Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang bersifat emergensi dengan


gejala dan keluhan yang tidak spesifik. Bila tidak mendapat penanganan dengan
cepat akan menimbulkan konsekuensi klinis yang berat, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Kejadian hipoglikemia sering ditemukan dalam praktek
sehari-hari, dapat terjadi pada pasien rawat jalan maupun pada pasien yang sedang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Terutama dialami oleh pasien diabetes
melitus yang mendapat terapi obat anti diabetes seperti insulin dan sulfonilurea.
Hipoglikemia juga dapat ditemukan pada pasien non-diabetes yang mempunyai
penyakit dasar tertentu atau mendapat terapi obat yang bukan tergolong obat anti
diabetes namun dapat mempengaruhi regulasi glukosa darah normal.
Hipoglikemia bahkan dapat dialami oleh pasien yang dalam kondisi kesehatan
normal. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien diabetes disebut iatrogenic
hypoglycemia, sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada pasien non-diabetes
disebut hipoglikemia spontan. Hipoglikemia juga merupakan salah satu
komplikasi akut dari diabetes melitus tipe 2, sehingga menjadi salah satu faktor
penghambat untuk mencapai pengobatan yang optimal pada pasien diabetes.1,2,3,4
Hipoglikemia akan berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari individu
yang mengalaminya dan dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup
penderitanya. Hipoglikemia merupakan suatu keadaan darurat yang dapat
membahayakan pasiennya maupun lingkungan sekitarnya dengan risiko untuk
terjatuh tinggi, kehilangan daya konsentrasi dan sering menimbulkan kecelakaan
pada waktu pasien mengemudikan kendaraan bermotor ataupun saat pasien
mengoperasikan mesin. Apabila hipoglikemia tidak teratasi dengan cepat maka
gejala dan keluhan akan berlangsung progresif, mulai gejala yang ringan dan tidak
khas seperti penglihatan kabur, penurunan konsentrasi, perasaan lemas, pusing
dan sakit kepala, berkeringat sampai terjadinya kejang-kejang, penurunan
kesadaran, strok, penyakit kardiovaskuler dan bahkan kematian. Suplai glukosa ke
otak yang mengalami penurunan secara mendadak, akan menyebabkan penurunan
fungsi kognitif, kegagalan fungsi otak, dan penurunan kesadaran.1,3,4
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal dan dapat menyebabkan terjadinya kemunduran mental
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Hipoglikemia berat yang
terjadi pada pasien usia lanjut akan menyebabkan peningkatan risiko dimensia dan
ataksia cerebellum. Aktivasi sistim simpato-adrenal yang terjadi pada saat
hipoglikemia akan merangsang sekresi epinefrin yang dapat memicu perubahan
hemodinamik dan peningkatan beban jantung dengan akibat terjadinya iskemia
dan gangguan perfusi jantung. Epinefrin juga dihubungkan dengan terjadinya
gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval QT yang dapat
menyebabkan takikardia, fibrilasi dan kematian kardiovaskuler secara
mendadak.1,2,3,4
Diabetes melitus berkaitan erat dengan kejadian hipoglikemia. Tercatat bahwa
sebanyak 10-30% pasien per tahun dengan DM mengalami hipoglikemia dengan
angka kematiannya 3-4% pada DM tipe 1, sedangkan pada DM tipe 2 angka
kejadiannya lebih kecil sekitar 1,2% per tahun. 4 Diabetes mellitus (DM)
merupakan gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan keadaan
hiperglikemia. Keadaan tersebut disebabkan karena gangguan pada sekresi
insulin, gangguan kerja insulin pada reseptor perifer, atau keduanya. Diabetes
mellitus dapat diklasifikan menjadi beberapa tipe seperti DM tipe 1 (DMT1), DM
tipe 2 (DMT2), dan diabetes gestasional. Penyumbang kasus DM terbanyak
adalah DMT2 yang mencapai 90% dari seluruh kasus DM.5
Diabetes mellitus memiliki prevalensi yang tinggi. The International Diabetes
Federation (IDF) telah memperkirakan adanya 382 juta dewasa berusia 20-70
tahun yang memiliki DMT2 pada tahun 2013, dengan 80% dari jumlah tersebut
berasal dari negara berpenghasilan rendah-sedang. Lembaga IDF juga
memprediksi bahwa pada tahun 2013-2018 terdapat kenaikan jumlah penyandang
DM dari 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada tahun 2045. 2 Daerah-daerah yang
umumnya terdampak oleh DMT2 adalah Tiongkok dan India, dimana
prevalensinya sangat meningkat. Warga benua Asia umumnya memiliki massa
lemak tubuh dengan persentase tinggi, obesitas abdomen yang tinggi dan massa
otot yang rendah, yang dapat menjadi faktor predisposisi dari DMT2. Selain itu,
nutrisi yang buruk saat berada dalam kandungan serta pada awal kehidupan yang
dikombinasikan dengan nutrisi berlebih nantinya, dapat meningkatkan terjadinya
DM. Umumnya, prevalensi DMT2 sedikit lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.5,6
Di Indonesia sendiri, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 akan terdapat
peningkatan jumlah penduduk dengan prevalensi DM pada lingkungan urban
sebanyak 14,7% (28 juta penduduk) dan rural sebanyak 2,7 % (13,9 juta
penduduk). Laporan RISKESDAS Tahun 2018 juga menyatakan bahwa terdapat
meningkatan prevalensi DM yang umumnya disebabkan oleh faktor risiko
diabetes, seperti obesitas.2
Selain kondisi hipoglikemia sebagai komplikasi akut dari DM, kondisi
hiperglikemia pada DM juga dapat menyebabkan komplikasi kronik yang terbagi
menjadi komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Adapun komplikasi
mikrovaskular yang dapat timbul adalah retinopati, nefropati, neuropati, serta
masalah pada sistem kardiovaskular. Kelainan nefropati sendiri dapat berkembang
menjadi penyakit ginjal kronik (PGK).2,7
Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan salah satu komplikasi kronik yang umum ditemukan pada pasien
DM. Lebih dari 40% orang dengan diabetes akhirnya mengalami komplikasi
CKD, dan sejumlah besar akan berkembang menjadi gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis dan/atau transplantasi. 8 PGK adalah kerusakan
struktural pada ginjal dan penurunan fungsi ginjal yang dapat dilihat dari laju
filtrasi glomerulus yang kurang dari 60mL/min/1.73m2 atau marker kerusakan
ginjal, atau keduanya, selama minimal 3 bulan, tanpa melihat penyebab
dasarnya.9
PGK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang angka kejadian
di masyarakat cukup tinggi dan berdampak besar pada morbiditas dan
mortalitas pasien dikarenakan perawatan yang harus rutin dilakukan dengan
biaya yang tidak sedikit. Kebanyakan orang yang menderita PGK tidak
memiliki gejala atau memiliki gejala yang tidak spesifik seperti letargi,
pruritus, atau hilangnya nafsu makan. Diagnosis umumnya dibuat saat ada
temuan dari tes screening seperti dipstick urin atau cek darah lengkap, atau jika
gejala yang muncul sudah berat.9,10
Penyebab PGK yang paling tinggi saat ini adalah diabetes dan
hipertensi. Diabetes terdapat pada 30-50% pasien PGK dan mempengaruhi 285
juta (6,4%) orang dewasa di seluruh dunia. Serta lebih dari 25% orang dewasa
memiliki hipertensi pada tahun 2000 dan diperkirakan akan terus naik.9 PGK
diasosiasikan dengan beberapa komplikasi dikarenakan rendahnya fungsi ginjal
dan berkontribusi terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas serta rendahnya
kualitas hidup. Komplikasi utama dari PGK dapat berupa penyakit
kardiovaskular, hipertensi, anemia, gangguan mineral tulang, dan gangguan
asam- basa. Selain itu dapat juga berupa anorexia, kelelahan, wasting
syndrome, pruritus, mual, dan disfungsi seksual.11
Dengan peningkatan jumlah individu dengan DMT2 serta komplikasi
yang dapat ditimbulkan, tentunya pengetahuan mengenai penyakit ini serta
pengelolaannya menjadi hal yang penting diketahui. Dibutuhkan peran dari
berbagai pihak agar dapat menatalaksana DMT2 dengan baik. Oleh karena itu,
makalah ini dimuat oleh penulis untuk mempelajari topik DMT2, hipoglikemia,
dan penyakit ginjal kronik dengan lebih dalam, serta untuk mengaplikasikan
teori yang telah ada dengan kasus nyata yang berada di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai