dan oleh karenanya tidak
1945 dilakukan melalui perubahan kedua, dapat pula diartikan sebagai pemberian
dengan mengadopsi dan mengangkat materi kewenangan bagi pemerintah dan pembuat
dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Undang-Undang untuk mengatur dan
Asasi Manusia. Penjelasan pasal 9 UU a menjatuhkan pidana mati tersebut terhadap
quo menyebutkan bahwa dalam hal atau seorang terpidana yang telah dinyatakan
keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi bersalah melakukan tindak pidana berat
kepentingan hidup ibunya dalam kasus tertentu.
aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana, aborsi dan pidana mati KESIMPULAN
masih dapat diizinkan. Pidana mati dan
aborsi yang disebut sebagai pengecualian Meskipun dengan putusan Mahkamah
dalam Undang-Undang aquo, tidaklah Konstitusi yang menyatakan hukuman mati
menggunakan ukuran melalui norma dalam di Indonesia masih konstitusional, namun
UUD 1945 itu sendiri, dan seandainya hal menurut hemat penulis dari cara penundaan-
itu menjadi maksud pembuat perubahan penundaan pelaksanaan putusan hukuman
UUD 1945, tentu penjelasan yang sudah mati yang terjadi, telah menunjukkan ada
merupakan norma demikian seharusnya semacam keenganan untuk melaksanakan
diadopsi menjadi bagian kaidah konstitusi. atau menerima kenyataan hukuman mati
Oleh karena pasal 28J UUD 1945 tersebut. Hal yang sangat penting di masa
tersebut merupakan pembatasan yang mendatang yang dapat dijadikan petunjuk
berlaku terhadap seluruh hak asasi yang kuat adalah bahwa RUU KUHP telah
diatur dalam Bab XA, telah ternyata pula menempatkan pidana mati sebagai pidana
kepada kita, bahwa bobot dari hak-hak khusus atau istimewa, dengan serangkaian
yang diatur tersebut tidak sama, sehingga syarat-syarat dalam pelaksanaannya. Lagi
logis juga bahwa cara membatasinya juga pula pidana mati dalam RUU KUHP tersebut
tidak sama. Ada pembatasan yang diartikan dapat diubah menjadi pidana penjara
sebagai penundaan sementara misalnya hak seumur hidup atau penjara dalam waktu
untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk tertentu. RUU KUHP condong untuk tidak
berkomunikasi dan memperoleh informasi, menggunakan pidana mati sebagai jenis
hak untuk memilih tempat tinggal, dapat pidana yang n diutamakan.
dibatasi dengan ditunda sementara karena Faktor penting lain yang mendorong kita
keadaan perang atau bencana alam. Tetapi untuk menghapuskan hukuman mati, adalah
bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk agar Pemerintah Indonesia tidak kehilangan
yang menyatakan pembatasan hak itu dapat landasan moral ketika meminta pembatalan
dilakukan dengan menghilangkan hidup itu hukuman mati bagi migrant worker
sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi Indonesiakepada Negara lain. Keselamatan
bagian dari hak asasi orang lain yang harus warga dan perlakuan yang manusiawi akan
SARAN
Hukuman mati sebagai salah satu
instrumen pemidanaan di Indonesia perlu
dikaji dan dievaluasi kembali, penelitian
lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mengukur
seberapa kuatnya dampak efek jera dari
eksistensi hukuman mati. Selama hukuman
mati masih menjadi salah satu instrumen
pemidanaan di Indonesia, instansi penegakan
hukum harus melakukan evaluasi pada setiap
rangkaian tahap proses peradilan, lebih
mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam
menjatuhkan hukuman mati karena sangat
berkaitan dengan hak hidup seseorang.
Majalah
Siti Huulhaer, PENERAPAN HUKUMAN
MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI
FILSAFAT HUKUM, “Supremasi Hukum”
Volume 7, Nomor 1, Januari 2011.