Anda di halaman 1dari 21

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Pulau Muna merupakan bagian dari mandala Buton, berdasarkan peta geologi

lembar Buton-Muna daerah penelitian masuk dalam Formasi Wapulaka. Formasi

Wapulaka berumur Pleistosen terdiri dari Batugamping terumbu, ganggang, dan

koral, serta memperlihatkan undak-undak pantai purba dan topografi karst. Kawasan

karst merupakan suatu kawasan yang umumnya tersusun atas batugamping

(Davidson, dkk. 1991).

Secara litostatigrafi dapat dibedakan atas dua formasi yaitu formasi Mukito dan

formasi Wapulaka,dimana formasi mukito adalah formasi tertua berumur Trias Awal

menempati 5% dari total wilayah luas Pulau Muna yang jenis litilogi sekis dan filit.

Formasi Wapulaka menempati lebih dari 85% dari total wilayah Pulau Muna dengan

jenis litologi batugamping terumbu serta selebihnya endapan aluvium ( Sikumbang,

dkk. 1995).

Secara keseluruhan, sebaran formasi ini hanya kira-kira 5%. Pada Pulau

Buton, Formasi ini pun tersebar sangat terbatas, kurang dari 3% luas Pulau Buton.

Sebaran utama yang menempati hampir lebih dari 85% Pulau Muna adalah Formasi

Wapulaka berumur Pleistosen. Formasi ini terutama didominasi oleh satuan

batugamping, terdiri dari batugamping terumbu, batugamping dolomitan dan

batugamping pasiran bersifat pejal dan keras dan batulempung yang bersifat lunak.
Berdasarkan kepada sifat-sifat batugamping yang beragam. Sihwanto (1994)

membagi Formasi Wapulaka ke dalam dua fasies, yaitu fasies batugamping pasiran,

batupasir gampingan dan lempung yang menempati bagian barat laut, dan fasies

batugamping terumbu dan batugamping dolomitan yang menempati bagian

timurlaut dan selatan pulau.

Satuan termuda adalah endapan aluvium, terdiri umumnya merupakan

batulempung, pasir, dan kerikil lepas dengan fragmen utama batugamping,

menempati tepi-tepi pantai terutama di bagian barat, baratlaut dan timurlaut dimana

Kota Raha berkembang.

Berdasarkan Sikumbang, dkk. (1995) pada pengamatan lapangan di Kota

Raha menunjukkan satuan aluvium juga merupakan teras pantai. Elevasi yang

terukur menunjukkan permukaan teras yakni 12 m dari muka laut. Gawir teras

setinggi 1,5-2meter terlihat memanjang hampir utara-selatan sesuai arah memanjang

Kota Raha. Berbeda dengan tetangganya Pulau Buton yang memiliki struktur

geologi yang kompleks kompleks, Pulau Muna dipetakan tanpa struktur geologi.

Melihat bentuk pulaunya, ada kemungkinan batuan dasar di Pulau Muna pun

terkontrol oleh orientasi struktur yang sama dengan di Pulau Buton.


Pola struktur ini sama sekali tidak dicerminkan oleh struktur yang berkembang

pada batugamping Formasi Wapulaka yang berumur Pleistosen. Berdasarkan

analisis kelurusan peta dari SRTM, arah utama pengontrol struktur pada endapan

muda yaitu umumnya berarah utara-selatan dan sebagian barat laut-tenggara.

Struktur batuan dasar diperkirakan tidak menerus dan tidak mematahkan batuan

yang lebih muda di Pulau Muna.

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Buton (Modifikasi Sikumbang, dkk. 1995)

1. Geomorfologi Regional
Daerah penelitian termasuk dalam Lembar Geologi Buton. Davidson (1991)

membagi tiga zona fisiografi dan geomorfologi Lembar Geologi Buton. pertama

Zona Buton bagian utara, yang didominasi oleh dataran rendah dan punggungan

pantai berbentuk tapal kuda dengan dikelilingi gunung-gunung sepanjang utara, barat,

dan timur dimana trend umum pegunungan tersebut barat-laut-tenggara. Zona selatan

terdiri dari lembah dan pegunungan berarah timur laut, kemudian ditandai dengan

berkembangnya hamparan daerah koral memperlihatkan topografi karst. Kedua Zona

Buton bagian tengah, didominasi oleh deretan pegunungan lebar dibentuk dari

barisan pegunungan yang sedikit melengkung sepanjang utara-selatan dengan trend

kearah utara, sedangkan sepanjang pantai barat terdiri dari topografi dengan relief

rendah yang berarah timur-laut. Daerah penelitian ini termasuk dalam zona buton

bagian tengah dengan elevasi 100-200 mdpl. Ketiga Zona Buton bagian selatan,

terdiri dari topografi yang berupa lembah dan bukit dengan trend arah timurlaut,

teras-teras terumbu yang terangkat dan topografi karst yang berupa haystack

(perbukitan gamping) dan ditulang punggungi oleh Pegunungan Kapontoreh.


Gambar 2. Pembagian zona fisiografi dan geomorfologi Pulau Buton (Modifikasi
dari Davidsion, 1991 dan Sikumbang, dkk., 1995).

Pulau Muna memiliki morfologi yang berbukit dan bergelombang serta

rataan, terutama Pulau Muna bagian barat. Sedangkan keadaan geografi yang

berbukit dan bergelombang terletak di Pulau Muna bagian timur. Kondisi

topografi pada umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata- rata

kurang dari 100-200 m di atas permukaan laut, wilayah Muna

bagian selatan terdiri dari tanah pedosolik merah dan kuning. Geomorfologi

zona intertidal dari desa-desa di kecamatan terdapat pantai berpasir, pantai

berlumpur, berbatu, estuari dan sungai-sungai mengalir (Sikumbang, dkk. 1995).


2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari lapisan-lapisan batuan serta

hubungannya satu dengan yang lain (umur, hubungan lateral/vertikal, ketebalan,

penyebaran serta terjadinya) dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan sejarah

bumi (Okada, 2000).

Davidson (1991) menyatakan bahwa Pulau Muna merupakan bagian dari

mandala Buton. Hal ini di perkuat setelah ia memperoleh data gaya berat dan

seismik untuk mandala Buton yang diperoleh dari pengukuran seismik dan gaya

berat di Pulau Buton dan Muna, pada mandala ini batuan karbonat tersingkap luas

yang mempunyai batuan alas pra-Mesozoikum dan sedimen mesozoikum

terendapkan pada cekungan secara berangsur semakin dalam.

Secara stratigrafi, daerah penelitian berdasarkan peta geologi lembar Buton,

daerah penelitian masuk dalam Formasi Wapulaka. Formasi Wapulaka terdiri dari

batugamping terumbu dicirikan dengan membentuk teras-teras dan hasil dari

pengangkatan terakhir pada blok sesar yang di endapkan pada lingkungan

pengendapan laut dangkal, neritik dalam dan terumbu. Formasi ini merupakan

formasi termuda yang berumur Pleistosen. Kolom stratigrafi regional lembar Buton-

Muna disajikan pada gambar 3.


Gambar 3. Kolom stratigrafi regional Lembar Geologi Buton (Modifikasi dari
Davidson, 1991)

Secara stratigrafi, lembar Muna-Buton dari tua ke muda terdiri atas formasi :

a. Formasi Doole

Formasi Doole merupakan runtunan batuan malihan berderajat lemah, terdiri

atas kuarsit mikaan berselingan filit dan batusabak. Tebal formasi ini beberapa ratus

meter dan diduga berumur Trias Awal.

b. Formasi Winto

Formasi Winto merupakan batuan sedimen tertua praneogen yang diketahui di

Buton termasuk kedalam formasi Triasik Winto. Terdiri dari lapisan timbunan

konglomerat dan perselingan batupasir, terdapat dibagian Utara dengan cekungan

formasi Winto, dalam air dangkal-agak dalam. Formasi ini berumur Trias Tengah.
c. Formasi Ogena

Secara Stratigrafi, batuan formasi Winto ditutupi oleh formasi Ogena.

Kontaknya diperkirakan selaras pada sumur Sampolakosa. Ketebalan stratigrafi

minimum pada formasi Ogena adalah 500 m di Buton Selatan dan diperkirakan 1000

m di Buton Utara. Litologinya terdiri dari batugamping berlapis baik dari interkalasi

serpih tipis. Batugamping di Buton Utara mengandung Rijang dalam jumlah kecil.

Formasi ini berumur Jura Awal.

d. Formasi Rumu

Buton Selatan, formasi Rumu diinterprestasikan selaras diatas formasi ogena.

Lokasinya-tipenya berada di sungai Rumu Buton Teggara. Formasi Rumu terdiri atas

perselingan batugamping merah kaya fosil, berlumpur, napal dan kalkarenit.

Perselingan batugamping merah dan batulumpur mempunyai ketebalan dari beberapa

meter hingga lebih dari 10 meter, tebal lapisan kalkarenit kurang dari 1 meter.

Formasi ini berumur Jura Akhir dan terendapkan dalam lingkungan neritik dalam

kondisi proses oksidasi, berlangsung secara perlahan.

e. Formasi Tobelo

Umur batuannya dari Kapur Bawah sampai Oligosen. Litologinya berupa

Batugamping masif atau berlapis dengan lensa-lensa atau nodul rijang.

Batugampingnya mikritik, terrekristakisasi, sangat banyak urat-urat kalsit.

f. Formasi Tondo
Fasies batugamping Tondo diinterprestasi terbentuk pada kondisi paparan.

Akan tetapi, di Buton Selatan batugampiing turbidit tipis-tipis berinterkalasi dalam

unit fasies klastik. Napal, kalkarenit, dan batugamping terumbu yang menutupi

formasi Sampolakosa diendapkan pada lingkungan neritik luar sampai batial.

Fasies klastik kasar formasi Tondo terdiri dari terutama konglomerat. Fasies

klastik Formasi Tondo diinterprestasi terutama sebagian himpunan kipas turbidit laut

dalam. Struktur sedimen yang umum adalah sekuen menghalus keatas, graded

bedding.

Fasies klastik halus formmasi Tondo dominannnya Batulanau, Lempung, dan

Batupasir. Semua sedimen ini berlaminasi tipis, urai, dan mengandung lapisan tipis

karbonatan dan hancuran tumbuhan. Batupasirnya berbutir halus dan tersemen baik.

Foraminifera planktonik sangat banyak dan menunjukan suatu pendalaman gradual

selama pengendapan di neritik luar sampai batial atas pada miosen Akhir. Formasi ini

berumur dari Miosen Tengah-Miosen Akhir.

g. Formasi Sampolakosa

Formasi Sampolakosa terdiri dari Napal dan Kalkarenit. Batuannya berumur

Pliosen dan menandakan berhentinya pengisian cekungan-cekungan Neogen,

mungkin akibat erosi dan penurunan lokal pada tinggian purba. Bagian dasar dari

puncak terumbu ditutupi oleh Napal mengandung foram bentonik spesies paparan

laut dangkal. Formasi ini berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal.

h. Formasi Wapulaka
Terdiri dari Batugamping terumbu dicirikan sering membentuk teras-teras dan

hasil dari pengangkatan terakhir pada blok sesar yang diendapkan pada lingkungan

pengendapan laut dangkal, neritik dalam, dan terumbu atau dekat terumbu. Formasi

ini merupakan formasi yang termuda yang berumur Plistosen.

3. Struktur Lembar Muna-Buton

Struktur geologi umumnya merupakan struktur antiklin dan sinklin serta

beberapa struktur sesar yang terdiri atas sesar naik dan sesar normal, serta sesar

mendatar. Struktur antiklin-sinklin berarah Baratdaya-Timurlaut hingga Utara-Selatan

(Hardiwisastra,2009). Struktur ini hampir mempengaruhi seluruh formasi dimana

terlihat bahwa seluruh formasi yang ada mengalami perlipatan dengan sudut

kemiringan lapisan batuan di bagian Timur relatif lebih terjal dibanding dengan di

bagian Barat. Sesar mendatar umumnya dijumpai di bagian Selatan dan memotong

formasi Winto, formasi Tondo, dan formasi Sampolakosa. Arah sesar mendatar

umumnya tegak lurus terhadap sumbu lipatan yaitu Baratlaut-Tenggara. Sedangkan

sesar normal merupakan struktur yang terbentuk paling akhir sebagai struktur patahan

sekunder (Arifin dan Naibaho,2016). Menurut Davidson (1991) pulau Buton

dipengaruh empat peristiwa tektonik antara lain:

1. Pre-Rift (Perm-Akhir Trias)


Pengendapan dari sedimen kontinental pada half-graben, dicirikan dengan

adanya pengangkatan, erosi, dan vulkanisme lokal. Terjadi penurunan dan

pengendapan sedimen laut terbuka diikuti dengan neogen collision. Pada lapisan

berumur trias di intrusi dike batuan beku dan menandakan awal dari rifting,

pembentukan patahan ekstensional, dan regional subsidence.

2. Rift-Drift (Akhir Trias–Oligosen)

Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada

pasif margin terjadi pada pertengahan sampai Akhir Jura hasil pengendapan klastik-

klastik syn orogenic pada cekungan neogen merupakan hasil dari erosi 15 dan sesar

naik yang berarah Timur akibat pengangkatan lapisan berumur Trias sampai

Oligosen.

1. Syn and Post Orogenic (Awal Miosen–Pliosen)


Terjadi subduksi, kompresi, dan deformasi hingga pertengahan Miosen pada

bagian Selatan menghasilkan pengangkatan dan erosi dari klastik-klastik syn orogenic

berumur Awal Miosen sehingga terbentuk unconformity secara regional. Collision

dari Pulau Buton-Muna tidak mempengaruhi bagian Utara Pulau Buton sampai

pertengahan Miosen. Pada akhir pertengahan Miosen sampai Akhir Miosen terjadi

obduksi sehingga menghasilkan ketidakselarasan atau unconformity. Setelah

pertengahan Miosen terjadi sistem sesar geser utama (Kioko) yang memapaskan

sedimen dari dua lingkungan yang berbeda. Pada lima juta tahun yang lalu terjadi

perubahan deformasi dan gaya struktural yang disebabkan oleh zona subduksi Buton

terhadap Muna serta Buton terhadap Tukang Besi. Collision antara Buton dengan

Tukang Besi terekam pada lapisan berumur Akhir Pliosen, collision oblique ini

menghasilkan pergerakan strike-slip dan dip-slip yang mengakibatkan pengangkatan

dan subsidence lokal hingga saat ini.

4. Recent Orogenic (pliosen–sekarang)

Selatan Buton sekarang mengalami pengangkatan sedangkan Utaranya

mengalami penurunan. Mikrokontinen Buton pada saat ini juga mengalami

transpressive strike-slip terhadap mikroplate Tukang Besi dan Muna, lempeng Buton

bergerak ke arah Utara. Orientasi en-echelon wrench fault dengan orientasi Timur

laut yang berhubungan dengan antiklin pada selat Buton mengindikasikan 16 bahwa

terjadi pengaktifan kembali paleo suture zone, pergerakan utamanya sinistral strike-

slip.
Kompresi regional maksimum, sesar anjakan, dan pengangkatan di Buton

terjadi pada Miosen Tengah. Kompresi dari tumbukan Buton-Muna/ Sulawesi

Tenggara berlanjut hingga Miosen Akhir tetapi sudah tidak intesif. Kompresi tersebut

mengakibatkan pengaktifan kembali sesar minor pada sesar anjakan yang curam dan

pengendapan klastik berbutir sedang di cekungan Neogen. Perubahan arah struktur

dan deformasi yang signifikan terjadi sekitar 5 jtl. Perubahan ini menghubungkan

zona subduksi awal, akresi Buton ke Muna/Sulawesi Tenggara, dan pergeseran zona

subduksi kearah Timur antara Pulau Buton dan Tukang Besi. Efek awal dari

tumbukan mikro-kontinen Buton –Tukangbesi terekam pada umur Pliosen Akhir.

Tumbukan oblique dari dua mikrokontinen mengakibatkan pergerakan strike-slip

dan dip-slip pada sesar yang curam dengan adanya pengangkatan dan penujaman

yang terlokalisir (Davidson, 1991). Kompresi oblique dan asosiasi dengan strike-slip

tetap berlanjut hingga sekarang.


Gambar 4. Model rekonstruksi Tektonik Lempeng di Pulau Buton (No1AM. 1989
op cit. Davidson.1991)

B. Dasar Teori

1. Geomorfologi Karst

Pada hakekatnya geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang

roman muka bumi besert aspek-aspek yang mempengaruhinya termasuk deskripsi,

klasifikasi, genesa, perkembangan dan sejarah permukaan bumi. Kata Geomorfologi

(Geomorphology) berasal bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos

(erath/bumi), morphos (shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan).

Berdasarkan dari kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan

pengetahuan tentang bentuk-bentuk permukaan bumi. Lobeck dalam bukunya

“Geomorphology: An Introduction to the study of landscapes”. Landscapes yang

dimaksudkan disini adalah bentangalam alamiah (natural landscapes). Dalam

mendiskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentangalam (landform atau

landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam mempelajari geomorfologi,

yaitu: struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan

dalam mempelajari geomorfologi (Djauhari Noor, 2012).


Pembentukan morfologi yang mengacu pada proses-proses geologis baik

endogen maupun eksogen. Interpretasi dan penamaannya berdasarkan kepada

deskriptif eksplanatoris (genetis) dan bukan secara empiris (terminologi geografis

umum) ataupun parametris misalnya dari kriteria persen lereng. Klasifikasi BMB

pada prinsipnya adalah klasifikasi pada peta berskala dasar 1:25.000 dan didasarkan

kepada deskriptif gejala-gejala geologis, baik diamati melalui peta topografi, foto

udara, maupun citra satelit, ataupun dari pengamatan morfologi langsung di lapangan

(Brahmantyo dkk, 2016). Klasifikasi BMB membagi bentang alam ke dalam 9 kelas

utamayang dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5. Bentang alam pegunungan lipatan berdasarkan klasifikasi BMB


(Brahmantyo dan Bandono,2006)
Gambar 6. Bentang alam pegunungan sesar klasifikasi BMB (Brahmantyo dan
Bandono,2006)

Gambar 7. Bentang alam pegungungan gunung api klasifikasi BMB (Brahmantyo


dan Bandono, 2006)
Gambar 8. Bentang alam pegunungan plateau/lapisan datar klasifikasi BMB
(Brahmantyo dan Bandono, 2006)

Gambar 9. Bentang alam pegunungan karst klasifikasi BMB (Brahmantyo dan


Bandono,2006)

Gambar 10. Bentang alam dataran sungai dan danau klasifikasi BMB (Brahmantyo
dan Bandono,2006)
Gambar 11. Bentang alam dataran pantai, delta, dan laut klasifikasi BMB
(Brahmantyo dan Bandono,2006)

Gambar 12. Bentang alam gurun klasifikasi BMB (Brahmantyo dan Bandono, 2006)

Gambar 13. Bentang alam glasial klasifikasi BMB (brahmantyo dan Bandono,2006)
Karst adalah suatu bentang alam yang khas dari muka bumi maupun bawah

permukaan yang terutama dibentuk oleh pelarutan pengendapan batuan karbonat oleh

aliran air tanah. Proses pelarutan tersebut umumnya dibarengi dengan oleh proses-

proses lainnya seoerti runtuhan, transport dalam bentuk larutan melalui saluran bawah

tanah, juga longsoran dan amblesan dipermukaan. Proses karstifikasi tersebut

berlangsung selama jutaan tahun dan akhirnya menghasilkan kondisi bentang alam

seperti yang ada sekarang (Maryanto dkk, 2006).

Proses utama pembentukan bentangan alam karst adalah larutan. Batuan

batugamping dan dolomit mudah terlarutkan oleh air. Pelarutan yang terjadi secara

terus menerus, pada akhirnya menciptakan bentukan alam yang sangat seragam.

Bentang alam yang terlihat diatas permukaan dapat disebut dengan eksokarst, yaitu

karstifikasi yang terjadi diatas permukaan yang dikotrol dari pelarutan secara lateral

oleh muka air tanah yang sangat dangkal, sedangkan bentangalam yang terlihat

dibawah permukaan dapat disebut dengan endokarst yaitu karstifikasi yang

berkembang dibawah permukaan tanah seperti gua (Samudra, 2011).

Pada penetuan tipe karst menggunakan klasifikasi Balazs (1973). Balazs

membagi klasifikasi karst berdasarkan kepada rasio antara diameter (d) dengan tinggi

(a) bukit karst. dari hasil pembagian itu, balazs membagi menjadi empat tipe yaitu:

1. Tipe Yangzhou d/a <1,5 dikenal sebagai karst mogote atau karst Menara. Di

Indonesia contoh paling baik adalah pada kawasan karst Maros-Pangkep, Sulawesi

Selatan dan Sebagian di Lintau-Buo-Sawahlunto, Sumatera Barat.


2. Tipe Organos d/a 1,5-3 dikenal sebagai cocpit karst, bukit berbentuk kerucut

dengan sinkhole membintang, di Indonesia contoh paling baik adalah di

Pegunungan karst Karanggbolong, Gombong Selatan, Jawa Tengah.

3. Tipe Gunugsewu d/a 3-8 dikenal sebagai bukit pepino, umumnya berbentuk kubah

yang membulat. Sesuai dengan penciri tioenya, contoh terbaik di Indonesia adalah

di plateu karst Gunugsewu, Yogyakarta, Jawa Tengah, atau di Pangandaran, Jawa

Barat.

4. Tipe Tual d/a >8 bukit karst umumnya sangat landau sehingga secara pengamatan

sekilas tidak memperlihatkan sebagai bukit karst, selain di Tual Maluku contoh

lain dapat dijumpai di Jampang Tengah, Hawa Barat. Berdasarkan dengan

pembentukan Menara-menara karst yang merupakan hasil proses karstifikasi yang

berjalan relative cepat secara vertikal.

2. Petrografi
Petrografi adalah ilmu pemerian dan mengelompokkan batuan. Pengamatan

secara seksama pada sayatan tipis pada batuan dilakukan di bawah mikroskop

polarisasi, dengan tentunya didukung oleh data-data pengamatan singkapan batuan di

lapangan. Pada pemerian petrografi, akan diamati mineral penyusun batuan, dan

selanjutnya tekstur batuan. Tekstur batuan sangat membantu dalam pengelompokan

batuan selain memberikan gambaran proses yang terjadi selama proses pembentukan

batuan (Williams,1954).

Anda mungkin juga menyukai