Anda di halaman 1dari 20

JURNAL HAM

VOLUME 7 NOMOR 2, DESEMBER 2016

Jurnal HAM merupakan majalah Ilmiah yang memuat naskah-naskah di bidang Hak Asasi Manusia (HAM)
yang berupa hasil penelitian, kajian dan pemikiran di bidang HAM. Jurnal HAM terbit secara berkala 2 (dua)
nomor dalam setahun yakni pada bulan Juli dan Desember.

1. Pembina dan Penanggung Jawab : Y. Ambeg Paramarta, S.H., M.Si.


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
2. Pemimpin Redaksi : 1. T. Daniel L. Tobing, S.H.
Kepala Pusat Pengembangan Data dan Informasi
Penelitian Hukum dan Hak Asasi Manusia
2. Djoko Pudjirahardjo, S.H., M.Hum.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hak Asasi Manusia
3. Dewan Redaksi : 1. Akhyar Ari Gayo, S.H., M.H., APU
2. Taufik H. Simatupang, S.H., M.H.
3. Firdaus, S.Sos., M.H.
4. Oki Wahju Budijanto, S.E., M.M.
5. Harison Citrawan Damanik, S.H., LL.M.
4. Redaksi Pelaksana : 1. Okky Cahyo Nugroho, S.H., M.H.
2. Rahjanto, S.IP., M.Si.
3. Donny Michael, S.H., M.H.
4. Tony Yuri Rahmanto, S.H., M.H.
5. Denny Zainuddin, S.H.
6. Josefhin Mareta, S.H., M.Si.
5. Sekretaris : 1. Yatun, S.Sos.
2. Agustinus Pardede, S.H.
3. Asmadi, S.H.
4. M. Virsyah Jayadilaga, S.Si., M.P.
6. Tata Usaha : 1. Galuh Hadiningrum, S.H.
2. Junaidi Abdillah, S.Sos.
3. Suwartono
7. Teknologi Informasi dan Desain Grafis : 1. Risma Sari, S.Kom., M.Si.
2. Machyudhie, S.T.
3. Saefullah, S.ST., M.Si.
4. Agus Priyatna, S.Kom.
8. Mitra Bestari : 1. Prof. DR. Hafid Abbas (Universitas Negeri
Jakarta/ Komnas HAM)
2. Prof. DR. Rianto Adi, M.A. (Universitas Katolik
Indonesia Atmajaya/Sosiologi)
3. DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Universitas
Jayabaya/ Hukum)
4. Marulak Pardede, S.H., M.H., APU. (Balitbang
Hukum dan HAM/ Hukum)
5. DR. Alie Humaedi, S. Ag., M.Hum. (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia/Kajian Budaya)
Alamat Redaksi
Gedung Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jl. HR Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan (12940)
Telepon (021) 2525015 (ext. 514); (021) 2522952; Faksimili (021) 2522952
E-mail: ejournalham@gmail.com / pusbangdatin@gmail.com

Percetakan
PT. Pohon Cahaya
Jl. Gedung Baru Nomor 18 Jakarta Barat (11440)
Telepon (021) 5600111; Faksimili (021) 5670340

Catatan
Redaksi menerima naskah asli yang aktual dalam bidang Hak Asasi Manusia berupa hasil penelitian dari
berbagai kalangan, seperti : Peneliti Hak Asasi Manusia, praktisi dan teoritisi serta kalangan lainnya. Tulisan-
tulisan yang dimuat merupakan hasil penelitian terbaru yang memuat data dan fakta serta pendapat para ahli
maupun pribadi penulisnya, bukan merupakan pendapat redaksi.
Redaksi berhak tidak menerima, menyingkat naskah tulisan yang dikoreksi dari segi teknis penulisan sepanjang
tidak mengubah isi tulisan. Naskah tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi, maksimum 30 (tiga puluh) halaman
A4 dan dikirim melalui E-mail: ejournalham@gmail.com / pusbangdatin@gmail.com serta wajib mengupload
tulisan tersebut melalui Open Journal System (OJS) pada ejournal.balitbangham.go.id.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
KUMPULAN ABSTRAK

Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati di Indonesia Dilihat dari Perspektif HAM


(Alternative of Death Penalty of Human Rights Perspective, In Indonesia) ........................................ 69 - 83
Bungasan Hutapea
PENGANTAR REDAKSI

Jurnal HAM merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Terbitan ini
merupakan elemen penting dalam upaya penyebarluasan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah yang berkaitan
dengan isu Hak Asasi Manusia aktual yang sesuai dengan perkembangan terkini kebutuhan masyarakat, baik
yang dilakukan oleh para peneliti internal di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak
Asasi Manusia maupun pihak-pihak yang terkait lainnya.
Pada Volume 7 Nomor 2, Desember 2016, Jurnal HAM menyajikan 6 (enam) tulisan, dengan masing-
masing judul: (1) Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati di Indonesia Dilihat dari Perspektif HAM, (2) Pemenuhan
Hak atas Perumahan yang Layak bagi Masyarakat Miskin Kota dalam Perspektif HAM, (3) Aspek Hak Sipil
dalam Kesetaraan Gender di Sektor Kerja Formal di Ternate, (4) Penanaman Budaya Anti Kekerasan Sejak
Dini melalui Kearifan Lokal Permainan Tradisional pada Pendidikan Anak, (5) Pemenuhan Hak atas Layanan
Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin, (6) Penegakkan Hukum Kelompok Rentan (Anak dan Perempuan).
Akhir kata, Dewan Redaksi menyampaikan selamat membaca dan semoga beberapa topik yang diangkat oleh
redaksi dalam terbitan Jurnal HAM Volume 7 Nomor 2, Desember 2016 ini dapat bermanfaat bagi pembaca
serta dapat berkontribusi positif bagi upaya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kami menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Pusat Pengembangan Data dan
Informasi Penelitian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta kepada Prof. DR. Hafid Abbas, Prof. DR. Rianto
Adi, M.A., DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Marulak Pardede, S.H., M.H., APU., DR. Alie Humaedi, S. Ag.,
M.Hum., selaku Mitra Bestari yang telah bersedia membantu memeriksa dan mengoreksi substansi tulisan dari
para penulis.
Jakarta, Desember 2016

Redaksi
Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

ALTERNATIF PENJATUHAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA


DILIHAT DARI PERSPEKTIF HAM
(Alternative of Death Penalty of Human Rights Perspective, In Indonesia)
Bungasan Hutapea
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta Selatan 12940
Email: hutapeabungasan@gmail.com
Tulisan Diterima, 24-08-2016; Direvisi, 06-11-2016; Disetujui diterbitkan, 01-12-2016

ABSTRACT
The death penalty is an important thing in the criminal justice process. Its practice by the state with a verdict,
that means state takes a life right of convict which is a nonderogable right. Therefore, its practice must pay
attention to their human right. The purpose of this research is to know death penalty of the offenders and its
criteria against to the human right or not. This method of this research is normative juridical with secondary
data. It concludes that death penalty against to human right and its stipulation can be justifiable by reasoning
to defend the human right and merely on crime tend to beyond humanity.
Keywords: death penalty, human rights.

ABSTRAK
Penjatuhan pidana mati merupakan bagian terpenting dari proses peradilan pidana. Penerapan pidana mati
oleh Negara melalui putusan pengadilan, berarti Negara mengambil hak hidup terpidana yang merupakan
hak asasi manusia yang sifatnya tidak dapat dibatasi (non derogable). Oleh karena itu penerapannya harus
memperhatikan Hak Asasi Manusia terpidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penjatuhan
hukuman mati bagi pelaku kejahatan, bertentangan dengan atau tidak dengan hak asasi manusia dan kriteria
penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Metode yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa
penjatuhan pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan penetapan dapat dibenarkan dengan
alasan membela hak asasi manusia dan hanya pada kejahatan yang bersifat melampaui batas kemanusiaan.
Kata kunci: Pidana Mati, HAM.

PENDAHULUAN bahwa pandangan dihapuskannya hukuman mati


tersebut dari sistem hukum Negara-negara di
Sejarah panjang kemanusiaan dan hukum dunia, semakin dekat.Pandangan negara-negara
pidana, sesunguhnya telah memperdebatkan tersebut mulai terlihat jelas ketika Majelis Umum
hukuman mati dan tidak kunjung henti, baik PBB mengeluarkan resolusi untuk melakukan
dari sisi teori pemidanaan dengan prevensi atau moratorium terhadap hukuman mati. Pada
deterrence effect, maupun dari sisi filosofis Sidang umum tersebut 109 negara mendukung
teologis tentang hak menjatuhkannya, sedangkan resolusi tersebut, 41 negara menolak (termasuk
dari sisi hak asasi manusia dengan instrument Indonesia) dan 35 negara abstain. Berdasarkan
HAM internasional, maupun regional, setelah resolusi Majelis Umum PBB pada tahun 2010
terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didukung 109 negara, demikian terlihat
dan diterimanya Universal Declaration of Human kecenderungan yang kuat bagi dunia internasional
Rights serta ICCPR secara lambat tapi pasti untuk memberlakukan moratorium dan bahkan

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 69


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

menghapus penjatuhan hukuman mati.1Meskipun negara hukum yang demokrasi yang berdasarkan
Indonesia ikut serta sebagai pihak dalam konstitusi,menetapkan bahwa hak asasi manusia
instrumen-instrumen HAM Universal, dengan tersebut merupakan unsur penting yang harus ada
klausul yang mengikat bahwa Negara pihak tidak dan memperoleh perlindungan dan penghormatan
akan lagi menerapkan hukuman mati, dengan yang dijamin dan dipenuhi oleh Negara dan
pengecualian terhadap apa yang disebut “the most Pemerintah. Justru perlindungan dan jaminan
serious crime” maka dengan pemahaman yang pemenuhan terhadapnya menjadi salah satu
berbeda dari ketentuan “the most serous crime” tujuan yang paling dasar dari dibentuknya
dalam instrument HAM Universal. suatu negaradan menjadi tolok ukur keabsahan
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tindakan pemerintahan. Pelanggaran terhadapnya
RI.Nomor 2-3/PUU-VI/2007 mengenai perkara yang dilakukan pemerintah,baikdalam tindakan
pengujian konstitusionalitas hukuman mati dalam atau perbuatan tertentu dan terutama dalam
Undang-Undang narkotika MK telah menyatakan pembentukan kebijakan-kebijakan publik, me­
hukuman mati tidak bertentangan dengan nyebabkan tindakan dan produk kebijakan
konstitusi, meskipun pertimbangannya merujuk publik yang dibuat menjadi tidak sah. Hak asasi
juga kepada hak asasi manusia khususnya hak yang meliputi hak sipil dan politik maupun hak
untuk hidupyang diakui secara universal, tetapi sosial,ekonomidan budaya,telah menjadi bagian
meletakkannya dalam suatu keseimbangan dengan dari hukum dan konstitusi Indonesia setelah
kewajiban hak asasinya untuk menghormati ratifikasi ICCPR dan ICSECR yang menjadi
hak asasi sosial masyarakat dan hak asasi orang tolok ukur berdasarkan kebijakan dan tindakan
lain.2Dengan pertimbangan yang sarat keragaman pemerintahan.
perspektif, seperti isu agama, dasar negara, budaya, Perkembangan Konstitusional yang didasar­
ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat, kan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang
maka terlepas dari pendapat umum yang mengatur lembaga-lembaga negara,memberi
berkembang di masyarakat bahwa hukuman mati kewenangan dan membatasi penggunaannya,secara
dibutuhkan untuk menangkal meluasnya kejahatan tradisional hanya didasarkan pada konstitusi yang
narkoba yang berakibat merusak generasi muda. lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan
Seorang penulis memberi komentar putusan (separation of powers) dan/atau pembagian
Mahkamah Konstitusi tersebut mencerminkan kekuasaan negara (division of powers), untuk
perspektif kultural dan regional tentang hukum mencegah pemusatan kekuasaan disatu tangan,dan
hak asasi manusia internasional,termasuk untuk mencegah kesewenang-wenangan serta
pencerahan yang dilakukan tentang perdebatan penindasan atas hak-hak warga. Konstitusionalisme
“asian values”mengenai hak asasi manusia.3 tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan
Hak Asasi Manusia sebagai perangkat hak semacam itu,tidak menegaskan hak asasi manusia
yang melekat pada kodrat manusia sebagai mahluk sebagai bagian dari pembatasan yang substantif
Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah atas kekuasaan yang diselenggarakan oleh
Tuhan untuk menempatkan manusia dalam cabang-cabang kekuasaan yang ada. Orang dapat
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak mendalilkan hak asasi nya,dan dapat diterapkan
asasi tersebut bukan pemberian negara dan telah oleh hakim,tetapi hanya sejauh hak-hak ini telah
ada sebelum negara dan organisasi kekuasaan diciptakan atau diatur dalam Undang-Undang.
dalam masyarakat terbentuk. Penghormatan Hukum konstitusi membentuk hierarki norma,dan
dan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak hirarki ini mengkondisikan interprestasi. Akibat
asasi secara efektif merupakan indikator akan langsung dari inkorporasi hak asasi manusia
tingkat perkembangan peradaban satu bangsa. dalam konstitusi,adalah terbentuknya hubungan
Ciri-ciri negara modernyang mengaku sebagai hierarkis antara teks norma konstitusi dengan
Undang-Undang. Tiap pasal Undang-Undang
1 United Nations General Assembly Resolution 65/206, 21
yang melanggar hak asasi manusia,maka Undang-
Desember 2010 Undang demikian cacat sejak awal (void ab initio).
2 Kutipan merupakan pendapat penulis dalam putusan Secara khusus hukum menyiratkan status istimewa
Nomor 2-3/PUU-VI/2007.
kepada hak asasi yang menjadi hak konstitusi.
3 Natalie Zerial, Decision No.2-3/PUU-V/2007 (Indonesian
Constitusional Court), dalam Australian International Law Bagi banyak orang sebagaimana telah diuraikan
Journal, hal.218. diatas, hak asasi manusia memiliki eksistensi yang

70 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

lebih awal dan independen atau tidak tergantung terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
kepada negara. Statusnya yang istimewa tersebut konvensi internasional, perjanjian internasional
didasarkan pada jenis normativitasnya yang dan putusan pengadilan dimana sumber datanya
lebih unggul sehingga disebut norma supra didapat dari bahan kepustakaan atau data sekunder
konstitusional (supraconstitusional normativity)4 yang terdiri dari bahan hukum primer, antara lain
yang membuatnya tidak dapat diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI.Nomor 2-3/
revisi atau amandemen konstitusi,meskipun PUU-VI/2007 pembukaan UUD NRI 1945, batang
dengan mayoritas di MPR. tubuh UUD NRI 1945, peraturan perUndang-
Pergeseran menuju konstitusionalisme baru Undangan, bahan hukum sekunder, antara lain
terjadi setelah perang dunia kedua yang melihat buku-buku hasil penelitian serta pendapat para
kehancuran dan penghinaan martabat manusia, pakar, kemudian dianalisis dengan metode
Dunia Eropah mengalami revolusi yang sangat deskriptif kualitatif.
penting dengan mengkodifikasikan hak-hak
manusia.5 Secara masif diseluruh dunia terjadi PEMBAHASAN
konstitusionalisasi hak asasi manusia,sehingga
konstitusi mengatur dan menjadikan hak asasi A. Mahkamah Konstitusi dan Constitutional
manusia sebagai bagian dari konstitusi serta Review
membentuk suatu sistem keadilan untuk menjamin
Penegakan konstitusionalisme de­
dan mempertahankan hak-hak tersebut,mana
ngan isi yang memberi pembatasan ter­
kala terjadi pelanggaran terhadapnya. Gerak
hadap penyelenggaraan kekuasaan, memuat
menginkorporasikan hak-hak asasi manusia
tolok ukur hak asasi manusia untuk menguji
kedalam konstitusi dan menjadikannya sebagai
tin­dakan-tindakan pemerintahan dalam
tolok ukur dan pembatasan kekuasaan negara dan
kerangka perlindungan dan kebahagiaan
pemerintahan,menciptakan hirarki norma dalam
warga. Tugas dan fungsi untuk menegakkan
kontitusi itu sendiri. Hak asasi yang memiliki satu
konstitusional­isme berdasarkan hak asasi yang
kedudukan yang lebih tinggi dan permanen,tidak
mem­bentuk norma konstitusisebagai sistem
dapat diubah dan dihapus oleh kekuatan politik
kontrol yang demokratis diserahkan kepada
mayoritas,pertentangan antara norma konstitusi
sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga dan
yang merupakan hak asasi dengan norma yang
tugas pokok mengawal konstitusionalitas
bukan hak asasi, maka norma yang merupakan hak
tindakan pemerintahan,dengan kewenangan
asasi akan mengesampingkan norma yang bukan
constitutional review untuk membatalkan
hak asasi. Yang menjadi permasalahan adalah:
tindakan pemerintah dalam legislasi atas
1) Mengapa perlu penghapusan hukuman mati dasar bahwa tindakan itu telah melanggar
sebagai salah satu instrumen penghukuman konstitusi termasuk hak asasi manusia.
utama di Indonesia? Meskipun kewenangan Mahkamah
2) Apa yang menjadi pertimbangan atau KonstitusiIndonesia masih terbatas dalam
landasan filosofis, sosiologis, HAM dan penegakan atau jaminan atas hak asasi
teologis penghapusan hukuman mati bagi manusia6, Mahkamah Konstitusi dapat
pelaku kejahatan? dengan konsepsi judical acti­vism yang
lebih kuat,memampukan diri untuk lebih
memperdayakan pengawalan konstitusi dan
METODE PENELITIAN
Hak Asasi Manusia,tanpa harus terlebih
Penelitian ini menggunakan metode dahulu melakukan perubahan konstitusi.
penelitian hukum yuridis normatif, yaitu data Undang-Undang Dasar 1945 mengenal
yang ada hubungannya dengan objek penulisan, satu pembatasan atas hak asasi, dengan
baik melalui studi kepustakaan, (library research), syarat-syarat dan bentuk pembatasan yang
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang
mengacu kepada norma-norma hukum yang 6 Pasal 24C Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Jo.Undang-
Undang No.8 Tahun 2011, penegakan HAM dalam
4 Alec stone Sweet, The Politics of Constitusional Review in kewenangannya baru secara tegas dapat dilakukan melalui
France and Europe, I.CON Volume 5, 2007 pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap
5 Ibid. UUD1945 (constitutional review).

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 71


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

disebut dengan tegas, namun tidak mudah dengan Undang-Undang. Semangat inilah
menerapkannya dalam praktek, ketika yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
dikatakan bahwa; Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 28I UUD 1945
“Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk Mahkamah Konstitusi juga mencoba
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan melihat dari perkembangan sejarah
Undang-Undang dengan maksud semata- konstitusionalisme Indonesia tatkala
mata untuk menjamin pengakuan serta merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia),
penghormatan atas hak dan kebebasan orang dengan rujukan atau latarbelakang
lain dan untuk memenuhi tuntutanyang adil Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai Dari ketetapan MPR tersebut kemudian
agama, keamanan dan ketertiban umum lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun
dalam suatu masyarakat yang demokratis”. 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat
keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39
2-3/PUU-VI, Tahun 2007 Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut
Mahkamah Konstitusi (MK) pendirian bahwa hak asasi manusia bukan
menolak permohonan tentang pengujian tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat
konstitusionalitas hukuman matidan yang sama juga terdapat dalam pengaturan
menyatakan hukuman mati tidak tentang hak asasi dalam UUD 1945,yaitu
bertentangan dengan UUD 1945,dengan bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-
memperhatikan berbagai titik pandang bebasnya melainkan dimungkinkan untuk
oleh parah ahli yang sudah didengar oleh dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan
Mahkamah Konstitusi,sehingga tampak dengan Undang-Undang. Semangat inilah
bahwa meskipun hak untuk hidup diakui yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
dalam pasal 28A,namun keberlakuannya Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
tidak mutlak karena adanya pembatasan Pasal 28J itu mencakup Pasal 28A sampai
yang dikenal dalam Pasal 28J ayat (2) dengan Pasal 28I UUD 19457.
UUD 1945. Kita melihat bahwa mayoritas Ketetapan MPR Nomor XVII/
hakim MK dalamputusan tersebut mencoba MPR/1998 tentang Hak Asasi oleh
mencari keseimbangan antara hak asasi Manusia,yang kemudian dijabarkan lebih
individu dengan perlindungan kepentingan lanjut dalam UU HAM, MK dipandang
masyarakat dan bangsa. sebagai kelanjutan sekaligus penegasan
Dikatakan bahwa tatkala merumuskan bahwa pandangan konstitusionalisme
Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya Indonesia tidaklah berubah karena ternyata
atau yang melatar belakanginya adalah keduanya juga memuat pembatasan terhadap
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. hak asasi manusia,termasuk hak untuk
Dari ketetapan MPR tersebut kemudian hidup,sebagaimana terlihat dalam:
lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun (a) Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat selain memuat “Pandangan dan
keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/ Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi
MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Manusia” yang bersumber dari ajaran
Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut agama,nilai normal universaldan nilai
pendirian bahwa hak asasi manusia bukan luhur budaya bangsa,serta berdasarkan
tanpa batas.
Pancasila dan UUD 1945,dalam Pasal
Dikatakan pula bahwa semangat yang 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat
sama juga terdapat dalam pengaturan tentang ketentuan tentang hak untuk hidup
hak asasi manusia dalam UUD 1945,yaitu yang berbunyi,“Setiap orang berhak
bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas
untuk hidup,mempertahankan hidup
bebasnya,melainkan dimungkinkan untuk
dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan 7 Putusan No. 2-3/PUU-VI/2007 hal. 411

72 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

dan kehidupannya,”namun dalam Pasal Asasi islami yang diselenggarakan


36 juga dimuat pembatasan terhadap oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf
hak asasi manusia termasuk hak untuk a deklarasi tersebut menyatakan, “
hidup sebagai berikut, “Di dalam Kehidupan adalah berkah Tuhan dan
menjalankan hak dan kebebasannya hak untuk hidup dijamin bagi setiap
setiap orang wajib tunduk kepada umat manusia. Adalah tugas dari
pembatasan-pembatasan yang ditetap­ individu,masyarakat dan negara-
kan oleh Undang-Undang dengan negara untuk melindungi hak-hak ini
maksud semata-mata untuk menjamin dari setiap pelanggaran apa pun,dan
pengakuan serta penghormatan atas hak dilarang untuk mencabut kehidupan
dan kebebasan orang laindan hak untuk kecuali berdasarkan syariat”.
memenuhi tuntutan yang adil sesuai Menurut pandangan negara-negara anggota
dengan pertimbangan moral,keamanan OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak
dan ketertiban umum dalam suatu di dasarkan atas hukum yang bersumber dari
masyarakat demokratis. syariat itulah yang dilarang;9
(b) UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) Meskipun UUD 1945 mengadopsi hak-
dimuat ketentuan tentang hak untuk hak asasi yang sifatnya universal, menurut
hidup dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pandangan MK clausul Pasal 6 ICCPR,
hak untuk hidup termasuk hak asasi masih membuka kemungkinan bagi Negara
manusia yang tidak dapat dikurangi untuk menerapkan hukuman mati, Indonesia
dalam keadaan apapun dan oleh mengartikan bahwa most serious crime
meliputi kejahatan narkotika, kejahatan-
siapapun. Namun Penjelasan Pasal 9
kejahatan dalam Konvensi Narkotika dan
UU HAM menyatakan bahwa hak untuk
Psikotropika disebut sebagai kejahatan
hidup dapat dibatasi dalam dua hal,yaitu
yang “particularly serious” tersebut sama-
dalam hal aborsi untuk kepentingan sama “adversarily affect economic, cultural
hidup ibunya dan dalam hal pidana and political foundation of society“ dan
mati berdasarkan pidana mati putusan sama-sama pula membawa “a danger of
pengadilan. Selain itu,Pasal 73 UU. incalculable gravity “.
HAM juga memuat ketentuan mengenai
pembatasan terhadap hak asasi manusia C. Pidana Mati: Deterrence/Preventie
sebagai berikut, “Hak dan Kebebasan Argumen ini telah secara luas dikemuka­
yang diatur dalam Undang-Undang kan ahli, baik yang diajukan oleh Pemerintah
ini hanya dapat dibatasi oleh dan maupun beberapa ahli yang diundang
berdasarkan Undang-Undang,semata- Mahkamah, secara intensif dikemukakan
mata untuk menjamin pengakuan dan oleh Pemerintah dan BNN,bahwa pidana
penghormatan terhadap hak asasi mati memiliki daya tangkal terhadap pelaku
kejahatan,dan sangat dibutuhkan untuk
manusia serta kebebasan dasar orang
mencegah semakin meraja lelanya ke­jahatan
lain,kesusilaan,ketertiban umum,dan
narkoba,yang telah membawa korban yang
kepentingan bangsa”.8
besar jumlahnya,serta membahayakan masa
Dalam kaitan dengan prespektif depan bangsa. Indonesia akan menjadi
hukum agama Mahkamah Konstitusi surga bagi pengedar narkoba jika pidana
menyatakan bahwa Indonesia sebagai mati dihapuskan. Tidak disangkal bahwa
negara dengan penduduk muslim tingkat kejahatan narkoba dan akibat-akibat
terbesar di dunia dan juga anggota yang ditimbulkannya kepada generasi
Organisasi Konferensi Islam (OKI) muda, sangat memprihatinkan, bahkan
secara moral perlu memperhatikan isi telah mencapai batas kesabaran banyak
Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak keluarga,yang menimbulkan kemarahan dan

8 Ibid. hal.413 9 Ibid.

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 73


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

emosi yang tinggi,sehingga boleh jadi kita bersama dalam uji konstitusionalitas norma
terjebak dalam keinginan akan adanya konsep yang dipermasalahkan. Keterangan ahli
penanggulangan yang diwarnai kekerasan. Jeffry Fagan bersesuaian dengan pendirian
Juga tidak disangkal pidana mati,seperti kita,yang padapokoknya telah menerangkan
jenis hukuman lain, pasti memiliki dayat hal-hal seperti tidak terdapat bukti ilmiah
tangkal (deterrence) terhadap penjahat bahwa hukuman yang keras menangkal
potensial secara individual,maupun terhadap perdagangan narkotik,dan tingkat peredaran
masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi nya tetap tinggi meski sudah lebih dari
masalah detterence tidaklah semata-mata satu juta orang dipenjarakan karenanya.
hasil yang dapat dicapai dengan pidana Dinegara yang lebih sering menerapkan
mati. Penyelesaian dan cara yang cenderung pidana mati tidak tampak hubungan antara
membenarkan sikap kekerasan yang hendak pidana mati dengan tertangkalnya peredaran
diperlakukan terhadap pelaku kejahatan narkotik tersebut, tidak terjadi dampak yang
(narkoba) sebagai metode yang efektif, mengurangi peredaran maupun perubahan
justru akan menghadapkan kita pada ujian harga narkoba. Harga merupakan faktor yang
sejarah dalam mencapai peradaban bangsa paling sensitif, dengan tingginya resiko yang
yang tinggi. Meskipun argumen tingkat harus diambil,`maka harganya akan menjadi
kesalahan (error) dalam penjatuhan pidana tinggi. Sebaliknya dinegara dimana pidana
mati,dalam sejarah hukum pidana sangat mati tidak diterapkan harganya justru lebih
dikenal,dan untuk kejahatan narkoba hal tinggi.
demikian mungkin dapat dihindarkan dengan
proses peradilan bertingkat dalam criminal D. Hukuman Mati Dilihat dari Ideologi
justice system yang memungkinkan check Pancasila
and recheck,bagi kita bukanlah hal demikian Sebagai seorang dissenter dalam
yang menjadi pokok permasalahan. putusan MK tersebut diatas, penulis melihat
Masalah pokok sekarang adalah bahwa perspektif yang paling tepat dalam
bukti-bukti empirik secara ilmiah untuk pengujian konstitusionalitas hukuman mati
mendukung dalil bahwa pidana mati tersebut di Indonesia,adalah dengan melepaskan diri
merupakan faktor detterence satu-satunya dari perdebatan universal tentang kesalahan
yang sungguh efektif luar biasa,yang tidak yang tidak dapat diperbaiki ketika bukti-
dapat dicapai dengan metode lain,sehingga bukti baru muncul,dan aspek dampak jera
kita dapat menundukkan argumen filosofis (detterance effect) terhadap kejahatan yang
dalam hukum dasar sebagai hukum tertinggi terjadi,melainkan dengan menggunakan
terhadap argumen utilitarian spekulatif indikator konstitusional dalam konstitusi RI,
tersebutmeskipun bersifat sementara. menyangkut falsafah bangsa dan ideologi
Tentang ketidakmutlakan efektivitas pidana negara dalam Pancasila yang serasi dengan
mati sebagai detterance,yang dapat dirujuk hak asasi manusia secara universal dan
pada para ahli yang telah dihadapkan didepan menjadi sumber dari segala sumber hukum
Mahkamah Konstitusi,justru mengemukakan negara.10
hal-hal yang sebaliknya. Titik tolak perdebatan UUD 1945,yang terdiri dari Pembukaan
yang sesungguhnya telah berlangsung dan Batang Tubuh, yang dijadikan
berabad-abad tersebut,dan terulang dalam sebagai hukum dasar untuk menguji
pengujian konstitusionalitas,meskipun secara konsistensi produk perundang-undangan
keilmuan tetap dipandang penting,namun dibawahnya,mengandung bukan hanya norma
bukan lagi menjadi fokus atau titik tolak dasar secara juridis-konstitusional,meliputi
berpikir. juga;
Perspektif filosofis dengan batu ujian 1. Cita hukum dalam Pembukaan UUD
UUD 1945 yang sarat dengan nilai moral 1945 sebagai pandangan hidup atau
dan etika dalam pembukaan yang memberi dasar falsafah berbangsa dan bernegara,
warna pada pasal-pasal batang tubuh UUD yang membentuk moralitas konstitusi.
1945 yang relevan,harus menjadi pedoman
10 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan.

74 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

2. Instrumen HAM Internasional yang pengambil keputusan dalam pembentukan


relevan dan tafsiran yang digunakan hukum harus memaknai ukuran kesadaran
PBB melalui United Nations dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut,
Human Ritghts Commite maupun tanpa itu akan terjadi kesenjangan antara
United Nations Council For Human cita hukum dengan norma yang dibentuk.
Rights,untuk digunakan sebagai alat Cita hukum pancasila yang termuat
penolong dalam comparative study dalam pembukaan UUD 1945, sekaligus
interpretation terhadap pasal 28 I dan sebagai norma fundamental negara, harus
pasal 28J ayat (2),serta mewarnai norma hukum yang dibentuk dari
sumber otoritas dan norma hukum yang
3. Hasil-hasil penelitian dan kajian ilmiah
dibentuk dari norma fundamental negara,
secara kriminologis dan sosiologis harus mewarnai norma hukum yang dari
tetntang tujuan dan falsafah pemidanaan norma fundamental tersebut juga harus
serta effektivitas doktrin detterance atau menerima aliran nilai-nilai yang terkandung
prevention yang dilakukan didalam dalam cita-cita hukum tersebut. Oleh
negeri maupun negara lain. karenanya berbeda dengan perdebatan di
Suatu hal yang utama bagi Mahkamah dunia sepanjang abad tentang pidana mati,
meninjau struktur UUD 1945 sebagai yang banyak melihat dari teori pemidanaan
hukum dasar atau tertinggi,dengan empat dan tujuan pemidanaan.Maka pengujian
kali perubahan,untuk dapat melihat cita konstitusionalitas norma yang memuat
hukum yang akan mendasari dan menjiwai ancaman pidana mati dalam UU Nomor
pembuatan Undang-Undang di Negara 22 Tahun 1997, yang dipahami dan dilihat
Republik Indonesia, dengan melihat pokok- bertitik tolak secara filosofis dari Pancasila
pokok pikiran yang menggambarkan dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai
pandangan hidup bangsa tersebut. Cita pandangan hidup bangsa. Masalahnya adalah
hukum dan falsafah hidup bangsa yang akan apakah pidana mati tersebut konstitusional
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan menurut UUD 1945 atau tidak. Untuk
negara,yang dikatakan sebagai negara menentukan konsitusionalitas norma yang
hukum,harus juga memiliki fungsi kritis diajukan untuk diuji, menurut pandangan
dalam menilai kebijakan hukum (legal Arif B. Sidharta SH, dalam keterangan
policy), atau dipergunakan sebagai para­ tertulisnya, yang menyatakan bahwa :
digma yang menjadi landasan pembuatan “Pemikiran secara filosofis dan metafisis
kebijakan (policy making) dibidang hukum tentang hukuman mati perlu untuk
dan perundang-undangan, maupun dibidang memperoleh jawaban yang fundamental
sosial, ekonomi dan politik. tentang dapat dibenarkan atau tidaknya
Pembukaan UUD 1945 mewujudkan hukuman mati itu. Bagi Indonesia pemikiran
cita hukum (rechtsidee) tersebut,yang tidak kefilsafatan itu relevan sekali berhubung
lain adalah Panca sila. Cita hukum ada Indonesia tengahmembina tata hukum
dalam cita bangsa Indonesia,yang berupa nasionalnya, yakni meletakkan dasar-dasar
gagasan,rasa,cipta,karsa dan pikiran yang dan menyusun sistem hukum nasional
berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut termasuk Hukum Pidana dengan stelsel
dalam kehidupan berbangsa, dan sekaligus Pidananya. Pemikiran kefilsafatan yang
juga menjadi tujuan berbangsa dan bernegara. dapat menghasilkan sikap yang fundamental
Cita hukum dapat dipahami sebagai kontruksi terhadap hukuman mati akan menjauhkan
pikiran yang merupakan keharusan untuk kita dari pengaruh luar Indonesia....sebab
mengarahkan hukum pada cita-cita yang para pendiri negara Republik Indonesia
diinginkan masyarakat. Cita hukum yang sudah memberikan ”patokan” atau pe­
demikian berfungsi sebagai tolok ukur yang doman­nya, yakni dengan menetapkan
bersifat regulatif dan konstruktif, sehingga Pancasila sebagai landasan atau asas dalam
tanpa cita hukum demikian maka hukum menyelanggarakan kehidupan bersama
yang dihasilkan akan kehilangan makna. Para dalam kerangka organisasi; singkatnya

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 75


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

menetapkan Pancasila sebagai asas Pancasila yang menjadi pandangan


bernegara. Maka wajarlah jika Pancasila hidup dan jiwa dari Negara dan Bangsa
ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan yang dibentuk melalui proklamasi yang
bagi pembinaan dan penyelanggaraan dikumandangkan keseluruh dunia, mengikat
hukum di Indonesia. Ini berarti pancasila seluruh warganegara, penyelenggara negara
adalah norma kritik untuk membina dan dan setiap orang yang berada di wilayah
menyelenggarakan hukum di Indonesia. negara R.I. dan sekaligus mana kala perlu
Meskipun nilai-nilai dan konsep hak dipandang sebagai hak istimewa atau
asasi yang diadopsi dalam UUD 1945, privilege untuk memperoleh perlakuan
dalam sejarahnya telah lebih awal dari yang bermatabat dalam bentuk kebebasan
Universal Declaration of Human Rights, ia yang dibatasi oleh hukum yang dijabarkan
tetap memiliki Universalitas yang relevan, dari pandangan hidup bangsa. Nilai utama
walaupun kemudian nilai dan konsep yang relevan dengan pengujian ini adalah
HAM dalam perkembangan lanjutan, apa yang diwariskan para founding fathers
melalui instrumen HAM Internasional sebagai nilai keadilan dan kemanusiaan
mempengaruhi pelembagaannya secara yang tinggi dalam kalimat pembukaan
lebih lengkap di dalam sistem hukum dan UUD 1945,sebagaiberikut “disusunlah
konstitusi Indonesia, dimana satu dengan kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
yang lain justru saling bersesuaian. Oleh dalam satu Undang-Undang Dasar Negara
karenanya dalam melakukan multi tafsir atas Indonesia, yang berbentuk dalam suatu
ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945, sususan Negara Republik Indonesia yang
perkembangan dan pemahaman atas konsep- berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
konsep yang relevan patut menjadi perhatian. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Apalagi setelah ratifikasi instrumen HAM Yang Adil dan Beradab”
seperti ICCPR dan ICESCR dan duduknya Nilai yang terkandung dalam sila
Negara Indonesia dalam United Nations Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan
Human Rights Council,yang menimbulkan yang adil dan beradab sebagaimana termuat
keterikatan Indonesia atas kewajiban dalam pembukaan UUD 1945 merupaka azas
internasional, juga akan memberi warna kerohanian yang menjadi jiwa, semangat
bagaimana Mahkamah Konstitusi sebagai dasar, pedoman dan cita-cita dari semua
Lembaga Negara yang kompeten untuk itu, aturan hukum yang dibentuk sebagai kaidah
harus memahami kaidah-kaidah kontitusi yang operasional yang diturunkan dari UUD
dalam UUD 1945. 1945 yang memandang manusia sebagai
Setelah empat kali perubahan UUD mahluk ciptaan Tuhan yang sanagt berharga
1945, kesepakatan yang diambil telah dan memiliki martabat yang tinggi karena
menghapus penjelasan UUD 1945, akan dikarunia akal dan budi. Cita hukum demikian
tetapi nilai-nilai dan pemahaman yang yang memandang manusia mahluk ciptaan
terkandung di dalamnya, tetap bermanfaat Tuhan yang sangat berharga dengan martabat
dalam multi tafsir historis, terutama karena dan harkatnya yang tinggi, merupakan
memang ketentuan yang bersifat normatif pokok kaidah negara yang fundamental atau
dalam penjelasan diadopsi dan dirumuskan staatsfundamentalnorm yang harus mendasari
sebagai ketentuan pasal dalam batang tubuh dan tercermin dalam kaidah kaidah atau
UUD 1945. Sebagai dokumen historis, aturan hukum yang mengikat bagi seluruh
penjelasan tersebut dapat menggambarkan warganegara, yang secara operasional
jiwa bangsa yang dibentuk dengan UUD dijabarkan dalam batang tubuh UUD 1945
1945 tersebut, yang dikatakan sebagai sebagai norma dasar sebagaimana tertuang
semangat para penyelanggara, yang tentu dalam pasal 28A, tentang hak untuk hidup
saja diharapkan akan sepenuhnya sadar akan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
nilai-nilai luhur yang termuat dalam UUD apapun, dengan mana harus diartikan
1945, baik yang termuat dalam Pembukaan perlindungan dan pemenuhan terhadapnya
maupun dalam Batang Tubuh. merupakan tanggung jawab negara, terutama
Pemerintah. Negara yang mendasarkan

76 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

pelakuan terhadap setiap orang warganegara mencoba memperkenalkan substansi


atau bukan dengan didasari satu peradaban yang bersifat ekonomi dan sosial,
bangsa yang tinggi yang menjungjung tinggi yaitu hak untuk hidup meliputi hak
harkat dan martabat manusia sebagai bagian atas makanan, pekerjaan, pengobatan,
dari keluruhan budi manusia pancasila, dan lingkungan hidup yang sehat
mengandung arti bahwa manusia sebagai (william schabas,2006). “the right to
sesama dalam kehidupan sosial, bangsa dan live”diartikan sebagai hak untuk suatu
negara diletakkan dalam satu kedudukan yang
kualitas yang membedakan manusia
luhur. Sebagai subyek yang tinggi nilainya,
sebagai mahluk yang bermartabat,
baik dalam kedudukan sebagai warga yang
yang sangat vital dan fungsional
diperintah atau dalam kedudukan sebagai
penyelenggara negara yang berkuasa, dalam dibandingkan dengan satu tubuh atau
keseluruhan kualitasnya demikian harus barang yang mati, sementara “the right
merefleksikan nilai kemusiaan yang adil to live”diartikan sebagai hak untuk terus
dan beradab berdasar ketuhanan yang maha hidup atau memiliki penghidupan.
esa. Pembukaan UUD 1945 mengandung Tampaknya, pandangan yang luas
substansi yang mewajibkan pemerintah tersebut juga diadopsi dalam pasal 9 Undang-
dan penyelenggara negara lainnya untuk Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang asasi manusia. Hak untuk hidup, baik untuk
menghormati martabat dan harkat manusia meneruskan eksistensi kehidupannya maupun
sebagai keadaban bangsa yang di pedomani hak untuk memperoleh bahan makanan dan
teguh dan sebagai cita-cita moral rakyat diberikan kepada manusia yang menempati
yang luhur. Rechtsidee ini menguasai hukum posisi yang tinggi, karena hidup manusia
dasar negara, sebagai kerohanian UUD yang sangat berharga dengan segala martabat
akan menjadi ukuran bagi konstitutionalitas dan harkatnya, yang merupakan pendirian
kaidah pelaksanaan dalam Undang-Undang yang didasari budi pekerti luhur yang
yang diturunkan dari Undang-Undang dasar diperintahkan UUD 1945. Karenanya sebagai
1945. hak yang paling mulia dan tinggi yang perlu
Dengan suasana kebatinan demikian, dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia
pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, sebagai pemberian Tuhan, Hukum dan
yang sarat dengan prinsip-prinsip moralitas Undang-Undang yang berlaku seyogianya
konstitusi, adalah merupakan nilai yang juga menempatkan hidup manusia jawab
dipedomani dalam membaca konstitusi sosial atau tanggung jawab hukumnya, dan
kita sebagai batu ujian (moral reading of juga menyangkut hak maupun kewajiban-
the constitution) yang kemudian harus kewajibannya.
direfleksikan oleh ketentuan perUndang- Nilai kemanusian yang menjunjung
Undangan Indonesia.Dengan sikap konsisten tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
berpegang pada prinsip budi pekerti refleksi budi pekerti luhur bangsa Indonesia,
kemanusiaan yang luhur, kita dapat melihat yang menempatkan hak untuk hidup sebagai
hakikat dan makna dari “hak untuk hidup” hak azazi manusia tertinggi, melahirkan
sebagaimana diatur dalam pasal 28A dan 281 konsekuensi logis dengan sendiri bahwa
ayat (1) UUD 1945. Hak untuk hidup yang memperlakukan pidana mati merupakan
merupakan terjemahan “the right to life” sesuatu yang menunjukkan pertentangan
dalam praktek internasional memperoleh 2 dalam dirinya serta tidak serasi dengan nilai
(dua) tafsiran : dasar serta pengakuan atas hak untuk hidup
a. Pandangan sempit, yang membatasi tersebut. Pandangan dan pendirian demikian,
perlindungan dimaksud terhadap pidana sebagai nilai dan cita hukum tidak dengan
mati, aborsi dan eksekusi secara ekstra sendirinya membebaskan manusia Indonesia
dari tanggung jawab hukum, karena sebagai
judisal;
negara hukum dan berdasarkan konstitusi
b. Pandangan yang lebih luas, yang yang memperlindungi HAM seluruh
merupakan perkembangan terakhir yang warganegara, secara timbal balik juga me­

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 77


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

ngandung kewajiban konstitusional untuk meskipun tidak sesuai dengan standar yang
menghormati HAM manusia lain, dengan tepat, tanpa melibatkan amarah, kekecewaan
segala konsekuensi juridis yang timbul dari dan kebencian serta kecurigaan, yang mampu
cita hukum keadilan bagi seluruh rakyat melihat permasalahannya secara obyektif
Indonesia. dan jernih.Perang melawan narkotika
Jaminan perlindungan konstitusional yang merupakan kejahatan narkotikatelah
atas hak untuk hidup yang diatur dalam pasal menimbulkan penderitaan dan ancaman
28A, yang oleh pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merugikan bagi masa depan bangsa,
dinyatakan sebagai salah satu non-derogable yang secara riil juga dapat menimpa
rights, akan tetapi secara kontradiktif berdasar tiap keluarga Indonesia dan terlepas dari
pasal 28J ayat (2) dikenai pembatasan yang definisi yang kit inginkan bahwa kejahatan
oleh sebagian pihak diartikan bahwa hak demikian merupakan the most serious
untuk hidup tidak bersifat mutlak, sehingga crime, meskipun tidak sesuai dengan standar
diartikan pula bahwa pidana mati tidak yang ditetapkan secara internasional untuk
bertentangan dengan kostitusi. Saya dapat membenarkan diterapkannya pidana mati,
memahami pengertian demikian timbul hendaknya dapat diajukan analisis yang
dari ketidaktegasan perumusan hubungan tepat, tanpa melibatkan amarah, kekecewaan
antara hak untuk hidup dalam pasal 28A dan kebencian serta kecurigaan, yang
dan 28I ayat (1) dengan diperbolehkan mampu melihat permasalahannya secara
tidaknya pidana mati dalam sistem hukum obyektif dan jernih. Oleh karenanya titik
Indonesia. Pemahaman hak untuk hidup tolak dalam pengujian yang dilakukan MK
sebagai salah satu non-deragable rights yang seyogianya harus kemabali pada penilaian
dipahami dalam pengertian instrumen HAM secara filosofis menurut jiwa dan moralitas
internasional, sebagaimana dikemukakan konstitusi yang termuat dalam pembukaan
oleh pihak ahli pemerintah dan pihak UUD 1945, dan pasal-pasal yang berkaitan
terkait bahwa pasal 6 ayat (2) ICCPR masih dalam batang tubuhnya. Sila-sila dalam
membolehkan diterapkannya pidana mati pancasila membentuk kesatuan pandangan
untuk the most serious crime. Demikian pula hidup pancasila, yang bertolak dari
preambule UN convention against lllicit pandangan bahwa alam semesta dan segala
traffict in narcotics, drugs and psychotrohpic sesuatu yang ada didalamnya yang terjalin
substances 1988, dimana dikatakan bahwa secara harmonis adalah ciptaan Tuhan Yang
kejahatan narkotika menjadi ancaman Maha Esa.
terhadap kesehatan dan kesejahtraan Manusia yang diciptakan dalam kodrat
manusia, serta merongrong dasar ekonomi kebersamaan dengan manusia dan realitas
dan politik masyarakat, terutama karena lain dalam semesta alam, dengan keunikan
anak juga dilibatkan, sehingga negara kepribadiannya masing-masing, membentuk
pihak diperkenankan untuk mengadopsi satu kemanusiaan. Setiap manusia untuk
tidakan yang lebih keras daripada hukuman dapat tetap menjadi manusia, harus
penjara, denda, penyitaan hasil kejahatan mengakui dan menerima adanya kepribadian
dan lain-lainnya, telah diartikan pula sebagai unik tersebut sebagai konsekuensi kodrat
pembenaran untuk sahnya pidana mati. kebersamaan. Pengakuan dan penerimaan
Terlepas dari pendirian yang kita pribadi manusia berimplikasi lahirnya
setujui bahwa kejahatan narkotika telah pengakuan dan penghormatan atas martabat
menimbulkan penderitaan dan ancaman yang manusia, yang juga meliputi pengakuan dan
merugikan bagi masa depan bangsa, yang penghormatan akan “the sanctity of (human)
secara riil juga dapat menimpa tiap keluarga life.” Struktur kehidupan manusia dalam
Indonesia, dan terlepas dari definisi yang kebersamaan dengan sesama, dilandasi
kita inginkan bahwa kejahatan demikian pandangan hubungan kekeluargaan.
merupakan Indonesia, dan terlepas dari Tertib hukum yang diperlukan
definisi yang kita inginkan bahwa kejahatan oleh manusia adalah yang mampu untuk
demikian merupakan the most serious crime, menciptakan dan membangun kondisi yang

78 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

memungkinkan manusia secara wajar dapat Akal budi dan pengalaman empirik
merealisasikan diri secara utuh dan penuh, manusia untuk menghadapi tantangan
dan hal demikian hanya terwujud jika titik kemasyarakatan yang mengalir secara historis
tolak dan tujuan penyelanggaraan ketertiban dalam proses penegasan dan penciptaan teori,
adalah pengakuan dan penghormatan atas yang tunduk pada mekanisme pengujian
martabat dan kehormatan manusia dalam dan penyangkalan (falsifikasi), menempa
kebersamaan yang menyiratkan pengakuan manusia mampu untuk mengembangkan
atas the sanctity of life. Oleh karenanya peradabannya secara bertahap melalui ilmu
tujuan hukum berdasar pancasila adalah pengetahuan dengan segala metodologinya.
pengayoman terhadap manusia dalam Meskipun kadang-kadang karena alasan yang
kebersamaan dengan sesamanya, yang sering kali emosional dan irrasional, dan
meliputi pemeliharaan dan pengembangan alasan-alasan sosial, politik dan ekonomi,
budi pekerti manusia dan cita-cita moral penghargaan dan pandangan yang positif
yang luhur berdasar ketuhanan Yang Maha terhadap peradaban dunia yang lebih maju
Esa. justru dianut tanpa objektivitas. Sejarah
Jikalau hukum agama membenarkan peradaban umat manusia sebagaimana
penerapan pidana mati karena adanya prinsip tampak dari segala bukti empirik yang
pembalasan yang setimpal (an eye for an eye), tersaji dihadapan Mahkamah, baik dalam
maka hal demikian harus juga dilihat secara instrumen-instrumen hukum internasional
hermeneutik, yaitu teks yang diturunkan HAM, bukti empirik studi-studi sosial,
ada dalam konteks tingkat kemampuan dan filsafah pidana dan tujuan pidana yang
perkembangan masyarakat manusia saat itu melihat faktor deterrence sebagai pembenar
dalam mengelola kehidupan bersama yang pidana mati, serta studi perkembangan
tertib menurut hukum yang dapat dipahami pidana mati diseluruh dunia, menunjukkan
dan tingkat kompleksitas kelembagaan yang dengan jelas kepada kita, bahwa peradaban
ada pada saat itu. Akan tetapi sekaligus manusia sedang menuju penghapusan pidana
juga Tuhan memberi manusia akal budi mati tersebut. Oleh karenanya juga beralasan
dan pengetahuan tentang hal yang baik untuk mengutip keterangan Ahli, Abdul
dan buruk untuk mengembangkan diri dan Hakim Garuda Nusantara SH.LL.M, Ketua
kemanusiannya. Sejak manusia memakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia saat
buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, itu, yang merujuk pada proses perubahan
sejak itu manusia harus hidup berbekal yang terjadi dengan keterangannya secara
pengetahuannya, untuk mengetahui mana ringkas sebagai berikut:
yang baik dan mana yang buruk. Secara  Pengamatan seorang sarjana muslim
terus menurus dia dipaksa harus mengambil di bidang HAM yaitu Mashud Baderin
pilihan. dalam bukunya International Human
Dalam melakukan pilihan ini manusia Rights and Islamic Law, menemukan
berpaling kepada pengetahuan (Jujun S. bahwa sebagian besar negara islam
Suriasumantri, 2007:39). Akal budi dan berupaya menghindari hukuman mati
pengetahuan demikian, adalah privilege melalui ketentuan prosedural atau
yang diberikan Allah kepada manusia dan keringanan procedular and commutative
tidak kepada mahluk yang lain. Kesadaran provisions yang tersedia dalam syariat
serta kepercayaan (tauhid) kepada Allah ketimbang pelarangan langsung. Nabi
ini akan menentukan kualitas progresivitas
Muhammad SAW juga diriwayatkan
sains. (Raharjo, 2006:6). Akal budi dan
menganjurkan penghindaran pidana
pengetahuan yang menghasilkan sains serta
mati sebisa mungkin.
kepercayaan kepada Tuhan tersebut menurut
hemat saya, membimbing manusia untuk  Hanya terdapat 68 negara sampai
menuju keadaan yang lebih baik dalam bulan juli tahun 2006 yang masih
konteks situasi dan tingkat perkembangan menerapkan pidana mati, dan lebih dari
masyarakatnya. setengah dari negara-negara di dunia

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 79


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

telah menghapuskannya untuk seluruh Dengan mengutip kembali ungkapan


kategori kejahatan. Sebelas negara hakim Chaskalson, saya juga melihat bahwa
menghapus pidana mati untuk kategori kematian merupakan bentuk hukuman yang
kejahatan biasa, tiga puluh negara paling ekstrim, yang sifatnya final dan
melakukan moratorium de facto tidak tidak dapat ditarik kembali.Pidana mati
menerapkan pidana mati dan total seratus juga tidak berperi kemanusiaan, karena
dua puluh yang melakukan abolisi dari sifat hukuman itu sendiri, pidana mati
merupakan penolakan perikemanusiaan, dan
kedua ICCPR walaupun komnas HAM
bersifat menghinakan(kemanusiaan) karena
telah beberapa kali merekomendasikan
melucuti seluruh martabat terpidana dengan
agar protokol tersebut diratifikasi.
memperlakukannya sebagai benda yang
Dalam diskusi di komnas HAM, tidak harus disingkirkan. Hal demikian tidak serasi
ada lagi landasan konstitusional pidana mati, dengan nilai dan moralitas yang dianut dalam
dan produk yang demikian sudah percaya Pancasila sebagai cita hukum UUD 1945
sukma, hukum yang tidak bersukma hukum yang menghormati dan melindungi hidup
yang percaya itu memang bisa dihidupkan dan martabat serta kehormatan kemanusiaan
oleh keniscayaan kekuasaan, karena tekanan terpidana, yang juga dapat diartikan sebagai
emosi publik yang tidak rasional dan tidak penghormatan terhadap kemanusiaan secara
tercerahkan. Memang diakui masih ada keseluruhan, termasuk kemanusiaan dari
sebagian di Komnas HAM yang masih pembuat Undang-Undang, penegak hukum
menyetujui pidana mati, khususnya bagi yang menjatuhkannya serta pelaksana atau
tindak pidana yang kejam. eksekutor, yang pada saat proses penentuan
Dengan berpegang teguh pada UUD dan pelaksana pidana mati, juga telah
1945, dengan semangat serta nilai nilai yang kehilangan kemanusiaannya.
terkandung di dalamnya yang membentuk Pembatasan yang diatur dalam pasal 28J
moralitas konstitusi bangsa, kita akan dapat ayat (2) UUD 1945, tidak pula dapat ditafsir­
memahami bahwa hak untuk hidup yang kan sebagai sesuatu yang membenarkan
disebut sebagai salah satu nonderogable pidana mati yang membatasi hak untuk hidup
rights yang tidak dapat dikurangi dalam dalam pasal 28I ayat (1); kedudukan pasal 28J
keadaan apapun, bahwa UUD 1945 tidak ayat (1) dan (2) merupakan satu ketentuan
memberi hak pada negara untuk mengakhiri yang bersifat umum yang menegaskan
hidup yang berat sekalipun dengan pidana bahwa hak-hak asasi yang disebut dalam
mati yang diancamkan dalam Undang- pasal 28A sampai dengan 28I, tidak bersifat
Undang yang dibentuk oleh negara. Tafsir mutlak karena merupakan hal yang tidak
bahwa manusia yang diakui sebagai mahluk dapat dilepaskan dengan kewajiban untuk
ciptaan Tuhan yang memiliki harkat menghormati hak orang lain, dan dapat juga
martabat dan sanctity of life, yang jauh lebih dibatasi secara khusus dengan alasan untuk
berharga dibanding dengan mahluk lainnya. menjamin pengakuan serta penghormatan
Interpretasi dalam konvensi internasional atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
menentang hukuman yang kejam dan tidak memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
manusiawi pada tanggal 28 september pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
1998 dengan Undang-Undang Nomor 5 keamanan dan ketertiban umum dalam satu
tahun 1998 tentang pengesahan convention masyarkat demokratis.
against torture and other cruel, inhuman or
Dengan demikian tidaklah dimaksudkan
degrading treatment or punishment (konvensi
secara khusus untuk membatasi pasal 28I,
menentang penyiksaan dan perlakuan atau
khususnya yang digunakan menjadi dasar
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi,
pembenar pidana mati, karena hak untuk
atau merendahkan martabat manusia).
hidup yang diartikan secara luas sebagaimana
Pidana mati sebagai bentuk kekejaman yang
diuraikan diatas, menyebabkan pembatasan
dilakukan oleh negara atas nama hukum
hak untuk hidup tidak dapat diartikan
tidak bisa berperikemanusiaan (inhumane).
dengan menghilangkan kehidupan itu

80 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

sendiri. Original intent pembuat perubahan pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi
UUD 1945 tentang hal ini tidak dapat dilihat karena hukum membutuhkankeadilan untuk
dengan jelas dari risalah yang ada, untuk mengembalikan kesimbangan yang dicederai
menentukan apakah memang pembatasan oleh pelanggaran yang dilakukannya
pada pasal 28J ayat (2) tersebut dimaksudkan berupa pembatasan ruang geraknya dengan
secara eksplisit mengandung pembenaran ditempatkan dalam tempat khusus serta
pada pidana mati. Dari risalah juga tidak menjalani pembinaan-pembinaan tertentu
ditemukan fakta apakah pembicaraan pasal yang diwajibkan.
28J ayat (2) tersebut berkaitan dengan Oleh karenanya seandaipun dipahami
diperbolehkan tidaknya pidana mati tersebut bahwa hak untuk hidup tidak diartikan bersifat
dalam sistem pidana Indonesia. mutlak dan karenanya dapat dibatasi, maka
Meskipun sejarah perubahan UUD pembatasan tersebut tidak dapat ditafsirkan
1945 menyangkut pemuatan rangkaian sebagai hak negara untuk menghilangkan
Hak Asasi Manusia dalam Bab XA UUD hidup itu sendiri, dan oleh karenanya tidak
1945 dilakukan melalui perubahan kedua, dapat pula diartikan sebagai pemberian
dengan mengadopsi dan mengangkat materi kewenangan bagi pemerintah dan pembuat
dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Undang-Undang untuk mengatur dan
Asasi Manusia. Penjelasan pasal 9 UU a menjatuhkan pidana mati tersebut terhadap
quo menyebutkan bahwa dalam hal atau seorang terpidana yang telah dinyatakan
keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi bersalah melakukan tindak pidana berat
kepentingan hidup ibunya dalam kasus tertentu.
aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana, aborsi dan pidana mati KESIMPULAN
masih dapat diizinkan. Pidana mati dan
aborsi yang disebut sebagai pengecualian Meskipun dengan putusan Mahkamah
dalam Undang-Undang aquo, tidaklah Konstitusi yang menyatakan hukuman mati
menggunakan ukuran melalui norma dalam di Indonesia masih konstitusional, namun
UUD 1945 itu sendiri, dan seandainya hal menurut hemat penulis dari cara penundaan-
itu menjadi maksud pembuat perubahan penundaan pelaksanaan putusan hukuman
UUD 1945, tentu penjelasan yang sudah mati yang terjadi, telah menunjukkan ada
merupakan norma demikian seharusnya semacam keenganan untuk melaksanakan
diadopsi menjadi bagian kaidah konstitusi. atau menerima kenyataan hukuman mati
Oleh karena pasal 28J UUD 1945 tersebut. Hal yang sangat penting di masa
tersebut merupakan pembatasan yang mendatang yang dapat dijadikan petunjuk
berlaku terhadap seluruh hak asasi yang kuat adalah bahwa RUU KUHP telah
diatur dalam Bab XA, telah ternyata pula menempatkan pidana mati sebagai pidana
kepada kita, bahwa bobot dari hak-hak khusus atau istimewa, dengan serangkaian
yang diatur tersebut tidak sama, sehingga syarat-syarat dalam pelaksanaannya. Lagi
logis juga bahwa cara membatasinya juga pula pidana mati dalam RUU KUHP tersebut
tidak sama. Ada pembatasan yang diartikan dapat diubah menjadi pidana penjara
sebagai penundaan sementara misalnya hak seumur hidup atau penjara dalam waktu
untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk tertentu. RUU KUHP condong untuk tidak
berkomunikasi dan memperoleh informasi, menggunakan pidana mati sebagai jenis
hak untuk memilih tempat tinggal, dapat pidana yang n diutamakan.
dibatasi dengan ditunda sementara karena Faktor penting lain yang mendorong kita
keadaan perang atau bencana alam. Tetapi untuk menghapuskan hukuman mati, adalah
bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk agar Pemerintah Indonesia tidak kehilangan
yang menyatakan pembatasan hak itu dapat landasan moral ketika meminta pembatalan
dilakukan dengan menghilangkan hidup itu hukuman mati bagi migrant worker
sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi Indonesiakepada Negara lain. Keselamatan
bagian dari hak asasi orang lain yang harus warga dan perlakuan yang manusiawi akan

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 81


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

menyebakan Indonesia berpikir ulang untuk Penggantian atau penghapusan hukuman


mengambil posisi yang lebih baik lagi. mati di Indonesia sebaiknya dilakukan
Walaupun demikian persoalan tersendiri secara bertahap dengan mempertimbangkan
dalam masalah peradilan migrant woker ini hasil-hasil evaluasi yang telah dilakukan
kemungkinan lebih banyak melihatnya dari pemerintah terkait hukuman mati.
sisi kekurangan standard due process of law Mengingat sebagian besar Negara di
yang terbuka dan lebih fair, sebagai negara dunia telah menyetujui untuk melakukan
yang mayoritas penduduknya muslim, moratorium hukuman mati dalam hukum
Indonesia tadinya hampir mengikuti Turki, nasionalnya, tentunya akan banyak manfaat
yang lebih dahulu menghapus hukuman mati yang didapatkan pemerintah Indonesia
dari sistem hukumnya. Memang diperlukan dari sisi hubungan internasionalterutama
waktu dan banyak tantangan yang dihadapi di bidang hubungan dan diplomasi. Pilihan
dalam memperjuangkan kepentingan alternatif hukuman mati perlu dirumuskan
Indonesia di arena Internasional, Namun secara serius oleh pemerintah, dengan
martabat negara juga akan diharapkan mengedepankan kajian dan penelitian agar
memungkinkan terjadinya perubahan sikap hukuman pengganti tersebut benar-benar
dan pandangan terhadap hukuman mati memiliki efek jera yang sama dengan
tersebut. penerapan yang sesuai prosedur yang baik
Alternatif pengganti hukuman mati dan tepat.
sesungguhnya membutuhkan penegakan
hukum yang efektif dan melibatkan
seluruh komponen bangsa agar hukum
tetap memberikan efek jera kepada para
pelaku pidana. Pencantuman hukuman mati
yang dianggap sebagai deterrence, yang
diharapkan sebagai general prevention
akan membuat orang takutdan jera, dalam
pengalaman penelitian, justru menjadi
kendala, karena berharap tanpa banyak upaya
dan mobilisasi aksi, dia dianggap cukup
sebagai strategi penanggulangan kejahatan.
Namun kenyataan pemerintah justru menina
bobokan hal-hal yang urgen dan ketika
hukuman mati sudah dijatuhkan,banyak
masalah yang dihadapi dalam hubungan
Internasional.

SARAN
Hukuman mati sebagai salah satu
instrumen pemidanaan di Indonesia perlu
dikaji dan dievaluasi kembali, penelitian
lebih lanjut juga dibutuhkan untuk mengukur
seberapa kuatnya dampak efek jera dari
eksistensi hukuman mati. Selama hukuman
mati masih menjadi salah satu instrumen
pemidanaan di Indonesia, instansi penegakan
hukum harus melakukan evaluasi pada setiap
rangkaian tahap proses peradilan, lebih
mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam
menjatuhkan hukuman mati karena sangat
berkaitan dengan hak hidup seseorang.

82 Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati... (Bungasan Hutapea)


Jurnal Penelitian

HAM Volume 7, Nomor 2, Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Buku 1945;
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997;
2008 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997;
A Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Tindak Pidana HAM;
Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Terorisme;
Ghalia Indonesia, 1985
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi;
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
RUU KUHP
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005
Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (Soal
Jawab). Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia
dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan
dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta. 1994
Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan
Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya, PT.
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997
Levin, Leah, Tanya Jawab Soal Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita 1987
Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi. LP3ES, Jakarta
2006
Muladi,  Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit
Alumni, Bandung, 2002,
Muldadi (ed), Perkembangan Dimensi Hak Asasi
Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan
Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM),
Bogor: Ghalia Indonesia 2005
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri , Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian
Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta

Majalah
Siti Huulhaer, PENERAPAN HUKUMAN
MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI
FILSAFAT HUKUM, “Supremasi Hukum”
Volume 7, Nomor 1, Januari 2011.

Jurnal Penelitian HAM Vol. 7 No. 2, Desember 2016: 69-83 83

Anda mungkin juga menyukai