Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan Seminar Call for Paper 2021

ACFE Indonesia Chapter

Disusun Oleh :
1. Kurnia Syahlan – 18102008
2. Farhanah Febriani – 18102010
3. Mukhlisah Sayyid – 18102032
4. Widiyawati -18102054
5. Putri Shyeefa Aalia – 18102065

Program Studi Akuntansi


Universitas Trilogi
2021
Exploring the ‘Free-Corruption Zone’ Award using the Theory of Change among the
Indonesian National Police : A Case Study of Gowa Resort Police

Eksplorasi penghargaan wilayah bebas korupsi dengan menggunakan Theory of


Change dalam tubuh Polri dimana study kasus tersebut dilaksanakan di Polres Gowa dalam
lingkup yang kecil. Dalam pendahuluannya Pak Ardian menjelaskan tentang definisi korupsi,
banyak ahli yang berpendapat bahwa korupsi dalam hal ini merupakan pungutan liar atau
illegal levies. Berdasarkan data dari Transparansi Internasional dari tahun 2017-2021 Indonesia
mengalami penurunan pemberantasan korupsi yang paling parah di tahun 2020 dari peringkat
85 di tahun 2019 menjadi peringkat 102 di tahun 2020. Definisi korupsi banyak diungkapkan
oleh para ahli, salah satunya oleh Langsat di tahun 2006 mendefinisikan segala jenis suap,
pemerasan, penggelapan pungutan liar, penipuan dalam jabatan penyalahgunaan wewenang
korupsi aktif maupun pasif dan besar maupun kecil adalah bagian dari bentuk korupsi. Di
undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang perubahan undang-undang no. 31 tahun 1999
tentang pemberantasan korupsi, korupsi adalah yang mengganggu perekonomian negara.
Lalu dasar dari di lakukannya penelitian tersebut adalah terdapat temuan dari satgas
saber pungli di tahun 2021 tepatnya di bulan maret, terdapat 181 anggota polri yang terjerat
kasus operasi tangkap tangan oleh satgas saber pungli. Lalu di tahun 2010 sebenernya sudah
ada gagasan dari pemerintah pusat untuk membentuk suatu desain, yang dibilang grand desain
2010-2025 untuk mengurangi penyalahgunaan kewenangan terhadap aparatur negara. Salah
satu bentuk intervensi yang dilkaukan pemerintah adalah dengan membentuk zona integritas
wilayah bebas korupsi dan zona integritas wilayah bersih bebas melayani. Program tersebut
diciptakan untuk mengurangi abuse of power yang dilakukan oleh aparat pemerintahan.
Rumusan masalah dalam penelitian tersebut adalah bagaimana esensi dari pada
kompetisi wilayah bebas korupsi yang tujuannya adalah untuk mengidentifikasi explorasi dan
analisa menggunakan Theory of Change tentang mekanisme dan indikator yang ditetapkan oleh
kementrian pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan
oleh polisi maker tersebut. Lalu selanjutnya, apakah program tersebut mampu mengurangi
korupsi? Lebih lanjutnya penelitian ini akan mengexplore akar permasalahan dari
permasalahan pungutan liar tersebut hingga ke akarnya.
Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Theory of Change, menurut
Valters teori ini adalah teori yang mengkaji semua perubahan-perubahan yang berharap akan
perubahan radikal dengan tujuan untuk mendapatkan pembelajaran dan perkembangan secara
masif dalam setiap pergerakan kebijakan tersebut. Yang digambarkan adanya permasalahan
inputs dari intervensi tersebut apa aktivitas, outputs, outcomes, dan impacs. Lalu diagnosis
yang digunakan untuk mencari akar permasalahan yang ada dalam permasalahan pungutan liar
tersebut adalah diagnosis tree.
Metode korupsi sudah banyak dilakukan di beberapa negara dari soft approuches
hingga hard approuches. Soft approuches biasanya dilakukan dengan pemberian insentif
berdasarkan kinerja, tetapi di beberapa literatur dikemukakan bahwa dengan diberikannya
insentif maka pekerja akan cenderung melihat insentif tersebut bukan bekerja secara tulus dan
ikhlas sesuai dengan jobdesknya. Lalu dengan metode hard approuches meskipun dihukum
dengan 5 sampai 10 tahun bahkan di pidanakan masih banyak anggota yang melakukan
pungutan liar ataupun korupsi.
Terdapat temuan dari analisis bahwa ada 60% indikator penilaian, yaitu penilaian
perubahan, tata kelola, sumber daya manusia, penguatan pengawasan, akuntabilitas, dan
peningkatan kualitas kerja. Lalu 40% dari survei pelayanan publik. Jika di analisa dengan
Theory of Change maka, jika intervensi dalam pemberian intensif diberikan harapan dari
asumsi pembuat kebijakan akan meningkatkan kualitas hidup anggota Polri sehingga
mengurangi niatan mereka dalam melakukan pungutan liar.
Jika dianalisa lebih dalam menurut Triangle Fraud Theory ada tiga hal mengapa
seseorang melakukan pungli, yaitu tekanan, kesempatan dan rasionalisasi. Namun di 2004 ada
penelitian lebih lanjut bahwa yang menyebabkan pungli itu dapat terjadi adalah kapabilitas.
Lalu dapat dilihat bahwa akar permasalahannya kembali lagi pada kecilnya gaji, kecilnya
pengawasan, dan rendahnya hukuman yang diterapkan kepada anggota yang melakukan
pungutan liar.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah program tersebut belum ideal untuk
mengatasi korupsi dalam bentuk pungli karena kurangnya pengawasan dari instansi-instansi
eksternal, lalu adanya perbedaan tujuan antara intitusi Polri dengan Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, penyedia program dapat dikatakan
belum mampu menemukan akar permasalahan yang ada, mereka hanya berfikir pungli adalah
akar permasalahan namun mereka bisa dibilang kurang tepat karena ada beberapa faktor yang
menyertainya, lalu program tersebut seharusnya menyasar kepada masalah-masalah dasar yang
menjadi penyebab adanya anggota yang melakukan pungutan liar, lalu partisipan meyakini
bahwa perlu adanya keterlibatan aktif dari pimpinan Polres untuk merubah kultur di Polres.
Rekomendasi tim peneliti yaitu adanya keterlibatan pihak eksternal yang mengawasi
Polri, lalu perlu adanya sosialisasi yang komprehensif dan menyeluruh kepada seluruh anggota
untuk memahami apa itu kompetisi wilayah bebas korupsi dan pemberlakuan mix method
antara soft approuches dan hard approuches dalam kebijakan program ini.

Summary Fraud dan Budaya


(Mencari Solusi FRAUD: Kembali Kepada Akar Nilai Budaya Nusantara)
Fraud merupakan semua hal yang isinya adalah sarana untuk mencari keuntungan dari
yang lain melalui false representation seperti unsur penyalahgunaan kecurangan dan
seterusnya. Fraud dipandang sebagai sebuah tindakan yang mengandung ketidakjujuran dan
kesengajaan dengan tujuan akhir mendapatkan sejumlah uang, kekayaan yang diperoleh
dengan cara yang tidak biasa. Fraud merupakan tindakan yang melibatkan a violation of trust
(pelanggaran terhadap kepercayaan). Perkembangan teori fraud yang terdiri dari fraud
triangle, diamond, pentagon, dan hexagon berasal dari kasus-kasus yang terjadi. Terakhir
terdapat perkembang teori fraud dengan model hexagon yang terdiri dari opportunity,
rationalization, pressure/incentive,capability, ego/arrogance, dan collusion.
Akar untuk mencari solusi atas terjadinya fraud tidak boleh jauh dari agama dan budaya
yang dimana tempat kita lahir dan dibesarkan dengan nilai (value). Nilai-nilai budaya tidak
terlepas dari akar nilai agama yang dianut karena agama dan budaya merupakan satu kesatuan
yang saling terhubung. Alasan mengapa kita perlu melihat value (nilai hakiki) dalam agama
dan budaya adalah karena dalam perspektif kehidupan modern terdapat istilah virus “MERS”
yaitu kuatnya nilai-nilai (sebagian besar diimpor dari barat) yang sejatinya tidak sesuai dengan
nilai hakiki kita sebagai makhluk beragama dan hidup dalam tradisi budaya nusantara.
MERS terdiri dari:
1) Materialisme: Pengagungan berlebihan terhadap unsur materi yang artinya tidak sesuai dengan
ajaran agama dan budaya apapun.
2) Egosentrisme/Selfisme: Diri adalah pusat perhatian utama yang dimana orang lain tidak
penting untuk diperhatikan.
3) Rasionalisme: Pengagungan berlebihan terhadap supremasi aspek kognitif, akal rasional
dimana dalam akuntansi dinilai terlalu rasional (saya mengeluarkan apa dan saya akan
mendapatkan ap ajika mengikuti suatu hal) padahal dalam aspek agama, tidak terlalu dalam
mengenai aspek rasional dimana restu dari Allah tidak rasional.
4) Sekularisme: Pemisahan yang tegas antara urusan sacral dan profan. Semacam filosofi untuk
menempatkan urusan dunia di satu sisi, urusan akhirat di sisi yang lain. Misalnya, kita
mengikuti seminar bukan hanya akan mendapatkan materi secara duniawi namun juga
bertujuan untuk silaturahim dalam urusan akhirat.
Dalam virus “MERS” ini terdapat system Pendidikan dan pengembangan ilmu (terutama
social) dimana mengagungkan tanpa melibatkan Tuhan dan tidak melekat pada nilai agama
dan budaya.
Jika berbicara tentang budaya, kebudayaan adalah buah dari keadaban manusia. Adab
adalah sifatnya keluhuran budi, buah dari keluhuran budi dinamakan budaya. Sifat dari budaya
sendiri selalu menjadi tanda dan ukuran tentang rendah-tingginya keadaban suatu bangsa.
Dalam hal ini fraud merupakann tindakan beradab dan bukan budaya kita.
Budaya dibagi menjadi tiga macam:
1) Yang mengenai hidup-kebatinannya manusia: yang menimbulkan tertib-damainya hidup
masyarakat dengan adat istiadatnya yang halus dan indah
2) Yang mengenal angan-angannya manusia: yang dapat menimbulkan keluhuran Bahasa,
kesusastraan dan Pendidikan
3) Yang mengenal kepandaiannya manusia: yang menimbulkan macammacam kepandaian,
seperti perniagaan, kerajinan, pelajaran, kesenian yang berjenis-jenis dan lain-lain yang
semuanya bersifat indah.
Budaya tidak mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti wujudnya
sesuai bergantinya alam dan zaman. Kultur berasal dari Bahasa latin ‘cultivare’,’colere’ yang
artinya menguasahakan, memelihara, menjunjung tinggi sehingga mengisyaratkan pentingnya
usaha kebudayaan secara sadar dan insyaf untuk mendapat kemajuan hidup. Tiga wujud dari
kebudayaan: 1) ideas (system ide), 2) activities (system aktivitas), 3) artifacts (system artifak).
Budaya nusantara/nasional adalah puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah (Ki Hajar
Dewantara). Dalam Pancasila dijelaskan bahwa wujudnya dapat berupa Bahasa nasional,
system hokum nasional, system ekonomi nasional, system Pendidikan nasional, dst.
Kebudayaan sifatnya abstrak dan mendasar. Agama Islam menjadi ajaran sekaligus rujukan
perilaku dalam lingkup kebudayaan.
Dalam budaya nusantara terdiri dari spektrum diantaranya adat istiadar, tata krama,
Bahasa, permainan tradisional, seni, dst. Kebudayaan terus menerus berganti wujud sesuai
bergantinya alam dan zaman dan merupakan reinterpretasi/reaktualisasi dan menjadi
kontekstualisasi.
Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan
yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan
kultur), tidak hanya berupa “pemeliharaan” tetapi juga dengan maksud “memajukan” serta
“memperkembangkan” kebudayaan menuju kea rah keluhuran hidup kemanusiaan. Tujuan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adlah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak menuju kesempurnaan hidup lahir batin sebagai satu-satunya untuk mencapai hidup
selamat dan Bahagia manusia, baik sebagai individual maupun sebagai anggota masyarakat.
Laku Pendidikan dalam umumnya dapat bersifat tiga macam a) pembiasaan, b) pengajaran
dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan kemauan (cipta-rasa-karsa, ngerti, ngrasa,
nglakoni), c) Pendidikan budi pekerti dengan “laku” serta “ilmu” dengan peraturan ketertiban
yang keras (disiplin).
Jika masih terjadi penyimpangan terhadap keadaban/budi luhur maka akan terjadi
kecurangan karena akarnya saja sudah tidak ada (budaya dan agama). Oleh karena itu, perlu
adanya panduan menuju hidup yang berbudi luhur yaitu budaya dan agama agar terdapat value
yang baik dalam hidup kita. Dalam kehidupan kebangsaan, nilai-nilai agama dianut dan
dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia dan bertransformasi ke dalam nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia.
Dalam paradigma nusantara yaitu ajaakan untuk meyakini bahwa negeri nusantara
adalah Pusat Peradaban Dunia. Yang dimana nusantara harus menjadi subjek untuk menjadi
pengubah diri dan negeri lainnya. Infiltrasi nilai budaya asing yang kerap kali tidak selaras
dengan nilai budaya local dapat dicegah dengan penguatan khazanah kearifan local ini
(terutama dalam pengembangan dan praksis keilmuan). Paradigma nusantara dalam
pengembangan keilmuan akuntansi terdapat unsur pelibatan Tuhan dan unsur budaya yang
dianut merupakan ikhtiar untuk kembali pada akar nilai masyarakat sebagai PANDU. Ketika
kesadaran religiusitas budaya telah tertanam maka tindakan yang tidak berkeadaban (yang
tidak sesuai dengan budaya dan agama) tidak akan terjadi dan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai