Transisi epidemiologi muncul karena perubahan pola kematian, terutama akibat infeksi,
angka fertilitas total, angka harapan hidup penduduk yang semakin tinggi, dan
meningkatnya penyakit tidak menular atau yang disebut juga sebagai penyakit kronik.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola
kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan
prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit
tidak menular) justru semakin meningkat.Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya
hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya
pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes
melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.
Transisi Demografi
Transisi demografi pada dasarnya adalah keadaan dimana struktur penduduk mengalami
perubahan dengan berkurangnya proporsi balita serta meningkatnya proporsi usia remaja,
usia produktif, dan usia lanjut.
Teori transisi demografi yang pernah dialami oleh berbagai Negara maju menunjukan
bahwa pada awal pembangunannya, keadaan fertilitas maupun mortalitas agak stabil dan
keduanya berada pada angka yang relative tinggi.
Pertumbuhan penduduk agak stabil karena tingginya angka kematian diimbangi dengan
tingginya angka kelahiran. Selanjutnya dengan perkembangan serta kemajuan status
social ekonomi, angka kematian mulai turun kemudian diikuti oleh penurunan fertilitas.
Pada akhir transisi dijumpai kedua angka tersebut stabil, dan hal ini ditunjukan dengan
dicapainya suatu angka Net Reproduction Rate (NRR) sebesar satu. Kemudian disusul
dengan angka NRR < 1.
Teori transisi demografi tersebut tampaknya tidak sesuai dengan proses transisi pada
berbagai Negara berkembang dewasa ini termasuk Indonesia. Penurunan angka kematian
di Eropa memerlukan waktu yang cukup lama, yakni sekitar dua abad, sedangkan di
Indonesia penurunan ini cukup cepat yang dimulai sejak tahun 1960. Hal ini dikarenakan
Indonesia tidak harus menunggu peningkatan status social ekonominya untuk dapat
menghasilkan teknologi di bidang imunisasi maupun antibotik karena telah tersedia
melalui kemajuan teknologi kesehatan dunia. Begitu pula dengan keberhasilan program
KB yang dikembangkan Indonesia, proses penurunan tingkat fertilitas cukup signifikan
karena Indonesia tidak perlu mencari-cari alat dan metode kontrasepsi.
Penurunan angka kematian berarti banyak orang yang mengalami kelangsungan hidup
(survive), namun perlu diperhatikan kualitas hidupnya khususnya pada keluarga miskin.
Selain itu, penurunan angka kematian juga mengakibatkan naiknya jumlah penduduk
lanjut usia. Ini juga berarti angka kesakitan (morbiditas) juga meningkat pada usia lanjut.
Transisi Ekonomi dan Sosial
Transisi Lingkungan
Saat ini, secara umum muncul anggapan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara berkembang akan diikuti oleh perubahan pola perkembangan penyakit.
Situasi seperti ini juga dialami oleh banyak negara-negara maju di Eropa dan Amerika
Utara. Pola tersebut dikenal dengan transisi epidemiologi yaitu pergeseran pola penyakit.
Transisi ini dimulai dengan peningkatan status kesehatan secara umum pada akhir abad
ke 19 dan berkembang terus sampai awal abad ke 20. Sejalan dengan penurunan
kematian dan peningkatan harapan hidup, penduduk di negara-negara berkembang
mengalami pergeseran pola penyakit. Dimulai dengan dominasi penyakit menular, lalu
bergeser ke pola penyakit kronis seperti gangguan cardio vasculer dan kanker. Terjadinya
transisi pola penyakit sebagian dapat dijelaskan dengan fakta bahwa masih banyak
manusia yang bertahan hidup sampai saat penyakit khronis mulai menyerang mereka.
Meskipun transisi pola penyakit sudah terjadi, munculnya permasalahan yang baru
tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan yaitu terjadi penggantian satu penyakit
dengan penyakit lainnya. Situasi ini sudah terjadi ketika terjadi peningkatan secara
menyeluruh dari kesehatan masyarakat. Elemen transisi epidemiologi yang terjadi saat ini
sangat bervariasi kejadiannya di banyak negara berkembang. Beberapa negara yang
berpenghasilan menengah di Amerika Latin dan Asia, penyakit khronisnya malah
berkembang lebih pesat dari penyakit infeksi [1]. Tetapi proses transisinya sampai saat
ini belum selesai. Banyak negara, terutama negara-negara miskin masih sedang bergulat
dengan masalah besar yaitu penuntasan pengendalian penyakit infeksi. Tetapi bersamaan
dengan itu, penyakit khronis juga sudah mulai berkembang. Kelompok-kelompok
masyarakat di negara miskin saat ini dihadapkan dengan tekanan ganda penyakit (double
burden of disease) [2]. Dengan gambaran seperti itu, transisi pola penyakit sudah pasti
terjadi di semua negara, seperti revolusi sanitasi yang sudah berhasil seperti yang
dijelaskan di muka. Untuk itu, kebijakan dan investasi yang relevan memang sangat
dibutuhkan saat ini untuk terus bisa meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat.
Di negara yang telah maju angka kematian menurun menyusul terjadinya kemajuan
dalam perekonomian dan teknologi. Revolusi Mortalitas di Indonesia yang merupakan
revolusi demografi pertama di Indonesia terjadi pada sekitartahun 1950-an. Indonesia
termasuk "beruntung", karena ketika memulai usaha penurunan kematian, di negara lain
sudah tercipta teknologi untuk memirunkan angka kematian. Indonesia dapat segera
mengadopsi teknologi kedokteran modern, seperti imunisasi dan anti biotic, tanpa
menunggu kemajuan perekonomian yang cepat. Transisi mortalitas dari angka kematian
yang tinggi ke angka kematian yang rendah umumnya disertai dengan transisi
epidemiology. Penyakit menular merupakan penyebab kematian paling banyak pada saat
angka kematian masih tinggi yang pengobatanya biasanya hanya memerlukan teknologi
kedokteran yang relative "sederhana" dalam ukuran zaman sekarang. Contoh penyakit
tersebut: tubercoluse dan diare. Namun, ketika angka kematian sudah rendah penyebab
kematian tidak lagi disebabkan karena penyakit Infeksi, tetapi lebih disebabkan oleh
penyakit degeneratif (penyakityang berhubungan dengan penurunan fungsi organ tubuh
karena proses penuaan, seperti penyakit jantung, kanker dan tekanan darah tinggi).
Kelainan jiwa dan kecelakaan. Dalam bahasan ini, penyakit dikelompokkan menjadi
penyakit menular dan bukan menular. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit dipteri,
pertusis, campak malaria, dan HIV/AIDS. Penyakit tidak menular antara lain termasuk
kardiovaskuler (penyakit yang berkaitan dengan jantung), kelainan dan gangguan
perintal, neoplasma, bronchitis, asma, emfisema, kelainan hati, penyakit susunan syaraf,
komplikasi kehamilan / persalinan, serta cedera kecelakaan.
Data WHO pada tahun 2000 menyebutkan bahwa 60% kematian di dunia disebabkan
oleh penyakit tidak menular, dimana dengan jumlah ini beban kesehatan yang harus
ditanggung mencapai 43% dari total beban penyakit dan kecelakaan di dunia. Tahun
2020 diperkirakan jumlah ini akan naik dimana jumlah kematian akibat PTM akan
menjadi 73% dan beban kesehatan yang harus harus ditanggung adalah sebesar 60%.
Namun tidak seperti di negara-negara maju yang sudah mampu menangani penyakit
menular, di Indonesia terjadi beban ganda dimana penyakit-penyakit menular belum
mampu ditangani namun penyakit tidak menular juga semakin berkembang di
masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak meratanya perekonomian masyarakat
dimana masyarakat ekonomi atas ikut-ikutan bergaya hidup praktis seperti di luar negeri
sehingga rentan terhadap penyakit degeneratif sedangkan masyarakat miskin masih
tinggal di pemukiman kumuh yang rentan penyakit menular
Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensinya tinggi di dunia,
dimana stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung
koroner dan kanker, bahkan di Indonesia stroke menempati urutan teratas penyabab
kematian di Indonesia diiringi oleh TBC dan hipertensi (Riset Kesehatan Dasar tahun
2007). Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, jumlah pasien stroke yang
rawat inap di seluruh rumah sakit Indonesia sebanyak 44.365 orang dan yang meninggal
mencapai 8.878 atau dengan kata lain CFR stroke sebesar 20,01%
Stroke merupakan salah satu bentuk nyata dari transisi epidemiologi, dimana peningkatan
prevalensi stroke tidak dapat dipisahkan dari meningkatnya harapan hidup masyarakat.
Peningkatan harapan hidup akan membawa dampak semakin besarnya populasi dalam
risiko stroke. Laporan Departemen Kesehatan RI memperlihatkan bahwa umur harapan
hidup penduduk Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Lapran Dinas Kesehatan
Provinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa usia harapan hidup terus meningkat, yaitu
dari 67,58 tahun pada tahun 1992 meningkat menjadi 68,35 tahun pada tahun 1997, dan
terus meningkat menjadi 72,17 tahun pada tahun 2002 (Periode 2000-2005), kemudian
untuk tahun 2005 yang bersumber dari BPS yaitu dari Parameter Hasil Proyeksi
Penduduk 2000-2025 umur harapan hidup meningkat menjadi 74,0 tahun.