Anda di halaman 1dari 64

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311981770

Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia

Book · January 2016

CITATIONS READS
9 13,522

1 author:

Al Makin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
40 PUBLICATIONS   100 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Al Makin on 30 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Menantang untuk dibaca. Tinjauan historis tentang tradisi agama-agama
yang kaya dibahas mendalam dan cermat. Buku yang memberikan gambaran
ringkas dan penting dalam mengarungi sejarah umat manusia yang sering
melakukan pertumpahan darah karena perbedaan. Wajib dibaca oleh mereka
yang ingin mengetahui khazanah kemanusiaan dan persaudaraan di atas
landasan titik temu ajaran agama-agama
Profesor Dr. Ahmad Syafi’i Maarif,
(Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Buku Al Makin Ph.D ini adalah karya penting tentang sejarah keragaman
dan perbedaan pemahaman dan praksis agama-agama dalam perjalanan
sejarah umat manusia. Dengan cakupannya yang luas dan mendalam, buku
ini pastilah memperkaya perspektif dan wawasan pembaca untk menyikapi
perbedaan dan keragaman agama dan budaya secara arif dan bijak.
Profesor Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pluralitas atau ta’ddudiyyah adalah hard fact sejarah yang tidak dapat ditolak
dan dihindari oleh siapapun. Meskipun begitu selalu saja ada argument yagn
pro dan kontra. Buku ini membantu menjelaskan fakta keras sejarah tersebut.
Sangat membantu pembaca yang hendak mengkaji isu plrualitas budaya, sosial,
dan agama secara akademis.
Professor Amin Abdullah (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)

Karya seperti ini sejauh saya tahu baru pertama kali muncul dalam khazanah
tulisan religius atau teologis Indonesia. Dengan sangat terampil, data sejarah
masa lalu yang rumit mengenai Kitab Suci dari kedua agama disajikan
secara “reader-friendly”. Tetapi bukan hanya konteks masa lampau saja yang
diperhatikan melainkan juga konteks Indonesia masa kini, sehingga buku ini
tidak hanya bersifat lintas agama tetapi juga lintas konteks, atau kalau mau
menggunakan istilah kerennya, “interkultural”. Saya belajar dari Al Makin,
bahwa seorang agamawan atau teolog dalam konteks Indonesia sekarang ini
seyogyanya menjadi orang yang memiliki kemampuan lintas ilmu dan lintas
agama yang memadai”.
Profesor Gerrit Singgih (Guru Besar Universitas Duta Wacana, Yogyakarta).
Buku Keragaman dan Perbedaan ini cukup unik. Buku ini memberikan
informasi dan analisis yang amat kaya tentang fenomena keragaman dan
perbedaan yang kita lihat dalam sejarah dari berbagai budaya. Buku ini
menjadi salah satu cara bagaimana kita mau tidak mau rendah hati di depan
sejarah dan belajar lebih arif merespon keniscayaan akan keragaman dan
perbedaan di jaman sekarang. Buku ini unik karena buku ini memberi contoh
pada kita bagaimana membuka kotak sejarah dan bukannya melipat sejarah
yang sering kita lakukan entah atas nama apa saja.
Dr. St. Sunardi (Dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Karya brilian dari seorang peneliti dan filosof muda prolifk yang menjelaskan
keniscayaan keragaman dan kepelbagiaan dalam agama dan budaya. Dengan
melihat bukti-bukti sejarah dan menggunakan cara unik dan terkadang pro-
vokatif , karya ini menunjukkan walapun bersifat transcendental, agama dalam
praktiknya sesuautu yang manusiawi. Ia merupakan bagian dari sistem budaya
yang sangat dinasmis dan kontekstual. Karya yang layak dibaca oleh siapapun
yang menginnkan duna damai tanpa kekerasan apalagi berlatar agama.
Profesor Noorhaidi Hasan (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)

Karya Dr. Al Makin ini sungguh spektakuler! Bukan saja karena belum ada
buku sejenis yang pernah diterbitkan di Indonesia, tetapi juga buku ini
memberi perspektif yang tidak terbayangkan oleh para ilmuwan sosial lainnya
di Indonesia. Dengan konteks historis dan geografis yang disajikan utuh oleh
penulis, realitas sosial dan keagamaan di Indonesia dipotret dan dianalisis
secara tajam dan menyeluruh. Intinya, realitas keagamaan di Indonesia adalah
cerminan realitas dunia. Begitupun sebaliknya, realitas agama-agama dunia
adalah juga realitas yang terjadi di Indonesia dengan segala keragaman dan
perbedaannya. Dengan hadirnya buku ini bersama karya-karya tulisan yang
sudah terbit sebelumnya, Dr. Al Makin sekali lagi membuktikan dirinya
sebagai seorang sarjana berkaliber dunia yang produktif dalam menghasilkan
buah pemikiran yang bermutu tinggi.
Profesor Arskal Salim, (adjunct Profesor di University of Western Sydney,
dosen Fakultas Syariah dan Ketua LPPM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

ii Keragaman dan Perbedaan


Takada peradaban maju yang membiarkan dirinya perawan dari perjumpaan
dan sentuhan inspirasi, peminjaman, pengaruh, pergaulan dan bahkan
pergumulan dengan peradaban lain secara sehat dan kritis; dan tak ada pula
peradaban maju yang meratapi perbedaan dan keragaman dalam dirinya,
tapi justru menjaga dan merayakannya secara bertanggunggungjawab dan
produktif. Buku Al Makin ini menyadarkan kita tentang dua hal penting ini.
Dr. Moch Nur Ichwan (Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Membaca buku ini bukan saja tiba-tiba saya merasa tak sendirian berjalan di
muka bumi ini karena apa yang saya yakini dan jalani ternyata kepingan dari
sejarah panjang keragaman keberagamaan manusia, dan seolah-olah kalau kita
padatkan semuanya itu dalam 24 jam, maka hidup kita saat ini sebenarnya
baru masuk jam 3 sore -- waktunya untuk ngopi agar hidup jangan terlalu
tegang apalagi sampai berkonflik.
Profesor Nadirsyah Hosen (Senior lecturer di Monash University Australia
dan Rais Syuriah, PCI Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan New Zealand)

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia adalah negara


yang perkembangan demokrasinya mengagumkan, tetapi minus toleransi.
Toleransi di Indonesia betul-betul dalam keadaan yang menyedihan, karena
selalu sajaada kasus intoleransi yang muncul hampir setiap saat. Dalam situasi
seperti itu buku Al Makin ini sangat membantu kita mengerti duduk perkara
perkembangan sosial politik antargama di Indonesia. Buku yang harus dibaca
oleh para pengamat hubungan antaragama di Indonesia.
(Budhy Munawar-Rachman, Dosen STF Driyakarya)

“Buku ini mengantarkan ke pemahaman akan kenyataan bahwa agama-


agama kita dewasa ini bukanlah sesuatu yang beku dan utuh dan jatuh dari
langit sejak ‘dari sononya’, melainkan merupakan gagasan yang hidup dan
berkembang, yang benihnya mulai tumbuh sejak awal mula munculnya
peradaban, sehingga menyadarkan kita bahwa kepercayaan-kepercayaan yang
hidup dewasa ini sejatinya bersaudara.”
(Bramantyo Prijosusilo, seniman tinggal di Ngawi Jawa Timur)

Al Makin iii
iv Keragaman dan Perbedaan
 


 

Al Makin v
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan;
b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan
ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan
Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i.
Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113
ayat [4]).

vi Keragaman dan Perbedaan


 


 



Al Makin vii
KERAGAMAN DAN PERBEDAAN:
Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia
Copyright Al Makin, 2016

Penulis : Al Makin
Design Cover : Ikhman Mudzakir
Tata Letak : Maryono
Cetakan Pertama : Maret 2016
xii + 288 hlm, 15, 5 x 23 cm

Penerbit:
SUKA-Press
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Gedung Rektorat Lama Lantai 3
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Email: almakin3@gmail.com

Bekerjasama dengan:
Al-Jami’ah Research Center
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Gedung Rektorat Lama Lantai 2
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Telpon: (0274) 558186
Email: editor@aljamiah.org
sayyidaslam82@gmail.com

ISBN: 978-602-1326-48-0

All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang -undang


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

viii Keragaman dan Perbedaan


DAFTAR ISI

Pembuka ................................................................................1
Pertanyaan mendasar ......................................................2
Argumen bukan kronologi ..............................................4
Keragaman......................................................................5
Terima kasih ...................................................................8

Bab Satu Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno ...................11


Keterbatasan ingatan masa lalu ......................................12
Catatan masa lalu ..........................................................18
Penciptaan dunia ...........................................................30

Bab Dua Kisah Manusia Pertama ..........................................41


Kisah Adam dan Hawa ..................................................42
Mitologi dan cerita lain..................................................52
Kisah penciptaan menurut Tablet Sumeria
dan Babilonia.................................................................60

Al Makin ix
Bab Tiga Persepsi tentang Dunia ...........................................69
Luasnya dunia................................................................69
Kisah tertua ...................................................................73
Banjir dunia ...................................................................79
Dari lokal ke universal ...................................................88
Pengetahuan dunia ........................................................91
Usia dunia ....................................................................95
Usia manusia ................................................................102

Bab Empat Keragaman Teologi dalam Sejarah ......................105


Teologi dalam sejarah....................................................105
Sejarah ketuhanan.........................................................111
Melampui abad tujuh ...................................................115
Islam tidak satu.............................................................123
Beberapa versi ‘agama’ ...................................................135
Menekankan perbedaan ................................................141

Bab Lima Kota-kota Metropolitan........................................143


Belum selesai ................................................................144
Damaskus .....................................................................147
Baghdad .......................................................................159
Unsur Persia..................................................................162
Unsur Syriak dan Yunani ..............................................164
Dinamika dan keragaman .............................................170
Niscaya ragam...............................................................173

Bab Enam Tradisi Beriman dan Berfikir ...............................175


Dua warisan lama .........................................................175
Berfikir .........................................................................177
Beriman ........................................................................180
Bertemunya iman dan fikir ...........................................183
Warisan kuno dalam tradisi baru...................................188
Dari agensi aqal, doktrin penciptaan, ke sistem negara ..192
Pencapaian ....................................................................195
Serangan .......................................................................199
Bantahan ......................................................................202
Empirisme ....................................................................204
Tradisi yang kaya ..........................................................209

x Keragaman dan Perbedaan


Bab Tujuh Keindonesiaan .....................................................211
Persimpangan tradisi Timur dan Barat ..........................212
Kreasi baru ..................................................................218
Perpaduan.....................................................................221
Hinduisme....................................................................226
Buddhisme ...................................................................233
Kaliyuga .......................................................................236
Sinkretisme baru ...........................................................243
Keragaman Nusantara...................................................246

Penutup................................................................................249
Daftar Pustaka ......................................................................255
Tentang Penulis ...................................................................267
Indeks .................................................................................269

Al Makin xi
xii Keragaman dan Perbedaan
Al Makin

Pembuka

Harapan Penulis dalam menikmati bacaan ini adalah agar Anda


menyelami keragaman dan perbedaan dalam sejarah, pengetahuan,
dan tradisi keagamaan. Pembaca diajak mengenal bagaimana tradisi
kuno dahulu kala nun jauh di sana di Mesopotamia, Mesir, Yunani,
Romawi, India, Arab, dan Indonesia, yang saling berkelindan serta
diwarisi manusia hingga saat ini. Tradisi beriman dan berfikir
dalam budaya yang terpisah itu bisa kita fahami; dan dengan
begitu bisa kita tempatkan manusia saat ini, dan juga budayanya,
dalam sejarah manusia yang panjang, 2,5 juta tahun. Para pembaca
diharapkan memahami perpindahan dan keberlanjutan tradisi
dengan pemaparan contoh-contoh nyata, dengan menghadirkan
konsep atau teks. Pembaca juga diajak mengenali bagaimana para
pemikir masa lampau bertanya dan menjawab (sebagaimana kita
saat ini juga) tentang dunia, alam semesta, dan Penciptanya. Karena
kreasi dan kemampuan berfikir itulah manusia terdorong dalam
perkembangan tradisi keimanan, pengetahuan, dan peradaban.
Manusia membangun tempat ibadah, kota, dan negara; para
penguasa menyokong secara ideologi dan militer; para intelektual

Pembuka 1
Al Makin

berkarya dan memberi ideologi pada dinasti; itulah jalannya sejarah


dunia.
Dalam membahas tema-tema dalam buku ini, para Pembaca
diajak berkelana dari abad ke abad lain, zaman ke zaman lain,
peradaban ke peradaban lain, tradisi keagamaan ke tradisi lain,
pemikir ke pemikir lain untuk menghargai bagaimana usaha
manusia dalam perjuangannya selama bertahan di planet bumi.
Usaha itutelah melahirkan keragaman dan perbedaan dalam tradisi
keberagamaan, pengetahuan, dan budaya. Pembaca diharapkan
memahami dan menghargai semua khazanah sejarah, dari era kuno,
klasik, dan masa lalu; di mana masa sekarang adalah cerminan masa
lalu; masa lalu memberi fondasi bagi masa selanjutnya.

Pertanyaan mendasar
Buku ini berusaha menyinggung pertanyaan dan pernyataan
mendasar sebagai berikut:
Kapan dunia ini ada dan tercipta?
Buku ini memberi gambaran bahwa banyak tradisi dan konsep
kuno, sebelum dan di samping Islam, Kristen dan Yahudi, membahas
konsep permulaan dunia, berupa konsep penciptaan(kosmogini
dan kosmologi). Konsep alam ini dihadirkan di bab pertama
sebagai pembuka dengan menghadirkan perbandingan konsep dari
Mesopotamia, Mesir, dan Semitik.
Kapan manusia tercipta dan hadir di dunia?
Berbagai konsep penciptaan manusia pertama di berbagai
keyakinan dan mitos kuno dan tradisi masyarakat dikupas di bab
kedua. Kisah bagaimana manusia diciptakan Tuhan dilihat dari
berbagai sudut pandang dan berbagai mitos: Afrika, Eropa, Jepang,
dan Nusantara. Kemudian bab ini menghadirkan penciptaan kuno
dari Mesopotamia, Yahudi, Kristen dan Islam.
Bagaimana dunia difahami? Seberapa luaskah alam ini?
Dihadirkan dalam bab ketiga tentang persepsi dunia
menurut peradaban kuno Mesopotamia, Sumeria dan Babilonia.
Di kebudayaan itu ada tablet (batu bertulis) kuno tentang kisah
Gilgamesh (seorang raja yang mencari keabadian). Di dalamnya juga

2 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

terdapat cerita banjir yang melanda dunia. Kisah banjir termaktub


dalam Bibel Perjanjian Lama dan kemudian Qur’an. Disamping
kita bahas tentang relasi teks kuno dengan Kitab Suci yang masih
diimani hingga kini, kita juga melihat dunia dipersepsikan dalam
tradisi kuno; dan ternyata persepsi manusia tentang dunia terus
berubah dan berkembang hingga kini.
Ada berapa tradisi agama dan teologi yang kita kenal?
Dalam tradisi agama kita kenal istilah banyak tuhan
(polytheisme) dan monoteisme (satu Tuhan); kita telusuri bagaimana
rangkaian sejarah dan perkembangan dari keduanya. Keragaman
masing-masing tradisi dan juga terutama bagaimana konsep satu
Tuhan pun juga melahirkan ragam pemahaman. Mazhab, sekte,
perbedaan pandangan dalam monoteisme juga dipaparkan.
Benarkah kota suci dan asal kewahyuan masa lalu itu satu warna?
Jangan bayangkan kota-kota masa lalu itu sangat sederhana dan
hanya satu warna: Makkah, Madinah, Damaskus, dan Baghdad.
Kota-kota masa lalu itu sudah kosmopolit dan metropolis karena
unsur keragaman etnisitas, budaya, tradisi dan pengetahuan.
Terutama gambaran dan sejarah Damaskus dan Baghdad dipaparkan
dan diterangkan.
Sejak kapan manusia menggabungkan iman dan akal, teologi dan
filsafat?
Buku ini menyajikan perpaduan iman dan fikir dalam sejarah
manusia; yaitu tradisi Yunani bertemu dengan tradisi Yahudi,
Kristen dan Islam. Terutama tradisi Islam mengenal para filosof
Muslim yang terbuka dan selalu siap dengan keragaman, karena
mereka mengadopsi dan mengadaptasi tradisi berfikir kuno Yunani.
Penterjemahan dan penafsiran dari Yunani melalui Syriak ke Arab
dilakukan pada era Umayyah dan Abbasiyah.
Seberapa ragam kah tradisi Nusantara?
Membahas Nusantara dengan cara membaca dan menikmati
ulang peninggalan-peninggalan masa lalu untuk diproyeksikan
ke masa depan. Peninggalan masa lampau berupa tempat ibadah,
istana, dan bukti-bukti lain seperti sastra, bisa membantu kita untuk
menerangkan bagaimana sebetulnya fondasi masa lalu itu berguna

Pembuka 3
Al Makin

untuk manusia saat ini. Jika Baghdad, Damaskus, meramu tradisi


Yunani, Semitik, Persia, Zoroaster, India; Nusantara tidak kalah
majemuknya, tradisi Hindu, Buddha, China, Islam, Kristiani,
Eropa, dan lokalitas berpadu dan harmoni. Keragaman dan
perbedaan bisa terlihat indah seperti candi Prambanan, di mana di
kompleks itu terdapat candi Hindu dan Buddha, Loro Jonggrang
dan Sewu.
Dalam membahas beberapa konsep dasar, buku ini mengajak
pembaca untuk berpetualang dari masa ke masa untuk melihat
berbagai konsep keagamaan dari masa Mesopotamia, Mesir kuno,
Yahudi, Kristen klasik, dan Islam; sampai Nusantara juga dari
masa Mataram kuno, Majapahit, Demak, dan Mataram Islam.
Pandangan ini berguna untuk meluaskan perspektif yang digunakan;
juga sekaligus bisa membayangkan bagaimana meletakkan atau
memposisikan tradisi sendiri. Tulisan ini mengajak kita menelaah
secara jeli konsep di atas, juga sekaligus melihat gambaran umum
tentang konsep-konsep dan relasi antar konsep.

Argumen bukan kronologi


Buku ini arahnya sejarah ke belakang, masa kuno, klasik, dan
klasik akhir. Tetapi diharapkan pandangan sejarah berguna untuk
refleksi masa kini. Masa lalu adalah awal dari masa kini; masa
lalu menjadi fondasi masa kini, namun juga sekaligus diciptakan
pada masa kini. Dengan kata lain, masa lalu membentuk kita, tapi
juga kita bentuk. Kadang kita terkejut dengan masa lalu, bahwa
pengetahuan tertentu sudah ada di masa lalu. Monoteisme berawal
dari masa lalu; polytheisme jauh lebih tua. Cerita banjir sudah ada
ribuan tahun sebelum termaktub dalam Kitab Suci. Kisah klasik
dimulai dalam Islam di era Baghdad dan Damaskus, bersamaan
dengan di Indonesia di era Medang Mataram, Singasari, Majapahit
dan akhirnya Demak.
Dalam memberi contoh dan menerangkan ide dasar, buku
ini tidak berusaha menyusun peristiwa demi peristiwa dengan
runtutan kronologis sesuai waktu dan kategorisasi geografis, tetapi
menyusun argumen; yaitu semacam berfikir berdasarkan sejarah,
bukti, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan logika mengalir;
sebagaimana disarankan dalam studi interdisplineri dan post-
modernisme. Dalam bahasa Amin Abdullah buku ini menggunakan

4 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

multi-dimensional approaches (berbagai sisi pendekatan). Runtutan


argumen tidak berdasarkan peristiwa demi peristiwa sehingga
waktu kronologis linier seperti buku sejarah. Namun, argumen
demi argumen disusun berdasarkan tema yang juga dilengkapi
dengan bukti sejarah. Buku ini mengajak para pembaca untuk
melihat ke belakang, sejarah masa lampau manusia.
Yang didapat setelah membaca buku ini adalah memahami
dunia, manusia, tradisi, agama dalam peradaban. Pembaca diajak
menggambar peta dunia dan sejarahnya; juga membayangkan
bagaimana dunia ini berkembang hingga seperti ini dan itu
dimulai dari masa lalu; masa lalu itu seperti apa? Gambaran yang
mencakup keterkaitan antara pengetahuan, tradisi, dan budaya.
Konsep-konsep yang sepertinya abstrak juga diterangkan supaya
gamblang.

Keragaman
Dunia ini beragam, tidak berisi satu warna, tetapi kompleks;
di samping bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, warna juga
hampir tak terhingga; bisa diolah dan dicampur dengan warna lain,
sehingga membentuk warna baru. Walaupun sudah sekian ribu jenis
warna, masih mungkin menambah warna baru—dengan maramu
antara satu warna dengan lainnya. Saat ini kalau Anda pergi ke
toko cat untuk besi atau tembok, bisa dipesan cat warna sesuai
dengan selera. Dengan sentuhan teknologi, percampuran warna
lama bisa melahirkan warna baru. Dalam cahaya, begitu percobaan
Isaac Newton (1643-1727), warna putih merupakan perpaduan
dari warna-warni; menyatu dalam satu satu lobang prisma dan
berpendar, terpecah, menjadi beragam keluar dari lobang. Setelah
melewati kaca prisma, muncul aneka rupa fraksi warna. Begitu juga
pelangi di langit sehabis hujan, dari sekedar tetesan air, terkena sinar
matahari, susunan aneka warna muncul. Alam raya ini dipenuhi
warna; dunia penuh warna dan perbedaan rupa; itu menciptakan
keindahan. Susunan berbagai warna melahirkan seni.
Jika kita memperhatikan lukisan, dengan kombinasi
langit berwarna biru; pepohonan hijau, di sawah tertanam padi
menguning; gunung membiru; air jernih di danau memantulkan
bayangan pemandangan diatasnya; sinar matahari pagi memerah
dan oranye; lukisan alam itu indah. Lain halnya jika lukisan itu

Pembuka 5
Al Makin

hanya berwarna hitam putih. Terasa bosan, bukan? Dengan


berbagai warna dalam lukisan sepertinya itu, obyek menjadi seni.
Alam sekitar yang penuh dengan rupa dan warna menambah
ragamnya keindahan; keindahan adalah keanekaragaman dan
berbagai perbedaan; keanekaragaman merupakan kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri: perbedaan itu alami. Penyeragaman adalah
rekayasa yang dipaksakan.
Teratur itu rapi, tetapi keteraturan itu bukan penyeragaman
mutlak. Keteraturan itu harmonisasi dari perbedaan-perbedaan
sehingga membentuk susunan yang dengan mudah mata kita
menangkap bentuk. Di suatu jalan raya, di pinggirnya ditanami
cemara-cemara yang teratur rapi; dedaunannya dipotong sehingga
tampak sama dan meninggi lancip. Walhasil, rapi dan indah.
Tetapi sebetulnya cemara-cemara itu tidak seragam seperti
penampakannya; masing-masing batang pohon pasti berbeda
besarnya satu dengan lainnya; tidak mungkin pohon itu persis
sama, apalagi ada sepuluh pohon, pasti berbeda antara satu dan
lainnya. Salah satu batang pohon ada yang dijadikan rumah semut;
ada yang terluka karena dipatuk burung pelatuk; ada yang tumbuh
benjolan, karena cabangnya patah sebab angin yang menerpa
keras. Batang pohon cemara di pinggir jalan yang kelihatannya
sama persis; pada kenyataannya dipenuhi dengan perbedaan. Tidak
mungkin menuntut semua pohon cemara untuk berbatang sama
persis, dan simetris. Kesamaan bukan alam semesta dan bukan
alami; mungkin itu buatan manusia, seperti pensil, computer,
dan mobil. Bahkan buatan manusia yang seragam dalam proses
alaminya nanti juga melahirkan perbedaan. Dua mobil dengan
merk sama, buatan tahun yang sama, dengan warna yang sama
pula, ternyata tidak sama dalam perjalanannya. Satu mobil tergesek
catnya, sehingga cacat; mobil yang lain mesinnya rusak, karena
pemiliknya lupa mengganti oli secara teratur. Hasilnya dua mobil
yang sama menjadi berbeda dalam perjalanannya.
Keragaman dan perbedaan dalam buku ini menerangkan
sejarah manusia, bahwa sejarah manusia itu beragam dan dipenuhi
dengan perbedaan. Sejarah dari satu tradisi ke tradisi lain mengalami
perkembangan, pengurangan, dan penambahan. Tradisi manusia
bergulir dari satu zaman ke zaman lain: diwarisi oleh satu dinasti;
dilupakan oleh dinasti lain. Tetapi tradisi itu bisa diterangkan dan

6 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

dikaitkan dengan tradisi lain. Keragaman dalam tradisi manusia


tentu tidak seperti cemara yang berjajar di jalan, namun mempunyai
variasi dan pola sendiri, di mana tradisi berusia yang bertahan terkait
dengan tradisi lain yang telah sirna. Misalnya, Islam adalah agama
di mana unsur-unsur ragam ada di dalamnya. Islam sejak hadir di
dunia 1500 tahun yang lalu telah dipeluk oleh bermilyar-milyar
manusia yang silih berganti, menempati ruang dan waktu yang
berbeda. Islam pada setiap generasi mengalami kontekstualisasi
dan perkembangan yang tidak sama dengan generasi yang lain. Di
Indonesia, masa kerajaan Demak menawarkan situasi yang berbeda
dengan Islam pada masa Yogyakarta zaman Belanda. Pada zaman
Demak, pesisir menjadi faktor yang dominan mewarnai Islam, di
sisi yang lain, kebesaran Majapahit masih terus membayanginya. Di
masa Mataram, Islam masuk ke pedalaman sehingga lebih bersifat
agraris. Di zaman Yogyakarta, politik Belanda mewarnainya.
Dalam Islam, ada tradisi; ada konteks; dan keduanya berinteraksi;
ini menghasilkan perbedaan dan keragaman.
Di samping tentang keragaman dan perbedaan, buku ini
juga menawarkan sudut pandang: sudut pandang global dan
lokal. Menempatkan suatu tradisi, pengetahuan, dan mitos pada
tempatnya: dari mana itu berasal; dan bagaimana itu berkembang.
Sudut pandang tentang keragaman tradisi keagamaan dan
menempatkan tradisi itu dalam sejarah dunia manusia yang luas
dan beragam.
Buku ini ditulis awal mulanya berdasarkan matakuliah yang
Penulis ampu di kelas, di UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan
Kalijaga, UGM (Universitas Gajah Mada), dan seminar-seminar
yang dihadiri para dosen, mahasiswa baik strata satu, master, atau
doktor. Namun, buku ini ditulis supaya memahamkan dan tidak
membingungkan; sebuah usaha yang bersambung dan menyatu,
tidak terpotong-potong dalam bab-babnya. Dengan menikmati
buku ini, Pembaca diharapkan mengerti bagaimana jalannya
sejarah, bagian dari perdebatan ilmu pengetahuan, dan juga
jalannya tradisi keagamaan. Di samping sebagai bahan matakuliah
yang Penulis ampu selama ini mulai dari tahun 2000: filsafat ilmu,
orientalisme-oksidentalisme, sosiologi pengetahuan, agama dan
multikulturalisme, pendekatan studi Islam, dan hermeneutika, saya
harap buku ini bermanfaat bagi kalangan umum. Buku mengajak

Pembuka 7
Al Makin

para Pembaca menghargai perbedaan dan keragaman dalam sejarah,


pengetahuan, dan tradisi keagamaan; yang merupakan fondasi
pokok dalam menghargai dan memahami apa yang kita yakini
(ternyata tidak satu dan tidak pula sendiri): ada masih banyak
keyakinan, dan tradisi di luar kita.
Tulisan ini tidak membahas secara langsung, dan memberi
definisi apa itu keragaman, tetapi mengajak berkelana sesuai
dalam sejarah perjalanan budaya manusia. Perbedaan diterangkan
dengan sejarah dan bukti-bukti bahwa segala sesuatu tidak seperti
yang selama ini diyakini. Jadi kurang lebih, buku ini lebih tepat
disebut sebagai jalan menuju keragaman, bagaimana kita beragam,
berbeda, dan berkembang. Dunia ini tidak sederhana, tidak seperti
tampaknya sederhana, tetapi rumit karena hubungan antara satu
tradisi dengan tradisi lain: budaya satu dengan lainnya; pengetahuan
satu dengan lainya, saling mempengaruhi; dan juga bagaimana itu
juga mempengaruhi pemahaman kita manusia saat ini. Dengan
membaca buku ini diharapkan bisa memahami bagaimana suatu
ide itu bermula dan berubah, sehingga kita bisa menempatkankan
tradisi sendiri dalam sejarah manusia yang panjang ini.

Terima kasih
Buku ini punya kisah tersendiri. Yakni ketika Penulis mengajar
sering menemui tantangan cara berfikir mahasiswa yang cenderung
kurang menyadari bagaimana sejarah dunia. Mereka kadang tidak
menyadari hubungan antar budaya, peradaban, dan kesulitan dalam
menyusun kronologi sejarah. Penulis temui para mahasiswa berfikir
homogen yang hanya berpatokan pada satu pandangan bahwa dunia
ini bermula dari tradisi agama yang dipeluknya. Tidak ada dunia
sebelumnya; tidak ada dunia sesudahnya. Misalnya mahasiswa
Muslim tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sebelum Islam,
yaitu abad tujuh Masehi. Dikira tidak ada peradaban; tidak ada
tulisan; tidak ada hiruk pikuk agama-agama, politik, dan budaya,
sebelum era itu. Kebanyakan mereka berasumsi semua bermula
dari Makkah dan Madinah; selain itu tidak ada apapun. Ini sama
dengan membayangkan sebelum era itu adalah zaman vacuum,
void. Buku ini berusaha menempatkan bagaimana cara kita berfikir
secara majemuk dan beragam sesuai dengan bukti sejarah, sehingga
menggiring kesadaran bahwa kita tidak sendirian di dunia ini.

8 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Sejarah manusia sudah panjang, namun sejarah peradaban masih


muda; lebih muda lagi sejarah tradisi budaya dan beragama; dan
lebih muda lagi pengetahuan dan teknologi.
Penyusunan buku ini berhutang ucapan terima kasih kepada
banyak orang dan pihak. Terima kasih atas kejelian Maryono
(Mahasiswa Program Magister Studi Agama dan Resolusi Konflik),
atas pembacaannya J. Banawiratma, ketulusan Zuly Qodir
(Ilmuwan Muhammadiyah), Neng Anggi Ermarini (Ketua
Fatayat NU). Terima kasih untuk istri tercinta Ro’fah yang kadang
terkejut, kapan Ayah menulis? Kepada Nabiyya Perennia dan Arasy
Dei, dua jagoan inspirasi, yang di sela-sela kejenuhan masih tetap
asyik diajak berenang; Nabiyya sedang belajar giat untuk ujian, Dei
sedang persiapan khitan. Yu Dini yang masak kebuli dan kejutan-
kejutan bumbu baru dan selalu menuruti selera Dei.Om Teguh
yang selalu siap diajak diskusi. Anis Hidayah sibuk terus. Untuk
teman-teman di kantor: Saptoni, teman setia mengurus jurnal Al-
Jami’ah. Fatimah Husein, dosen sekaligus juga ‘bos’ yang perduli
dan perhatian di LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat). Muhammad Wildan yang mengusulkan judul buku
ini dalam kereta api menuju Purwokerto. Muhrison dan Syuhada
di kantor yang sama. Di kantor Al-Jami’ah ada Sayyidah Aslamah
(Ama), Ahmad Dardiri (Afu), Priyo, Euis Nurlaelawati, Nur
Ichwan, Ratno Lukito, Ahmad Bunyan Wahib, dan lain-lain. Para
pembaca muda, terima kasih semangat dan masukannya: Afu,
Zayyin, dan Lia Khadijah. Teman-teman di Ushuluddin, jurusan
Sosiologi Agama, Adib Sofia, Roma Ulinnuha, Nurussa’adah,
Nafilah Abdullah, dan seluruh rekan dosen di UIN Sunan Kalijaga,
ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), Pascasarjana,
dan semua yang tidak bisa disebut namanya satu-persatu; para
mahasiswa yang selalu siap diajak berdiskusi, di kelas, teater Eska,
dan forum lainnya: terima kasih.

***

Pembuka 9
Al Makin

10 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Bab Satu
Awal Dunia dari Warisan
Narasi Kuno

Sebagai pembuka, bab ini memulai dengan menyajikan perjalanan


narasi bagaimana dunia ini berawal, menurut versi catatan-catatan
Kitab Suci dan bagaimana kaitannya dengan versi yang lebih kuno
lagi. Pertanyaan tentang apa itu dunia, terikat kuat dengan masa
lalu dunia, dan bagaimana dunia ini berawal. Pertanyaan mendasar
ini telah lama menggangu pikiran manusia sejak berabad-abad
lalu, tidak hanya manusia saat ini saja. Sejak kecil, kita sebagai
‘manusia’ sering meluapkan rasa ingin tahu tentang keberadaan diri
kita dan alam sekitar: matahari di kala siang, bulan di kala malam,
juga bintang-bintang sebagai penghias malam. Bumi seisinya,
tumbuhan, binatang, juga udara dan air; kapan ini semua bermula?
Bagaimana ini semua berawal? Kapan manusia ada? Bagaimana
keadaan zaman dahulu kala sebelum ini semua ada? Tidak perlu
cemas. Tidak usah khawatir. Kita bukanlah manusia yang pertama
kali mengajukan ragam pertanyaan tersebut. Moyang manusia
sudah lama merasa ‘terganggu’ pikirannya dan memendam rasa
ingin tahu sejak kapan dunia ini ada.

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 11


Al Makin

Menurut catatan dan bukti-bukti yang sampai kepada kita,


dan hingga kini masih dapat kita baca, pertanyaan tersebut telah
lama diajukan oleh umat manusia sejak 3000 SM (Sebelum
Masehi, tahun-tahun sebelum Nabi Isa lahir, atau dalam bahasa
Inggris sering disebut dengan Before Common Era/BCE) atau 3500
tahun sebelum Islam lahir di abad tujuh Masehi di Jazirah Arab.
Rasa ingin tahu mereka juga narasi tentang mereka secara terus
menerus diwariskan dari satu budaya ke budaya lain dan dari satu
peradaban ke peradaban selanjutnya. Semuanya tetap tersimpan
dalam catatan Kitab Suci, terutama yang masih berpengaruh bagi
kehidupan beragama manusia saat ini.
Kisah awal dunia dan proses penciptaan manusia pertama
menunjukkan bahwa pemahaman masa kini merupakan warisan
dari pemahaman masa lalu. Pertanyaan tentang awal dunia,
nyatanya, bukan milik kelompok dan peradaban tertentu, dan
hampir semua kebudayaan menyimpan dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan semacam itu.

Keterbatasan ingatan masa lalu


Untuk menggambarkan dunia ini secara utuh, menghadirkan
kembali apa yang telah terjadi, mengetahui apa itu dunia,
bagaimana dunia berputar dan berkembang dari waktu ke waktu,
“masa lalu” adalah kunci utamanya. Kita menyebutnya “sejarah”.
Sejarah adalah salah satu cara memotret dunia dengan menengok
ke belakang.
Mengenal sosok pemimpin seperti Nabi, Rasul, raja, ratu,
presiden, gubernur, bupati, rektor, atau dekan tak bisa dilepaskan dari
usaha mempertanyakan masa lalunya, apa yang telah diperbuatnya,
dan prestasi serta kesalahan apa saja yang telah ditorehkannya. Masa
lalu menentukan dan mendefiniskan setiap individu, kelompok,
dan dunia. Latar belakang pelamar kerja, misalnya, akan diketahui
melalui Curriculum Vitae yang adalah masa lalunya. Konsep CV
juga berlaku bagi bangsa, negara, manusia, bumi, dunia, dan seisi
alam semesta ini.
Manusia masa lalu, generasi yang telah lewat, bangsa yang
telah berlalu, dan cerita zaman dahulu, akan mendefiniskan
siapa manusia masa kini. Masa lalu menentukan masa kini, dari
pelacakan asal muasal hingga perjalanan kehidupannya. Dunia

12 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

sekarang ini bergantung pada masa lalu, bagaimana dunia dahulu


kala terbentuk, terlahir, dan tumbuh berkembang. Manusia dan
dunia ini ditentukan perjalanan yang telah lewat. Masa lalu menjadi
kunci dari masa sekarang ini, karena itu menentukan siapa kita
ini: manusia dan dunia ini. Tak pelak lagi, “masa lalu” adalah fase
penting yang darinya “kita” didefinisikan dan mencapai bentuk
dan keadaan seperti sekarang ini.
Lalu, apakah itu “masa lalu”? Masa lalu adalah sesuatu yang
telah kita lewati, telah terjadi, dan tidak lagi hadir di hadapan kita.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana masa lalu yang telah lewat dan
tidak lagi hadir di hadapan kita bisa dipulihkan kembali?
Ingatan manusia! Manusia adalah makhluk paling beruntung
karena memiliki ingatan yang sanggup menampung informasi masa
lalu. Dibandingkan memori gajah, misalnya, memori manusia
lebih bisa diandalkan. Seumur hidupnya, dari muda hingga tua,
banyak hal dan kejadian yang dapat diingat dan diceritakan kembali
kepada anak dan cucu, lebih-lebih kisah tentang peristiwa penting,
menarik, dan menghebohkan. Tidak hanya mengingat masa lalu
dan menceritakan untuk kawan-kawan lama sambil bernostalgia
pada masa lalu menikmati kopi di sebuah kafe sambil bersenda
gurau, namun juga masa kecil yang berkesan untuk diceritakan
pada anak cucu.
Faktanya, memori manusia terbatas. Tidak semua kisah bisa
diceritakan ulang secara tuntas. Bahkan, banyak cerita masa lalu
yang terlupakan. Patut pula dicatat tidak semua peristiwa dialami
oleh individu semasa hidupnya. Banyak yang tidak teralami, tidak
diikuti, tidak diperhatikan, atau karena individu itu sendiri tidak
terlibat. Pun seseorang yang terlahir di dunia ini, pada tahap
tertentu, tidak selalu mampu mengingat peristiwa yang dialaminya,
terutama persitiwa sebelum ia hadir di bumi. Manusia cenderung
hanya mengingat peristiwa semasa hidupnya dan apa yang
dialaminya pasca dilahirkan di bumi. Manusia tidak mengetahui
kejadian sebelum ia dilahirkan, tidak pula masa sesudah ia mati.
Manusia punya batas hidup dan masa hidup, di mana keterbatasan
itulah yang menjadi batasan ingatan manusia atas peristiwa demi
peristiwa. Maka jika seseorang ingin tahu kejadian sebelum ia
dilahirkan, ia harus mempelajarinya dari ingatan orang lain, atau
tepatnya “catatan”. Catatan adalah penyimpanan ingatan yang

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 13


Al Makin
bertahan lebih lama dari ingatan manusia itu sendiri. Cerita
yang ditularkan dari mulut ke mulut, dalam bahasa Jawa dikenal
dengan getok tular. Getok tular inilah yang menolong manusia
mengabadaikan memori. Memori yang tersimpan dalam catatan,
dalam bahasa Indonesia modern, disebut dengan “sejarah”.
Sejarah berasal dari kata Arab syajarah yang artinya pohon;
maksudnya sebuah pohon terdiri atas batang, cabang, dan ranting.
Syajarah biasanya merujuk pada ilmu nasab atau genealogi. Dalam
wacana posmodernisme mutakhir, genealogi digunakan kembali
untuk menggambarkan tradisi intelektual kesejarahan, terutama
genealogi menurut Michel Foucault.
Pada masa lalu, dalam tradisi Arab yang diteruskan ke dalam
tradisi Nusantara, orang biasa membuat ilustrasi pohon untuk
memudahkan dalam melacak nenek moyang dan keturunanannya:
nenek, bapak, ibu, anak, cucu dan seterusnya. Inilah akar kata
“sejarah” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa
Inggris, sejarah biasa disebut sebagai history, atau l’histoire dalam
bahasa Perancis dan Geschichte dalam bahasa Jerman. Dalam istilah
Arab akademik kekinian, sejarah lebih sering menggunakan istilah
historiografi atau tarikh sebagaimana banyak digunakan dalam
judul banyak buku sejarah Arab, dari al-Tabari (224-310 H/838-
923 M) sampai Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).
Manusia saat ini beruntung bisa mengakses catatan para
sejarawan yang telah lalu: Yunani, Roma, Arab, Eropa, China, Jepang
dan lain-lain. Seorang sejarawan dan cendikiawan Yunani Kuno
Herodotus dari Halikarnassus (484-425 SM), misalnya, mencatat
peristiwa-peristiwa menarik, berkisar kehidupan, peperangan, dan
anekdot dari Yunani, Mesir, Persia, dan daerah-daerah sekitarnya.
Ia mengatakan dalam pembukaannya seperti ini:
Ini semua tentang sejarah (l’histoire, history, inquiry,
narrative, research) yang disusun oleh Herodotus dari
Halikarnassus, yang dipublikasikan, dengan harapan
untuk menyimpan ingatan-ingatan yang bisa hilang
tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia, bagaimana
ia melakukan sesuatu yang hebat, dari orang-orang Yunani
dan Barbar (non-Yunani) tentang keberhasilannya dan
kegagalannya dalam berperang (Herodotus 1890, bab 1).
Jika seseorang ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Yunani
pada waktu itu, generasi sekarang ini punya catatan peninggalannya
14 Keragaman dan Perbedaan
Al Makin

dari zaman Herodotus: “Erodotou Alikarnesseos stories apodexis ede.”


Apakah catatan tersebut bisa dipercaya atau tidak, itu persoalan lain.
Yang jelas, Herodotus mencatat kejadian-kejadian yang menurutnya
menarik. Bangsa Yunani waktu itu, sekitar 500 tahun sebelum
Nabi Isa (Yesus) lahir, atau 1000 tahun sebelum Nabi Muhammad
lahir, telah mencatat perjalanan, peperangan, dan sejarah bangsa-
bangsa tetangganya. Yunani, sebagaimana juga bangsa-bangsa lain
waktu itu, banyak melakuan peperangan. Peristiwa-peristiwa itulah
yang menarik bagi Herodotus, terutama peristiwa tentang lawan
bebuyutannya: Xerxes, Cyrus, dan Darius dari Persia. Banyak
dari catatan Herodotus menceritakan peperangan, penyerangan,
pertahanan, dan tindakan-tindakan kepahlawanan lainnya.
Dalam tradisi Jawa, ada juga catatan tentang masa lalu yang
berisi tentang perkiraan seperti apa dan dari mana asal muasal para
bangsawan dan raja, yang dirangkai dalam Babad Tanah Jawa;
penulis aslinya tidak tercantum. Babad (sejarah atau riwayat)
tentang masa lalu Jawa justru ditemukan oleh seorang Belanda W.
L. Olthof dan dipublikasikan pada 1941 dengan judul Punika Serat
Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen
1647 (Inilah Serat Babad Tanah Jawa sejak Nabi Adam sampai
dengan tahun 1647) (Olthof 2014, v). Dalam bab pertama Babad
tersebut, ada cerita masa lalu yang dirangkai dalam bentuk syajarah
(pohon genealogi, nasab) sebagai berikut:
Inilah babad para raja di tanah Jawa, mulai dari Nabi Adam,
berputra Sis. Esis berputra Nurcahya. Nurcahya berputra
Nurasa. Nurasa berputra Sanghyang Wening. Sanghyang
Wening perputra Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal
berputra Batara Guru. Batara Guru berputra lima bernama
Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha Dewa, Batara
Wisnu, Dewi Sri. Batara Wisnu menjadi raja di Pula Jawa
bergelar Prabu Set. Kerajaan Batara Guru ada di Sura
Laya (Olthof 2014, 1).
Jika Yunani sekitar 2500 tahun yang lalu sudah tertarik
mencatat apa yang terjadi dengan peristiwa sekitarnya, Jawa
demikian halnya. Hanya saja, pencatatan yang dimaksud dilakukan
di 2000 tahun kemudian. Sekalipun terpaut ribuan tahun, catatan
Herodotus memiliki kualitas yang lebih baik dari Babad. Jujur saja,
Babad masih ketinggalan dari catatan Herodotus dari segi kualitas

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 15


Al Makin

mitos dan kejurnalistikannya; sekedar jujur terhadap budaya


sendiri dan bukan bermaksud melebihkan budaya lain. 2000
tahun sebelumnya, Yunani sudah mencatat peristiwa-peristiwa
di sekitarnya. Sementara Babad di 2000 tahun kemudian masih
berkutat dalam mencari legitimasi dan kemuliaan dengan cara
mengaitkan peristiwa kekinian (pada masa Babad) dengan trah
para dewa.
Menurut pandangan Babad, yang mungkin mewakili
pandangan umum orang Jawa abad tujuh belas Masehi, alam
dunia ini terkait dengan alam dewa dan negeri-negeri nun jauh
di sana. Para raja Jawa adalah keturunan para dewa dan para nabi
yang nasabnya sampai kepada nabi Adam. Tentu saja apa yang
disarikan dari Babad tersebut tidak mencatat apa yang terjadi saat
itu, lebih-lebih yang terjadi di hadapan penulisnya (yang tetap
merahasikan identitasnya). Yang diberitakan Babad adalah apa
yang harus dimuliakan dan dijunjung tinggi. Sejatinya, ini adalah
bentuk legitimasi dan justifikasi dan tidak menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi ketika itu. Demikianlah batasan pandangan-
dunia orang Jawa ketika itu: masa penjajahan Belanda, di mana
Babad itu ditulis: Pandangan dunia seperti itu dibatasi oleh
legitimasi para dewa dan orang suci, seperti nabi Adam.
Proses mitologisasi dan sakralisasi sejarah, dalam cerita kekini-
an, terjadi pada Babad dan Herodotus. Apakah keduanya adalah
catatan faktual atau mitos, keduanya adalah usaha mendefiniskan
dunia, diri mereka, dan apa yang mereka persepsi tentang hubungan
keduanya: alam dan manusia. Bagaimanapun keadaannya, Babad
dan catatan Herodotus telah memberi gambaran kepada kita semua
bagaimana memandang manusia, masa lalu, dan dunia.
Sejarah tidaklah bersifat individu dan sama sekali bukan persepsi
individu terhadap masa lalunya sendiri. Sejarah adalah catatan
yang sifatnya kolektif: tentang sekumpulan orang, komunitas, atau
masyarakat, yang melampui individu dan sekaligus berfungsi sebagai
memori kolektif-aktif. Memori kolektif berkaitan erat dengan
sejarah suatu bangsa, masyarakat, negara, atau kelompok agama
tertentu. Namun begitu, memori kolektif seringkali terbatas. Rata-
rata komunitas, seperti juga individu-individu yang disinggung
diatas, hanya mampu mengingat peristiwa yang menyangkut diri
mereka saja. Di luar diri dan kelompok mereka, lebih-lebih yang

16 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin
jarak waktunya jauh, mereka seringkali kurang (terkondisikan
untuk) peduli. Semua catatan rata-rata berkenaan dengan masa
dan waktu di mana generasi itu hidup. Di luar itu, tak terjangkau.
Babad, walaupun mencoba mencari legitimasi kemuliaan
melalui pertautan diri mereka dengan sejarah keturunan dan
moyang para raja, tetapi intinya terletak pada peristiwa-peristiwa
di saat penulisan Babad itu sendiri, yaitu era pada Kasultanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, juga pada era penjajahan
Belanda. Masa lalu seperti era Majapahit, Pajang, Mataram, tak
lain adalah rekaan masa lalu yang disusun pada era penjajahan
Belanda, sama sekali bukan hasil rekonstruksi informasi dari saksi
mata sewaktu kejadian itu, dan ditulis tanpa dilengkapi dengan
bukti dan rujukan yang berasal dari masa tersebut.
Maka penting apa yang disebut sebagai ilmu sejarah. Ilmu
yang dilahirkan sudah lama, semasa peradaban manusia itu
sendiri. Ia beriringan dan menjadi bagian penting tak terpisahkan
dari perjalanan peradaban. Jika ingin menyelami masa lalu, maka
catatan kesejarahan dan peninggalan masa lalu adalah saksi. Catatan
masa lalu adalah warisan yang bisa dinarasikan kepada gerenasi
selanjutnya. Sejarah manusia, dunia, dan alam ini telah ada dalam
catatan-catatan manusia di masa lalu. Narasi sejarah berjalan sesuai
kemampuan manusia itu sendiri dalam mencatat kejadian-kejadian
yang berada di sekitarnya.
Batasan, atau lebih tepatnya keterbatasan catatan kolektif
masa lalu, terletak pada ketidakmampuan para pencatatnya melihat
dunia secara global. Keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan
teknologi (jika dilihat dan dibandingkan dengan masa kini) telah
memenjara bangsa-bangsa masa lalu dari melihat dunia secara
lebih utuh. Dunia bagi mereka adalah bangsanya sendiri dan apa
yang dialaminya. Di luar itu semua, juga pada apa yang tidak
diketahuinya, tidak termasuk dunia yang mereka maksudkan.
Catatan Herodotus, misalnya, dibatasi oleh dunia dimana orang-
orang Yunani berada dan mengalaminya (Persia, Mesir, Eropa) dan
tidak mencakup apa yang berada di luarnya (Asia jauh, Amerika,
China, atau Jepang) yang belum ditemui dan dikenal oleh mereka.
Sejarah Yunani, dan bangsa Yunani era itu, tidak mengalami dan
tidak menyaksikan apa yang disebut dengan China, Nusantara, dan
Amerika. Semua itu di luar jangkauan alam pikir Yunani ketika
itu.

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 17


Al Makin

Hal yang sama terjadi pada Jawa dalam Babad Tanah Jawa.
Babad memiliki keterbatasan pengetahuan yang hanya mencakup
masanya, sekalipun di dalamnya disebut bangsa Belanda, Inggris,
dan Portugis (kesemuanya mengalami kontak dengan dan dalam
bentuk kolonialisasi atas Jawa). Babad, oleh karenanya, tidak
membayangkan dunia di luar dunia yang telah tersebut.
Lantas, bagaimana dengan kehidupan bangsa Belanda di
negeri Belanda itu sendiri? Bagaimana dengan sejarah Portugis?
Bagaimana pula dengan Yunani menurut orang Jawa? Jika jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada dari Babad, oleh
karena hal-hal tersebut berada di luar jangkauan Jawa dan para
pujangganya dan penulisnya, maka dapat disimpulkan bahwa
sejarah dunia yang ditulis oleh dalam Babad tentang “dunia”
bukanlah “dunia” itu sendiri yang kita fahami saat ini, melainkan
cerminan pemahaman bangsa dan dunia di mana para pujangga
dan sejarawan Babad berinteraksi dengan sekitarnya.
Maka, yang disebut “dunia” oleh Yunani, ya bangsa Yunani
itu sendiri dan bangsa-bangsa yang dikenalnya. Begitu juga yang
disebut dunia oleh orang Jawa, ya Jawa dan bangsa-bangsa lain yang
dikenalnya. Padahal, banyak hal di luar Jawa dan di luar Yunani
yang tidak diketahui dan belum terjangkau, karena kemajuan
pengetahuan ketika itu belum menjangkau dunia-dunia lain di
luar dunia mereka sendiri (yaitu dunia sebagaimana kita kenal saat
ini).
Singkat kata, sejarah dunia yang disusun pada masa lalu,
bukanlah sejarah dunia seperti yang kita persepsikan saat ini. Apa
yang disebut dunia masa itu berbeda dari dunia saat ini. Dunia
niscaya berubah. Ia berevolusi (berubah dari waktu ke waktu)
sebagaimana pengetahuan manusia tentang dunia yang berkembang
dari waktu ke waktu dan bergerak dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. Apa yang disebut dunia pada masa lalu, tentu
tidak masuk kreteria dunia yang saat ini dikenal. Pengetahuan
tentang bumi masa lalu belum seluas pengetahuan saat ini. Dunia
berubah, dan begitu juga pengetahuan tentang dunia.

Catatan masa lalu


Manusia sejak lama telah mencatat apa yang dialaminya dalam
berbagai bahasa dan huruf, dan ini menjadi bukti terkuat dari

18 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin
jejak sejarah manusia itu sendiri. Mengenai sejak kapan manusia
sadar akan dirinya dan berusaha mencatat apa yang dialaminya,
tentu saja sejak manusia mampu menemukan huruf-huruf yang
mewakili bahasa mereka, menggunakan, serta melestarikannya
sebagai budaya warisan masa itu.
Bahasa diibaratkan kotak penyimpanan bagi semua yang
manusia upayakan sekaligus sarana untuk mengekspresikan
isi pikiran manusia. Dengan bahasa, manusia menyampaikan
berbagai macam ide. Bahasa manusia berkembang dan hal ini pula
yang menandai bahwa kita, manusia, berbeda dengan makhluk
lain yang cenderung statis dalam olah vokalnya, seperti burung,
monyet, atau mamalia lainnya; hal ini terlepas dari perkembangan
penelitian mutakhir, bahwa studi atas bebunyian pada mamalia
seperti paus, lumba-lumba, bonobo, atau juga burung kakaktua,
menyatakan bahwa di balik suara-suara yang mereka buat ada pola
bahasa tertentu yang mereka gunakan. Faktanya, olah vokal hewan
cenderung statis, berulang-ulang, dan telah bergenerasi-generasi
dengan perkembangan yang tak cukup berarti. Hal ini berbeda
dengan manusia yang terus berkembang dengan pesat dalam
bahasa, simbol, kreasi, dan ekspresi.
Bahasa dan eskpresi manusia seringkali berkelindan erat.
Catatan dan iman, bacaan dan agama, penulisan dan kesalehan,
teologi dan sejarah, kesemuanya bertaut dan bercampur baur.
Namun begitu, fakta ini menjadi faktor pendukung yang menjadi-
kan catatan-catatan di masa lalu dapat bertahan, terbaca, dan terjaga
hingga berabad-abad selanjutnya. Pada zaman Mesir Kuno, catatan
dan pengetahuan didominasi oleh para pendeta. Begitu juga pada
kebudayaan lain seperti Sumeria dan Babilonia. Kependetaan dan
pendidikan sangat erat hubungannya. Istilah sistem aksara Mesir
Kuno Hieorglyph berasal dari bahasa Yunani. Hieros berarti suci,
sakral, dan tinggi. Sedangkan glyph berarti tulisan. Singkatnya,
Hieroglyph adalah tulisan suci yang mengandung unsur ketuhanan,
langit, dan dihormati. Orang Mesir menyebut aksara Hieroglyph
sebagai kata-kata tuhan. Di Mesir Kuno, bahkan, ada tuhan khusus
sang penguasa pengetahuan (termasuk di dalamnya tulisan) yang
disebut Thoth, sedangkan tuhan perempuannya (dewi) disebut
Sesyat (Rose-Marie and Hagen 2002, 68).
Sekira 4000 atau 3000 tahun kemudian, “membaca” menjadi
kunci utama wahyu dalam Islam. Perintah “membaca” pada surat

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 19


Al Makin

yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad dirangkai


dengan nama Tuhan (Q. Al-’Alaq 96), “...iqra’ bi ismi rabbika al-
ladhi khalaq...” (Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan).
Selama ribuan tahun, membaca dan menulis, baik sejak era Mesir
Kuno hingga Islam, tetap menempati posisi yang suci, tempat para
tuhan; dan pada tradisi empat ribu tahun lebih muda tulisan dan
bacaan adalah sebagai “rumah singgah” bagi wahyu Tuhan untuk
disebarluaskan di muka bumi.
Kitab Suci yang diimani dan disakralkan oleh umat beragama
hingga kini merupakan catatan manusia yang disalin dan diter-
jemahkan secara terus-menerus; inilah peninggalan kebudayaan
kuno, yaitu catat-mencatat, yang hingga kini masih menjadi
kegiatan manusia. Dahulu kala itu merupakan sakral, ritualis, dan
imani. Kitab-Kitab Suci paling banyak diimani penduduk dunia
dan bertahan berabad-abad lamanya berasal dari dan berakar pada
budaya Semitik, yaitu tradisi Israel Kuno yang berkembang di
sekitar Jazirah Arab dan sekitarnya (mencakup tanah kuno Levant
atau lebih dikenal dengan istilah Fertile Crescent, yaitu tanah subur
bulan sabit). Fertile Crescent adalah tanah terkuno yang menjadi
cikal bakal kota dan wilayah paling awal yang pernah dibangun
manusia, yaitu Mesopotamia. Disebut Mesopotamia karena dialiri
dua sungai Tigris dan Eufrat (terletak di Irak saat ini). Sekalipun
Mesopotamia mulai dibangun sekira 3000 SM, namun kawasan
subur ini telah dihuni manusia sejak 6000 SM dan mereka
menggarap air yang ada di rawa-rawa. Mesopotamia memiliki kota-
kota kuno, antara lain: Babilonia di selatan, Akkad di tengah, dan
Assyria di utara. Kota-kota kuno lain di Mesopotamia di antaranya:
Ur, Uruk, Assur, dan Ninive (Wiltshire 2005, 8).
Tentu saja narasi-narasi Kitab Suci budaya Semitik melibatkan
budaya kuno lain semisal Mesir dan juga budaya yang lebih
muda yang lahir di tanah Arab. Peninggalan dari tradisi kuno
yang bertahan ini adalah catatan bergenerasi-generasi, kerajaan
ke kerajaan, peradaban ke peradaban, berupa Perjanjian Lama,
dan menjadi bagian penting dalam pengalaman serta perjalanan
bangsa Israel Kuno yang kurang lebih berusia 3000 tahun lebih.
Catatan tentang pengalaman perjalanan keagamaan, spiritual,
dan kisah manusia yang disalin dalam berbagai bahasa dan tradisi
masih banyak didaras, diberi makna, dan diteliti hingga kini.

20 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Perjanjian Baru yang berisi perjalanan tentang iman Kristiani


terutama terfokus pada Yesus (dalam bahasa Arab Isa) dan kurang
lebih berusia 2000 tahun. Al-Qur’an sendiri, yang termuda dari
tradisi Yahudi dan Kristiani, telah berusia 1500 tahun dan hingga
kini masih mempertahankan dua tradisi tersebut dengan cara
menyesuaikan (kontekstualisasi) narasi-narasi Israel dan Biblikal
untuk dibawa dalam ranah Arab pada kondisi abad tujuh Masehi
(abad satu Hijriyah), di mana bacaan itu pertama kali diwahyukan,
didaras dan lalu disebarkan.
Dalam tradisi spiritualitas lain di India, yang masih bertahan
hingga kini adalah Veda (pengetahuan suci/sakral) dan berusia
kurang lebih 3000-3500 tahun lebih tua dari masa sekarang
(berasal dari sekitar 1200-1500 SM dan 1700-2000 tahun lebih
tua dari Islam). Hampir seusia dengan Veda adalah Perjanjian
Lama; Veda berasal dari India sedangkan Perjanjian Lama dari
bangsa Isarel. Keduanya sama-sama tuanya, tetapi berlainan
tradisi, tidak saling memuat dan tidak bersinggungan. Isinya
Kitab Suci tak terkait, dan tak bertemu di masa itu. Warisan kuno
Veda memuat simbol, himne doa-doa, komentar, etika, mantra,
seremoni, dan pengorbanan (terbagi dalam masing-masing judul
Rigveda, Yayurveda, Atharwaveda, dan Samaveda, biasa disebut
Samhita). Veda memuat pujian terhadap Tuhan-Tuhan, seperti:
Indra (terkait perang), Varuna (pengatur kosmos), Agni (terhadap
api), Soma (terkait tanaman dan jus), Ashvin (terkait kesuburan),
Vayu (terkait angin), dan Rudra (terkait dengan kekuatan liar), dan
Vishnu (dekat dengan peran Indra tentang kehancuran) (Knipe
1993, 738–742).
Masa Veda ini kemudian diikuti dengan masa Epos, yaitu
cerita yang sangat popular hingga kini di Indonesia, yang
gubahannya banyak ditulis sejak zaman Mataram Kuno di Jawa
Tengah hingga Majapahit di Jawa Timur. Yaitu Mahabarata dan
Ramayana yang dimulai sejak 400 SM (Knipe 1993, 754–759);
sekitar 1000 tahun sebelum al-Qur’an diwahyukan, kisah tragedi,
kepahlawanan, perjalanan manusia Mahabarata, kisah cinta
dan patriotisme Ramayana sudah disusun. Kedua Epos hingga
kini masih terus diceritakan di pagelaran wayang dan TV-TV di
Indonesia. Sumber-sumber Epos sangat tua dengan komposisi
beragam dan berkat pengayaan yang telah bergenerasi-generasi,

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 21


Al Makin

dari sejak 400 SM hingga 400 M (kurang lebih dalam rentang 1


millenium lamanya).
Namun, cerita bertradisi India bukanlah tradisi Semitik, dan
cerita-cerita di dalamnya tidak pula termaktub dalam Kitab Suci
bertradisi Semitik. Sebaliknya, kisah India itu tidak pula memuat
kisah nabi-nabi Biblikal dan Qur’ani. Namun, narasi keduanya
(sebagaimana juga perjalanan para nabi Bibilikal, orang bijak
Israel, raja-rajanya, yang masih diteruskan tradisi termuda Islam)
juga mengajarkan tentang etika, filsafat, dan esoterisme (semacam
sufisme, yaitu kesalehan dan asketisme). Cerita sekaligus ajaran suci
spiritualitas makna dari kisah-kisah tadi. Dan hingga kini kisah
tradisi India masih popular dalam pewayangan di Jawa dan Bali.
Yang jelas, sebagaimana juga kisah-kisah Biblikal dan Qur’ani,
kisah dalam epos India itu tidaklah bertujuan historis, kejadian apa
adanya bukanlah tujuan utama dalam pengkisahan, tetapi moral
dan pelajaran bagi umat beragama yang menjadi tujuan dalam
mendaras Kitab Suci. Mungkin sebagian ajaran merupakan sindiran
terhadap kejadian sebenarnya, yang mungkin pernah terjadi, tetapi
hal itu bermakna sebagai pelajaran hidup, bukan untuk tujuan
menceritakan apa yang terjadi, atau yang benar-benar terjadi. Yang
jelas, kisah-kisah tragis, pilu, kekalahan dan kemenangan dalam
Mahabarata dan Ramayana telah mendefinisikan siapa sebenarnya
manusia, apa itu semesta, dimana Tuhan, dan bagaimana relasi
ketiganya. Kisah itu dinikmati untuk refleksi manusia hingga masa
kini.
Masih dalam naungan tradisi India adalah tokoh Siddhartha
Gautama (563-483 SM, 1000 tahun sebelum Islam) yang telah
mencari dan mencapai pencerahan dan mengajarkan tentang
penderitaan dan kebahagiaan kepada manusia setelahnya. Menurut
ajaran Gautama, hidup manusia saat ini berhubungan dengan
kehidupan sebelumnya (samsara). Kehidupan mempunyai jiwa
keabadian (atman) yang mengikuti kelahiran kembali. Tradisi oral
yang menjadi tradisi tulis Tripitaka (tiga keranjang terdiri dari
Sutra: wacana, Vinaya: disiplin, dan Abdhidharma: ajaran tinggi)
telah diajarkan paling tidak 250 SM (850 tahun sebelum Islam).
Raja India Asoka Maurya (304-232 SM), yang memeluk Buddha
setelah menyaksikan banyaknya korban perang Kalinga, berperan
penting dalam penyebaran Buddha: mendirikan kementrian dan

22 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

stupa, mendirikan dewan para pendeta, mendidik para pendeta


(termasuk anak-anaknya sendiri, laki-laki dan perempuan), dan
kemudian mengirim mereka ke dalam misi-misi ke berbagai
daerah di Asia, salah satunya di Sri Langka (Lester 1993, 861,875–
878). Raja inilah yang menjadikan ajaran Buddha sebagai tonggak
penyatu negara yang dipimpinnya (tepatnya terletak di kota Bihar
saat ini).
Paling tidak manusia saat ini masih mempertahankan dua
tradisi besar kuno: tradisi Israel dan India, yang terus berkembang
dan dipeluk manusia sebagai iman. Sementara tradisi Israel, yaitu
tradisi pewahyuan dan kenabian, bertahan dalam tiga tradisi:
Yahudi, Kristiani, dan Islam; tradisi India bertahan dalam keimanan
Hindu dan Buddha.
Dunia saat ini masih membaca catatan masa lalu yang
disakralkan terutama tradisi Semitik, karena Afrika, Eropa, Asia,
dan Amerika masih mengimani tradisi Kristiani, di mana gereja-
gereja masih dikunjungi. Agama yang lebih tua, Yahudi masih
bertahan di negara yang bernama Israel, dan sebagian umatnya juga
hidup di Amerika. Untuk Timur Tengah dan Asia Tenggara, tradisi
Semitik bertahan dan tersimpan dengan rapi dalam ajaran termuda
Islam. Khusus untuk Indonesia yang mayoritasnya Muslim masih
membaca narasi Semitik yang sudah dikontekstualisasikan pada
abad tujuh (1500 tahun yang lalu) dan diinterpretasi berkali-kali
dari budaya ke budaya (salah satunya adalah tradisi Indonesia yang
terdiri dari berbagai etnis dan bahasa), di mana budaya dan politik
keislaman tumbuh dan berkembang.
Indonesia, di masa lalu, mewarisi tradisi India melalui Hindu
dan Buddha. Ini dibuktikan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan
yang ada di Nusantara yang bercorak warisan Hindu-Buddha.
Namun begitu, pengaruh tradisi India telah lama beralih ke
(dan juga berbaur dengan) spiritualitas Semitik termuda: Islam.
Candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah (Magelang dan
Yogyakarta) dan Jawa Timur sudah tidak lagi difungsikan sebagai
tempat ibadah rutin. Tempat-tempat suci itu berfungsi sebagai
obyek turisme, walaupun bangunan-bangunan tua tersebut kadang
masih digunakan sebagai tempat upacara tertentu.
Catatan dari masa lalu berupa Kitab Suci yang menceritakan
pengalaman-pengalaman generasi yang mendahului masih terus

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 23


Al Makin

terjaga, karena sakralitas dan perannya dalam keimanan. Kitab


suci lah yang merekam peristiwa demi peristiwa yang dialami
oleh komunitas dan generasi tertentu, kemudian diwariskan pada
kemunitas selanjutnya, dihargai, dan diberi interpretasi. Kitab Suci
merupakan peninggalan masa lalu yang masih bertahan, karena
umat mengimaninya. Kitab Suci juga merupakan bentuk catatan
pengalaman keagamaan manusia tentang dunia, manusia, dan
relasi antara dunia dan manusia.
Di sisi lain, catatan-catatan di luar Kitab Suci yang masih
ada dan berjumlah banyak (karena penemuan dan penelitian terus
berjalan) cenderung dilupakan, karena tidak ada unsur teologis,
magis, dan supranatural di dalamnya, serta tidak berlaku secara
hukum di tengah masyarakat. Catatan-catatan syair selain Kitab
Suci pada abad tujuh hingga sembilan Masehi di Jazirah Arab,
misalnya, masih tersisa. Kuantitas mereka banyak namun tidak
diperhatikan, cenderung diabaikan, dan bahkan dilupakan. Ada
usaha-usaha tertentu untuk “menyingkirkan” catatan-catatan syair
tersebut dengan cara melakukan sensor “teologis” karena keberadaan
mereka dianggap mengancam sakralitas doktrin-doktrin teologis
yang berkembang di Jazirah Arab ketika itu. Tentu saja, catatan-
catatan itu dikalahkan oleh doktrin Islam yang berlaku ketika
itu, padahal mereka memberi pandangan yang berbeda tentang
spiritualitas dan tradisi keagamaan. Dalam kasus abad tujuh
Masehi, ada syair-syair karangan Umayyah b. Abi Salt (berasal dari
Taif tetangga kota Makkah) yang memuat doktrin-doktrin tentang
ketuhanan, akherat, kosmogoni (awal dunia), moral, etika, dan
ritual (Makin 2010; Makin 2014). Sayang sekali, syair-syair Abi
Salt terabaikan dan tidak melahirkan banyak pembaca. Syair-syair
tersebut tidak mendorong generasi selanjutnya untuk mengkaji
apalagi menafsirkannya. Sebagai konsekuensinya, syair-syair Abi
Salt terlupakan dan bahkan tidak mendapatkan tempat di mana
seharusnya ditempatkan dan dihargai, yaitu dalam studi kronologi
sastra dunia dan berkait dengan situasi awalnya Islam.
Dalam konteks Indonesia, penduduk negeri ini, karena
kentalnya pemaknaan atas agama dan karena keimanan telah kokoh
mengakar pada keseharian, terbiasa melihat segala sesuatu dengan
merujuk ke Kitab Suci secara langsung, apakah itu tentang dunia,
manusia, dan dunia yang berada di luar jangkauan kasat mata

24 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

manusia. Awal dari segala sesuatu, tentang muasal alam semesta,


lahirnya manusia, dan relasi antara alam dan manusia, kesemuanya
selalu dilihat dari kacamata dan semangat kesalehan. Kitab Suci dan
keimanan adalah bahasa komunikasi mayoritas Muslim Indonesia;
karenanya, semua berawal dari dan berakhir di Kitab Suci.
Sikap teologis seperti itu banyak mempengaruhi pola
pikir masyarakat tentang awal segala sesuatu di alam semesta
berikut isinya. Narasi awal manusia berupa Adam dan Hawa
yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan pertama kali serta
beranak pinak sampai masa kini, merupakan warisan tradisi imani
Semitik (narasi tradisi lama Israel dan Arab, yang diwariskan ke
tradisi keagamaan lain dan mengakar selama kurang lebih 2000
tahun terakhir di Eropa, Timur Tengah, Mediterania, Asia, dan
Afrika). Menjadi wajar kiranya jika kesadaran dunia dan sejarah
manusia juga akan dikembalikan pada tradisi Semitik semata,
tanpa mempertimbangkan tradisi lain.
Jika asal muasal manusia dikembalikan pada narasi Adam
dan Hawa, maka asal muasal narasi itu sendiri juga bisa diletakkan
pada konteks kesejarahannya. Narasi Adam-Hawa terjaga dan terus
diwariskan oleh tradisi Arab yang termasuk bagian dari tradisi yang
lebih kuno, yaitu Ibrani; tradisi Ibrani menyangkut bahasa-bahasa
seperti Syriak, Aramaik, Etiopia. Tradisi Ibrani sendiri adalah
warisan masa lalu dari tradisi sebelumnya. Dalam tradisi Kitab
Suci dan bahasa Ibrani terekam kebudayaan kuno masa lalu seperti
Mesir, Babilonia, Phoenicia, Sumeria, dan Assyria.
Penjelasan soal tradisi kuno yang lebih tua dari tradisi Semitik
sama sekali tidak sederhana. Selain karena tradisi-tradisi kuno
tersebut banyak jumlahnya, cakupan periode waktunya tidak hanya
satu atau dua generasi, namun bergenerasi-generasi; ini menjadi
lebih rumit lagi karena tradisi ini merentang dari masa misalnya
pendirian hingga keruntuhan suatu kerajaan, dari kemunculan
suatu kebudayaan hingga masa lenyapnya, dan dari masa awal
hingga akhir suatu peradaban. Kenyataan memang sering jauh
lebih kompleks dari asumsi yang umum difahami dan tidak mudah
disederhanakan begitu saja. Dalam proses penyimpanan seringkali
terjadi simplifikasi terus menerus sehingga yang tersisa adalah asal
muasal (atau lebih tepatnya proses penciptaan) dunia, alam dan
manusia.

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 25


Al Makin

Narasi proses lahirnya dunia yang ditandai dengan penciptaan


manusia pertama turun ke dunia dan penciptaan yang secara
langsung dilakukan oleh Tuhan, merupakan warisan narasi tradisi
lama. Proses sakralisasi berbagai narasi juga melibatkan proses
simplifikasi. Tradisi Biblikal, yang kemudian menjadi versi Qur’ani,
bisa dikembalikan lagi pada tradisi yang muncul lebih dahulu:
Sumeria, Babilonia, Mesir, dan Yunani. Ada banyak versi narasi
proses adanya dunia ini dan bagaimana munculnya kehidupan,
sebagaimana juga ada banyak versi dalam banyak tradisi dan bahasa
yang kemudian ditangkap dan diabadikan dalam agama-agama
yang bertahan hingga kini. Agama-agama tua, dalam peradaban
kuno, banyak sekali jumlahnya; sebagian besarnya menghilang.
Namun, beberapa dari ajaran dan cerita tentang mereka bertahan
pada agama-agama selanjutnya.
Jadi, Kitab Suci merupakan rekaman masa lalu. Agama-agama
yang punah masih menitipkan narasi mereka pada Kitab-Kitab
Suci selanjutnya. Namun karena terjadi percampuran dari berbagai
tradisi, kita sulit, atau tidak mampu lagi, memilah mana yang tradisi
lama dan mana yang tradisi lanjutan yang mengubah tradisi masa
lalu, memperbarui semangatnya, dan menyesuaikannya dengan
konteks dan semangat zamannya. Kita mengenalnya sebagai
“kontekstualisasi” atas ajaran kuno oleh tradisi yang muncul
kemudian.
Tradisi Qur’ani masih menyimpan tradisi Semitik, demikian
juga tradisi Semitik mewarisi tradisi Babilonia, Sumeria, Yunani,
Mesir, dan lain-lain. Pun tradisi sebelumnya juga menyimpan tradisi
di masa sebelumnya lagi. Ini seperti tak terhindarkan. Dalam ilmu
sejarah dan antropologi, hal-hal tersebut bisa dilacak. Misalnya
asal-usul ide atau konsep, kita bisa menggunakan konsep genealogi,
yang dalam wacana postmodernisme pernah dicontohkan oleh
Michel Foucault.
Darimana tradisi narasi penciptaan alam itu bermula? Apakah
tradisi itu muncul dengan sendirinya? Apakah Makkah dan
Madinah merupakan awal dari narasi tersebut? Ataukah Damaskus
dan Baghdad yang mengawalinya?
Faktanya, tidak ada tradisi yang tiba-tiba muncul dan besar
dengan sendirinya; tentu saja tradisi Damaskus (Umayyah) dan
Baghdad (Abbasiyah) mewarisi tradisi sebelumnya. Perlu diingat,

26 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

tradisi Arab merupakan pewaris tradisi Semitik di sekitar wilayah


yang saat ini dikenal sebagai Timur Tengah dan Mediterrania.
Dengan kata lain, tradisi Arab yang dikembangkan dalam bingkai
tradisi keislaman merupakan warisan tradisi peradaban Persia dan
Bizantium. Umayyah di Damaskus, secara geografis, budayanya
mendekati Bizantium Romawi. Sementara Abbasiyah di Iraq lebih
dekat dengan Persia secara budaya dan sosial.
Kembali pada kesadaran manusia tentang keberadaannya dan
bagaimana mereka mencatatnya, Mesir Kuno yang berada di pinggir
sungai Nil (3000 SM) menyimpan banyak catatan di Piramida,
tempat mumi para raja-raja. Mesir Kuno jelas mendahului tradisi
Semitik. Ini dapat dipahami dari narasi Biblikal di mana konteks
kisah Musa (atau Moses) adalah Mesir. Musa, menurut Biblikal,
dikisahkan sebagai pembebas bangsa Isarel dari cengkeraman
Fir’aun Mesir (Ramses); penguasa Mesir ini digambarkan sebagai
raja zalim yang memperbudak umat Israel. Salah satunya kerja paksa
dalam pembangunan Piramida-Piramida. Pembebasan bangsa
Israel oleh Musa dalam menemukan tanah baru yang merdeka
dipahami sebagai pemberontakan terhadap penguasa yang zalim.
Tuhan, melalui Musa, hadir dan membinasakan yang zalim. Ini
versi Biblikal.
Versi Islami, Fir’aun tidak hanya zalim dalam arti menindas
manusia (Islam telah me-universalkan, tidak hanya bangsa Israel saja
yang ditindas melainkan juga umat manusia secara keseluruhan),
bahkan lebih jauh, dalam versi Islam Fir’aun telah menyamakan
dirinya dengan (dan mengaku sebagai) Tuhan. Paham “monoteisme
baru” versi Islam muncul di sini, dengan semangat baru juga;
konsep ini terfahami dibalik narasi kezaliman Fir’aun. Konsep
keesaan Tuhan menurut Islam tersebut tidak terdapat pada narasi
Moses dan Ramses dalam konteks Bibilikal. Maka dalam hal ini,
Musa “versi Arab”, senyatanya, adalah hasil kontekstualisasi dari
teks yang lebih dahulu. Tentu saja, ini dilakukan dalam bingkai
“konsep keimanan” yang barupula.
Pada intinya, dalam konteks ini, tradisi Semitik tentang kenabi-
an juga berkaitan dengan tradisi Mesir. Dan Mesir meninggalkan
banyak catatan tentang kehidupannya: upacara keagamaan, konsep
ketuhanan, akhir hayat, penguburan, makanan, sistem kerajaan,
juga arsitektur. Namun, dalam banyak peninggalan Heiragliphic

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 27


Al Makin

Mesir kuno, peristiwa Eksodus itu sendiri, yang melibatkan Moses


dan Ramses (dalam tradisi Islami menjadi Musa dan Firaun), tidak
ditemukan. Maka apakah peristiwa itu terangkai setelah Mesir itu
sendiri (pasca-Mesir), atau sekedar peristiwa yang sudah terjadi
kemudian terjadi mitologisasi. Artinya peristiwa migrasinya bangsa
Israel dari Mesir bisa jadi terjadi, tetapi proses menarasikan ulang
sehingga menjadi Musa dan Firaun itu terjadi jauh hari setelah
peristiwa itu, sehingga terjadi perkembangan cerita dan sakralisasi
kejadian karena unsur imani.
Mesir merupakan bagian dari perjalanan manusia yang
penting. Tidak hanya karena Mesir tercantum dalam Perjanjian
Lama dan juga selanjutnya Al-Qur’an, namun juga karena catatan-
catatan Mesir itu sampai kepada kita dan semua informasinya
dapat dibaca hingga kini. Manusia abad ini beruntung, karena
getaran suara Mesir Kuno masih tersimpan di Kitab Suci, yang
masih didaras hingga kini.
Namun, menarasikan ulang apa itu Mesir dan apa yang terjadi
di sana, saat ini tidak lagi bersandar hanya kepada Kitab Suci. Narasi
Mesir direkonstruksi kembali berdasarkan bukti-bukti berupa
catatan-catatan huruf paku, peninggalan-peninggalan benda-
benda kuno, dan bukti-bukti fisik dalam bentuk lain yang masih
terawat. Cerita tentang Mesir sebagai konsekuensinya berkembang
dari waktu ke waktu, karena bukti yang ditemukan juga semakin
beragam dan berkembang. Narasi, tentu saja, berubah berdasarkan
pengetahuan. Ini jelas terbalik dengan pemahaman Kitab Suci yang
pengetahuannya disusun berdasarkan narasi yang sudah ada.
Dalam konteks Mesir Kuno yang usianya 2000 hingga
3000 tahun sebelum Yesus dilahirkan, dan tentu juga ditambah
500 tahun sebelum Islam, kesadaran manusia tentang dirinya
dan alam sekitar telah ada dan itu semua terekam dalam catatan
mereka. Prinsip manusia dan alam sudah disadari, begitu juga
bagaimana manusia membentuk masyarakat dan menggambarkan
dirinya berhubungan dengan alam. Agama dan masyarakat, Tuhan
dan alam akhirat, raja dan rakyat, menjadi konsep-konsep yang
sekalipun rumit namun dipikirkan. Konsep tentang apa yang tak
terlihat diformulasikan: Tuhan, akherat, dan peraturan-peraturan.
Ini semua mendahului tradisi keagamaan Semitik yang sampai
kini bertahan hidup, sementara para tuhan Mesir kuno tidak lagi
bertahan dalam kepercayaan manusia kini.
28 Keragaman dan Perbedaan
Al Makin

Bagi Mesir Kuno awal manusia itu dari tuhan, yang


manifestasinya berupa para raja. Alam sana, alam ketuhanan, hadir
di alam sini, maka Tuhan dan manusia hadir lewat raja. Maka
segala yang terjadi di alam sana, itu juga terjadi di alam sini, atau
terbalik, segala yang terjadi di alam manusia berhubungan erat
dengan alam ketuhanan. Ini terjadi dan terbukti dengan adanya
mumi (pengawetan mayat manusia). Bagi Mesir kuno, manusia
meninggal bukan akhir dari kehidupan. Tetapi kehidupan masih
berlanjut terus. Manusia meninggal, tetapi ba (jiwa) dan kha (ruh)
tetap hidup dan bertahan (Žabkar 1968). Alam setelah kematian
masih terus ada, dan perlunya menghormati yang telah tiada,
karena yang meninggal hanya berpindah ruang kehidupan, dan
bahkan kehidupan sana berpengaruh pada kehidupan generasi
selanjutnya yang masih ada di sini di dunia ini. Dunia setelah
kematian dan dunia hidup saat ini berhubungan dan keduanya
serta dipersepsikan sebagai alam nyata.
Berikut ini teks kematian dari Mesir Kuno (dari dinasti ke
VI):
1. ha Unas an sem-nek as met-th sem-nek anxet
Terpujilah Unas, engkau tidak pergi, lihatlah, sebagai
kematian, Juga sebagai kehidupan
hems her xent Ausar.
Untuk duduk di tahta Osiris.
2. O Ra-Tum i-nek sa-k i-nek Unas . . . . . . sa-k pu en
Oh Ra-berbaliklah, datanglah anakMu, datang pada Unas,
anakMu
t’et-k en t’etta
badanmu selamanya.
3. Tem sa-k pu penen Ausar ta-nek set’eb-f anx-f anx-f
Oh berbaliklah, anakmu ini Osiris; engkau beri anugerah
dan hidup; dia hidup,
anx Unas pen an mit-f an mit Unas pen
dan hidup Unas ini; tidak mati ia, tidak mati Unas ini.
4. hetep Unas em anx em Amenta
Unas tinggal hidup di Amenta.
5. au am-nef saa en neter neb ahau pa neheh t’er-f
Dia memakan pengetahuan Tuhan dan segala keber-
adaannya, keberadaannya abadi semua

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 29


Al Makin

pa t’etta em sah-f pen en merer-f ari-f mest’et’-f


dan kebabadian di sah nya, yang ia sukai ia lakukan, yang
ia benci
an ari-nef
tidak ia lakukan.
6. anx anx an mit-k
Hiduplah kehidupan, tidaklah engkau mati (Budge 1895,
the doctrine of eternal life).
Tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa pemahaman
tentang adanya dunia lain selain dunia ini adalah warisan Mesir.
Walaupun pemahaman seperti itu hampir universal di semua
kebudayaan (India, Eropa, dan Jepang Mesopotamia misalnya),
tetapi untuk tradisi Semitik, jelas itu semua berhubungan dengan
Mesir. Perbedaannya adalah Mesir masih bersifat polytheis (iman
pada para tuhan dan dewa) sementara agama Semitik memegang
monoteisme (iman pada hanya satu Tuhan).

Penciptaan dunia
Pertanyaan bagaimana dunia ini dimulai sangat penting bagi
manusia. Tidak mengherankan jika pertanyaan tersebut sudah
muncul sejak masa kuno, di Mesopotamia (Sumeria dan Babylonia),
Mesir, dan tradisi Israel. Banyak Kitab Suci yang memuat pertanyaan
tentang itu sekaligus jawaban atasnya, dalam bentuk narasi yang
dikenal dengan “doktrin penciptaan” (creatio). Versi Biblikal (kitab
Genesis atau Kejadian) dan Qur’ani (dalam berbagai surat dan ayat)
tentang doktrin penciptaan, disamping menyampaikan ajaran
agama, juga sekaligus sebagai tempat penyimpanan warisan kuno
yang mungkin tak lagi dikenali. Kini, mengingat banyak teks-teks
kuno telah dipelajari dan diinterpretasi secara terus menerus, versi
penciptaan Kitab Suci satu sama lain bisa saling dibandingkan.
Versi Biblikal maupun Qur’ani ternyata dijumpai persamaannya
dengan versi yang lebih kuno pada teks-teks lain.
Untuk memulai perbandingan dan mensejajarkan bacaan,
lihat bagaimana Yunani menyimpan tradisi kuno Phoenicia
(bahasa yang lebih kuno yang mungkin berhubungan dengan
tradisi Semitik). Teks Sanchoniatho—yang terekam dalam bahasa
Yunani dan diwariskan dalam tradisi Yunani pula, asalnya berbahasa

30 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Phoenicia—ditransmisikan oleh Philo dari Byblios (64-141 M),


seorang ahli tata bahasa Yunani yang hidup di Lebanon. Berikut
adalah versinya:
Dia (Sanchoniatho) menceritakan bahwa awal dari segala
sesuatu adalah kegelapan dengan udara berangin yang
campur-baur, atau buratan udara gelap dan kekacauan
(chaos) kotor dan tak dikenali seperti Erebus: dan semua
itu tak terbatas, dan sejak waktu yang lama tidak ada
ikatan: tetapi ketika angin ini berkumpul dan teratur, lalu
percampuran terjadi, dan menjadilah yang dinamakan
‘Kehendak (Desire)’: dan itu adalah awal dari penciptaan
segala sesuatu. Tetapi angin tidak tahu apa yang telah
dihasilkan. Dan dari angin itu sendiri munculah Mot;
kadang juga disebut Mut, lalu yang lain menjadi semacam
percampuran air: dan dari situ muncul benih-benih
penciptaan, dan selanjutnya kehidupan alam semesta ini
(Cory 1828, Sanchoniatho p. 4).
Teks kuno tersebut mengingatkan kita pada narasi Kitab
Kejadian 1:2 yang berbunyi, “bumi belum berbentuk dan kosong;
gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang-
layang diatas permukaan air.” Bagian pertama di atas, yaitu kata
“chaos”, menjadi kunci dari pensejajaran kedua versi sumber ini.
Dunia sebelum penciptaan dimulai dengan chaos (kekacauan).
Kemudian kata kunci selanjutnya adalah air yang bercampur. Ini
bisa dilihat pada Kejadian 1:9, ”Hendaklah segala air yang dibawah
langit berkumpul, pada satu tempat, sehingga kelihatan yang
kering.” Selanjutnya yang menjadikan kunci dalam pensejajaran
bacaan adalah kata “Kehendak” (Desire), yang dipertegas pada
akhir ayat Kejadian 1:9 dan diulang lagi pada 1:11, “Dan jadilah
demikian”.
Persamaan narasi tersebut tentu saja karena Semitik punya
akar yang kuat di Mesopotamia, dimana bangsa Akkadia hidup
disitu, bangsa yang dipercaya sebagai nenek moyang Semitik. Maka
Semitik yang kemudian berkembang hingga masa kini menjadi tiga
tradisi besar, Yahudi, Nasrani dan Islam, mempunyai keterikatan
dengan ajaran-ajaran kuno, namun tentu saja telah mengalami
kontekstualisasi di masing-masing tempat dan waktu.
Konsep dasar penciptaan tadi tidak hanya bertahan pada
ajaran Semitik yang lebih tua tetapi juga pada Kitab Suci yang lebih

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 31


Al Makin

muda. Misalnya unsur air dalam konsep penciptaan al-Qur’an,


sebagaimana dilihat pada ayat berikut ini, “...wa ja’‘alna min al-ma’i
kulla syay’in hayyin...” (Dan Kami jadikan dari air segala kehidupan,
Q. 21: 30). Dalam Q. 11:7 disebutkan bahwa Arasy Tuhan diatas
air (kana arshuhu ala al-ma’i). Narasi Kitab Suci Semitik ternyata
berkelindan dengan tradisi Mesopotamia.
Sepertinya dalam kalimat kemahligaian penciptaan yang
paling terkenal kun fayakun (Q. 2: 117; 3: 47; 6: 73; 16: 40; 19: 35;
36: 82; 40: 68) (jadi, maka jadilah) merupakan warisan lama. Salah
satu persamaannya adalah redaksi kalimat dalam Sanchoniatho di
atas “…dan menjadilah yang dinamakan.” Ini juga senada dengan
bahasa ungkapan ketika Allah berfirman dan menjadi, “Dan jadilah
demikian.” dalam Kitab Kejadian 1:9 dan 11.
Teks lebih kuno yang berasal dari Babilonia mungkin bisa
dibandingkan dengan konsep penciptaan alam dalam tradisi Semitik
tersebut. Perbedaannya adalah, jika di Babilonia konsep ketuhanan
itu berbilang, sedangkan Semitik mengajarkan ketunggalan. Proses
kontekstualisasi dan adaptasi tuhan yang semula polytheisme
menjadi monoteisme jelas bukan proses yang sederhana. Dalam
teks-teks Babilonia dan Sumeria, tuhan-tuhan dikenal dengan
nama Anu, Enlil, Marduk, Enki, atau juga Ea (Wasilewska 2000,
146–152). Misalnya, dalam suatu teks Babilonia Kuno bernama
Enuma Elis, yang ditemukan dan dipublikasikan pada abad
sembilan belas Masehi, terdapat teks penciptaan yang mempunyai
kemiripan dengan versi Biblikal dan Qur’ani tersebut diatas.
e-nu-ma e-liš la na-bu-ú šá-ma- Ketika langit tinggi tak
mu bernama,
šap-liš am-ma-tum šu-ma la zak- Dan ketika bumi dibawahnya
rat tidak pula bernama,
ZU.AB-ma reš-tu-ú za-ru-šu-un Dan ketika asal mula Apsu,
yang melahirkan keduanya,
mu-um-mu ti-amat mu-al-li-da- Dan Mummu Tiamat, ibu dari
at gim-ri-šú-un keduanya,
A.MEŠ-šú-nu iš-te-niš i-i-qu-ú- Airnya bercampur bersama-
ma sama,
gi-pa-ra la ki-is-su-ru su-sa-a la Tak ada tanah terbentuk, tak
she-’u-ú ada rawa terlihat;

32 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

e-nu-ma dingir dingir la šu-pu-u Tidak ada tuhan yang


ma-na-ma mengada.

Dalam kajian dan kecendikiawanan teks kuno, bacaan


Babilonia yang ditemukan di perpustakaan Ashurbanipal di kota
Ninive, Irak, tidak hanya mengandung narasi penciptaan dari
kekacauan dan air, tetapi mengandung banyak elemen dan unsur
narasi budaya lain yang mungkin sudah ada pada masa sebelumnya,
terutama di Sumeria dan bahasa Phoenicia (sebagaimana teks
Sanchoniato di atas). Mungkin konsep yang terkandung di Enuma
Elis yang lebih lengkap ini bisa terangkum sebagai berikut: 1) bahwa
penciptaan itu dari kondisi kekacauan dan juga melibatkan unsur
air; 2) adanya yang menciptakan; 3) adanya figur jahat berupa
monster; 4) terjadinya pertentangan antara yang jahat dan yang
buruk; 5) pembedaan beberapa elemen penting yaitu: bumi, langit,
tanah laut, aturan dan kekacauan; dan 6) penciptaan manusia itu
sendiri (Tamtik 2007, 66).
Lebih menarik lagi, proses penciptaan Qur’an (sebagai
Kitab Suci paling muda) juga masih melestarikan isi Enuma Elis,
sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu pada dialog antara Tuhan,
Malaikat, Iblis dan Adam, dalam Q. 2 (al-Baqarah) dimana
Tuhan sebagai pencipta melakukan dialog dengan figur protagonis
(Malaikat) sekaligus dengan figur antagonis (Iblis/Jin). Perintah
Tuhan kepada figur antagonis untuk bersujud kepada Adam
ditolaknya (Q. 7:11-12 da 2:34). Unsur-unsur ini tentu masih
merefleksikan kesamaan dengan Enuma Elis sebagai fondasi dasar
dan tua untuk teks-teks selanjutnya.
Konsep penciptaan dan penataan di dalam Enuma Elis juga
bisa dipararelkan dengan Mazmur 77: 17-21, yaitu tentang ba-
gaimana akhirnya Marduk mengalahkan Tiamat dan akhirnya di-
tasbihkan sebagai penguasa alam dewa dan dunia ini. Kemudian
Tuhan Marduk mengatur masyarakat Babilonia, dimana manusia
diciptakan untuk berbakti pada Tuhan; dari kekacauan menuju
hukum yang teratur di masyarakat. Ini juga bisa dilihat dalam
Mazmur 77: 17-20:
(17) Air telah melihat Engkau, ya Allah, air telah
melihat Engkau, lalu menjadi gentar, bahkan samudera
raya bergetar. (18) Awan-awan mencurahkan air, awan

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 33


Al Makin

gemawan bergemuruh, bahkan anak-anak panah-Mu


beterbangan. (19) Deru gunturmu menggelinding, kilat-
kilat menerangi dunia, bumi gemetar dan bergoncang.
(20) Melalui laut jalan-Mu dan lorong-Mu, melalui muka
air yang luas, tetapi jejakmu tidak kelihatan.
Kemudian peran Musa dan Harun sebagai pengatur masyarakat
akan juga muncul, berangkat dari kekacauan juga, sama yang
terkandung dalam versi Enuma Elis (Clifford 1985, 510). Dua
figur itu juga sebagai solusi dari kekacauan alam, sama juga dengan
peran Marduk di tengah masyarakat Babilonia.
Lebih manarik lagi, bahwa narasi penciptaan dalam tradisi
Semitik itu tidak hanya mengabadikan tradisi lama Sumeria,
Babilonia, dan Pheonicia, tetapi juga bisa dibandingkan dengan
konsep penciptaan di Mesir Kuno lewat beberapa tablet: teks
piramida dari kerajaan tua (2613-2345 SM), teks mayat dari
kerajaan tengah (1991-1786 SM), teks kematian dari kerajaan
muda (1570-1220 SM), dan batu Sabakha (716-720 SM).
Berikut ini ringkasan dari narasi yang terdapat pada teks kuno
Mesir tersebut: 1) awalnya adalah dari air kuno (disebut Nun); 2)
kemudian muncul Atum, Tuhan yang menciptakan yang lain lewat
dirinya sendiri; 3) kemudian muncul cahaya; 4) lalu Atum muncul
di bukit setelah air surut; 5) Atum melahirkan Ennead, asal muasal
materi; 6) muncul Re-/Re Amun, yang disimbolkan sebagi cahaya
matahari pertama; 7) muncul dan tenggelamnya matahari sebagai
simbol penciptaan hari; 8) penciptaan manusia dari kesedihan-
kebahagiaan Tuhan; 9) setelah penciptaan hari, Tuhan merasa puas;
dan 9) akhir proses penciptaan ini ditandai dengan penciptaan
Fir’aun sebagai anak Re-Amun, di mana masih menghubungkan
dunia ketuhanan (celestial) dan alam ini (terresterial) (Johnston
2008, 181–182).
Tentu saja unsur yang sangat diabadikan oleh tradisi teologis
hingga kini, terutama Semitik, adalah unsur air (Nun). Dan yang
juga menonjol adalah penciptaan Tuhan itu sendiri (Atum), yang
merefleksikan diri dengan cahaya, dan alam merupakan refleksi dari
ketuhanan itu sendiri (Ennead). Pemahaman ini masih bertahan
baik di ajaran Sufisme bahwa manusia merupakan manifestasi
atau cerminan Tuhan itu sendiri (Re-Amun). Pemikir Muslim
Muhamamd Iqbal dengan panjang lebar menjelaskan bagaimana

34 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

manusia merupakan wakil Tuhan di bumi yang dalam bahasa


Qur’ani-nya adalah khalifah (dalam konteks penciptaan di Mesir
bisa dikembalikan pada konsep Re-Amun). Kata ini tidak merujuk
pada sejenis penguasa yang duduk di singgasana kekhalifahan
bentuk dinasti semacam Umayayah, Abbasiyah, Turki Usmani,
sebagaimana yang difahami dalam ranah politik (Iqbal 1965).
Tetapi, setiap manusia adalah khalifah, memimpin dunia dan
isinya.
Dalam sistem kepercayaan Mesir Kuno, Ptah (di Memphis)
mungkin tuhan tertua yang dipercaya di Mesir, karena banyak
ditemui di banyak data-data arkeologis dan situs. Tuhan Ptah
dihormati dan dipuja oleh pengrajian, pekerja, dan juga seniman.
Ptah ini mungkin juga konsep ketuhanan tertua, dipercaya sejak
kurang lebih 3000 SM. Ptah juga dipercaya telah melahirkan
banyak Tuhan yang lain. Dalam sistem kepercayaan kuno itu,
relasi antara tuhan dan raja sangat erat, karena para raja (Fir’aun)
itu menghubungkan dunia ini dengan dunia ketuhanan. Maka
segala perselisihan dan segala kekacauan, juga perdamaian dan
pembangunan, yang dilakukan oleh raja dihubungkan dengan
kondisi ketuhanan.
Sebagai salah satu contoh, dalam drama perselisihan dan
perebutan wilayah Mesir antara Tuhan Horus dan Tuhan Seb,
akhirnya Tuhan Geb memberikan semua wilayah Mesir kepada
Horus. Karena Horus akhirnya yang mendapatkan semua bagian;
dalam hal ini terdapat ‘interplay’ (saling berkelindan dan berganti
peran) antara Horus dan Ptah, yang pertama sebagai simbol yang
kedua, penguasa segala Tuhan: wilayah Mesir di satukan dalam
penyatuan Tuhan Ptah dan Horus. Horus sendiri adalah anak
dari Tuhan Osiris dan Isis. Sepertinya, penyatuan wilayah Mesir,
suksesi para Fir’aun, dari dalam dinasti atau antar dinasti itu juga
dihubungkan dengan tuhan-tuhan mereka. Penyatuan wilayah,
juga penyatuan tuhan, politik dan iman masih erat. Naiknya
seorang penguasa adalah juga naiknya tuhan yang disembahnya.
Ini bisa dibayangkan dengan banyaknya tuhan, yang disembah oleh
banyak orang. Setiap masa, dan bahkan keluarga, atau professional,
mempunyai dan memuliakan tuhan masing-masing.
Namun, dalam konsep penciptaan di Mesir Kuno, yang
berperan tetaplah tuhan Atum (di Heliopolis). Dalam pujian

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 35


Al Makin

terhadap Atum (dalam buku kematian), yang mungkin masih


tersisa cara memujinya dalam agama-agama Semitik, demikian:
“Terpujilah Atum, yang menciptakan langit, yang menciptakan
semua yang ada….tuhan bagi semua, yang melahirkan banyak
tuhan” (Bodine 2009, 17).
Dalam warisan cerita Biblikal misalnya, menyebutkan bahwa
Fir’aun itu telah menganiaya bangsa Israel, terutama Ramses.
Namun kita tidak mendapatkan gambaran yang jelas Fir’aun yang
mana. Padahal kenyataannya kebudayaan Mesir itu kebudayaan
yang sangat lama, sekitar dua ribu tahun, dari berbagai dinasti.
Maka kesan yang tertangkap hanya ada satu raja, satu Fir’aun,
tanpa adanya keterangan dinasti yang mana dan kapan (hal itu
terjadi). Itulah Kitab Suci yang sama sekali tidak bertujuan historis
dan tidak pula berfungsi sebagai usaha penyelidikan ilmiah.
Semua hendaknya dikembalikan pada zamannya dimana narasi
itu diceritakan ulang dengan tujuan tertentu dan difahami dengan
cara tertentu pula.
Dalam versi Qur’an (4000 tahun setelah masa Mesir Kuno),
yang diulang-ulang dalam berbagai dialog lebih mudah dipahami,
yaitu sepengal dua penggal perdebatan dan persaingan antara
kenabian dan kekuasaan, monoteisme dan polytheisme, ketuhanan
dan kemanusiaan: Musa dan Fir’aun (misalnya Q. 26: 10-52,
bahkan sampai ayat 67). Ceritanya adalah Musa diutus oleh Tuhan
untuk mendatangi sang penguasa, Harun menemaninya, dengan
sebuah misi untuk meyakinkan Fir’aun dan orang-orangnya bahwa
ia adalah utusan Tuhan. Lalu Fir’aun mengingatkan bahwa ia juga
tumbuh berkembang bersama mereka, untuk apa menantangnya.
Dalam perdebatan Musa mengatakan bahwa Tuhannya adalah
Tuhan langit dan bumi. Fir’aun menuduh Musa orang gila
(majnun). Dalam adu kesaktian dengan para penyihir, kemenangan
ada di pihak Musa. Lalu, Fir’aun mengancam akan menghukum
yang mempercayai Musa.
Fragmen itu hendaknya dianggap sebagai upaya
kontekstualisasi, yaitu peristiwa dimana pewahyuan ajaran Islam
pada abad tujuh, konteks Arab, menemui banyak rintangan di awal
misinya. Pertentangan antara yang kuat dan yang lemah dalam
fragmen itu juga merujuk pada ‘pertentangan’ antara yang hak dan
batil pada konteks Hijaz, tidak pada masa historis Fir’aun empat

36 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

ribu tahun yang lalu. Jadi pertentangan dan dialog antara utusan
Tuhan dan penguasa itu adalah refleksi misi dakwah Muhammad
awal masa abad tujuh Masehi, bukan menghadirkan kembali
dialog historis ribuan tahun lalu. Dialog itu adalah teologis;
wilayah kontekstualisasi lahirnya doktrin baru dengan narasi lama
yang ada di ajaran Semitik (yang dalam hal ini adalah narasi Yahudi
dan Nasrani). Dalam dialog Fir’aun dan Musa tentu ada interplay
antara Makkah dan Mesir, Musa dan Muhammad, Fir’aun dan
orang-orang Makkah. Misalnya kata kunci majnun itu juga bisa
dilihat di sirah (biografi Nabi) bahwa sebutan tersebut dituduhkan
orang-orang Makkah ke Muhammad, seperti juga yang disematkan
kepada tokoh Musa, yang dituduhkan orang-orang Mesir. Jadi, ada
kontekstualisasi dan tukar peran di situ.
Fragmen Qur’ani di atas merupakan cerminan dari versi yang
lebih tua, Kitab Keluaran 3:11-12, tentang Tuhan mengutus Musa
untuk menghadap Fir’aun untuk membawa Israel keluar dari
Mesir. Keluaran 3:4 menerangkan tentang tongkat dan ular Musa.
Sedangkan Keluaran 3:14 bercerita tentang Harun menyertai
Musa. Keluaran 5:1-23 secara khusus menghadirkan dialog antara
Musa, Harun dan Fir’aun, yang berlainan dengan versi Al-Qur’an,
yaitu lebih tepatnya tentang pengeluaran bangsa Israel dari Mesir,
dimana Fir’aun tetap bersikukuh untuk mempekerjakan mereka
di negeri itu. Perbedaan utama versi Biblikal dan Qur’ani adalah
pada tema namun tetap dengan menggunakan tokoh-tokoh yang
sama: satu versi yang lebih tua bercerita tentang narasi itu sendiri
yaitu situasi bangsa Israel di Mesir yang ditindas oleh Fir’aun,
sedangkan versi yang lain tentang dakwah dan misi kebenaran dan
kebatilan (sebuah tema yang telah terkandung kontekstualisasi
dan universalisasi narasi partikular dari Mesir menuju Makkah-
Madinah yang terjadi ribuan tahun kemudian).
Mungkin sebuah kebetulan, dan mungkin perlu analisis yang
lebih mendalam, bahwa konsep Mesir yang menjadi obyek dan
tema dalam dua Kitab Suci tersebut masih terus bertahan dalam
bebunyian keduanya. Bahkan dalam tinjauan redaksional kata, dan
ini yang mengejutkan, narasi Mesir Kuno masih tersimpan rapi di
3000-4000 tahun kemudian. Misalnya, dalam konsep penciptaan
di Mesir Kuno, ada pujian seperti ini: “Terpujilah Atum, yang
menciptakan langit, yang menciptakan semua yang ada….Tuhan

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 37


Al Makin

bagi semua, yang melahirkan banyak Tuhan.” Kata-kata puji Tuhan


masih terus didengungkan oleh tradisi Biblikal (Mazmur 66: 20; 1
Samuel 25: 32) (lihat Westermann 1973, 66–67) dan Qur’ani. Al-
Qur’an memulai dengan kalimat, “Segala puji bagi Tuhan semesta
alam (Q. 1: 1).” Sepertinya itu masih sealur dengan kalimat kuno
ribuan tahun tadi. Tidak hanya dalam konsep penciptaan, namun
juga alur cerita yang tersisa ribuan tahun yang lalu. Khusus dalam
kasus Fir’aun dan Musa, Q. 26: 23 Fir’aun menanyakan Musa, “…
wa ma rabbu al-‘alamin (siapa Tuhan semua alam?).” Lalu Musa
menjawab yang bebunyiannya mirip dengan bebunyian kuno, “…
rabb al-samawat wa al-ard wa ma bayna huma (Tuhan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya) (Q. 26: 24). Tuhan
langit dan bumi yang tercantum dalam Kitab Suci yang masih
dipegang dan diimani hingga kini, masih seirama dan sealur dengan
teks Mesir Kuno. Istilah dan rangkaian puji Tuhan pun juga sudah
dimulai dari Mesir Kuno. Maka hal ini hendaknya menyadarkan
tentang pararel antara teologi dunia saat ini dan teologi dunia masa
lalu, sekaligus juga terjadi kontekstualisasi masa lalu ke masa kini.
Yang menarik adalah pemahaman tentang posisi Fir’aun dan
hubungannya dengan para Tuhan yag juga masih bertahan, walau-
pun di dalamnya sudah terdapat kontekstualisasi. Fir’aun sering
digambarkan dalam narasi Qur’ani sebagai anti-monoteisme, men-
gaku Tuhan, mempersekutukan Tuhan, bahkan mengaku Tuhan.
Ini berbeda dengan tradisi Biblikal yang tetap mempertahan-kank-
an narasi awal, bahwa kezaliman Fir’aun terletak pada penindasan
dan pemerasan terhadap bangsa Israel sehingga Musa datang untuk
membebaskan mereka. Pembebasan bangsa Isarel menjadi tema
Kitab Keluaran (Eksodus). Namun, dalam narasi Qur’ani, pem-
bicaraan dikerucutkan pada tema dan konsep monoteisme, yaitu
Fir’aun sebagai figur anti-monoteisme yang digambarkan sebagai
pendaku tuhan, atau setidaknya penentang Tuhan. Pada kenyataan-
nya, ada relasi antara kekuasaan dan kepercayaan ter-hadap Tuhan,
dan, sebagaimana disinggung di atas, semua Fir’aun mendaku diri
mereka sebagai keturunan tuhan (sebagaimana di-ceritakan oleh
penulis Romawi, Plutarch, (100 M). Semua Fir’aun adalah ketu-
runan tuhan Osiris dan Isis yang melahirkan penguasa Horus.
Osiris dulunya telah dibunuh oleh lawannya, Seth. Namun, Isis

38 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

mencari mayatnya dan ditemukan, lalu berhubungan, hamil dan


melahirkan Horus (Ratnagar 2009, 75).
Tentu saja yang dimaksud Quran bukanlah konsep ketuhanan
dan kefir’aunan Mesir kuno kala itu, yang dimaksud adalah inti
ajaran monoteisme lain yang dimulai dari abad tujuh Masehi di
Jazirah Arab. Ini sekali lagi terjadi kontekstualisasi narasi, yaitu
penekanan inti tema dari narasi awal untuk disesuaikan dengan
tujuan cerita itu sendiri dikisahkan ulang. Fir’aun dalam Biblikal
lebih menekankan cerita pembebasan Israel, Fir’aun Qur’ani me-
nekankan monoteisme, dakwah pertama Islam, dan keperluannya
dalam mengambil ‘hikmah’ kisah. Tokoh yang sama, narasi yang
asalny sama, ditekankan dengan tujuan yang berbeda. Tradisi lama
diwariskan pada tradisi baru, namun catatan kemudian dan kon-
disi selanjutnya membuat cerita itu berubah secara tema. Wadah
tetap lama, tetapi isi sudah berbeda. Fir’aun ada dalam tradisi Me-
sir. Musa muncul dalam pengkisahan Israel (dalam berbagai teks
dan peninggalan Mesir tidak tercantum nama Musa, maka tokoh
ini adalah hasil kontekstualisasi). Kisah pembebasan telah mengil-
hami dan menginspirasi tokoh dan perjalanan bangsa Israel. Se-
dangkan menurut versi Qur’an dalam konteks lain di masa kemu-
dian, bukan lagi tentang perjalanan sebuah bangsa, tetapi tentang
universalisasi nilai-nilai ketuhanan.

***

Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno 39


Al Makin

40 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Bab Dua
Kisah Manusia Pertama

Dalam bab ini kita akan membaca kisah manusia pertama. Yang
dihadirkan tentu saja kisah yang paling kita kenal, yaitu kisah
Adam dan Hawa. Kisah itu akan ditelisik sumbernya dari Kitab
Suci tradisi Semitik: Perjanjian Lama dan Al-Qur’an, dimana
Adam dan Hawa sudah menjadi simbol dan universal, bahwa cerita
kejatuhan dua jenis kelamin itu sudah menjadi aset global dewasa
ini. Namun, dalam bab ini akan ditunjukkan bahwa banyak kisah
lain dari tradisi lain, yang juga memikirkan dan menarasikan
bagaimana manusia itu diciptakan oleh tuhan atau dewa.
Para pembaca budiman diajak berkelana tentang teori mitos
dan kaitannya secara historis antara kisah awal manusia dengan
tradisi lain. Dalam banyak mitos, dari Eropa, Jepang, dan Semitik,
bahkan Nusantara terdapat banyak kesamaan. Paling tidak,
pertanyaan yang sama bahwa manusia sangat penasaran bagaimana
dirinya pertama kali mengada atau tercipta. Kemudian bab ini
mengaitkan antara Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) dengan
kisah-kisah dari Mesopotamia, yang bersifat polytheis. Hubungan
pararelis antara Al-Qur’an dan Perjanjian Lama, tentu dari sudut

Kisah Manusia Pertama 41


Al Makin

kesamaan mitos dan ruang serta waktu, dimana Kitab Suci yang
masih diimani oleh para pemeluk agama Yahudi, Kristiani, dan
Islam tersebut mewarisi tradisi lama Semitik. Juga jika diurutkan
lebih jauh lagi, ternyata tradisi Semitik juga mewarisi tradisi
sebelumnya, sebagaimana telah disinggung dalam bab satu; bahwa
tradisi Israel merupakan penerus (atau paling tidak terlahir dari)
memori masa lalu: Mesopotamia, berupa Babilonia dan Sumeria,
dan juga Mesir. Dalam bab ini kita akan berkelana dan membaca
banyak kisah bagaimana kisah Adam dan Hawa berhubungan
dengan kisah-kisah yang ternyata lebih dahulu ada dari pada kisah
tersebut, secara historis kritis.

Kisah Adam dan Hawa


Dalam narasi teologi Semitik yang banyak diterima dalam
agama dan kepercayaan di Indonesia ini, dipercaya bahwa Adam
dan Hawa (Adam and Eve) merupakan manusia pertama yang
menjadi leluhur manusia yang menghuni planet ini. Ceritanya,
kedua insan berlainan kelamin tersebut turun dari surga Eden ke
bumi sehingga menjadi manusia pertama yang menghuni bumi ini.
Dalam lukisan terkenal oleh Michelangelo (1475-1564) di Kapel
Sistine digambarkan Tuhan sebagai bentuk figur yang mengenakan
jubah putih sedang terbang melayang dan mengulurkan tangan
kepada figur telanjang Adam yang sedang duduk juga mengulurkan
tangan, walaupun kedua tangan itu tidak bertemu. Tapi Adam
sudah bernyawa dan hidup.
Dalam lukisan itu, penciptaan
digambarkan seperti sentuhan,
bertemunya tangan Tuhan dan
tangan Adam. Tuhan juga tidak
sendirian, tapi dikelilingi oleh
beberapa figur seperti manusia;
mungkin itu gambaran para
Malaikat (Golowin 2007, 71).
Yang jelas, Tuhan menciptakan
(Sumber: http://www. manusia berdasarkan bentuk-
italianrenaissance.org/michelangelo- nya sendiri, ‘imagi’ atau ‘citra’.
creation-of-adam/ akses 25 Agustus, Dalam banyak keyakinan,
2015) bahkan di luar tradisi Semitik,

42 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Adam berderajat tinggi dan bahkan imagi Adam adalah imagi


Tuhan itu sendiri. Maka gambaran Tuhan atau para dewa, semua
mengambil bentuk manusia, walaupun dimodifikasi dengan
barbagai perpaduan, baik itu binatang (gajah, singa, ular) atau
tanaman (pohon atau daun).
Tentu saja referensi atau rujukan yang sangat baku adalah
Kitab Kejadian dari Perjanjian Lama, yang menjadi rujukan baik
itu Yahudi maupun Nasrani.
Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di
sebelah timur; di situlah ditempatkan-Nya manusia yang
dibentuk-Nya itu” (Kitab Kejadian 2: 8).
Kitab Kejadian yang merupakan bagian pertama dari Perjan-
jian Lama mengkisahkan tentang turunnya Adam dan Hawa ke
bumi, setelah digoda oleh ular sebagai jelmaan Iblis untuk mema-
kan buah terlarang.
Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia:
Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya
dengan bebas; tetapi pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya,
sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau
mati (2:16-17).
Sedangkan kejadian memakan buah terlarang setelah tergoda
oleh ular termaktub sebagai berikut:
Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik
untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula
pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.
Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan
diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama
dengan dia, dan suaminyapun memakannya (3:6).
Bahkan dalam kepercayaan yang dipahami di masyarakat,
buah terlarang yang dimakan Adam itu tersedak hanya sampai
tenggorokan dan berubah bentuk di kemudian hari berupa jakun
laki-laki. Sedangkan buah terlarang yang dimakan Hawa berhenti
sampai dada hingga berubah menjadi payudara. Maka dua jenis
keturunan Adam dan Hama hingga kini, ditandai dengan buah
terlarang.

Kisah Manusia Pertama 43


Al Makin

Karya lukisan Tiziano


Vecelli/Vacellio (1488-1576)
menggambarkan tentang tra-
gedi turunnya Adam dan
Hawa ke bumi dengan peng-
gambaran dua insan berlainan
jenis yang telanjang, auratnya
ditutup oleh daun. Hawa se-
dang memetik buah, sedang-
kan Adam seakan menolak
buah tersebut. Sedangkan
lukisan lain karya Peter Paul
Rubens (1577-1640) meng-
gambarkan dua insan itu
(Sumber: https://www. hampir sama dengan Tiziano
museodelprado.es/en/the-collection/ (Titian) tetapi ditambah de-
online-gallery/on-line-gallery/ ngan gambar anak kecil dan
zoom/1/obra/adam-and-eve/oimg/0/ ular diatas Hawa. Ular digam-
akses 25 Agustus, 2015) barkan mendesis-desis sebagai
jelmaan iblis yang menggoda
dan mempengaruhi Hawa untuk memakan buah tersebut. Adam,
yang semula menolak memakan buah itu, pun akhirnya menuruti
godaan itu. Buah terlarang pun termakan. Sebagai hukuman dari
dosa yang dilakukan keduanya, Adam dan Hawa harus turun dari
Eden atau jatuh ke bumi fana ini. Sejak kejatuhan moyang manusia
hingga kini, kita semua sebagai manusia tidak lagi tinggal di taman
Eden yang serba lengkap dan tersedia: air mengalir, buah berte-
baran, madu mengalir bak sungai, burung-burung ramah beter-
bangan, dan semua kemauan serta kehendak dituruti. Di bumi ini
manusia harus berjuang dengan peluh untuk memperoleh yang
diimpikan.
Dari narasi Adam dan Hawa, yang mempengaruhi dan
mempertahankan narasi tersebut, secara teologis (terutama agama-
agama Semitik), kita tahu bahwa manusia berasal dari taman Eden
yang diciptakan sendiri oleh Tuhan, kemudian manusia diturunkan
ke bumi. Dalam doktrin Kristiani, ini yang disebut ‘dosa asal’,
yaitu manusia pada dasarnya melanggar aturan Tuhan sejak awal
mulanya. Yesus Kristus sebagai penebus dosa telah menanggung

44 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

ini dengan menerima penyaliban. Manusia diharapkan beriman


pada Yesus agar dosanya tertebus. Dalam teologi Kristiani, ada
beberapa penafsiran yang berkembang yang tidak hanya melihat
bahwa beralihnya Adam dan Hawa ke bumi sebagai dosa asal,
tetapi juga sebagai perpindahan menjadi manusia. Maka sejak awal
manusia memang sudah ditaqdirkan untuk turun ke bumi dan
memakmurkan planet ini untuk beranak-pinak.
Sedangkan dalam Islam termaktub dalam surat urutan
kedua (al-Baqarah) sebagai rujukan doktrin penciptaan. Di
situ diterangkan sebagai momen di mana Tuhan memberi tugas
kepada manusia sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi untuk
mengatur bumi dan memakmurkannya. Iblis dan Malaikat pada
awalnya tidak menyetujui rencana Tuhan untuk menurunkan
manusia ke bumi dengan menanggung tugas ini, karena manusia
terbukti banyak menumpahkan darah di bumi (saling membunuh
antar sesama dan juga makhluk lain, tetapi kenapa justru diberi
tugas berat dan penting ini). Tuhan menjawab bahwa Pencipata
(khaliq) lebih tahu dari para ciptaan (makhluq).
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui” (Q. 2:30).
Keimanan ini menguat pada berbagai narasi dan disadur
dalam berbagai jenis karya dan buku. Dalam Islam, ini juga
dinarasikan kembali pada kitab-kitab klasik dari jenis tafsir (yaitu
yang memberi makna dan keterangan dari teks Al-Qur’an),
tarikh (semacam sejarah atau historiografi), dan qasas al-anbiya
(jenis sastra yang mengkhususkan pada kisah para Nabi). Dalam
tradisi Islam, Adam dan Hawa menjadi tema yang banyak dikaji
dan menjadi topik dalam diskusi yang bersifat teologis (kalam),
filsafat, dan sufisme (tasawuf). Dalam ajaran tasawuf, Iblis
sebagai jelmaan makhluk jahat tidak selamanya dipandang jahat,
namun juga ada juga yang menafsiri kisah Iblis sebagai makhluk

Kisah Manusia Pertama 45


Al Makin

yang konsisten dalam bertauhid (memegang monoteisme). Ia


tidak bersedia bersujud kepada Adam karena statusnya sebagai
sesama makhluq (yang diciptakan); dalam Al-Qur’an diceritakan
bahwa Tuhan memerintahkan agar Malaikat dan Iblis memberi
penghormatan kepada Adam, yaitu bersujud. Bagi Iblis, sujud
hanya diperuntukkan kepada Tuhan, sang Pencipta. Namun,
dalam pemahaman mayoritas, tindakan Iblis ini dinggap sebagai
pengingkaran terhadap perintah Tuhan.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir (Q. 2:34).
Pemahaman tentang awal manusia seperti diatas bersifat
universal dan diterima oleh banyak bangsa dan negara di dunia.
Kenyataannya, informasi dari tradisi Semitik tentang kisah Adam
dan Hawa hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita asal muasal
manusia. Banyak masyarakat tradisional mempunyai kisah sendiri
tentang asal usul dunia manusia, seperti masyarakat Aborigin,
Indian, Dayak, atau suku-suku di Afrika lainnya. Masyarakat
Mesir kuno, Babilonia, dan Sumeria, tentu juga mempunyai
kisahnya tersendiri. Kisah Adam dan Hawa tidak bisa dilepaskan
dari tradisi Semitik yang merupakan salah satu dari sekian tradisi
yang pernah ada di dunia. Tentu saja, konsep penciptaan dan
manusia pertama itu bisa ditempatkan dalam sejarah rasa ingin
tahu manusia. Namun, karena sebaran tradisi Semitik mendunia,
terutama Kristiani dan Islam, pemahaman tentang Adam dan
Hawa juga mendunia dan universal. Tentunya pemahaman
Kristiani yang mendominasi Roma pada awal hingga pertengahan
milanium pertama Masehi; walaupun awalnya memusuhi ajaran
ini, lalu beberapa abad kemudian menjadi agama resmi kerajaan
super power itu; tentu Romawi berperan dan berkontribusi dalam
penyebaran dan universalisasi konsep manusia awal ini. Begitu juga
Islam pada akhir milenium pertama dan awal milenium kedua,
setelah mendunia dan mendominasi peradaban, terutama pada
kedua kerajaan besar Umayyah dan Abbasiyah, berperan penting
dalam mempengaruhi pandangan dunia dan universalisasi ajaran
konsep manusia pertama. Maka konsep awal mula manusia yang
banyak dipahami di dunia ini tak lepas dari pengaruh agama yang

46 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

dipeluk manusia secara global: Kristiani dan Islam. Indonesia


yang merupakan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, dari sisi
kuantitas, tak heran jika kisah Adam dan Hawa menjadi baku dan
diimani.
Dalam tradisi Jawa, sebagaimana dalam Babad Tanah Jawa
(yang telah diterangkan di bab terdahulu), pemahaman teologis
bahwa Adam sebagai manusia pertama di bumi menginspirasi
pemahaman sejarah. Adam sebagai nenek moyang para raja Jawa,
dan tentu saja trah dan nasab disusun dengan berbagai macam
versi yang mengembalikan Adam sebagai manusia pertama yang
menurunkan banyak trah dan akhirnya ke para raja di Nusantara.
Dalam versi Babad:
“…Nabi Adam, berputra Sis, Esis berputra Nurcahya,
Nurcahya berputra Nurasa. Nurasa berputra Sanghyang
Wening. Sanghyang Wening perputra Sanghyang Tunggal.
Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru. Batara Guru
berputra lima bernama Batara Sambo, Batara Brama,
Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, Dewi Sri. Batara
Wisnu menjadi raja di Pulau Jawa bergelar Prabu Set.
Kerajaan Batara Guru ada di Sura Laya.”
Bagi kaum Muslim di Indonesia, tentu sejak pendidikan dasar
telah mengenal bahwa keturunan manusia di muka bumi ini semua
berasal dari bapak Adam dan ibu Hawa. Dalam sudut pandang
kesetaraan manusia saat ini, sering disebutkan bahwa semua
manusia berbagai macam kulit adalah keturunan dari satu pasang
manusia: Adam dan Hawa. Tidak ada perbedaan dan tingkatan;
semua sama.
Memang benar adanya bahwa berdasarkan analisis DNA,
manusia berspesies sama, yaitu Homo Sapiens (jenis Homo yang
berfikir). Tetapi apakah Homo Sapiens pertama itu bernama Adam,
itu persoalan lain. Penelitian tentang Homo Sapiens pun juga
berkembang sesuai dengan fosil yang ditemukan dalam bidang
arkeologi dan biologi, tetapi pada umumnya ada kesimpulan bahwa
manusia itu berasal dari keturunan manusia purba Afrika yang
kemudian bermigrasi ke kawasan lain: Timur Tengah, Asia, Eropa,
Australia dan Amerika. Ini semua dapat dibuktikan dengan adanya
berbagai macam fosil yang terus ditemukan di Eropa, China, Jawa,
dan Australia. Namun begitu, sangat sulit membuktikan secara

Kisah Manusia Pertama 47


Al Makin

biologis bahwa manusia di bumi ini (Homo Sapiens) berasal dari


keturunan satu pasang manusia bernama Adam dan Hawa, dari
segi DNA atau lainnya, karena sampai sekarang sisa-sisa fosil dan
situs ‘Adam’ tidak ditemukan. DNA Adam yang tidak bisa didapat
tidak memungkinkan untuk dibandingkan dengan DNA manusia
yang saat ini menghuni bumi.
Pemahaman atas narasi Biblikal dan Qur’ani harus dilakukan
dengan cara lain. Ilmu tafsir (dalam hal ini hermeneutika) akan
perperan penting, bahwa secara teologis kisah Adam dan Hawa
tidak serta merta dipahami secara harfiah atau apa adanya (seperti
membaca naskah biasa). Kisah Adam dan Hawa tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah: arkeologi, biologi, dan antropologi.
Namun, pandangan teologi liberal Kristiani dan teologi Islam
mengarah pada penafsiran yang tidak harfiah dan apa adanya,
sebagaimana dalam teks Kitab Suci. Kisah Adam dan Hawa bisa
dipahami secara maknawi atau metafora dan reflektif. Kisah Adam
dan Hawa adalah kisah tentang tugas berat manusia di bumi, dosa
manusia, pengetahuan dari Tuhan, dan tanggung jawab manusia
terhadap alam raya. Jadi, sekalipun penafsiran teologis tidaklah
historis karena tidak merujuk pada narasi dan fakta awal manusia
(secara DNA tidak bisa dibuktikan), kisah tersebut secara moral
dan etika bisa dijadikan pelajaran untuk manusia kini.
Terlepas dari semua itu, pengembangan makna legenda dan
kisah sangat mungkin dilacak perjalanan ‘pemahaman’nya dalam
sejarah; dalam ilmu post-modernisme disebut the history of idea
atau sejarah ide (Foucault 1989), dari mana pemahaman itu berasal
dan sejak kapan ide tersebut mengalami evolusi (perubahan pelan-
pelan) dari waktu ke waktu, dari satu budaya ke budaya lain, dari
satu tradisi ke tradisi lain, dan dari satu bahasa diterjemahkan ke
bahasa lain. Kisah Adam dan Hawa telah melewati berbagai macam
penerjemahan dan kontekstualisasi, sehingga kisah itu tidak hanya
berulang-ulang tetapi juga mengalami penyesuaian dari satu budaya
ke budaya lain.
Ingat, dalam sejarah perkembangan teologi dan doktrin Islam
saja, yang baru berusia kurang lebih 1500 tahun, kisah Adam dan
Hawa sudah dimodifikasi dan dikembangkan oleh penafsir dan
pemikir Muslim; mereka menceritakan kisah tersebut di ruang kelas,
pengajian, perkumpulan, dan dalam forum-forum lain. Dalam

48 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

Kristiani, kisah Adam dan Hawa juga sudah diceritakan dan bahkan
lebih tua lagi, yaitu 500 tahun lebih tua dari Islam. Dalam Yahudi,
kisah itu lebih tua lagi, paling tidak 1000 tahun sebelum Islam.
Maka kisah Adam dan Hawa telah mendominasi pemahaman kita
paling tidak selama 2000 hingga 3000 tahun sejak kisah Genesis
(Perjanjian Lama) diceritakan dan menjadi dogma dalam keyakinan
tradisi agama Semitik. Jadi, bisa disimpulkan, Adam dan Hawa
sebagai manusia tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tetapi tetap
bisa dilihat dan dibuktikan keberadaannya dari segi penelusuran
sejarah ide (bahwa kisah Adam dan Hawa yang berusia 3000 tahun
telah mendominasi cara berpikir manusia). Lantas pertanyaannya
adalah, “Apakah kisah Adam dan Hawa sudah ada sebelum 3000
tahun yang lalu?” Jika ditemukan bukti berupa tablet (batu bertulis)
atau manuskrip, maka akan berubahlah temuan tersebut. Namun,
jika tidak ditemukan bukti berupa tulisan atau prasasti tentang
kisah Adam dan Hawa, langkah paling aman dan mungkin adalah
asumsi bahwa kisah Adam dan Hawa berusia 3000 tahun.
Dengan kata lain, dogma tentang asal muasal manusia berupa
Adam dan Hawa itu telah mengakar dalam sejarah dan tradisi serta
telah ditransfer dalam berbagai budaya, tetapi kita dengan sangat
sederhana menyimpulkan bahwa kisah itu berasal dari tradisi Israel,
yaitu suku Semitik kuno yang masih bertahan sampai sekarang.
Bahkan doktrin dan narasi agama-agama yang serumpun (Yahudi,
Kristen, dan Islam) itu juga bermula dari kisah Israel, suatu suku
yang nomaden dan berpindah-pindah, dan cerita itu ditransfer dari
satu kebudayaan dan peradaban ke kebudayaan dan peradaban
yang lain dan dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya (Babilonia,
Mesir, Romawi, Persia, Arab, Eropa dan Amerika). Dalam dunia
ilmiah saat ini, perkembangan pemahaman, mitos, cerita, dan
legenda bisa diterangkan dengan bukti-bukti yang ada berupa teks
kuno yang masih bersama kita, yaitu Kitab Suci itu sendiri.
Kitab Suci itu mempunyai usia. Paling tidak secara historis
Kitab Suci bisa dilacak kapan mulai pertama kali ditulis dan dibaca.
Kitab Suci mengalami perkembangan, diungkapkan pertama kali
oleh yang membawanya (wahyu kepada Nabi atau Rasul), ditulis
oleh pengikutnya, dibukukan dan distandarisasi, ditafsiri, dan
dimaknai oleh orang yang mengimaninya. Itu semua bisa dilacak
dalam sejarahnya dan diletakkan dalam kurun perjalanan manusia.

Kisah Manusia Pertama 49


Al Makin

Misalnya, Perjanjian Lama sudah ada sejak masa Mesir kuno dan
Yunani; Perjanjian Baru ditransmisikan saat kekuasaan Romawi,
yaitu abad pertama atau kedua Masehi; Al-Qur’an bisa juga
diletakkan dalam sejarah manusia abad tujuh Masehi di Jazirah
Arab, yang mana budaya Arab masa itu melekat dalam Kitab
tersebut.
Tentu bukan pemahaman teologis yang dimaksud di sini,
namun pemahaman sejarah, karena dalam doktrin teologis Kitab
Suci itu abadi dan berasal dari Tuhan yang tidak berawal dan tidak
berakhir. Dalam doktrin Islam, Kitab Suci Al-Qur’an berasal dari
lauh al-mahfuz, yaitu alam ide di ‘sana’, di ‘langit abadi’ yang sudah
ada lebih dahulu dari manusia itu sendiri; Kitab Suci Al-Qur’an
adalah ‘kalam, sabda’ dan firman’ Tuhan yang sama abadinya
dengan ketuhanan itu sendiri. Dalam hal ini, telah ada perdebatan
yang sengit dalam teologi Islam abad delapan sampai tiga belas
Masehi tentang status keabadaian kalam Tuhan; apakah ia termasuk
atribut yang melekat pada Tuhan itu sendiri sehingga sama abadinya
dengan Tuhan ataukah ia merupakan produk (ciptaan) Tuhan
sehingga statusnya hanya sama dengan makhluk Tuhan lainnya.
Antara aliran Mu’tazilah (yang dikenal dengan rasionalitasnya)
dan Asy’ariyah (yang dikenal sebagai sintesa antara rasionalitas
dan ortodoksi) berbeda pandangan dan saling menguasai politik
Islam silih berganti di era Abbasiyah dan selanjutnya. Lain lagi
dengan doktrin Kristiani tentang logos (yang kurang lebih sejajar
dengan doktrin kalam dalam bahasa Arab) yang menjelma dalam
diri Yesus; Yesus adalah jelmaan firman Tuhan). Ini berbeda dengan
doktrin Islam, di mana dalam agama yang lebih muda ini firman
Tuhan menjelma menjadi Kitab Suci. Dengan kata lain, bukti
keberadaan dan mukjizat dalam Kristiani ada dalam diri Yesus
dan kehadirannya di dunia, sedangkan dalam Islam menjelma
menjadi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan panutan umat. Namun,
pemahaman tentang logos dan lauh al-mahfuz itu sendiri juga bisa
diletakkan di zamannya, tepatnya waktu dan ruang dimana paham
itu berkembang dan dikembangkan oleh para cendekiawan pada
masanya. Paham itu tentu dibudidayakan dan dikembangkan oleh
manusia walaupun doktrin itu membahas tentang ketuhanan, yaitu
sebuah pemahaman tentang ‘alam sana’ atau ‘alam langit’ yang
sudah bercampur dengan alam pikiran dan filsafat Yunani, ketika

50 Keragaman dan Perbedaan


Al Makin

tradisi keagamaan dan intelektual Kristiani dan juga Islam sudah


bersentuhan dengan tradisi Hellenisme. Dalam hal ini, konsep
lauh al-mahfuz nampaknya mempunyai pararel dengan konsep
Plato atau Neo-Plantonisme tentang ‘alam ide’ yang mendahului
alam nyata.
Dalam tradisi filsafat Yunani ada perdebatan yang sengit,
sama sengitnya dalam kalam Islam dan teologi Kristiani, tentang
hubungan antara ide dan materi; mana yang mendahului dan mana
yang mengikuti. Tentu Plato/ Πλάτων (428/427 atau 424/423 –
348/347 SM) memegang keyakinan bahwa alam ide lebih dulu
ada dari alam materi, sementara filosof lain seperti Demokritus/
Δημόκριτος (460-370 SM) memegang pendapat bahwa semua
yang ada hanyalah materi belaka, tidak ada lagi di luar materi.
Bagi Demokritus, segala sesuatu terdiri dari atom, yaitu partikel
kecil yang membentuk benda-benda di dunia ini. Pandangan ini
tentu masih tersimpan dan diteruskan sampai saat ini, dari ilmu
teologi klasik, fisika, dan astronomi. Perdebatan antara peran alam
ide dan alam materi, ketuhanan dan kemanusiaan, kenabian dan
keumatan, mukjizat dan benda biasa, terus berlanjut hingga masa
sesudah Yunani, termasuk dalam teologi Kristiani dan Islam. Tentu
peranan logika Yunani masuk dalam metode dan teori berpikir
para pemikir dan teolog. Maka teologi Islam (ilmu kalam) yang
berkembang pada masa Baghdad berjaya, di masa bani Abbasiyah,
ditandai dengan diadopsinya metode dan teori filsafat Yunani
dalam tradisi Islam. Penterjemahan banyak karya, dari logika,
filsafat, kedokteran, dan astronomi dilakukan dan sekaligus ilmu-
ilmu tersebut dikembangkan. Maka, konsep-konsep teologi dalam
agama bisa dilacak dari mana pengaruh dan bermulanya perdebatan
itu. Sejarah-lah yang bisa menempatkan itu, dengan menaruh ide
dan perkembangannya dalam perjalanan kemanusiaan. Teologi
Islam, dengan begitu, bisa dengan mudah diposisikan pada
masa Umayyah abad delapan dan Abbasiyah abad sembilan, dan
seterusnya.
Kembali ke ranah sejarah untuk melacak seberapa tua usia
kisah Adam dan Hawa dituturkan dan dipegangi umat manusia.
Penelitian tentang figur Adam menunjukkan bahwa narasi tentang
penciptaan yang termaktub dalam Perjanjian Lama, berasal paling
tidak dari dua sumber utama, yaitu tradisi Jahwist Elohist (J atau JE,

Kisah Manusia Pertama 51

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai