Anda di halaman 1dari 23

Volume 15, Nomor 2, Nopember 2006 ISSN 0215-191X

ZOO INDONESIA
Jurnal Fauna Tropika

STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN


KHUSUS PADA COLLEMBOLA. Yayuk R. Suhardjono ................. 67

PENERAPAN DAN PEMANFAATAN TAKSONOMI UNTUK


MENDAYAGUNAKAN FAUNA DAERAH. Soenartono
Adisoemarto ..................................................................................... 87

PEMBELAJARAN TAKSONOMI FAUNA DI PERGURUAN TINGGI.


Jusup Subagja ................................................................................101

THE AMPHIBIANS SPECIES IN GUNUNG HALIMUN NATIONAL


PARK, WEST JAVA, INDONESIA. Hellen Kurniati ........................107

ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas


mucosus). Irvan Sidik .................................................................... 121

Zoo Indonesia Volume 15 (2) 67-127 2006 ISSN 0215-191X


Ketua Redaksi

Dr. Dede Irving Hartoto (Limnologi)

Anggota Redaksi

Dr. Hagi Yulia Sugeha (Oseanologi)


Dr. Rosichon Ubaidillah (Entomologi)
Dr. Dewi Malia Prawiradilaga (Ornitologi)
Ir. Ike Rachmatika MSc. (Ikhtiologi)

Sekretaris Redaksi & Produksi

Rochmanah S.Kom
Yulia Aris Kartika S.Kom

Mitra Bestari

Dr. Gono Semiadi


Dr. Allen Allison
Amir Hamidy S.Si
Dr. Sri Hartini

Alamat Redaksi
Zoo Indonesia
Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI
Gd. Widyasatwaloka
Jl. Raya Bogor-Jakarta KM. 46
Cibinong 16911

Telp. (021) 8765056


Fax. (021) 8765068
zooindonesia@yahoo.com

Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI) adalah suatu organisasi profesi dengan anggota
terdiri dari peneliti, pengajar, pemerhati dan simpatisan kehidupan fauna tropika,
khususnya fauna Indonesia. Kegiatan utama MZI adalah pemasyarakatan tentang
ilmu kehidupan fauna tropika Indonesia, dalam segala aspeknya, baik dalam bentuk
publikasi ilmiah, publikasi popular, pendidikan, penelitian, pameran ataupun
pemantauan.

Zoo Indonesia adalah sebuah jurnal ilmiah di bidang fauna tropika yang diterbitkan
oleh organisasi profesi keilmiahan Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI) sejak tahun
1983. Terbit satu tahun satu volume dengan dua nomor (Nopember & Juni). Memuat
tulisan hasil penelitian dan tinjauan ilmiah yang berhubungan dengan aspek fauna,
khususnya wilayah Indonesia dan Asia. Publikasi ilmiah lain adalah Monograph Zoo
Indonesia - Seri Publikasi Ilmiah, terbit tidak menentu.
KATA PENGANTAR

Sejalan dengan perkembangan peraturan mengenai jurnal ilmiah di lingkungan


lembaga penelitian Departemen dan Non Departemen, maka jurnal ilmiah Zoo
Indonesia tidak akan terlepas dari keharusan untuk mengikuti perkembangan yang
ada. Untuk itu sejak tahun penerbitan 2006, akreditasi yang pernah dikeluarkan
Departemen Pendidikan untuk Zoo Indonesia (No. 69/DIKTI/Kep./2000) sementara
waktu tidak diperpanjang kembali, tetapi akan diganti dengan akreditasi yang
dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal ini sejalan dengan
sejarah kelahiran organisasi profesi itu sendiri yang dibidani dan disokong hingga
saat ini oleh lembaga penelitian non departemen.

Perkembangan lainnya adalah adanya penyesuaian tata letak sampul depan,


penomoran terbitan dan halaman yang mengikuti aturan baku, serta anggota redaksi
baru. Ini adalah suatu kebaharuan setelah sekitar dua tahun lebih jurnal ini dorman.
Selalu menjadi harapan redaksi Zoo Indonesia, bahwa jurnal ini mampu untuk
menempatkan diri di jajaran khasanah jurnal ilmiah di Indonesia yang mempunyai
mutu tinggi. Rasanya hal ini tidak terlalu berlebihan mengingat semakin hari kriteria
pengakuan suatu karya tulis ilmiah semakin ketat.

Cibinong, Nopember 2006

Redaksi
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA


*)
DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA COLLEMBOLA

Yayuk R. Suhardjono

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong


e-mail:yayukrs@indo.net.id

ABSTRAK

Suhardjono, Y. R. 2006. Status taksonomi fauna di Indonesia dengan tinjauan


khusus pada collembola. Zoo Indonesia Vol. 15 (2): 67-86. Taksonomi adalah
pengetahuan yang mencakup kegiatan mengenal karakter, mengklasifikasi, dan
memberi nama. Pada umumnya taksonomi kurang dipahami dengan benar, yang
dikenal hanyalah identifikasi dan klasifikasi, yang kemudian diikuti dengan
penghafalan nama latin spesies. Pemahaman yang tidak tepat ini menjadi salah satu
penyebab tidak berkembangnya taksonomi di Indonesia. Dari data yang terkumpul
terbukti bahwa peneliti yang berminat di bidang taksonomi di Indonesia masih sangat
sedikit, begitu juga pruduk-produk yang dihasilkan sangat minim. Hal ini tidak sesuai
jika dibandingkan dengan kekayaan keanekaragaman fauna kita. Kekayaan
keanekaragaman hayati yang melimpah membutuhkan tenaga taksonomi yang handal
dalam jumlah tidak sedikit untuk mengungkapkan khasanah yang dimiliki Indonesia.
Padahal apabila dinilai, tenaga peneliti kita terutama yang muda sudah cukup handal
dan dapat mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan
taksonomi, tetapi jumlahnya belum mencukupi. Tinggal sekarang upaya sosisalisasi
makna, lingkup kerja dan produk taksonomi yang harus lebih digiatkan untuk menarik
minat. Dengan demikian peminat untuk menjadi pelaku taksonomi bertambah dengan
produk dari kerjanya lebih dapat dimanfaatkan. Dalam pengembangan taksonomi di
Indonesia, beberapa upaya diperlukan antara lain menjalin komunikasi dengan pakar
dari masing-masing takson yang diminati. Dengan adanya komunikasi yang baik dapat
membantu mengatasi kendala yang ada seperti kurangnya bahan pustaka,
kemampuan penerbitan taraf internasional, dan sangat dimungkinkan juga dapat
mengatasi permasalahan keterbatasan dana penelitian.

Kata kunci: taksonomi, collembola, sosialisasi, fauna.

ABSTRACT

Suhardjono, Y. R. 2006. Status of Indonesian fauna taxonomy with special


reference on collembola. Zoo Indonesia Vol. 15 (2): 67-86. Taxonomy is a science
that covers characterization, classification and naming of any living things. In
Indonesia, mostly the taxonomy works are not recognized proportionally. People
though it is only a matter of identifying, classifying and followed by remembering the
Latin name. This wrong perception has caused the lack of development on the
taxonomy aspects in Indonesia. Data revealed that the Indonesian taxonomist number
is very low, and so does with the publication products. This situation is contradicted
with the wealth status of Indonesia on the biodiversity. Communication among the taxa
specialist is one key factor for the development of taxonomy science, from where
some collaborative works through exploration or publications can be developed.

Keywords: taxonomy, collembola, socialization, fauna.

*) Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Taksonomi Hewan I dan Kongres Masyarakat
Taksonomi Fauna Indonesia, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 29-30 November 2005.

67
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

PENDAHULUAN benar, yang dikenal hanyalah


identifikasi dan klasifikasi, yang
Sejak dideklarasikannya CBD kemudian diikuti dengan penghafalan
(Convention on Biological Diversity) nama latin spesies serta klasifikasinya
dan berbagai macam konvensi lain yang membosankan dan sangat tidak
yang berkaitan dengan menarik (Adisoemarto 2001, 2003;
keanekaragaman hayati, maka Adisoemarto & Suhardjono 2003).
masing-masing negara mulai Dengan demikian Taksonomi menjadi
memprakirakan kekayaan yang suatu mata ajaran yang menakutkan
dimilikinya, termasuk Indonesia. dan dihindari. Salah satu hal yang
Beberapa negara sudah dapat masih kurang dipahami dalam
memberikan angka pasti, tetapi ada taksonomi yaitu karakterisasi.
juga yang belum. Negara kita yang Mengenal karakter makhluk yang
dikenal kaya akan keanekaragaman dipelajari adalah lebih penting
hayati ini belum dapat menyajikan daripada sekedar mengenal nama.
angka pasti kekayaannya. Karakter yang dimaksudkan bukan
Pengetahuan yang dimiliki tentang hanya morfologinya, tetapi juga yang
keanekaragaman hayati Indonesia lain seperti genetika, perilakunya,
masih sangat terbatas. Keterbatasan dan/atau bahan aktif yang
ini disebabkan karena kurangnya terkandungan di dalamnya. Karakter
perhatian sehingga belum pernah morfologi adalah tahap awal yang
dilakukan inventarisasi dengan baik paling mudah dilakukan. Tanpa
dari semua pelosok tanah air. Padahal menghafal nama Latinnya tetapi
tanpa mengenal apa yang dimilikinya, dipahami karakter-karakternya, maka
pemanfaatannya akan susah dengan mudah dapat mengungkapkan
dilakukan. si pemiliknya. Oleh karena taksonomi
belum banyak dikenal maka perlu
Salah satu penyebab terjadinya upaya untuk peningkatan pemahaman
berbagai bencana alam adalah taksonomi. Untuk itu, marilah kita
kurangnya perhatian kita terhadap menengok sebentar tentang
kelestarian flora dan fauna yang ada. perkembangannya di Indonesia.
Dampak kegiatan manusia seperti
pembukaan lahan, penggunaan Mengkaji perkembangan taksonomi di
pestisida dan pemburuan satwa yang Indonesia dapat dijadikan dasar awal
berlebihan menjadi salah satu untuk upaya pengembangannya.
penyebab terjadinya penyusutan Tidak hanya menilai bagaimana
keanekaragaman hayati. Sudah kegiatan para pelaku taksonomi, tetapi
saatnya sekarang bagi kita untuk juga bagaimana perkembangan dan
memperhatikan kekayaan hayati yang pembelajarannya di perguruan tinggi
kita miliki agar dapat menyelamatkan di Indonesia. Sampai saat ini masih
dan memanfaatkannya dengan lestari. dirasakan kurangnya pencetakan
Perlulah kiranya kita melakukan sumber daya manusia untuk pelaku
kegiatan inventarisasi atas apa yang taksonomi. Kendala-kendala
kita punyai. Untuk kegiatan perkembangan taksonomi tersebut
inventarisasi dan agar kita dapat disebabkan karena produk kerja
mengenali apa yang dikumpulkan taksonomi kurang disosialisasikan,
maka kita perlu ilmu yang disebut sehingga kinerja dan hasil kerja
taksonomi. taksonomiwan tidak diketahui umum,
maka perlu disosialisasi dan/atau
Taksonomi adalah pengetahuan yang disebarluaskan. Pada umumnya
mencakup kegiatan mengenal taksonomiwan kurang komunikatif,
karakter, mengklasifikasi, dan mereka terlena dengan kenikmatan
memberi nama. Pada umumnya kerja dalam kelompok taksonnya
taksonomi kurang dipahami dengan (Adisoemarto 2001). Sikap ini harus

68
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

diubah, taksonomiwan harus dinikmati oleh masyarakat umum


menyadari akan kekurangannya dan bukan kalangan sesama ilmuwan
membuka jendela komunikasinya dalam kelompok taksonnya saja.
sehingga apa yang dikerjakan dapat

Tabel 1. Prakiraan kekayaan jumlah spesies fauna di Indonesia dan perbandingannya


dengan dunia, serta kekayaan koleksi spesimen acuan di MZB.

∑ Koleksi di MZB ∑ Indonesia


Takson % dibanding % dibanding
∑ spesies ∑ Spesies
Indonesia dunia

Mamalia 500 77% 6.500 14%


Burung 1.100 70% 1.549 11%
Reptilia dan Amfibia 550 30% 1.800 4%
Ikan 1.300 25% 5.300 21,5%
Moluska & 2600 21% 1.200 21,7%
Invertebrata lain
Krustasea 750 ? ? ?
Insekta & Artropoda 11.450 0,5% ? ?
lain
Sumber: Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI (2004). MZB= Museum Zoologicum Bogoriense
(Puslit Biologi LIPI). Catatan: Ada koleksi spesimen yang tersimpan di beberapa instansi
dan perguruan tinggi yang belum terdata misalnya di Badan Karantina, Puslit Pertanian;
Fak. Pertanian Jur. HPT di IPB, UGM, UDAYANA, ANDALAS.

Khasanah yang dimiliki


KEKAYAAN YANG DIPUNYAI
Dugaan tingginya keanekaragaman
Posisi geografi Indonesia fauna dan flora yang dimiliki Indonesia
masih sukar dibuktikan karena
Kedudukan geografi Indonesia yang inventarisasi belum pernah dilakukan
dapat dikatakan unik, yaitu tuntas, meski hanya mencakup
kawasannya yang di belah Garis kawasan terbatas. Namun apabila
Katulistiwa, terletak di antara dua kekayaan Indonesia diprakirakan
benua yaitu Asia dan Australia. Dalam sekitar 15% dari keanekaragaman
zoogeografi (Darlington 1966) dunia (Sastrapradja et al. 1989) maka
kawasan Asia dikenal sebagai Oriental khasanah fauna Indonesia dapat
sedangkan Australia adalah dihitung (Tabel 1). Koleksi spesimen
Australian. Indonesia tidak hanya bukti belum banyak disimpan dan
memilki kawasan yang termasuk belum terdata secara terkoordinasi.
Oriental (Sumatra, Kalimantan, Jawa, Data spesimen masih tersebar di
dan Bali), dan Australian (Papua), beberapa instansi penelitian dan
tetapi juga kawasan di antaranya yaitu perguruan tinggi. Dalam hal ini,
Walacea (Sulawesi, Kepulauan kekayaan dapat jauh lebih tinggi lagi
Maluku, NTT). Dengan kondisi apabila fauna laut diikutsertakan.
geografi yang demikian menyebabkan
Indonesia memiliki keanekaragaman Informasi kekayaan keanekaragaman
habitat yang tinggi dan yang akan hayati terutama faunanya masih
menampung hidupan dengan sangat terbatas, salah satu
keanekaragaman hayati tinggi dan penyebabnya adalah keterbatasan
khas. jumlah sumber daya manusia sebagai
pelaku taksonomi. Indonesia yang

69
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

berpenduduk >200 juta orang dan pihak. Setelah mengenal jenisnya,


dikenal memiliki keanekaragaman selanjutnya harus diungkapkan
hayati tinggi hanya mempunyai tidak karakter yang ada serta kandungan
lebih dari 47 orang peneliti taksonomi bahan aktif atau peran apa yang dapat
Invertebrata yang sebagian besar didayagunakan untuk kesejahteraan
adalah peneliti serangga (Gambar 1). bangsa.
Takson serangga yang diminati pada
umumnya adalah kelompok yang Untuk melakukan inventarisasi
mempunyai nilai ekonomi tinggi baik diperlukan SDM yang tidak hanya
dalam perdagangan (Lepidoptera), mengumpulkan spesimen tetapi juga
pertanian (hama, Homoptera, yang dapat mengidentifikasi dengan
Coleoptera, Hymenoptera), maupun benar hasil penemuannya. Di samping
bidang kesehatan (Diptera) (Gambar itu juga diperlukan kemampuan untuk
2). Dari kelompok Vertebrata, ikan mengenali karakter biologi dari fauna
merupakan takson yang paling yang ditemukan. Kegiatan taksonomi
diminati (Gambar 3), hal ini mungkin tidak dapat terlepas dari ketersediaan
juga berkaitan dengan nilai ekonomi sumber dana. Tersedianya sumber
karena ikan banyak dikonsumsi, dana juga sangat berkaitan dengan
sedangkan kelompok lainnya lebih perhatian Pemerintah terhadap
banyak terkait dengan perdagangan keanekaragaman hayati. Seandainya
untuk kepentingan industri (seperti perhatian Pemerintah terhadap
kulit atau lainnya). keanekaragaman hayati memadai,
maka kegiatan inventarisasi untuk
Upaya yang diperlukan mengungkapkan kekayaan yang
dimiliki dengan mudah dapat
Dengan belum tuntasnya inventarisasi dilakukan. Dengan demikian tentunya
kekayaan fauna Nusantara, maka upaya pendayagunaan kekayaan
masih diperlukan upaya untuk fauna dan flora yang ada dapat
melanjutkannya agar kita dapat dilakukan secara berkelanjutan.
mendayagunakannya dengan cara Peningkatan perhatian terhadap
lebih arif dan bijak. Inventarisasi yang keanekaragaman fauna untuk
harus dilakukan tidak hanya mendapatkan aliran dana dari
mengungkap keanekaragaman jenis, Pemerintah agar dapat mengungkap
tetapi juga data dan/atau informasi kekayaan fauna Nusantara kiranya
biologi dan ekologinya. Tentu saja perlu dilakukan oleh para pelaku dan
pekerjaan para taksonomiwan sangat pengguna taksonomi.
diperlukan dan dalam hal ini, mereka
harus bekerja sama dengan berbagai

Gambar 1. Jumlah Peneliti Taksonomi Invertebrata Indonesia dari setiap kelompok


takson (Sumber: Direktori Pelaku dan Pemerhati Taksonomi Indonesia).

70
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Gambar 2. Jumlah Peneliti Taksonomi Insekta Indonesia dari setiap kelompok ordo
(Sumber: Direktori INTI, 2005).

Gambar 3. Jumlah Peneliti Taksonomi Vertebrata Indonesia dari setiap kelompok


takson (Sumber: Direktori Pelaku dan Pemerhati Taksonomi Indonesia).

PERKEMBANGAN terbatas pada takson-takson tertentu,


seperti serangga, sedangkan
Menengok sejarah kelompok lain sangat sedikit.
Penelitian banyak dilakukan oleh
orang Belanda dan manca negara
Sebetulnya kegiatan taksonomi di lainnya, sedangkan peneliti Indonesia
Indonesia telah dimulai sejak abad ke belum banyak mengambil bagian
18 yang lalu, banyak artikel mengenai dalam kegiatan inventarisasi fauna
fauna Indonesia ditulis, dan banyak Nusantara di masa itu. Pada masa
nama-nama spesies yang jeda antara PD I dan PD II masih
dipublikasikan dengan nama sempat ada beberapa publikasi.
authornya Linnaeus. Atau mungkin Aktivitas penelitian dan publikasi
juga sudah sejak abad 17 ketika terhenti ketika perang dunia. Setelah
dilakukannya kegiatan inventarisasi di tahun 1950 baru mulai ada kegiatan
Kepulauan Maluku oleh Rhumpius. penelitian, namun inipun belum
Beberapa artikel sempat terbit banyak, publikasi sedikit sekali.
sebelum perang dunia (PD), tetapi

71
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Perkembangan pengetahuan komunikasi harus dilakukan melalui


pos atau fax yang memerlukan dana
Terbatasnya kegiatan penelitian cukup besar, seperti yang disinggung
taksonomi memberikan dampak di atas. Mahalnya biaya menjadi
lambatnya perkembangan salah satu kendala bagi peneliti untuk
pengetahuannya. Perkembangan ilmu berkomunikasi dengan sesama kolega
taksonomi sendiri dapat dikatakan di luar negri. Komunikasi dengan
statis, lambat apabila dibandingkan sesama pelaku taksonomi sangat
dengan apa yang terjadi di luar negeri menguntungkan selain tambahan
seperti di Eropa, Australia, dan bahan pustaka, bantuan supervisi
Amerika. Di samping kurang dipahami dapat diperoleh dari para pakar luar
makna dan filosofinya, yang menjadi negri yang pada umumnya mereka
kendala perkembangan taksonomi memiliki kelebihan.
adalah bahan acuan. Pada era tahun
1950-1990an keterbatasan bahan Adanya dua kendala umum di atas
pustaka menjadi kendala utama para menyebabkan pengetahuan
peneliti taksonomi Indonesia. Saat itu, taksonomi di Indonesia seolah statis
lalulintas komunikasi masih tidak berkembang. Taksonomi yang
menggunakan jasa pos yang ada hanya masih berkisar pada
memerlukan biaya tidak sedikit. identifikasi yang mengandalkan ciri
Banyak jurnal-jurnal luar negeri yang morfologi luar, sementara ciri-ciri
diberhentikan langganannya karena anatomi (organ dalam) seperti alat
masalah dana. Kebutuhan bahan kelamin (Sutrisno & Horak 2003), atau
pustaka semakin sukar dipenuhi, bagian tubuh lain (alat mulut, tata letak
terutama acuan untuk identifikasi. seta/spina/bulu) (Fjelberg 1984,
Kesukaran pustaka ini sangat Kojima and Ubaidillah 2003, Yoshii
dirasakan terutama bagi para 1970) masih jarang disentuh.
taksonomiwan pemula. Jarang sekali Identifikasi dilakukan dengan
kunci identifikasi yang bersifat umum, mengandalkan acuan pustaka lama
(misalnya kunci sampai taraf spesies atau kuno. Padahal ilmu taksonomi itu
untuk Lepidoptera, Coleoptera), yang dinamis, mengalami perkembangan.
ada biasanya hanya untuk takson Misalnya: dalam cara konvensional
tertentu (misal kunci identifikasi famili untuk identifikasi serangga hanya
atau genus tertentu, atau bahkan digunakan karakter morfologi luar
takson di bawahnya lagi). Internet termasuk komposisi warna. Dalam
sudah berkembang sejak tahun perkembangannya, ciri-ciri morfologi
1990an, tetapi di Indonesia masih anatomi juga merupakan karakter
menjangkau kalangan terbatas. penting karena lebih stabil dibanding
Meskipun saat ini dunia internet sudah morfologi luar. Pada kelompok takson
dapat dinikmati, kendala bahan tertentu, karakter genetika (Kitchener
pustaka untuk identifikasi masih et al. 1993) juga sudah mulai
dirasakan. Tidak semua bahan diperlukan untuk menentukan
pustaka apalagi untuk identifikasi kedudukan taksonominya.
dapat dapat diakses dari internet. Di Perkembangan pengetahuan dalam
samping itu, tidak semua peneliti mengungkapkan karakter takson yang
taksonomi mahir berinternet bahkan terjadi perlu diikuti agar tidak terjadi
masih ada juga yang “gaptek” (gagap ketinggalan dan kepincangan dalam
teknologi). analisis.

Kemampuan untuk menjalin Kladistik


komunikasi dengan pakar di luar
negeri juga menjadi salah satu Kladistik ini awalnya dikembangkan
penentu bagi perkembangan oleh Wili Hennig tahun 1950an di
pengetahuan taksonomi di dalam Jerman yang kemudian lebih populer
negeri. Sebelum ada email, di Inggris dengan nama filogeni.

72
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Adalah pengetahuan yang penyimpanan dan keselamatan


mempelajari hubungan kekerabatan pekerjanya tidak terlalu dipersoalkan,
antar maklhuk. Dengan berdasarkan ketika itu yang dipentingkan spesimen
kepada sejumlah karakter yang dimiliki selamat untuk jangka panjang. Namun
oleh sejumlah takson, maka dapat dalam tiga dekade terakhir, fasilitas
dianalisis hubungan kekerabatan dari penyimpanan, kesehatan dan
mereka. Dari pengetahuan hubungan keselamatan pekerja yang mengelola
kekerabatan ini, pendaya-gunaan spesiman koleksi serta para
fauna yang diteliti dapat lebih tepat penggunanya mulai mendapat
(Hidayat & Suhardjono 2003). Di perhatian.
manca negara pengetahuan kladistik
berkembang pesat, sebagai contoh Semua material untuk menyimpan
dalam mengkaji ulang klasifikasi spesimen kering mulai dipersyaratkan
Mamalia (Allard et al. 1999; Asher “bebas asam” atau ber pH normal (pH
1999). Beberapa peneliti Indonesia ≥ 7). Diinformasikan bahwa uap asam
telah memulai mengembangkan ilmu dari bahan atau material untuk
taksonominya dan menggunakan penyimpanan (kotak, dos, kertas,
analisis filogenetik untuk plastik, plastozote, stirofom, jarum,
mengungkapkan hasil temuannya karton) dalam jangka panjang akan
(Ubaidillah et al. 2003). Kladistik atau memudarkan warna spesimen (bulu,
filogeni merupakan tuntutan jaman sayap, tubuh spesimen) (Prijono dkk.
yang harus dipenuhi. Beberapa jurnal 1999). Gejala akibat uap asam sangat
internasional tidak bersedia menerima jelas dapat dilihat pada warna
publikasi yang hanya mengungkapkan belalang dan bulu burung yang
keanekaragaman tanpa analisis memudar setelah 10 tahun atau lebih.
kekerabatan, sebaliknya masih ada Belalang yang awalnya berwarna hijau
juga yang dapat menerima seperti akan berubah menjadi coklat akibat
pada jurnal Raflles Bulletin dan uap asam (pengalaman MZB). Oleh
Treubia. karena itu sangat disarankan untuk
menggunakan material yang bebas
Pendidikan asam sebagai sarana penyimpanan
spesimen.
Iklim pendidikan di Indonesia belum
sepenuhnya mendukung Beberapa bahan kimia yang
perkembangan pengetahuan karsinogenik juga dilarang digunakan
taksonomi. Bahkan pemahaman sejak dua dekade terakhir. Bahan-
tentang taksonominya sendiri masih bahan yang dimaksud misalnya
dirasakan kurang tepat. Namun saya formalin (untuk pengawet koleksi
tidak akan mengupas tentang basah), para diklor bensen (PDB),
pendidikan karena ada makalah arsenik (untuk pengawet spesimen
tersendiri yang akan membahasnya. kering), dan sublimat. Begitu juga
penggunaan kapur barus dalam
Koleksi spesimen dan pengelolaan jumlah yang berlebihan juga mulai
dilarang. Secara internasional bahan-
Koleksi spesimen merupakan modal bahan yang karsinogenik tersebut di
utama untuk pekerjaan taksonomi. atas dilarang untuk digunakan.
Namun sayangnya para pelaku Formalin hanya boleh digunakan
taksonomi sendiri sering tidak untuk fiksasi tidak untuk pengawet.
memperhatikan pengelolaan spesimen Bahan pengawet koleksi basah yang
dengan cermat. Hal ini juga menimpa diijinkan secara internasional adalah
para pengelola dan peneliti MZB masa alkohol 70%-95%. Arsenik yang dulu
lalu. Seiring dengan kemajuan digunakan dalm proses pengawetan
pengetahuan maka sistem kulit burung dan mamalia, dilarang
pengelolaan spesimen juga mengikuti. digunakan lagi dan digantikan dengan
Dalam cara tradisional fasilitas borak. Memang daya pengawetnya

73
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

jauh berkurang dibanding dengan Untuk menjaga kesehatan para


bahan-bahan yang karsinogenik. pengguna dan pekerja di koleksi
Penggunaan bahan non-karsinogenik basah (koleksi alkohol) disarankan
harus diimbangi dengan pengelolaan berada terus-menerus di dalam ruang
spesimen dengan benar. koleksi paling lama 2 jam, istirahat ½-
1 jam baru bekerja lagi di ruang
Pengelolaan spesimen yang benar alkohol (Prijono dkk. 1999). Hal ini
antara lain harus membuat iklim ruang untuk menghindari gejala mabuk atau
penyimpanan ideal, selamat untuk sebaliknya imun terhadap uap alkohol.
spesimen dan sehat untuk Kebersihan ruang koleksi adalah hal
penggunanya. Musuh utama koleksi yang diutamakan untuk menghindari
spesimen di negara tropis seperti serangan hama dan jamur. Makanan
Indonesia ini adalah kelembaban yang dan minuman dapat mengundang
fluktuatif tinggi antara siang dan hama dan jamur, oleh karena itu
malam. Pengaturan kelembaban sebaiknya dihindari keberadaannya di
0 0
(50%-55%) dan suhu (18 -20 C) ruang dalam ruang koleksi. Tidak boleh
penyimpanan agar stabil selama 24 merokok di ruang koleksi basah
jam harus dilakukan. Hama koleksi karena akan membahayakan dan
kering harus dipantau secara teratur, dapat menimbulkan kebakaran.
baik dengan sistem manual (periksa Beberapa museum melarang
teratur setiap kotak/lemari melakukan pemotretan spesimen,
penyimpanan) atau dengan sistem pelanggar akan dikenakan denda
PHT (pengelolaan hama terpadu). sebesar $500,00. Hal ini disebabkan
Perangkap-perangkap untuk serangga karena cahaya lampu kilat/ “flash”
hama harus dipasang guna memantau membahayakan spesimen, yaitu
kehadirannya di dalam ruang koleksi. memudarkan warna spesimen
Konsentrasi alkohol koleksi basah terutama spesimen basah. Oleh
juga harus dipantau teratur dengan karena itu, pemotretan yang
alkoholmeter dan diupayakan stabil menggunakan lampu kilat harus
(70%-95%). Menurunnya konsentrasi dilakukan di luar ruang koleksi.
alkohol (<70%) membahayakan
spesimen yaitu dapat membusuk Hal lain yang tidak kalah pentingnya
karena seolah terendam dalam air. adalah pembuatan “Kebijakan
Informasi pengelolaan spesimen Pengelolaan Koleksi” dari masing-
dengan benar ini seharusnya masing institusi yang mempunyai
disosialisasikan kalau kita ingin koleksi spesimen. Dengan pedoman
mengembangkan taksonomi. Karena kebijakan yang ada maka pengelolaan
kegiatan taksonomi tidak dapat lepas spesimen dapat dilakukan dengan
dari koleksi spesimen. teratur dan membuat kemapanan dan
kenyamanan bagi dua belah pihak,
Pengguna koleksi spesimen pengelola dan pengguna. Untuk
menjaga kestabilan dalam mengelola
Iklim ruang penyimpanan yang ideal koleksinya maka MZB membuat
0 0
(suhu 18 -20 C dengan kelembaban kebijakan (Prijono dkk. 1999) yang
50%-55%) yang stabil selama 24 jam harus dipatuhi oleh baik pengelola
sangat menguntungkan karena sudah maupun pengguna koleksinya.
tidak diperlukan lagi bahan-bahan
pengusir hama seperti kapur barus,
kamper atau diklorvost. Iklim yang SUMBER DAYA MANUSIA
demikian juga menyehatkan bagi para
pelaku pengguna koleksi spesimen, Ketersediaan
karena uap kapur barus dan
sejenisnya dalam jangka panjang Peminat taksonomi di Indonesia masih
dapat mengganggu organ pernafasan. sangat kurang, jumlahnya masih amat
terbatas apabila dibandingkan dengan

74
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

kekayaan keanekaragaman fauna ketidaktahuan ruang lingkup dan


yang dimiliki. Belum semua takson manfaat taksonomi itu sendiri. Pada
yang ada di bumi Indonesia ini umumnya para taksonomiwan masih
mempunyai tenaga taksonomi terbuai dengan pekerjaannya sendiri,
(Gambar 1,2,3,4A), berbeda jarang melakukan sosialisasi hasil
keadaannya dengan di luar negeri kerjanya. Padahal, hasil kerja
(Gambar 4B). Meskipun di Indonesia taksonomi sangat dibutuhkan, paling
mempunyai angka persentase tinggi, tidak hasil identifikas dapat dinikmati
tetapi angka individunya sangat oleh masyarakat. Dapat dikatakan
rendah (Gambar 1,2,3). Berdasarkan bahwa para taksonomiwan masih
data yang tersedia, sangat jelas kurang supel dalam berkomunikasi
bahwa penggalangan para pelaku dengan bukan pelaku taksonomi.
taksonomi ini perlu dilakukan. Hal ini Karena keasyikan dalam menekuni
untuk mempercepat sosialisasi hasil taksonnya untuk lebih
kerja taksonomiwan sehingga manfaat mengungkapkan nilai ilmaihnya, pada
taksonomi dapat dirasakan oleh umumnya para taksonomiwan juga
masyarakat umum. kurang memahami dan
memperhatikan kebutuhan pasar.
Keterbatasan peminat untuk menjadi
taksonomiwan tidak lepas dari

Gambar 4. Persentase jumlah taksonomiwan: A. Indonesia (Sumber: Direktori Pelaku


dan Pemerhati Taksonomi Indonesia); B. Dunia (Sumber: Eldredge 1992).

KEMAMPUAN BERPRODUKSI dihasilkan dari kerja taksonomi (Tabel


2). Tabel yang dibuat hanya
Publikasi berdasarkan publikasi yang dilanggan
oleh Puslit Biologi – LIPI. Data yang
Dari beberapa kendala yang telah tersaji memang kurang akurat, namun
diuraikan di atas, baik dari paling tidak dapat memberi gambaran
pemahaman taksonomi itu sendiri, secara kasar. Dari data yang tersaji
ketersediaan bahan pustaka, maupun tampak bahwa jumlah artikel yang
pengembangan kemampuan diterbitkan oleh peneliti Indonesia
komunikasi dan sosialisasi menjadi masih jauh lebih rendah dibandingkan
penyebab rendahnya produksi yang peneliti Eropa (Belanda, Inggris,

75
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Perancis). Hal ini menunjukkan masih diterbitkan oleh peneliti Eropa pada
rendahnya kemampuan para peneliti umumnya merupakan hasil kerja sama
Indonesia untuk mempublikasikan dengan peneliti Indonesia. Kerja sama
hasil kerjanya ke dunia Internasional. merupakan langkah awal yang bagus
Padahal penerbitan karya taksonomi yaitu sebagai ajang pelatihan
secara internasional mutlak penulisan untuk penerbitan ke dalam
diperlukan, apalagi dalam hal jurnal internasional.
penemuan jenis-jenis baru. Sedikit
menghibur adalah publikasi yang

Tabel 2. Jumlah peneliti yang menerbitkan artikel taxonomi fauna Indonesia


dalam kurun waktu 10 tahun (1993-2003).
Indonesia Eropa Asia Australia USA&Canada

Invertebrata 5 6 0 1 0
Arthropoda 5 2 2 1 0
Collembola 5 83 22 11 1
Insekta 18 4 9 10 5 0
filogeni 2
kladistik
Crustasea 0 4 0 0 0
Moluska 91 11 2 6 0
kladistik
Herpet 7 7 0 4 1
Ikan 1 8 0 0 0
Burung 16 0 1 3 2
Mamalia 5 4 2 0 0

Jumlah 61 134 37 31 4
Catatan: Artikel pada umumnya mengungkapkan keanekaragaman tanpa analisa filogeni
ataupun kladistik (Sumber: Database Perpustakaan Puslit Biologi-LIPI).

Gambar 5. Diagram tambahan spesies baru fauna Indonesia yang diterbitkan dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir (1993-2003).

Temuan spesies baru

76
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Salah satu produk penelitian rendah, daerah yang dieksplorasi juga


taksonomi adalah penemuan atau masih terbatas. Di antara kelompok
pengungkapan spesies baru. Dalam fauna, diperkirakan baru Burung dan
kurun waktu 10 tahun terakhir temuan Mamalia (terutama Mamalia besar)
spesies baru yang diungkapkan yang “hampir” terdata semua spesies
peneliti Indonesia pada umumnya yang ada di Indonesia. Untuk
masih kalah jauh dari peneliti asing mengungkapkan kekayaan spesies
(Gambar 5). Tercatat sebanyak 100 kelompok takson lainnya masih
spesies baru dipublikasikan oleh Staf diperlukan kegiatan inventarisasi.
Peneliti Bidang Zoologi – LIPI (MZB)
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
(Noerdjito dan Maryanto 2004). METODE PENELITIAN TAKSONOMI
Dengan demikian dapat diperkirakan
bahwa dalam satu tahun rata-rata Karakterisasi
hanya diterbitkan 10 species. Padahal
jumlah peneliti taksonomi di MZB Identifikasi di masa lalu pada
sebanyak 20 orang (TU MZB, umumnya didasarkan pada bentuk
komunikasi pribadi). Perbandingan dan warna bagian luar tubuh.
antara jumlah hasil yang diterbitkan Karakterisasi cara demikian saat ini
dan jumlah penelitinya menunjukkan dirasakan sangat kasar, oleh karena
bahwa produk luaran dari MZB dapat itu deskripsi yang dilakukan tidak
dikatakan masih rendah. Di samping menghasilkan jumlah takson yang
peneliti LIPI ada beberapa peneliti bervariasi. Meskipun demikian cara
taksonomi yang cukup produktif yang klasik ini dapat bertahan lama di
bekerja di luar LIPI. Penggabungan Indonesia.
luaran yang dihasilkan oleh peneliti
LIPI dan non LIPI pun masih Dalam perkembangan berikutnya,
menunjukkan angka rendah. Dalam identifikasi berdasarkan bentuk bagian
hal ini kendala utama adalah dana dan luar saja dirasakan tidak mencukupi.
pustaka. Biasanya spesies baru Beberapa pakar melakukan
ditemukan dari hasil ekspedisi atau perkembangan dengan cara masing-
kegiatan inventarisasi di lapangan. masing, tidak sama antar satu takson
Untuk melakukan kegiatan ekspedisi dengan takson yang berbeda.
ini biasanya diperlukan dana yang Kadang-kadang masing-masing pakar
tidak sedikit. Apalagi ditambah mempunyai andalan karakter yang
dengan dana yang harus dikeluarkan dikembangkan untuk dasar
untuk menerbitkan di jurnal identifikasi. Dari morfologi luar
internasional, paling tidak sekitar US$ berkembang dengan menggunakan
200,00 atau lebih untuk satu artikel, morfologi dalam, seperti alat genitalia
atau bahkan ada majalah yang (Sutrisno 2003; Sutrisno & Horak
menetapkan tarif untuk setiap 2003). Atau masih sekitar morfologi
halaman terbitan. Dana menjadi salah luar namun telah dilakukan lebih rinci
satu kendala yang tidak dapat misalnya tata letak seta, bentuk
dihindari. seta/spina pada bagian tubuh tertentu
(Kojima & Ubaidillah 2003), organ
Untuk mengatasinya diperlukan kerja sensori, bagian alat mulut seperti
sama dengan pihak lain atau kejelian maksila, labium, radula (Marwoto
dalam berburu sumber dana. Ditinjau 2002).
dari kekayaan yang baru
terungkapkan (Tabel 1) penambahan Dengan berkembangnya peralatan
jumlah spesies baru mestinya dapat canggih, maka karakter yang
jauh lebih tinggi, apalagi untuk digunakan untuk membedakan
kelompok Invertebrata terutama spesies juga berkembang. Bio-
Serangga. Di samping jumlah spesies molekuler memungkinkan para
yang telah diketahui namanya masih taksonomiwan bergerak lebih maju.

77
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Karakter morfologi dan mitokondria tradisional, hanya beberapa yang


(Sutrisno 2004) dan sequense dari sudah mulai mengikuti kemajuan
nukleotid (Sutrisno 2003; 2005) pengetahuan. Sebenarnya, mau tidak
digunakan sebagai dasar analisis mau kita harus mengikuti kemajuan
Pyraustinae: Lepidoptera. Analisa ilmu pengetahuan. Karakterisasi yang
genetika juga diterapkan untuk dilakukan sudah harus
kelompok takson mamalia (Kitchener menggabungkan morfologi luar dan
et al. 1993). Namun, sampai saat ini anatominya agar mendapatkan hasil
analisa dengan biomolekuler yang optimal.
dirasakan masih cukup mahal karena
memerlukan dana yang tidak murah Belum banyak instansi yang memiliki
untuk bahan kimia. Beberapa takson SEM, sehingga penggunaan foto hasil
hanya memerlukan analisa genetika SEM juga masih jarang dilakukan oleh
bilamana hasil dari analisis secara peneliti taksonomi Indonesia.
morfologi masih diragukan. Penggunaan SEM dirasakan masih
sedikit mahal karena untuk
Di masa lalu penggambaran mendapatkan gambar yang maksimal
taksonomi pada umumnya dilakukan tajam diperlukan pelapisan emas atau
dengan tangan (line/hand drawing). platina pada spesimen. Pemotretan
Penggambaran dilakukan di bawah dapat juga dilakukan tanpa pelapisan,
mikroskop yang biasanya dilengkapi tetapi hasil foto kurang tajam. Alat
dengan asesori berupa kamera lusida SEM sekarang sedikit lebih membantu
atau drawing tube agar gambar dapat karena tidak menggunakan kamera
persis dan fase kontras untuk polaroid, tetapi dengan film biasa atau
memperjelas. Dalam perkembangan dapat dimasukkan ke komputer
sesuai kemajuan teknologi, foto dapat sehingga dapat diproses sesuai
dibuat untuk membantu memberikan keinginan.
ilustrasi karakter. Dengan munculnya
alat-alat canggih seperti Scanning Kunci identifikasi
Electron Microskop (SEM) atau
Mikroskop Pancar Elektron gambar Secara klasik kunci identifikasi dibuat
yang ditampilkan lebih rinci dan jelas. dengan sistem ”dikotomus” yang
Alat ini memberikan hasil ilustrasi berbentuk teks panjang, yaitu berupa
karakter yang diinginkan dengan dua uraian rangkaian karakter yang
sangat jelas, menonjol dan tiga bertentangan antara pernyataan satu
dimensi. Alat pemotretan untuk dengan satunya. Biasanya dalam
spesimen yang berukuran kecil juga pernyataannya dilengkapi dengan
semakin canggih, dari manual ke gambar untuk memperjelas karakter
digital, bahkan perangkat lunaknya kunci yang diuraikan. Gambar yang
pun juga berkembang. Dengan diungkapkan umumnya berupa
melakukan serangkaian pemotretan gambar tangan dari karakter yang
yang kemudian dimasukkan ke dalam dibuat rinci sesuai keadaan
perangkat lunak (automontage), oleh sesungguhnya.
komputer rangkaian foto tadi diproses
menjadi satu foto dalam bentuk tiga Pada tahun 1980an berkembang
dimensi. Sayang perangkat lunak suatu cara untuk pembuatan kunci
terrsebut masih termasuk mahal identifikasi dengan bantuan komputer.
harganya. Namun tidak semua takson Perangkat lunaknya disebut dengan
dapat diperlakukan dengan DELTA (Description Language for
pemotretan, beberapa di antaranya Taxonomy) yang dibuat oleh M.J
pengungkapan karakter masih melalui Dallwitz dkk. (1993) dari CSIRO,
gambar tangan. Australia. Pada awal pembuatannya
ditujukan untuk membuat kunci
Para peneliti Indonesia pada identifikasi tumbuhan. Sesuai tuntutan
umumnya masih menggunakan cara kemajuan pengetahuan oleh

78
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

penciptanya DELTA dikembangkan juga untuk membangun kunci


(Dallwitz 1993) dari versi yang identifikasi takson yang lainnya. Untuk
sederhana menjadi semakin canggih kunci identifikasi beberapa kelompok
dan dapat diterapkan untuk binatang. serangga yang dibangun dengan
Pada awal perkembangannya menggunakan LUCID sudah tersedia,
penggunaan softwarenya masih di misalnya untuk Thrips.
bawah DOS. Dengan DELTA
pembuatan kunci identifikasi dapat Sampling
lebih mudah, singkat, dibantu
komputer, dan mengganti uraian Sampai sebelum tiga dekade terakhir
deskripsi ke bentuk kode atau para taksonomiwan masih dengan
singkatan. Dengan DELTA kita seenaknya melakukan koleksi di
diharuskan membuat daftar rinci lapangan tanpa memperhatikan
karakter masing-masing bagian tubuh metode sampling. Ketika itu, ruang
dari semua takson yang akan dibuat lingkup pemikiran orang hanyalah
kuncinya. Kemudian dilanjutkan taraf spesies. Penghitungan populasi
dengan pembuatan kode dan sederet dan pembicaraan habitat sudah
cara akan terbentuk kunci dianggap pekerjaan ekologi, bukan
dikotomusnya. Di Indonesia, DELTA taksonomiwan. Namun sejak adanya
belum sempat berkembang untuk pandangan tentang ”biodiversity”
pembuatan kunci identifikasi binatang, orang sudah harus berpikir lebih luas,
baru beberapa teman kolega di bidang tidak lagi terbatas pada spesies, tetapi
botani yang sudah mencoba. Apalagi populasi dan keanekaragaman. Untuk
sekarang, karena sistem DOS sudah itu, sekarang dalam melakukan
tidak populer lagi, mungkin DELTA inventarisasi sangat disarankan
sudah ditinggalkan atau DELTA menggunakan metode sampling yang
mengikuti perkembangan juga. standar (baku) dan konsisten. Dengan
demikian kedudukan takson yang
Dari Queensland University di diburu di dalam ekosistem dapat
Australia berkembang perangkat lunak diketahui, misalnya bagaimana pola
yang dinamakan LUCID untuk sebaran, berapa populasi, bagaimana
membuat kunci identifikasi serangga status spesies, dlsb. Keterangan
pada tahun 1996. Mungkin karena habitat harus direkam untuk
peneliti serangga jumlahnya lebih melengkapi data tentang spesies
banyak maka LUCID lebih cepat dan/atau takson yang dituju. Dengan
berkembang dan diminati. Di samping demikian informasi yang terhimpun
itu, dalam LUCID dapat dilengkapi relatif lengkap dan data kegiatan
dengan gambar. Dengan demikian taksonomi ini dapat dimanfaatkan oleh
LUCID berkembang dari tahun ke siapa saja yang membutuhkannya.
tahun, versi demi versi sampai versi
terakhir tahun 2004. Kunci identifikasi Analisis
dengan LUCID ini sudah tidak
dikotomus lagi, tetapi lebih mudah dan Beberapa perangkat lunak untuk
praktis karena ada gambar (images). menganalisis hasil kerja taksonomi
Karena lebih mudah penggunaannya, sudah tersedia, misalnya HENNIG86,
maka LUCID, lebih digemari dan PAUP (Phylogenetic Analysis Using
dimanfaatkan oleh taksonomiwan Parsimony), CAFCA, dan MacClade.
muda terutama yang mempelajari Semua program yang ada ditujukan
serangga. Kendala utama bagi kita untuk analisis filogeni dari takson yang
untuk memiliki perangkat lunak ini diteliti. Program mana yang akan
adalah harganya yang cukup mahal. dipilih tentunya tergantung kepada
LUCID versi 1.1 tahun 1996 saja kebutuhan masing-masing dan
sudah mencapai AUS $ 400.00. ketrampilan.
Meskipun awalnya dibangun untuk
serangga, LUCID dapat dimanfaatkan

79
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Pada dasarnya semua program sama Jawa (Suhardjono & Deharveng,


yaitu diawali dengan pembuatan 1992), NTB (Suhardjono & Deharveng
matriks dari semua karakter takson- 1991), NTT (Suhardjono 1989, 1989;
takson yang dianalisis. Setiap karakter Suhardjono & Deharveng 1992; Yoshii
diberi kode-kode. Program awal yang & Suhardjono 1989, 1992), Irian Jaya
dikembangkan dalam HENNIG86 dan Maluku (Yoshii & Suhardjono
masih menggunakan sistem DOS. 1992), dan Sumatera (Deharveng &
Program filogeni ini kemudian Suhardjono, 1994). Sampai sekarang
berkembang dan dikembangkan oleh kegiatan inventarisasi masih tetap
banyak orang sehingga muncullah dilaksanakan di beberapa pulau,
berbagai macam program, seperti seperti Sulawesi, Kalimantan, dan
PAUP, MacClade, dan CAFCA versi Jawa oleh peneliti LIPI. Ternyata
terbarunya yang masing-masing dalam waktu 38 tahun (dari 1966)
mempunyai kelebihan dan telah tercatat adanya tambahan
kekurangannya. Masing-masing spesies baru sebanyak 217, di
program juga mempunyai samping itu beberapa subgenus baru
penggemarnya yang fanatik. Namun di juga diterbitkan.
antara program yang ada, PAUP dan
MacClade lebih populer. Begitu juga di Dari tahun 1758 sampai 1997
Indonesia, para peneliti muda sudah sebanyak sekitar 7000 spesies yang
menggunakan program-program untuk dideskripsi oleh sekitar 350 orang
analisis filogeni (Sutrisno 2002, 2004; peneliti Collembola dunia (Deharveng
Ubaidillah 2003). Karena komputer 2004). Dari angka tersebut terlihat
MacCintosh tidak populer maka PAUP bahwa jumlah spesies dari Eropa lebih
lebih mendominansi penggemar di banyak (+ 2400) sedangkan dari
Indonesia. ASEAN hanya + 600 spesies. Jumlah
spesies yang dideskripsi tertinggi
terjadi pada tahun 1980 yaitu 215,
COLLEMBOLA DI INDONESIA sedangkan produk tertinggi tahun
1880 sebesar 26 spesies/pengarang.
Jumlah spesies Dalam lima dekade terakhir produksi
hasil deskripsi sangat fluktuatif
Pengetahuan Collembola terutama berkisar antara 2 dan 10
belum banyak digali di Indonesia. spesies/pengarang.
Penelitian taksonomi baru dimulai
sejak tahun 1890 (Oudemans 1890). Karakterisasi
Sampai tahun 1966 (Yoshii 1966),
yaitu dalam kurun waktu 76 tahun Cara klasik yang digunakan untuk
baru dapat ditemukan 17 publikasi mempertelakan Collembola adalah
yang mencatat 90 spesies Collembola karakter yang didasarkan kepada
Indonesia, meskipun belum mencakup bentuk dan warna setiap bagian tubuh
seluruh Kepulauan Nusantara. Baru (toraks, abdomen, bagian-bagian kaki)
tercatat dari beberapa pulau seperti serta organ-organ tertentu (trokanter).
Jawa (58 spesies), Sumatera Dalam lima dekade terkhir digunakan
(31),Kalimantan 11), Bali (3), Lombok ketotaksi untuk mengenal spesies
(2), Sulawesi, Selayar, Flores, Collembola (Deharveng 2004), cara ini
Belitung, Kepulauan Krakatau masing diperkenalkan oleh Yosii (1961).
masing baru dilaporkan 1 spesies. Selanjutnya ketotaksi lebih
Inventarisasi Collembola baru dikembangkan tidak hanya untuk
dilakukan kembali tahun 1980 di bagian utama tubuh (toraks dan
Wanariset, Kalimantan Timur abdomen) tetapi juga bagian mulut,
(Suhardjono 1980), Sulawesi Utara seperti labium (Yoshii 1970), mandible
(Greenslade 1985), Sulawesi Selatan (Najt et al. 2004), maksila (Fjelberg
dan Halmahera (Deharveng 1987; 1984), dan juga antena (Deharveng
Deharveng & Suhardjono 2000, 2004), 1981). Bagian tubuh lain yang

80
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

dikembangkan untuk diamati melakukan penelitian tentang


ketotaksinya adalah kaki, antena, Collembola. Oleh karena itu, tidak
dorsal tubuh, dan pola sebaran S-seta heran apabila perkembangan
pada tergit (Deharveng 2004). Pada pengetahuan taksonomi Collembola di
awalnya ketotaksi hanya untuk Indonesia juga menjadi sangat lambat.
individu dewasa, tetapi kemudian Salah satu penyebabnya adalah
berkembang sehingga dapat karena penampilan atau morfologi
diterapkan pada instar pertama untuk Collembola yang mini dan kurang
kelompok famili tertentu (Deharveng menarik serta perannya yang tidak
2004). Karakter ini merupakan langsung dapat dirasakan
tantangan baru dan dapat menjadikannya luput dari perhatian.
dikembangkan.
Sama dengan kelompok takson lain
Dalam tiga dekade terakhir biologi yang diuraikan di atas, dalam cara
molekuler sudah digunakan oleh koleksi para peneliti dulu tidak
beberapa peneliti Collembola Eropa. memperhatikan metode yang
Dari dulu karakter morfologi hanya digunakan. Mereka melakukan koleksi
diterapkan untuk Collembola dewasa dengan cara yang disukai, dan
yang dianggap karaketrnya sudah biasanya masing-masing peneliti
mantap. Oleh karena itu penggunaan mempunyai kesukaan sendiri. Namun
isozyme dianggap sebagai suatu cara dalam perkembangannya sejak tiga
cepat untuk mengatasi kendala dekade terakhir, metode sampling
tahapan perkembangan serta variasi diterapkan. Cara koleksi diusahakan
morfologi (warna, jumlah gigi furkula) konsisten baik dalam kualitas
Collembola (Burkhartdy & Filser mapupun kuantitas. Dalam melakukan
2004). Sementara itu dikatakan bahwa koleksi penggunaan GPS juga
sentuhan molekuler dapat diterapkan dilakukan sehingga peta sebaran
hanya untuk mengatasi hal-hal dapat dibuat.
istimewa seperti sibling spesies
(Deharveng 2004). Beberapa peneliti dulu tidak
memperhatikan spesimen tipe ketika
Sampai saat ini, cara tradisional yaitu mempublikasikan spesies baru.
dengan menggunakan karakter Padahal spesimen tipe ini sangat
morfologi untuk identifikasi Collembola diperlukan bagi para peneliti lain yang
masih diterapkan di Indonesia. mempelajari kelompok yang sama.
Penggunaan molekuler dirasakan Namun karya mereka tetap diakui
masih sangat mahal karena harga dunia karena kepiawaiannya dalam
bahan kimia yang sangat tinggi. Oleh melakukan pertelaan dan gambar
karena itu, dengan pertimbangan dari tangan yang dibuatnya akurat. Dalam
segi ekonomi maka cara klasik masih perkembangan saat ini penerbitan
tetap dipertahankan selama belum spesies baru harus mencantumkan
menemukan hal-hal yang istimewa spesimen tipe dan dilaporkan di mana
yang tidak dapat diatasi dengan disimpannya.
karakter morfologi sehingga terpaksa
menggunakan analisa dengan PCR Dalam cara penyimpanan koleksi
atau peralatan canggih lainnya. Untuk Collembola pada masa lalu dilakukan
Collembola penggunaan karakter di dalam alkohol 70-95%. Cara ini
morfologi masih akan bertahan sangat merugikan dan tidak aman,
sampai beberapa tahun ke depan karena Collembola mempunyai
(Deharveng 2004). struktur tubuh yang rapuh, lapisan
khitinnya tidak tebal. Sehingga dalam
Perkembangan jangka waktu lama penyimpanan
tubuh Collembola dapat rusak.
Di Indonesia peneliti taksonomi sangat Beberapa spesimen tipe hasil koleksi
terbatas, begitu juga peminat untuk Handschin tahun 1935 yang disimpan

81
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

di MZB sudah tidak dapat ditemukan terbatas pada kalangan ilmiah, maka
lagi. Spesimen sudah rusak mungkin sosialisasi taksonomi belum
dalam kurun waktu penyimpanan menjangkau masyarakat luas. Oleh
hanya 40 tahunan. Ketika itu botol vial karena itu, produk taksonomi juga
yang digunakan ditutup dengan kapas, belum banyak dikenal. Upaya untuk
besar kemungkinan Collembola rusak sosialisasi ini masih diperlukan sekali
karena tersangkut pada tutup vial. dengan kerja kerasnya para
Penyimpanan dalam alkohol masih taksonomiwan.
dilakukan tetapi beberapa spesimen
dibuat preparat kaca (slide). Dengan Database
demikian keselamatan spesimen
dapat lebih dijamin. Spesimen tipe Banyak perangkat lunak yang dapat
biasanya dibuat dalam slide. Biasanya digunakan untuk membuat database
masing-masing peneliti mempunyai keanekaragaman fauna, misalnya
metode andalan dalam pembuatan ECOBASE, Access, COMPTESA ( ?)
slide, perbedaan ditemukan dalam database khusus untuk “Soil
penggunaan bahan kimia baik untuk Arthropods” berkembang di Eropa.
“clearing” maupun “mounting”. Setiap institusi sudah memiliki
databasenya masing-masing. Yang
Analisis filogeni untuk Collembola juga belum dilakukan adalah
sudah dilakukan oleh peneliti manca menghubungkan database antar
negara sudah sejak lama (Cassagnau institusi sehingga membentuk jaringan
1974; Deharveng 1981; Najt et al. komunikasi yang utuh. Seharusnya hal
2004; Soto-Adames 2000; Yosii 1961), ini dapat dilakukan karena dengan
tetapi di Indonesia belum pernah adanya kemajuan teknologi yang ada,
ditemukan laporannya. Kegiatan maka kendala perbedaan perangkat
penelitian di Indonesia masih lunak dari masing-masing pemilik
difokuskan kepada inventarisasi pada database dapat diatasi.
lokasi-lokasi atau pulau-pulau yang
data keanekaragamannya belum ada. Jejaring (networking)

Dengan berkembangnya macam Di Lembaga Ilmu Pengetahuan


karakter yang digunakan, maka Indonesia sendiri ada proyek yang
sistematik Collembola berubah namanya National Biodiversity
banyak. Banyak takson yang Information Network (NBIN) yang
mengalami revisi, baik pada peringkat didanai oleh ADB. Namun kehadiran
atas (famili) atau bawah (genus, proyek ini belum banyak dirasakan.
spesies). Oleh karena itu, tidak heran Seharusnya dengan adanya NBIN
kalau beberapa famili naik jaringan komunikasi keanekaragaman
peringkatnya menjadi superfamili, dan hayati lintas instansi dapat dilakukan.
subfamili menjadi famili, bahkan famili
Neelidae menjadi ordo Neelipleona Indonesia menjadi salah satu anggota
(Deharveng 2004). BioNET International melalui
ASEANET (tingkat ASEAN) sebagai
salah satu cabangnya. Salah satu
KOMUNIKASI cakupan kerja ASEANET adalah
sosialisasi taksonomi. Kantor
Sosialisasi produk taksonomi Kementrian Lingkungan Hidup
merupakan «national vocal point»
Artikel & komunikasi untuk keanekaragaman hayati. Untuk
melakukan sosialisasi kegiatan
Sudah disinggung di atas bahwa ASEANET maka KLH ini membentuk
jumlah artikel (Tabel 2) produksi para POKJA yang disebut INTI (Indonesian
peneliti Indonesia dapat dikatakan National Taxonomy Intiative). Selain
masih rendah dan komunikasi masih sosialisasi POKJA-nya INTI juga

82
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

sosialisasi taksonomi, dan membuat Adisoemarto (almarhum), dan Bapak


jejaring sebagai salah satu butir Dr. Purnama Hidayat yang telah
progarm kerjanya. Tidak berbeda berkenan membaca makalah ini, saya
dengan NBIN kegiatan INTI pun masih menyampaikan terima kasih yang
tersendat, yang masing-masing sebesar-besarnya atas semua kritik,
mempunyai alasan berbeda. Di saran dan masukannya. Kepada staf
Australia ada jejaring yang dinamakan Perpustakaan Bidang Zoologi
BioLINK. BioLINK ini merupakan diucapkan terima kasih atas
jejaring terpadu antar lembaga yang bantuannya dalam penelusuran
melaksanakan pekerjaaan yang database untuk mendapatkan
berkaitan dengan keanekaragaman informasi yang diperlukan.
hayati, baik museum, karantina,
pertanian ataupun lembaga lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Dari BioLINK ini dapat diakses data
keanekaragaman hayati Australia. Adisoemarto S. 2001. Merelevankan
Komunikasi antar peneliti taksonomi Taksonomi. Makalah dalam
juga dapat dilakukan melalui jejaring Loka Karya Pengembangan
yang mereka bangun. Taksonomi di Indonesia,
Kementerian Lingkungan
Menghimpun para pelaku taksonomi Hidup, 21 November 2001.
merupakan salah satu upaya untuk Adisoemarto S. 2003. Membumikan
membangun komunikasi. Berdirinya Taksonomi : Mengapa harus
MTFI adalah suatu kebutuhan yang dibumikan dan bagaimana
dideklarasikan bersama di anatar para membumikannya. Makalah
pelaku dan pengguna jasa taksonomi. Kunci pada “Semi-loka
Diharapkan, MTFI ini dapat menjadi Membumikan Taksonomi”, di
wahana komunikasi yang efektif dua UKSW Salatiga, 22 Maret 2003.
arah yaitu antara penghasil dan Adisoemarto S. & Y.R Suhardjono.
pengguna produk taksonomi. 2003. Pengembangan Program
Taksonomi. Makalah dalam
Publikasi Ceramah Sosialisasi
Taksonomi dan POKJA INTI di
Publikasi berupa majalah atau jurnal Fak. Biologi UNSOED,
baik yang ilmiah, semipopuler, Purwokerto, 14 November
maupun populer merupakan salah 2003.
satu sarana untuk komunikasi. Allard M.W, R.L Honeycutt & M.J
Majalah ilmiah lokal khusus taksonomi Novacek, 1999.
fauna bertaraf internasional sudah ada INTRODUCTION. Advances in
yaitu “Treubia” yang diterbitkan oleh higher level Mammalian
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI. relationship. Cladistic 15: 213-
Terbitnya majalah ini agak tersendat, 219.
bukan karena dana tetapi karena Anonimus (manuskrip). Direktori
masukan makalah taksonomi yang Pelaku dan Pemerhati
berbobot. Sudah disinggung di atas Taksonomi Indonesia. POKJA
bahwa kemampuan produksi peneliti INTI, Kantor Kementrian
Indonesia di bidang taksonomi masih Lingkungan Hidup.
tergolong rendah. Mungkin diperlukan Asher R.J. 1999. A morphological
majalah yang bertaraf semipopuler basis for assessing the
tetapi bernuansa taksonomi. phylogeny of the “Tenrecoidea”
(Mammalia, Lipotyphla).
Cladistic 15: 231-252.
UCAPAN TERIMA KASIH Burkhart U & J Filser, 2004. Fast and
efficient discrimination of the
Kepada Bapak Prof.em. Dr. S. Isotoma viridis group (Insect:
Somadikarta, Bapak Dr. S.

83
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

Collembola) by PCR-RFLP. variation in Aethalops alecto


Pedobiologia 48: 435-443. (Chiroptera, Pteropodidae) from
Darlington P.J. 1966. Zoogeography. Java, Bali and Lombok Is.
The geographical distribution of Indonesia. Mammalia 57 : 255-
animals. John Wiley & Sons 272.
Inc. New York : 675 pp. Kojima J. & R Ubaidillah. 2003. Two
Dallwitz M.J, T.A Paine & E.J Zurcher, species of the cryptic chrysidid
th
parasitoid subfamily
1980. DELTA User’s guide. 4
Loboscellidiinae: the second
Edition. Division Entomology,
species in Rhadinoscelidia and
CSIRO Australia.
the first Loboscelidia for
Deharveng L. 1981. La chaetoitaxie
Inonesian fauna. Entomological
dorsale de antenne et son
Science 6: 199-207.
interet phylogenetique ches
Marwoto R.M. 2000. Keong air tawar
Collemboles Neanuridae. Neuv
suku Thiaridae di Danau Poso
Rev Ent 11 (1): 3-13.
dan studi morfologi anatomi
Deharveng L & Y.R Suhardjono. 1994.
marga Tylomelania dari Danau
Isotomiella Bagnall 1939
Poso, Sulawesi Tengah
(Collembola Isotomidae) of
(Moluska: Gastropoda:
Sumatra (Indonesia). Tropical
Caenogastropoda). Tesis
Zoology 7: 309-323.
Magister Sain di Universitas
Deharveng L & Y.R Suhardjono. 2000.
Indonesia.
Sulobella, a new genus new
Najt J, W.M. Weiner &I Grandolas.
species of Lobellini
2004. Phylogeny of the
(Collembola: Neanuridae) from
Brachystomella (Collembola)
South Sulawesi, with comment
were the mandibles acentrally
on tribe Lobellini. Contr. Biol.
abcent and did they re-appear
Lab. Kyoto Uniiv. 29: 83-87.
in this family. Zoologica Scripta
Deharveng L. 2004. Recent advances
34: 305-312.
in Collembola systematics.
Noerdjito W.A & I Maryanto, 2004.
Pedobiologia 48: 415-433.
Penemuan Baru Staf Bidang
Deharveng L & Y.R Suhardjono. 2004.
Zoologi, 1993-2004: Marga,
Pseudosinella maros sp.n., a
Jenis dan Anak Jenis Fauna.
troglobitic Entomo-bryidae
Pusat Penelitian Biologi – LIPI,
(Collembola) from Sulawesi
Cibinong: 35pp.
Selatan, Indonesia. Revue
Oudemans J.T. 1890. Apterygota des
Suisse de Zoologie 111: 979-
Indischen Archipels. Weber’s
984.
Ergeb der Reis Ost Indien I: 73-
Fjelberg A. 1984. The maxillary outer
91.
lobe, an important systematic
Prijono S.N, Koestoto, Y.R
tool in Isotomidae (Collembola).
Suhardjono, 1999. Kebijakan
Annls Soc Roy Zool Belgium
koleksi. Dalam Suhardjono YR
114: 83-88.
(ed). Buku Pegangan
Hidayat P & Y.R Suhardjono, 2003.
Pengelolaan Koleksi Spesimen
Biodiversitas dan Taksonomi.
Zoologi. Balitbang Zoologi,
Makalah Ceramah Taksonomi
Puslitbang Biologi-LIPI: 1-19.
di UNBARI, Pekanbaru, Jambi.
Sastrapradja D., S. Adisoemarto, K.
5 Spetember 2003.
Kartawinata, S. Sastrapradja,
Farris J.S. 1988 HENNIG86
M.A. Rifai, 1989. Keanekara-
Refferences Version 1.5.
gaman Hayati bagi
Copyright © James S. Farris
kelangsungan hidup bangsa.
1988.
Puslitbang Bioteknologi, LIPI.
Kitchener D.J, S Hisheh, L.H Scmitt &
Soto-Adames F.N. 2000. Phylogeny of
I Maryanto. 1993.
neotropical Lepidocyrtus
Morphological and genetic
(Collembola: Entomobryidae):

84
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

first assessment of pattern of Sutrisno H. 2003. Phylogeny of


speciation in Puerto Rico and Glyphodes Guenee
phylogenetic relevance of some (Lepidopetra: Crambidae:
subgeneric diagnostic Spilomelinae) based on
characters. Systematic nucleotid seqeunce variation in
Entomology 25: 485-502. a mitichondrial COI gene:
Suhardjono Y.R. 1982. Beberapa congruence with morphological
kelompok Entomobryidae di data. Treubia 33: 35-42.
lantai hutan Wanariset, Sutrisno H. 2004. Phylogeny of two
Kalimantan Timur. Dalam closely-related moth genera,
Djajasasmita M & GG Hambali Agrioglypta Meyrick dan
(Ed) Laporan Teknis Penelitian Talanga Moore (Lepidoptera:
dan Pengembangan Crambidae), based on
Sumberdaya Hayati, LBN-LIPI morphological and
Bogor 1981-1982: 176-181. mitochondrial COII sequence
Suhardjono Y.R. 1989. Revised check variation. Hayati 11: 93-97.
list of Collembola from Sutrisno H. 2005. Moleculer phylogeny
Indonesia and its adjacent of Agrioglypta Meryick and
region. AZA0 1 : 1 -22. Talanga Moore (Lepidoptera:
Suhardjono Y.R. 1989. Isotomidae Crambidae; Spilomelinae)
from Indonesia 1. AZAO 1 : 119 inferred from Nuclear EF-1α
- 127. Suhardjono YR. 1991. gene. Hayati 12: 45-49.
Geographical distribution of the Sutrisno H & M Horak, 2003. Revision
genus Callyntrura (Collembola). of the Australian species of
Dalam Veeresh et.al.(Ed.) Hyalobathra Meyrick
Advances in Management and (Lepidoptera:Pyraloidea:
Conservation of Soil Fauna: 47 Crambidae: Pyraustinae) based
- 52. on adult morphology and with
Suhardjono Y.R. 2000. Collembola description of a new species.
tanah peran dan Australian Journal of
pengelolaannya. Lokakarya Entomology 42: 233-248.
Sehari Peran Taksonomi dalam Ubaidillah R, J Lasalle, D.L.J Quicke &
Pemanfaatan dan Pelestarian J Kojima, 2003. Cladistic
Kenekaragaman Hayati doi analysis of morphological
Indonesia, Depok 20 April characters in the Eulophine
2000. tribe Cirrospilini (Hymenoptera:
Suhardjono Y.R & L Deharveng. 1992. Eulophinae). Entomological
Siamanura primadinae a new Science 6: 259-279.
species of Neanurinae Yosii R. 1961. Phylogenetische
(Collembola: Neanuridae) from bedeutung der chaetotaxie
East Java, Indonesia. Raffles beiden Collembolen. Contr Biol
Bulletin Zool. 40: 61 - 64. Lab Kyoto Univ. 12: 1-37.
Suhardjono Y.R & L Deharveng. 2001. Yoshii R. 1966. Checklist of
Telobella kemiri, a new species Collembola species reported
of Lobellini (Collembola, from Indonesia. Treubia 27: 45-
Neanuridae) from Lombok 52.
island (Indonesia). ZOOTAXA Yoshii R. 1970. Structure and
15 & 16: 1-8. chetotaxy of labrum as the
Sutrisno H. 2002. Cladistic analysis of taxonomic character of
the Australian Glyphodes Collembola. Rev. Ecol. Biol.
Guenee and allied genera Sol. 15: 233-239.
(Lepidoptera: Crambidae; Yoshii R & YR Suhardjono. 1989.
Spilomelinae). Entomological Notes on the Collembolan
Science 5: 457-467. fauna of Indonesia and its
vicinities. 1. Miscellaneous

85
STATUS TAKSONOMI FAUNA DI INDONESIA DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA
COLLEMBOLA: Zoo Indonesia Vol. 15(2): 67 - 86

notes, with special references


to Seirini and Lepidocyrtini.
AZAO 1: 23 - 90.
Yoshii R & Y.R Suhardjono. 1992.
Notes on the Collembolan
fauna of Indonesia and its
vicinities. II. Collembola of Irian
Jaya and Maluku Islands.
AZAO 24 2: 1 52.

86

Anda mungkin juga menyukai