Anda di halaman 1dari 3

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam


Program Magister Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam

Materi/Bahan Kajian : Meneladani Profetik Nabi Ibrahim As


Judul : Pemikiran Kritis Dialektis Nabi Ibrahim As
Nama : Muhammad Hilman (192520112)
Kelas :IA
Program : Manajemen Pendidikan Islam (MPI)

LATAR BELAKANG

Dalam lintasan sejarah kenabian, nama Nabi Ibrahim Alaihissalam , merupakan nama
yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam. Selain dikenal sebagai salah seorang rasul ulul
azmi (yang memiliki keteguhan), beliau juga sering disebut sebagai Khalilullah (kekasih
Allah), dan Abul Anbiya' (bapaknya para nabi). Secara historis, pernyataan itu cukup
beralasan karena anak cucu Nabi Ibrahim merupakan tokoh-tokoh di zamannya dan banyak di
antara mereka yang diangkat oleh Allah menjadi seorang nabi. Ada yang dari jalur putra
beliau Ismail, yakni Nabi Muhammad saw, yang lainnya merupakan anak cucu dari putra
Ishaq yang merupakan nabi-nabi Bani Israil.
Namun Nabi Ibrahim Alaihissalam dilahirkan bukan dari orangtua yang bertauhid,
menyembah Allah Swt melainkan tumbuh di lingkungan penyembah berhala, termasuk
bapaknya sendiri, Azar, akan tetapi hal ini tidak memberi pengaruh terhadap dirinya. Hal ini
dikarenakan sikap kritis yang beliau miliki.

TEORI

Nabi Ibrahim Alaihissalam memadukan keimanan dan ilmiah di dalam kehidupan


sehari-harinya sehingga tidak membenarkan segala sesuatu secara definitif. Ia mewujudkan
sikap aposteriori dan menghindarkan sikap apriori. Apriori artinya menerima sesuatu tanpa
pikir, koreksi, argumen, dalil, penyelidikan. Sedangkan aposteriori adalah bersikap kritis
terhadap sesuatu dan tidak menerimanya kecuali setelah ada bukti dan argumen yang
dianggapnya benar dan kuat untuk menerima hal itu.
Maka untuk menghindarkan diri dari sikap kaku dan subyektif terhadap suatu
pendirian atau teori, Ibrahim menggunakan metode Pemikiran Kritis-Dialektis, yaitu suatu
metode pemikiran yang menggunakan cara pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan
sebanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya terhadap sesuatu pendirian , pendapat atau
problem.
Dalam Al Qur’an diceritakan secara menarik bagaimana ketika Ibrahim yang beranjak
dewasa berusaha mencari Tuhannya yang sesungguhnya. Kisah Nabi Ibrahim yang mencari
Tuhan dengan menggunakan metode tanya jawab melalui pemikiran kritis dialektis
diceritakan di dalam Al Qur’an dalam surat Al- An’am (6): 75-79.
Metode dialektis itu sampai kini masih merupakan salah satu metode yang tetap
aktual, meskipun terjadi perkembangan dalam pengertian dialektika yang dikembangkan oleh
Hegel. Dialektika Hegel adalah dialektika yang bergerak atas prinsip thesa, antithesa dan
synthesa.
Bahkan Nabi Ibrahim Alaihissalam sangat lihai dalam Komunikasi Politik yaitu suatu
proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus dengan tujuan
mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Definisi politik dilihat dari terminologinya
merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan, bermaksud
memengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan
masyarakat. Maka, komunikasi politik dalam kajian politik, dapat dipahami sebagai upaya-
upaya pembentukan kesepakatan.

PEMBAHASAN

A. Kritis terhadap lingkungan

Suatu ketika beliau bertanya kepada bapaknya tentang penyembahan berhala ini.
Sebagaimana dalam firman Allah:

"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim ber-kata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah


kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya aku melihat kamu
dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". (Al-An'am: 74)

Demikianlah kesesatan tetaplah beliau katakan sebagai kesesatan meskipun itu


dihadapan ayahnya sendiri, sehingga dalam riwayat lain beliau akhirnya diusir oleh sang
ayah. Sikap Nabi Ibrahim tidaklah berhenti disini, namun dilanjutkan dengan mencari
siapakah sesembahan (Ilah) yang sebenarnya. Tatakla ia melihat bintang ia katakan
"Inilah Tuhanku," namun ketika bintang itu tenggelam ia berkata: "Saya tidak suka yang
tenggelam", demikian juga ketika melihat bulan dan matahari sama seperti itu. Akhirnya
karena merasa bahwa benda-benda di alam ini tak ada yang pantas untuk disembah maka
ia berkata, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya: "Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan."

Kisah ini membuktikan bahwa hanya dengan mengikuti akal sehat dan hati
nurani saja (fitrah) ternyata beliau mampu menjadi muslim yang muwahid (lurus
tauhidnya) meski lingkungan yang ada tidak mendukung. Dan ini menunjukan bahwa
fitrah manusia pada dasarnya adalah bertauhid.

B. Cerdas, diplomatis dan pemberani

Hal ini dibuktikan ketika beliau berhadapan dengan penguasa musyrik saat itu
yang bernama Namrudz, raja Babilonia. Firman Allah, artinya: "Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah
telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan: "Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan". Orang itu berkata:
"Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah
orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-
Baqarah: 258)

Dalam tafsir di sebutkan bahwa yang di maksud orang yang diberi kekuasaan
adalah Namrudz, kemudian arti ucapannya: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan"
ialah membiarkan hidup seseorang dan membunuh yang lainya.

Sadar menghadapi orang yang punya kekuasaan yang bisa bertindak apa saja
semaunya maka Nabi Ibrahim lalu menyampaikan hujjah yang sekiranya membuatnya
diam, yakni disuruh ia menerbitkan matahari dari barat, jika memang bisa dan punya
kekuasaan.

KESIMPULAN

Nabi Ibrahim alaihissalam adalah figure penting bagi umat manusia. Ia diyakini
sebagai sosok pahlawan yang menjadi peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi sosial
yang berkeadilan. Ibraihim alaihissalam mengajarkan manusia untuk tidak melakukan
kesyirikan/ kebid'ahan secara apriori hanya dengan alasan lingkungan, karena telah ada Al
Qur'an dan As Sunnah sebagai petunjuk.

Ia juga memberikan teladan bagi kita untuk memiliki sifat yang cerdas, kritis, peka
terhadap lingkungan, dan bisa bertukar pendapat dengan baik dan pemberani. Kecerdasan dan
intelektualitas bukan penghalang bagi seseorang untuk berlaku taat kepada Allah. Bahkan
akal harus tunduk terhadap wahyu.

Anda mungkin juga menyukai