Anda di halaman 1dari 7

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Islam


Program Magister Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam

Nama : Muhamad Haikal Kahfi


NIM : (192520110)
Kelas :IA
Program : Manajemen Pendidikan Islam (MPI)

1. Jelaskan sebab-sebab perpecahan kaum Muslimin, dan pelajaran yang dapat


dipetik dari hal tersebut!
Timbulnya perbedaan dan perselisihan dalam umat Islam terjadi pasca wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Beberapa penyebab terjadinya keretakan di kalangan kaum
Muslimin adalah perselisihan politik dan pertikaian antar aliran. Munculnya beberapa
aliran baru ini ada yang aneh dan menyimpang dari pemahaman mainstream kaum
Muslimin seperti yang dipahami oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW., tabiin dan
tabiut – tabiin. Aliran – aliran ini merambah berbagai aspek kehidupan kaum Muslimin.
Adapun penyebab munculnya perbedaan dan perselisihan tersebut adalah:
a. Faktor Politik
Benih-benih propaganda dan fitnah yang mulai dibangun setelah wafatnya
Rasulullah SAW., itu dimulai, namun dapat dipadamkan dan ditekan pada masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar, setelah wafatnya Khalifah Umar
menjadi babak baru bagi kaum munafik yang nantinya akan menjadi embrio dari
lahirnya tiga golongan dalam Islam ini untuk terus tumbuh dan berkembang dalam
peradaban Islam sampai akhir. Tumbuh dan berkembang selanjutnya pada masa
Khalifah Utsman yang pada masa pemerintahannya penuh kontroversial, dan
puncak perkembangannya adalah ketika berhasil membunuh Khalifah Utsman
serta muncul terang-terangan ke permukaan ketika Khalifah Ali menjabat sampai
dengan terbunuhnya Khalifah Ali oleh para pembangkang dalam Islam yang
mengatasnamakan diri sebagai golongan yang paling benar.
b. Faktor Sosial
Kondisi sosial masyarakat Madinah dan wilayah kekuasaan Islam lainnya pada
masa Khalifah Ali sangat tidak menentu karena fitnah bertebaran dimana-mana,
yang salah satunya adalah mengadu domba keluarga Bani Umayyah dengan
Khalifah Ali yang tuntutannya adalah penyelesaian darah Utsman dengan
menangkap dan mengadili para pemberontak yang telah melakukan pembunuhan
terhadap Khalifah Utsman. Sedangkan propoaganda lainnya adalah mengadu
domba Bani Hasyim dengan golongan lainnya masalah hak dan tugas, atau kata
lainnya sikap arogansi kesukuan kembali ditebarkan demi mengadu domba
kekuatan Islam.
c. Faktor Budaya
Kebebasan berfikir yang tidak diimbangi dengan pemahaman Islam yang Haq
berdampak pada liberalisasi pemikiran dan keagaam Islam. Sehingga kaum muslim
yang berada di wilayah luar kekuasaan Islam dengan sangat mudahnya dihasut dan
diputarbalikkan akan keyakinannya dalam Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa
sebagian dari mualaf masih belum bisa masuk Islam sepenuhnya, masuk Islampun
karena terpaksa dengan wilayah yang sudah menjadi taklukan wilayah Islam.
Sehingga hal tersebut berdampak pada lemahnya iman mualaf. Lemahnya iman
dan lemahnya pemahaman mualaf inilah yang dijadikan kesempatan bagi kaum
munafik untuk menyebarkan propaganda ajaran Islam yang terbalik dan
menyebarkan fitnah kebencian antara wilayah taklukan dengan pemerintah pusat.
Penyebar fitnah dan propaganda inilah yang menjadi cikal bakal dan embrio dari 3
golongan dalam Islam yang akan muncul dan memproklamirkan pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sampai pada puncaknya adalah perang saudara dan
terbunuhnya Khalifah Ali.

Lalu apa hikmah besar umat Islam berselisih?

Dengan adanya perselisihan akan terlihat siapa pengikut hawa nafsu dan siapa
yang mengikuti dalil. Dengan adanya perselisihan akan terlihat siapa yang bersungguh-
sungguh mencari kebenaran dan siapa yang tidak bersungguh-sungguh. Dengan adanya
perselisihan akan terlihat siapa yang memang dia tajrid al-mutaba’ahnya luar biasa
kepada Allah dan RasulNya dan siapa yang ternyata lebih mengikuti agama nenek
moyangnya.

Maka dengan adanya perselisihan terdapat hikmah yang besar. Dengan adanya
perselisihan itu akan terpilah dan terpilih. Memang Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin
memilah dan memilih hamba-hambaNya. Adanya berbagai macam ujian itu Allah ingin
saring siapa yang sabar dan siapa yang tidak.

2. Tuliskan sikap dari golongan Murjiah, Khawarij, Syiah, dan Mu’tazilah terhadap
keabsahan kekhilafahan Mu’awiyah.
a. Murji’ah dan Khawarij
Dalam pemberontakan senjata yang terjadi antara pihak Ali dengan Muawiyah
yang berakhir dengan arbitrase sekelompok orang yang semula berada di pihak Ali
kemudian berbalik menjadi lawan. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai
Khawarij. Kekerasan mereka menentang Ali menyebabkan pengikut Ali yang setia
bertambah keras pula membelanya. Terlebih lagi setelah kemudian Ali mati
terbunuh pertentangan diantara mereka semakin bertambah keras. Sekalipun pada
akhirnya baik golongan Khawarij maupun pembela setia Ali akhirnya sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah, akan tetapi motivasi perlawanan mereka
berbeda. Khawarij menentang dinasti ini karena dianggap telah menyeleweng dari
ajaran Islam. Sementara pengikut Ali yang setia menganggap bahwa dinasti ini
telah merampas kekuasaan kekhalifahan dari Ali ibn Abi Thalib.
Dalam suasana yang berpuncak pada keadaan saling tuduh dan saling kafir
mengkafirkan satu sama lain itu muncul kelompok netral yang tidak mau
menentukan sikap siapa yang salah diantara pihak-pihak yang bersengketa,
kalaupun yang telah menerima dan menjalankan arbitrase itu dipandang telah
berbuat dosa besar yang menyebabkan mereka dituduh kafir. Maka kelompok ini
lebih baik menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Tuhan dan memandang
lebih baik menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Tuhan dan memandang
lebih baik menunda ketentuannya di hari kemudian dari suasana historis seperti
inilah Murji’ah lahir dengan kerangka dasar mereka tidak mengkafirkan salah satu
golongan mereka menganggap bahwa golongan Khawarij, pendukung Ali
demikian juga pihak Bani Umayyah semuanya tetap mukmin, mereka masih
bersyahadat dan mereka yang bertikai itu merupakan orang - orang yang dipercayai
dan tidak keluar dari jalan yang benar.
b. Syi’ah
Ketika timbul pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, barulah kata
Syi’ah muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya
pendukun Ali yang disebut Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah pun disebut
dengan Syi’ah, terdapat Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah. Nama ini didapatkan
dalam naskah perjanjian Tahkim, di situ diterangkan bahwa apabila orang yang
ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhalangan, maka diisi dengan orang
yang Syi’ah masing-masing dua kelompok. Namun pada waktu itu, baik Syi’ah Ali
maupun Muawiyah semuanya beralihan Ahlussunnah, karena Syi’ah pada waktu
hanya berarti pendukung dan pembela. Sementara aqidah dan fahamnya, kedua
belah pihak sama karena bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga
Ali pun memberikan penjelasan bahwa peperangan antara pengikutnya dan
pengikut Muawiyah adalah semata-mata berdasarkan ijtihad dan klaim kebenaran
antara kedua kelompok yang bertikai tersebut.
Setelah mengalami perkembangan, Syi’ah kemudian menjadi madzhab politik
yang pertama lahir dalam Islam setelah terjadinya tahkim tersebut. Setiap kali Ali
berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin menggumi bakat-bakat,
kekuatan beragama, dan ilmunya. Oleh sebab itu, para propagandis Syi’ah
mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarluaskan
pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturuan Ali, yang sekaligus
merupakan keturunan Rasulullah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
perlakukan zalim serta banyak mengalami banyak penyiksaan pada masa Bani
Umayah, cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka
memandang bahwa Ahlul Bait ini sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan
demikian, semakin meluas pula madzhab Syi’ah dan pendukungnya pun semakin
banyak. Maka, pada umumnya nama Syi’ah dipergunakan bagi setiap dan semua
orang yang menjadikan Ali berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus
menerus, sehingga Syi’ah itu akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja.
c. Mu’tazilah
Konsepsi politik Muʻtazilah pada umumnya menengaskan bahwa imamah atau
kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat, karena Allah tidak
memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal
Nabi, yang sesuai dengan firman dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan
bahwa “yang termulia di antara kita bagi Allah adalah yang paling bertaqwa”, maka
hak menjadi khalifah tidak merupakan hak istimewa bagi suatu keluarga atau suku
tertentu. Bagi Muʻtazilah hak memilih kepala negara diserahkan kepada rakyat
sepenuhnya, yang kemudian mengangkatnya untuk melaksanakan hukum, tanpa
memandang suku. Apakah dari suku Quraisy atau bukan, asalkan beragama Islam,
mukmin yang adil, serta tidak membedakan diantara suku.
3. Sebutkah pendapat ulama islam dalam perkara permakzulan seorang pemimpin!
a. Al-Mawardi
Secara tegas, al-Mawardi mensinyalir, seorang Kepala Negara dapat diturunkan
dari kursi kekuasaannya kalau ternyata sudah keluar dari citakeadilan, hilangnya
panca indera, atau organ-organ tubuh yang lain atau tidak cakap bertindak. Alasan
yang membolehkan impeachment (pemakzulan) imam, Khalifah, Kepala Negara
itu, menurut Imam Al-Mawardi ada dua. Pertama, karena ia mengalami perubahan
dalam status moral (akhlak), secara teknis sebut saja pelanggaran terhadap norma-
norma keadilan (‘adalah)
b. Taqi al-Din al-Nabhani
Sama seperti al-Mawardi, Taqi al-Din al-Nabhani juga berpendapat, Kepala
Negara dapat diberhentikan ditengah jalan atau sebelum masajabatannya yang
ditentukan berakhir. Seorang Khalifah, Kepala Negara, tegas al-Nabhani, secara
otomatis akan diberhentikan manakala terjadi perubahaan keadaan di dalam dirinya
dengan perubahan yang langsung mengeluarkannya dari jabatan khalifah. Khalifah
juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan pada dirinya walaupun
perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari jabatan khalifah, namun
menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya.
c. Ibnu Taimiyah
Sementara itu, Ibnu Taimiyah selaku pemikir besar dan berpandangan luas
mendukung pendapat dari Al-Kamal bin Abu Syarif yang mengemukakan bahwa
pada dasarnya imam tidak dibenarkan diberhentikan akan tetapi berhak
diberhentikan manakala kelangsungan imamah-nya menimbulkan fitnah.Ibnu
Taimiyah mendukung dengan alasan bahwa menjatuhkan seorang kepala negara
akan menggangu ketentraman didalam masyarakat dan melemahkan persatuan
umat.
4. Tuliskan hadist Nabi yang mengisyaratkan tentang khawarij dan ciri-ciri mereka.
‫ بينما نحن عند رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وهو يقسم قسما ً إذ أتاه‬:‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ [ويلك ومن يعدل‬:‫ يا رسول هللا اعدل! فقال صلى هللا عليه وسلم‬:‫ فقال‬-‫وهو رجل من بني تميم‬- ‫ذو الخويصرة‬
،‫ [دعه‬:‫ فقال‬،‫ يا رسول هللا إئذن لي فأضرب عنقه‬:‫إذا لم أعدل؟ قد خبت وخسرت إن لم أكن أعدل؟] فقال عمر‬
‫ يمرقون‬،‫ يقرأون القرآن ال يجاوز تراقيهم‬،‫فإن له أصحابا ً يحقر أحدكم صالته مع صالتهم وصيامه مع صيامهم‬
،‫ ثم ينظر إلى رصافه فما يوجد فيه شيء‬،‫ ينظر إلى نصله فال يوجد فيه‬،‫من الدين كما يمرق السهم من الرمية‬
،‫ قد سبق الفرث والدم‬،‫ ثم ينظر إلى قُذ َ ِذ ِه فال يوجد فيه شيء‬،‫ثم ينظر إلى نضيه وهو قِ ْد ُحهُ فال يوجد فيه شيء‬
]‫آيتهم رجل أسود إحدى عضديه مثل ثدي المرأة أو مثل البضعة تدردر!! ويخرجون على حين فرقة من الناس‬
Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang
membagi-bagikan harta, datanglah mendekati Nabi seorang dari Bani Tamim yang
bernama Dzul Khuwaishirah. Ia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, berlakulah adil’!
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, ‘Celaka engkau! Siapa
yang bisa berlaku adil kalau aku dituduh tidak adil?! Sungguh engkau benar-benar
merugi kalau aku tidak adil’.
Kemudian Umar bin al-Khattab berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku menebas
lehernya’.
Rasulullah berkata, ‘Biarkan dia. Sesungguhnya ia memiliki sahabat-sahabat yang
salah satu di antara kalian (para sahabat) akan menganggap remeh/sedikit shalatnya jika
dibandingkan dengan shalat mereka dan akan menganggap remeh/sedikit puasanya jika
dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Alquran akan tetapi tidak
melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah
melesat menembus binatang buruan yang menjadi sasarannya. Jika diperhatikan bagian
panah yang tajamnya, maka tidak ada bagian dari hewan buruan tadi yang menempel
(baik darah maupun daging). Jika dilihat bagian penyambung antara batang dan bagian
depannya, maka tidak ditemui apapun yang menempel. Jika dilihat bagian batang
panahnya tidak ditemui apapun juga. Dan jika dilihat dari bagian bulu anak panah
(bagian akhir panah), maka tidak didapati sesuatu apapun. Keluarnya anak panah ini
lebih dahulu dari keluarnya noda dan percikan darah yang keluar dari hewan itu. Tanda
mereka adalah seorang yang berkulit hitam, salah satu dari lengan atasnya seperti
payudara perempuan atau semacam sepotong daging yang bergoyang-goyang. Mereka
muncul saat terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin (pada saat perselisihan
Ali dan Muawiyah)’.” (HR. Bukhari no. 6163 dan Muslim no. 1064).
Dalam riwayat lain dikatakan “Mereka memerangi kelmpok yang terbaik (dari dua
kelompok)” Yakni kelompok Ali.
5. Tuliskan pemahaman dan pandangan anda terhadap makna hadist ini:
‫ افترقت اليهود على إحدى وسبعين‬:‫ويروى عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫ (رواه ابن أبي‬.‫ وستفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة‬،‫ وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة‬،‫فرقة‬
)‫الدنيا عن عوف بن مالك‬.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW bersabda: kaum Yahudi
terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, dan kaum Nashrani terpecah
menjadi tujuh puluh dua golongan, dan Ummatku akan terpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan.
Secara historis matan ẖadîts tersebut dibuktikan dengan adanya perpecahan
umat Islam. Hal itu terjadi karena didukung adanya latar belakang kehidupan bangsa
Arab yang merupakan kesuku-sukuan, lebih menekankan garis keturunan keluarga dan
sering hidup berpindah-pindah, dalam kerasnya gurun pasir dan melakukan peperangan
antar suku untuk memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan hidup.
Seperti halnya suku Aus dan Khazraj sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah.
Kedua suku tersebut, sering bermusuhan di masa Jahiliyah. Kedengkian dan
permusuhan, pertentangan yang keras di antara mereka menyebabkan meletusnya
perang yang berkepanjangan di antara mereka. Bahkan setelah kedua suku itupun
disaudarakan dan didamaikan oleh Nabi semenjak datangnya Islam di Madinah, masih
sempat terjadi ketegangan di antara kedua suku tersebut, karena adanya profokasi dari
salah seorang lakilaki dari kaum Yahudi yang tidak suka terhadap perdamaian dan
persaudaraan mereka, dengan cara mengingatkan mereka di kehidupan masa lalu.
Sehingga suasana memanas dengan adanya faktor fanatisme terhadap kesukuannya
sampai hampir terjadi peperangan. Akhirnya peristiwa tersebut dapat diredam oleh
Rasulullah, dengan peringatan Allah yang menurunkan surah Ali Imran ayat 103 yang
mengingatkan dan memerintahkan untuk tidak bercerai-berai seperti zaman Jahiliyah.
Faktor kesukuan memuncak lagi dalam mendominasi perpecahan setelah
wafatnya Nabi. Ketika jenazah Nabi belum terurus, terjadi sebuah peristiwa besar yang
dikenal dengan sebutan saqifah bani saidah, yakni terjadinya perdebatan sengit di antara
para sahabat Nabi, yakni kaum Anshar dan Muhajirin yang merebutkan siapa yang
pantas menggantikan kedudukan Nabi sebagai khalifah. Di sisi lain pada masa itu, di
pihak ahlu bait (bani Hasyim) tengah sibuk merawat jenazah Rasulullah, tidak terlibat
dalam memutuskan perkara tersebut, yang akhirnya memaksa ahlu bait menerima Abu
Bakar sebagai khalifah setelah di baiat para sahabat lain pada peristiwa saqifah bani
saidahi tersebut.
Perpecahan umat semakin parah lagi, ketika terjadi pergejolakan politik pada
masa pemerintahan khalfah Ali melahirkan peristiwa taẖkim, usulan damai antara Ali
dan Mu’awiyah yang membuahkan kekalahan di pihak Ali dan mengabsahkan
Muawiyah sebagai satu-satunya khalifah ketika itu. Hal tersebut justru membuat
permusuhan di kedua kubu semakin memuncak, dan saling mengalahkan. Demi
kuatnya persatuan di antara kedua kubu, salah satu cara yang mereka tempuh dengan
membuat ẖadîts palsu. Dari sinilah awal kemunculan aliran-aliran teologi. Munculnya
kelompok yang menolak taẖkim dengan berdalih menggunakan ayat al-Quran, mereka
disebut Khawarij. Pendapat mereka menghukumi kafir empat orang pemuka Islam
yakni Ali dan pengikutnya (yang kemudian disebut Syiah), Muawiyah, Amr ibn al-As
dan Abu Musa al-Asy’ari.

Anda mungkin juga menyukai