Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang bersifat emergensi dengan
gejala dan keluhan yang tidak spesifik. Bila tidak mendapat penanganan dengan cepat akan menimbulkan konsekuensi klinis yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Kejadian hipoglikemia sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, dapat terjadi pada pasien rawat jalan maupun pada pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Terutama dialami oleh pasien diabetes melitus yang mendapat terapi obat anti diabetes seperti insulin dan sulfonilurea. Hipoglikemia juga dapat ditemukan pada pasien non-diabetes yang mempunyai penyakit dasar tertentu atau mendapat terapi obat yang bukan tergolong obat anti diabetes namun dapat mempengaruhi regulasi glukosa darah normal. Hipoglikemia bahkan dapat dialami oleh pasien yang dalam kondisi kesehatan normal. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien diabetes disebut iatrogenic hypoglycemia, sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada pasien non-diabetes disebut hipoglikemia spontan. Hipoglikemia juga merupakan salah satu komplikasi akut dari diabetes melitus tipe 2, sehingga menjadi salah satu faktor penghambat untuk mencapai pengobatan yang optimal pada pasien diabetes.1,2,3,4 Hipoglikemia akan berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari individu yang mengalaminya dan dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Hipoglikemia merupakan suatu keadaan darurat yang dapat membahayakan pasiennya maupun lingkungan sekitarnya dengan risiko untuk terjatuh tinggi, kehilangan daya konsentrasi dan sering menimbulkan kecelakaan pada waktu pasien mengemudikan kendaraan bermotor ataupun saat pasien mengoperasikan mesin. Apabila hipoglikemia tidak teratasi dengan cepat maka gejala dan keluhan akan berlangsung progresif, mulai gejala yang ringan dan tidak khas seperti penglihatan kabur, penurunan konsentrasi, perasaan lemas, pusing dan sakit kepala, berkeringat sampai terjadinya kejang-kejang, penurunan kesadaran, strok, penyakit kardiovaskuler dan bahkan kematian. Suplai glukosa ke otak yang mengalami penurunan secara mendadak, akan menyebabkan penurunan fungsi kognitif, kegagalan fungsi otak, dan penurunan kesadaran.1,3,4 Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal dan dapat menyebabkan terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Hipoglikemia berat yang terjadi pada pasien usia lanjut akan menyebabkan peningkatan risiko dimensia dan ataksia cerebellum. Aktivasi sistim simpato-adrenal yang terjadi pada saat hipoglikemia akan merangsang sekresi epinefrin yang dapat memicu perubahan hemodinamik dan peningkatan beban jantung dengan akibat terjadinya iskemia dan gangguan perfusi jantung. Epinefrin juga dihubungkan dengan terjadinya gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval QT yang dapat menyebabkan takikardia, fibrilasi dan kematian kardiovaskuler secara mendadak.1,2,3,4 Diabetes melitus berkaitan erat dengan kejadian hipoglikemia. Tercatat bahwa sebanyak 10-30% pasien per tahun dengan DM mengalami hipoglikemia dengan angka kematiannya 3-4% pada DM tipe 1, sedangkan pada DM tipe 2 angka kejadiannya lebih kecil sekitar 1,2% per tahun. 4 Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia. Keadaan tersebut disebabkan karena gangguan pada sekresi insulin, gangguan kerja insulin pada reseptor perifer, atau keduanya. Diabetes mellitus dapat diklasifikan menjadi beberapa tipe seperti DM tipe 1 (DMT1), DM tipe 2 (DMT2), dan diabetes gestasional. Penyumbang kasus DM terbanyak adalah DMT2 yang mencapai 90% dari seluruh kasus DM.5 Diabetes mellitus memiliki prevalensi yang tinggi. The International Diabetes Federation (IDF) telah memperkirakan adanya 382 juta dewasa berusia 20-70 tahun yang memiliki DMT2 pada tahun 2013, dengan 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berpenghasilan rendah-sedang. Lembaga IDF juga memprediksi bahwa pada tahun 2013-2018 terdapat kenaikan jumlah penyandang DM dari 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada tahun 2045. 2 Daerah-daerah yang umumnya terdampak oleh DMT2 adalah Tiongkok dan India, dimana prevalensinya sangat meningkat. Warga benua Asia umumnya memiliki massa lemak tubuh dengan persentase tinggi, obesitas abdomen yang tinggi dan massa otot yang rendah, yang dapat menjadi faktor predisposisi dari DMT2. Selain itu, nutrisi yang buruk saat berada dalam kandungan serta pada awal kehidupan yang dikombinasikan dengan nutrisi berlebih nantinya, dapat meningkatkan terjadinya DM. Umumnya, prevalensi DMT2 sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.5,6 Di Indonesia sendiri, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 akan terdapat peningkatan jumlah penduduk dengan prevalensi DM pada lingkungan urban sebanyak 14,7% (28 juta penduduk) dan rural sebanyak 2,7 % (13,9 juta penduduk). Laporan RISKESDAS Tahun 2018 juga menyatakan bahwa terdapat meningkatan prevalensi DM yang umumnya disebabkan oleh faktor risiko diabetes, seperti obesitas.2 Selain kondisi hipoglikemia sebagai komplikasi akut dari DM, kondisi hiperglikemia pada DM juga dapat menyebabkan komplikasi kronik yang terbagi menjadi komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Adapun komplikasi mikrovaskular yang dapat timbul adalah retinopati, nefropati, neuropati, serta masalah pada sistem kardiovaskular. Kelainan nefropati sendiri dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronik (PGK).2,7 Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu komplikasi kronik yang umum ditemukan pada pasien DM. Lebih dari 40% orang dengan diabetes akhirnya mengalami komplikasi CKD, dan sejumlah besar akan berkembang menjadi gagal ginjal yang membutuhkan dialisis dan/atau transplantasi. 8 PGK adalah kerusakan struktural pada ginjal dan penurunan fungsi ginjal yang dapat dilihat dari laju filtrasi glomerulus yang kurang dari 60mL/min/1.73m2 atau marker kerusakan ginjal, atau keduanya, selama minimal 3 bulan, tanpa melihat penyebab dasarnya.9 PGK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang angka kejadian di masyarakat cukup tinggi dan berdampak besar pada morbiditas dan mortalitas pasien dikarenakan perawatan yang harus rutin dilakukan dengan biaya yang tidak sedikit. Kebanyakan orang yang menderita PGK tidak memiliki gejala atau memiliki gejala yang tidak spesifik seperti letargi, pruritus, atau hilangnya nafsu makan. Diagnosis umumnya dibuat saat ada temuan dari tes screening seperti dipstick urin atau cek darah lengkap, atau jika gejala yang muncul sudah berat.9,10 Penyebab PGK yang paling tinggi saat ini adalah diabetes dan hipertensi. Diabetes terdapat pada 30-50% pasien PGK dan mempengaruhi 285 juta (6,4%) orang dewasa di seluruh dunia. Serta lebih dari 25% orang dewasa memiliki hipertensi pada tahun 2000 dan diperkirakan akan terus naik.9 PGK diasosiasikan dengan beberapa komplikasi dikarenakan rendahnya fungsi ginjal dan berkontribusi terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas serta rendahnya kualitas hidup. Komplikasi utama dari PGK dapat berupa penyakit kardiovaskular, hipertensi, anemia, gangguan mineral tulang, dan gangguan asam- basa. Selain itu dapat juga berupa anorexia, kelelahan, wasting syndrome, pruritus, mual, dan disfungsi seksual.11 Dengan peningkatan jumlah individu dengan DMT2 serta komplikasi yang dapat ditimbulkan, tentunya pengetahuan mengenai penyakit ini serta pengelolaannya menjadi hal yang penting diketahui. Dibutuhkan peran dari berbagai pihak agar dapat menatalaksana DMT2 dengan baik. Oleh karena itu, makalah ini dimuat oleh penulis untuk mempelajari topik DMT2, hipoglikemia, dan penyakit ginjal kronik dengan lebih dalam, serta untuk mengaplikasikan teori yang telah ada dengan kasus nyata yang berada di rumah sakit.