Pendahuluanbab 1 Keragamandanperbedaan
Pendahuluanbab 1 Keragamandanperbedaan
net/publication/311981770
Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia
CITATIONS READS
9 13,522
1 author:
Al Makin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
40 PUBLICATIONS 100 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Al Makin on 30 December 2016.
Buku Al Makin Ph.D ini adalah karya penting tentang sejarah keragaman
dan perbedaan pemahaman dan praksis agama-agama dalam perjalanan
sejarah umat manusia. Dengan cakupannya yang luas dan mendalam, buku
ini pastilah memperkaya perspektif dan wawasan pembaca untk menyikapi
perbedaan dan keragaman agama dan budaya secara arif dan bijak.
Profesor Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pluralitas atau ta’ddudiyyah adalah hard fact sejarah yang tidak dapat ditolak
dan dihindari oleh siapapun. Meskipun begitu selalu saja ada argument yagn
pro dan kontra. Buku ini membantu menjelaskan fakta keras sejarah tersebut.
Sangat membantu pembaca yang hendak mengkaji isu plrualitas budaya, sosial,
dan agama secara akademis.
Professor Amin Abdullah (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Karya seperti ini sejauh saya tahu baru pertama kali muncul dalam khazanah
tulisan religius atau teologis Indonesia. Dengan sangat terampil, data sejarah
masa lalu yang rumit mengenai Kitab Suci dari kedua agama disajikan
secara “reader-friendly”. Tetapi bukan hanya konteks masa lampau saja yang
diperhatikan melainkan juga konteks Indonesia masa kini, sehingga buku ini
tidak hanya bersifat lintas agama tetapi juga lintas konteks, atau kalau mau
menggunakan istilah kerennya, “interkultural”. Saya belajar dari Al Makin,
bahwa seorang agamawan atau teolog dalam konteks Indonesia sekarang ini
seyogyanya menjadi orang yang memiliki kemampuan lintas ilmu dan lintas
agama yang memadai”.
Profesor Gerrit Singgih (Guru Besar Universitas Duta Wacana, Yogyakarta).
Buku Keragaman dan Perbedaan ini cukup unik. Buku ini memberikan
informasi dan analisis yang amat kaya tentang fenomena keragaman dan
perbedaan yang kita lihat dalam sejarah dari berbagai budaya. Buku ini
menjadi salah satu cara bagaimana kita mau tidak mau rendah hati di depan
sejarah dan belajar lebih arif merespon keniscayaan akan keragaman dan
perbedaan di jaman sekarang. Buku ini unik karena buku ini memberi contoh
pada kita bagaimana membuka kotak sejarah dan bukannya melipat sejarah
yang sering kita lakukan entah atas nama apa saja.
Dr. St. Sunardi (Dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).
Karya brilian dari seorang peneliti dan filosof muda prolifk yang menjelaskan
keniscayaan keragaman dan kepelbagiaan dalam agama dan budaya. Dengan
melihat bukti-bukti sejarah dan menggunakan cara unik dan terkadang pro-
vokatif , karya ini menunjukkan walapun bersifat transcendental, agama dalam
praktiknya sesuautu yang manusiawi. Ia merupakan bagian dari sistem budaya
yang sangat dinasmis dan kontekstual. Karya yang layak dibaca oleh siapapun
yang menginnkan duna damai tanpa kekerasan apalagi berlatar agama.
Profesor Noorhaidi Hasan (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Karya Dr. Al Makin ini sungguh spektakuler! Bukan saja karena belum ada
buku sejenis yang pernah diterbitkan di Indonesia, tetapi juga buku ini
memberi perspektif yang tidak terbayangkan oleh para ilmuwan sosial lainnya
di Indonesia. Dengan konteks historis dan geografis yang disajikan utuh oleh
penulis, realitas sosial dan keagamaan di Indonesia dipotret dan dianalisis
secara tajam dan menyeluruh. Intinya, realitas keagamaan di Indonesia adalah
cerminan realitas dunia. Begitupun sebaliknya, realitas agama-agama dunia
adalah juga realitas yang terjadi di Indonesia dengan segala keragaman dan
perbedaannya. Dengan hadirnya buku ini bersama karya-karya tulisan yang
sudah terbit sebelumnya, Dr. Al Makin sekali lagi membuktikan dirinya
sebagai seorang sarjana berkaliber dunia yang produktif dalam menghasilkan
buah pemikiran yang bermutu tinggi.
Profesor Arskal Salim, (adjunct Profesor di University of Western Sydney,
dosen Fakultas Syariah dan Ketua LPPM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Membaca buku ini bukan saja tiba-tiba saya merasa tak sendirian berjalan di
muka bumi ini karena apa yang saya yakini dan jalani ternyata kepingan dari
sejarah panjang keragaman keberagamaan manusia, dan seolah-olah kalau kita
padatkan semuanya itu dalam 24 jam, maka hidup kita saat ini sebenarnya
baru masuk jam 3 sore -- waktunya untuk ngopi agar hidup jangan terlalu
tegang apalagi sampai berkonflik.
Profesor Nadirsyah Hosen (Senior lecturer di Monash University Australia
dan Rais Syuriah, PCI Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan New Zealand)
Al Makin iii
iv Keragaman dan Perbedaan
Al Makin v
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan;
b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan
ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan
Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i.
Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113
ayat [4]).
Al Makin vii
KERAGAMAN DAN PERBEDAAN:
Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia
Copyright Al Makin, 2016
Penulis : Al Makin
Design Cover : Ikhman Mudzakir
Tata Letak : Maryono
Cetakan Pertama : Maret 2016
xii + 288 hlm, 15, 5 x 23 cm
Penerbit:
SUKA-Press
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Gedung Rektorat Lama Lantai 3
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Email: almakin3@gmail.com
Bekerjasama dengan:
Al-Jami’ah Research Center
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Gedung Rektorat Lama Lantai 2
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Telpon: (0274) 558186
Email: editor@aljamiah.org
sayyidaslam82@gmail.com
ISBN: 978-602-1326-48-0
Pembuka ................................................................................1
Pertanyaan mendasar ......................................................2
Argumen bukan kronologi ..............................................4
Keragaman......................................................................5
Terima kasih ...................................................................8
Al Makin ix
Bab Tiga Persepsi tentang Dunia ...........................................69
Luasnya dunia................................................................69
Kisah tertua ...................................................................73
Banjir dunia ...................................................................79
Dari lokal ke universal ...................................................88
Pengetahuan dunia ........................................................91
Usia dunia ....................................................................95
Usia manusia ................................................................102
Penutup................................................................................249
Daftar Pustaka ......................................................................255
Tentang Penulis ...................................................................267
Indeks .................................................................................269
Al Makin xi
xii Keragaman dan Perbedaan
Al Makin
Pembuka
Pembuka 1
Al Makin
Pertanyaan mendasar
Buku ini berusaha menyinggung pertanyaan dan pernyataan
mendasar sebagai berikut:
Kapan dunia ini ada dan tercipta?
Buku ini memberi gambaran bahwa banyak tradisi dan konsep
kuno, sebelum dan di samping Islam, Kristen dan Yahudi, membahas
konsep permulaan dunia, berupa konsep penciptaan(kosmogini
dan kosmologi). Konsep alam ini dihadirkan di bab pertama
sebagai pembuka dengan menghadirkan perbandingan konsep dari
Mesopotamia, Mesir, dan Semitik.
Kapan manusia tercipta dan hadir di dunia?
Berbagai konsep penciptaan manusia pertama di berbagai
keyakinan dan mitos kuno dan tradisi masyarakat dikupas di bab
kedua. Kisah bagaimana manusia diciptakan Tuhan dilihat dari
berbagai sudut pandang dan berbagai mitos: Afrika, Eropa, Jepang,
dan Nusantara. Kemudian bab ini menghadirkan penciptaan kuno
dari Mesopotamia, Yahudi, Kristen dan Islam.
Bagaimana dunia difahami? Seberapa luaskah alam ini?
Dihadirkan dalam bab ketiga tentang persepsi dunia
menurut peradaban kuno Mesopotamia, Sumeria dan Babilonia.
Di kebudayaan itu ada tablet (batu bertulis) kuno tentang kisah
Gilgamesh (seorang raja yang mencari keabadian). Di dalamnya juga
Pembuka 3
Al Makin
Keragaman
Dunia ini beragam, tidak berisi satu warna, tetapi kompleks;
di samping bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, warna juga
hampir tak terhingga; bisa diolah dan dicampur dengan warna lain,
sehingga membentuk warna baru. Walaupun sudah sekian ribu jenis
warna, masih mungkin menambah warna baru—dengan maramu
antara satu warna dengan lainnya. Saat ini kalau Anda pergi ke
toko cat untuk besi atau tembok, bisa dipesan cat warna sesuai
dengan selera. Dengan sentuhan teknologi, percampuran warna
lama bisa melahirkan warna baru. Dalam cahaya, begitu percobaan
Isaac Newton (1643-1727), warna putih merupakan perpaduan
dari warna-warni; menyatu dalam satu satu lobang prisma dan
berpendar, terpecah, menjadi beragam keluar dari lobang. Setelah
melewati kaca prisma, muncul aneka rupa fraksi warna. Begitu juga
pelangi di langit sehabis hujan, dari sekedar tetesan air, terkena sinar
matahari, susunan aneka warna muncul. Alam raya ini dipenuhi
warna; dunia penuh warna dan perbedaan rupa; itu menciptakan
keindahan. Susunan berbagai warna melahirkan seni.
Jika kita memperhatikan lukisan, dengan kombinasi
langit berwarna biru; pepohonan hijau, di sawah tertanam padi
menguning; gunung membiru; air jernih di danau memantulkan
bayangan pemandangan diatasnya; sinar matahari pagi memerah
dan oranye; lukisan alam itu indah. Lain halnya jika lukisan itu
Pembuka 5
Al Makin
Pembuka 7
Al Makin
Terima kasih
Buku ini punya kisah tersendiri. Yakni ketika Penulis mengajar
sering menemui tantangan cara berfikir mahasiswa yang cenderung
kurang menyadari bagaimana sejarah dunia. Mereka kadang tidak
menyadari hubungan antar budaya, peradaban, dan kesulitan dalam
menyusun kronologi sejarah. Penulis temui para mahasiswa berfikir
homogen yang hanya berpatokan pada satu pandangan bahwa dunia
ini bermula dari tradisi agama yang dipeluknya. Tidak ada dunia
sebelumnya; tidak ada dunia sesudahnya. Misalnya mahasiswa
Muslim tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sebelum Islam,
yaitu abad tujuh Masehi. Dikira tidak ada peradaban; tidak ada
tulisan; tidak ada hiruk pikuk agama-agama, politik, dan budaya,
sebelum era itu. Kebanyakan mereka berasumsi semua bermula
dari Makkah dan Madinah; selain itu tidak ada apapun. Ini sama
dengan membayangkan sebelum era itu adalah zaman vacuum,
void. Buku ini berusaha menempatkan bagaimana cara kita berfikir
secara majemuk dan beragam sesuai dengan bukti sejarah, sehingga
menggiring kesadaran bahwa kita tidak sendirian di dunia ini.
***
Pembuka 9
Al Makin
Bab Satu
Awal Dunia dari Warisan
Narasi Kuno
Hal yang sama terjadi pada Jawa dalam Babad Tanah Jawa.
Babad memiliki keterbatasan pengetahuan yang hanya mencakup
masanya, sekalipun di dalamnya disebut bangsa Belanda, Inggris,
dan Portugis (kesemuanya mengalami kontak dengan dan dalam
bentuk kolonialisasi atas Jawa). Babad, oleh karenanya, tidak
membayangkan dunia di luar dunia yang telah tersebut.
Lantas, bagaimana dengan kehidupan bangsa Belanda di
negeri Belanda itu sendiri? Bagaimana dengan sejarah Portugis?
Bagaimana pula dengan Yunani menurut orang Jawa? Jika jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada dari Babad, oleh
karena hal-hal tersebut berada di luar jangkauan Jawa dan para
pujangganya dan penulisnya, maka dapat disimpulkan bahwa
sejarah dunia yang ditulis oleh dalam Babad tentang “dunia”
bukanlah “dunia” itu sendiri yang kita fahami saat ini, melainkan
cerminan pemahaman bangsa dan dunia di mana para pujangga
dan sejarawan Babad berinteraksi dengan sekitarnya.
Maka, yang disebut “dunia” oleh Yunani, ya bangsa Yunani
itu sendiri dan bangsa-bangsa yang dikenalnya. Begitu juga yang
disebut dunia oleh orang Jawa, ya Jawa dan bangsa-bangsa lain yang
dikenalnya. Padahal, banyak hal di luar Jawa dan di luar Yunani
yang tidak diketahui dan belum terjangkau, karena kemajuan
pengetahuan ketika itu belum menjangkau dunia-dunia lain di
luar dunia mereka sendiri (yaitu dunia sebagaimana kita kenal saat
ini).
Singkat kata, sejarah dunia yang disusun pada masa lalu,
bukanlah sejarah dunia seperti yang kita persepsikan saat ini. Apa
yang disebut dunia masa itu berbeda dari dunia saat ini. Dunia
niscaya berubah. Ia berevolusi (berubah dari waktu ke waktu)
sebagaimana pengetahuan manusia tentang dunia yang berkembang
dari waktu ke waktu dan bergerak dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. Apa yang disebut dunia pada masa lalu, tentu
tidak masuk kreteria dunia yang saat ini dikenal. Pengetahuan
tentang bumi masa lalu belum seluas pengetahuan saat ini. Dunia
berubah, dan begitu juga pengetahuan tentang dunia.
Penciptaan dunia
Pertanyaan bagaimana dunia ini dimulai sangat penting bagi
manusia. Tidak mengherankan jika pertanyaan tersebut sudah
muncul sejak masa kuno, di Mesopotamia (Sumeria dan Babylonia),
Mesir, dan tradisi Israel. Banyak Kitab Suci yang memuat pertanyaan
tentang itu sekaligus jawaban atasnya, dalam bentuk narasi yang
dikenal dengan “doktrin penciptaan” (creatio). Versi Biblikal (kitab
Genesis atau Kejadian) dan Qur’ani (dalam berbagai surat dan ayat)
tentang doktrin penciptaan, disamping menyampaikan ajaran
agama, juga sekaligus sebagai tempat penyimpanan warisan kuno
yang mungkin tak lagi dikenali. Kini, mengingat banyak teks-teks
kuno telah dipelajari dan diinterpretasi secara terus menerus, versi
penciptaan Kitab Suci satu sama lain bisa saling dibandingkan.
Versi Biblikal maupun Qur’ani ternyata dijumpai persamaannya
dengan versi yang lebih kuno pada teks-teks lain.
Untuk memulai perbandingan dan mensejajarkan bacaan,
lihat bagaimana Yunani menyimpan tradisi kuno Phoenicia
(bahasa yang lebih kuno yang mungkin berhubungan dengan
tradisi Semitik). Teks Sanchoniatho—yang terekam dalam bahasa
Yunani dan diwariskan dalam tradisi Yunani pula, asalnya berbahasa
ribu tahun yang lalu. Jadi pertentangan dan dialog antara utusan
Tuhan dan penguasa itu adalah refleksi misi dakwah Muhammad
awal masa abad tujuh Masehi, bukan menghadirkan kembali
dialog historis ribuan tahun lalu. Dialog itu adalah teologis;
wilayah kontekstualisasi lahirnya doktrin baru dengan narasi lama
yang ada di ajaran Semitik (yang dalam hal ini adalah narasi Yahudi
dan Nasrani). Dalam dialog Fir’aun dan Musa tentu ada interplay
antara Makkah dan Mesir, Musa dan Muhammad, Fir’aun dan
orang-orang Makkah. Misalnya kata kunci majnun itu juga bisa
dilihat di sirah (biografi Nabi) bahwa sebutan tersebut dituduhkan
orang-orang Makkah ke Muhammad, seperti juga yang disematkan
kepada tokoh Musa, yang dituduhkan orang-orang Mesir. Jadi, ada
kontekstualisasi dan tukar peran di situ.
Fragmen Qur’ani di atas merupakan cerminan dari versi yang
lebih tua, Kitab Keluaran 3:11-12, tentang Tuhan mengutus Musa
untuk menghadap Fir’aun untuk membawa Israel keluar dari
Mesir. Keluaran 3:4 menerangkan tentang tongkat dan ular Musa.
Sedangkan Keluaran 3:14 bercerita tentang Harun menyertai
Musa. Keluaran 5:1-23 secara khusus menghadirkan dialog antara
Musa, Harun dan Fir’aun, yang berlainan dengan versi Al-Qur’an,
yaitu lebih tepatnya tentang pengeluaran bangsa Israel dari Mesir,
dimana Fir’aun tetap bersikukuh untuk mempekerjakan mereka
di negeri itu. Perbedaan utama versi Biblikal dan Qur’ani adalah
pada tema namun tetap dengan menggunakan tokoh-tokoh yang
sama: satu versi yang lebih tua bercerita tentang narasi itu sendiri
yaitu situasi bangsa Israel di Mesir yang ditindas oleh Fir’aun,
sedangkan versi yang lain tentang dakwah dan misi kebenaran dan
kebatilan (sebuah tema yang telah terkandung kontekstualisasi
dan universalisasi narasi partikular dari Mesir menuju Makkah-
Madinah yang terjadi ribuan tahun kemudian).
Mungkin sebuah kebetulan, dan mungkin perlu analisis yang
lebih mendalam, bahwa konsep Mesir yang menjadi obyek dan
tema dalam dua Kitab Suci tersebut masih terus bertahan dalam
bebunyian keduanya. Bahkan dalam tinjauan redaksional kata, dan
ini yang mengejutkan, narasi Mesir Kuno masih tersimpan rapi di
3000-4000 tahun kemudian. Misalnya, dalam konsep penciptaan
di Mesir Kuno, ada pujian seperti ini: “Terpujilah Atum, yang
menciptakan langit, yang menciptakan semua yang ada….Tuhan
***
Bab Dua
Kisah Manusia Pertama
Dalam bab ini kita akan membaca kisah manusia pertama. Yang
dihadirkan tentu saja kisah yang paling kita kenal, yaitu kisah
Adam dan Hawa. Kisah itu akan ditelisik sumbernya dari Kitab
Suci tradisi Semitik: Perjanjian Lama dan Al-Qur’an, dimana
Adam dan Hawa sudah menjadi simbol dan universal, bahwa cerita
kejatuhan dua jenis kelamin itu sudah menjadi aset global dewasa
ini. Namun, dalam bab ini akan ditunjukkan bahwa banyak kisah
lain dari tradisi lain, yang juga memikirkan dan menarasikan
bagaimana manusia itu diciptakan oleh tuhan atau dewa.
Para pembaca budiman diajak berkelana tentang teori mitos
dan kaitannya secara historis antara kisah awal manusia dengan
tradisi lain. Dalam banyak mitos, dari Eropa, Jepang, dan Semitik,
bahkan Nusantara terdapat banyak kesamaan. Paling tidak,
pertanyaan yang sama bahwa manusia sangat penasaran bagaimana
dirinya pertama kali mengada atau tercipta. Kemudian bab ini
mengaitkan antara Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) dengan
kisah-kisah dari Mesopotamia, yang bersifat polytheis. Hubungan
pararelis antara Al-Qur’an dan Perjanjian Lama, tentu dari sudut
kesamaan mitos dan ruang serta waktu, dimana Kitab Suci yang
masih diimani oleh para pemeluk agama Yahudi, Kristiani, dan
Islam tersebut mewarisi tradisi lama Semitik. Juga jika diurutkan
lebih jauh lagi, ternyata tradisi Semitik juga mewarisi tradisi
sebelumnya, sebagaimana telah disinggung dalam bab satu; bahwa
tradisi Israel merupakan penerus (atau paling tidak terlahir dari)
memori masa lalu: Mesopotamia, berupa Babilonia dan Sumeria,
dan juga Mesir. Dalam bab ini kita akan berkelana dan membaca
banyak kisah bagaimana kisah Adam dan Hawa berhubungan
dengan kisah-kisah yang ternyata lebih dahulu ada dari pada kisah
tersebut, secara historis kritis.
Kristiani, kisah Adam dan Hawa juga sudah diceritakan dan bahkan
lebih tua lagi, yaitu 500 tahun lebih tua dari Islam. Dalam Yahudi,
kisah itu lebih tua lagi, paling tidak 1000 tahun sebelum Islam.
Maka kisah Adam dan Hawa telah mendominasi pemahaman kita
paling tidak selama 2000 hingga 3000 tahun sejak kisah Genesis
(Perjanjian Lama) diceritakan dan menjadi dogma dalam keyakinan
tradisi agama Semitik. Jadi, bisa disimpulkan, Adam dan Hawa
sebagai manusia tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tetapi tetap
bisa dilihat dan dibuktikan keberadaannya dari segi penelusuran
sejarah ide (bahwa kisah Adam dan Hawa yang berusia 3000 tahun
telah mendominasi cara berpikir manusia). Lantas pertanyaannya
adalah, “Apakah kisah Adam dan Hawa sudah ada sebelum 3000
tahun yang lalu?” Jika ditemukan bukti berupa tablet (batu bertulis)
atau manuskrip, maka akan berubahlah temuan tersebut. Namun,
jika tidak ditemukan bukti berupa tulisan atau prasasti tentang
kisah Adam dan Hawa, langkah paling aman dan mungkin adalah
asumsi bahwa kisah Adam dan Hawa berusia 3000 tahun.
Dengan kata lain, dogma tentang asal muasal manusia berupa
Adam dan Hawa itu telah mengakar dalam sejarah dan tradisi serta
telah ditransfer dalam berbagai budaya, tetapi kita dengan sangat
sederhana menyimpulkan bahwa kisah itu berasal dari tradisi Israel,
yaitu suku Semitik kuno yang masih bertahan sampai sekarang.
Bahkan doktrin dan narasi agama-agama yang serumpun (Yahudi,
Kristen, dan Islam) itu juga bermula dari kisah Israel, suatu suku
yang nomaden dan berpindah-pindah, dan cerita itu ditransfer dari
satu kebudayaan dan peradaban ke kebudayaan dan peradaban
yang lain dan dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya (Babilonia,
Mesir, Romawi, Persia, Arab, Eropa dan Amerika). Dalam dunia
ilmiah saat ini, perkembangan pemahaman, mitos, cerita, dan
legenda bisa diterangkan dengan bukti-bukti yang ada berupa teks
kuno yang masih bersama kita, yaitu Kitab Suci itu sendiri.
Kitab Suci itu mempunyai usia. Paling tidak secara historis
Kitab Suci bisa dilacak kapan mulai pertama kali ditulis dan dibaca.
Kitab Suci mengalami perkembangan, diungkapkan pertama kali
oleh yang membawanya (wahyu kepada Nabi atau Rasul), ditulis
oleh pengikutnya, dibukukan dan distandarisasi, ditafsiri, dan
dimaknai oleh orang yang mengimaninya. Itu semua bisa dilacak
dalam sejarahnya dan diletakkan dalam kurun perjalanan manusia.
Misalnya, Perjanjian Lama sudah ada sejak masa Mesir kuno dan
Yunani; Perjanjian Baru ditransmisikan saat kekuasaan Romawi,
yaitu abad pertama atau kedua Masehi; Al-Qur’an bisa juga
diletakkan dalam sejarah manusia abad tujuh Masehi di Jazirah
Arab, yang mana budaya Arab masa itu melekat dalam Kitab
tersebut.
Tentu bukan pemahaman teologis yang dimaksud di sini,
namun pemahaman sejarah, karena dalam doktrin teologis Kitab
Suci itu abadi dan berasal dari Tuhan yang tidak berawal dan tidak
berakhir. Dalam doktrin Islam, Kitab Suci Al-Qur’an berasal dari
lauh al-mahfuz, yaitu alam ide di ‘sana’, di ‘langit abadi’ yang sudah
ada lebih dahulu dari manusia itu sendiri; Kitab Suci Al-Qur’an
adalah ‘kalam, sabda’ dan firman’ Tuhan yang sama abadinya
dengan ketuhanan itu sendiri. Dalam hal ini, telah ada perdebatan
yang sengit dalam teologi Islam abad delapan sampai tiga belas
Masehi tentang status keabadaian kalam Tuhan; apakah ia termasuk
atribut yang melekat pada Tuhan itu sendiri sehingga sama abadinya
dengan Tuhan ataukah ia merupakan produk (ciptaan) Tuhan
sehingga statusnya hanya sama dengan makhluk Tuhan lainnya.
Antara aliran Mu’tazilah (yang dikenal dengan rasionalitasnya)
dan Asy’ariyah (yang dikenal sebagai sintesa antara rasionalitas
dan ortodoksi) berbeda pandangan dan saling menguasai politik
Islam silih berganti di era Abbasiyah dan selanjutnya. Lain lagi
dengan doktrin Kristiani tentang logos (yang kurang lebih sejajar
dengan doktrin kalam dalam bahasa Arab) yang menjelma dalam
diri Yesus; Yesus adalah jelmaan firman Tuhan). Ini berbeda dengan
doktrin Islam, di mana dalam agama yang lebih muda ini firman
Tuhan menjelma menjadi Kitab Suci. Dengan kata lain, bukti
keberadaan dan mukjizat dalam Kristiani ada dalam diri Yesus
dan kehadirannya di dunia, sedangkan dalam Islam menjelma
menjadi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan panutan umat. Namun,
pemahaman tentang logos dan lauh al-mahfuz itu sendiri juga bisa
diletakkan di zamannya, tepatnya waktu dan ruang dimana paham
itu berkembang dan dikembangkan oleh para cendekiawan pada
masanya. Paham itu tentu dibudidayakan dan dikembangkan oleh
manusia walaupun doktrin itu membahas tentang ketuhanan, yaitu
sebuah pemahaman tentang ‘alam sana’ atau ‘alam langit’ yang
sudah bercampur dengan alam pikiran dan filsafat Yunani, ketika