Anda di halaman 1dari 21

TUGAS RESUME MODUL 5

MATAKULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN


PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKELAINAN
Tutor Pengampu: Imam Sujarwanto, M. Pd.

UNIVERSITAS TERBUKA

Disusun oleh :
MEITY RODHIYATIN 857575907
RISKA SETYA HIJRIATI 857574643
RIZKY AMALIA 857574636
RIZKY NOVIANI 857574421
SITI ARIFIYAH 857576418
SITI HARWATI 857574224

UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ PURWOKERTO POKJAR KRAMAT
2021
KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN
BAGI ANAK BERKELAINAN

PENDAHULUAN
Beberapa hal penting tentang pendidikan khusus :
1. Pendidikan khusus adalah suatu konsep relatif yang didefinisikan sebagai suatu program yang
membutuhkan sumber-sumber untuk menyajikan pendidikan yang memadai bagi semua siswa
yang berkebutuhan khusus.
2. Pendidikan khusus adalah suatu istilah yang umum yang merujuk kepada sekelompok program
atau pelayanan yang didisain untuk memenuhi kebutuhan siswa yang khusus atau berkelainan.
3. Pendidikan khusus telah menjadi pengkajian dan landasan bagi strategi dan teknik pembelajaran.
4. Pendidikan khusus mempunyai karakter ekonomi dan politik yang unik.
Pendidikan khusus mempunyai karakter yang bersifat nasional dan lokal, dan hakikat serta
praktek yang bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, bahkan antara satu daerah ke daerah
lainnya, bahkan antara satu daerah ke daerah lainnya dalam suatu negara.

KEGIATAN BELAJAR 1
KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK YANG BERKELAINAN FISIK
A. HAKIKAT ANAK BERKELAINAN FISIK
Kelainan fisik disebabkan oleh sakit yang diderita, terluka, ketidakseimbangan
metabolisme dan masalah-masalah kesehatan lainnya. Guru yang baik akan dapat menjelaskan
tingkat pemahaman siswa, dan dapat menyajikan pembelajaran secara menarik sehingga siswa
mau belajar dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar dan pembelajaran. Keterbatasan-
keterbatasan dalam kelainan fisik harus dipahami sehingga strategi pembelajaran yang memadai
dapat dikembangkan.

B. PEMROSESAN INFORMASI
Beberapa masalah kesehatan hanya berakibat pada gangguan fisik, namun ada juga
gangguan fisik yang merupakan gejala dari gangguan syaraf. Kelainan syaraf menimbulkan
kesulitan pada koordinasi gerak serta mengubah pandangan anak tentang dunia. Anak-anak ini
mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan arah perjalanan. Kemampuannya untuk
membaca kata-kata yang tertera pada suatu halaman berkurang, tulisan kata-kata itu seolah-olah
bergerak-gerak. Kelemahan penglihatan ini mungkin juga disertai kelemahan pendengaran.
Dampak kelemahan-kelemahan tersebut terhadap belajarnya anak bervariasi dan kompleks,
sehingga muncullah kesulitan bagi guru untuk mengkaji performasi anak dan untuk mengurangi
dampak fisik.
Ketidak mampuan dapat terjadi pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengenal
rasa dan penciuman, serta juga indera internal seperti keseimbangan dan gerakan (kinaesthetic
sense) serta pengenalan/pengetahuan tentang letak bagian-bagian tubuh dan hubungan antara
yang satu dengan yang lain (proprioceptive senses). Hubungan antara indera-indera yang diatur
oleh otak dapat juga terpengaruh. Setiap kegiatan motoris, baik itu berbicara berjalan, berlari,
menulis atau hanya tersenyum sekalipun dapat mengalami penyimpangan bergantung kepada
jenis kelainannya.

Jenis-jenis kesulitan pada anak dapat berkembang menjadi masalah-masalah yang lebih
kompleks sejalan dengan bertambahnya usia atau sebagai akibat dari permasalahan dalam belajar
atau kelainan fisik.

Hal itu semua merupakan akumulasi dampak dari belajar yang tidak semestinya serta
perkembangan yang tidak memadai.

Karakteristik umum kesulitan yang dialami oleh anak-anak yang berkelainan fisik dapat
dijelaskan atas hal-hal berikut :
1. Kesulitan memproses, terjadi bila gangguan saraf menghambat diterimanya informasi atau untuk
mengungkap sesuatu secara memadai.
2. Kesulitan dalam motivasi, terjadi bila kebutuhan akan usaha pribadi berinteraksi dengan image
diri dan percaya diri, yang berakibat pada berbagai tingkat motivasi.
3. Kesulitan berpartisipasi terjadi bila gangguan fisik menghambat kemampuan anak untuk
bergabung dalam kegiatan kelas.
Beberapa kelainan fisik :
1. Cerebral Palsy
The world commission on Cerebral Palsy, mendefinisikan cerebral palsy sebagai ketidak
normalan gerakan dan postur karena gangguan atau ketidak matangan otak (Denhoff, 1996).
Sistem syaraf tumbuh pesat selama dalam kandungan yang berlanjut setelah lahir, kadang-
kadang sampai umur dua atau tiga tahun.
Tanda-tanda dan gejala gangguan intelektual, sensory, perseptual dan perilaku dapat muncul
sendiri atau gabungan daripadanya dalam berbagai tingkat yang bervariasi pada anak yang
mengalami cerebral palsy.
Cerebral palsy sebagai akibat dari kerusakan gangguan otak dapat ditelusuri, mungkin
karena adanya kerusakan fisik (trauma) atau oleh penyebab lain yang tidak langsung seperti
kekurangan oksigen (anoxia), control lain, dan epilepsi.
2. Spina Bifida
Spina bifida adalah gangguan syaraf.
Pengobatannya sangat kontras dengan cerebral palsy.
Gangguan syaraf pada spina bifida terpusat, sedangkan pada cerebral palsy gangguannya
menyebar.
Spina bifida terjadi kebanyakan pada waktu kelahiran yang menyebabkan kelainan pada
balita dan masa anak, antara lain mencakup kelumpuhan kaki dan kekurang mampuan
mengontrol buang air kecil.
Fisioterapi diperlukan untuk melatih anak berjalan.
Gangguan lain yang terjadi pada spina bifida dan sering memerlukan bantuan operasi
(pembedahan) adalah hydrochepalus.
Gangguan ini terjadi karena bertambahnya cairan di otak, berakibat tekanan dan
membesarnya tulang kepala.
3. Epilepsi
Epilepsi adalah salah satu gangguan syaraf yang mempengaruhi pendidikan anak.
Seringkali tidak nampak adanya kelainan fisik walaupun epilepsi menyertai banyak
gangguan syaraf, seperti cerebral palsy dan hydrocephalus.
Convulsion adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan perilaku yang ditunjukkan
oleh seseorang bila gangguan pada bagian otak tertentu menyebabkannya kehilangan kendali
atas satu atau lebih aspek-aspek dari kegiatan tubuh.
Studi tentang kebutuhan anak-anak dengan kelainan fisik akan selaras dengan pemahaman
tentang kebutuhan semua anak
KEGIATAN BELAJAR 2
KARAKTERISTIK & KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK YANG
BERKELAINAN PSIKIS

A. HAKIKAT ANAK BERKELAINAN PSIKIS


Ketidak mampuan intelektual mengidentifikasikan sekelompok orang yang mempunyai
karakteristik khusus.
Konsep modern tentang intelegensi dikembangkan berdasarkan tulisan Herbert Spencer dan
Francis Galton.
Keduanya berpandangan bahwa intelegensi sebagai fasilitator penyesuaian antara aspek-aspek
berpikir, sensori dan fisik dari seseorang dengan lingkungannya.
Pada Oktober 1904 Menteri Pendidikan di Perancis membentuk suatu komisi untuk meyakinkan
bahwa orang-orang yang lemah mental dimungkinkan untuk menerima pendidikan yang
memadai sesuai dengan kemampuannya.
Komisi ini diberi mandat menentukan kebijakan pembangunan pendidikan yang semestinya,
stafnya, kondisi-kondisi administrasi dan standar pendidikan yang memadai.
Binet memandang intelegensi sebagai bagian dasar manusia yang mencakup judgment, initiative
dan adaptation terhadap suatu keadaan.

B. IQ DAN KETIDAK MAMPUAN INTELEKTUAL


Menurut American Association on mental Retardation (AAMR) definisi ketidak mampuan
intelektual merujuk kepada skor IQ yang berada dua standar deviasi di bawah mean pada tes
intelegensi yang baku.
Tes baku yang dikenal adalah the Stanford Binet Intelligence Scale tahun 1986 dan the
Weschdler Intelligence Scala (WISC-3) TAHUN 1991.
Di antara kelompok yang memiliki ketidak mampuan intelektual diklasifikasikan menjadi 3 sub
kelompok terkait dengan skor IQ.
Klasifikasi berdasarkan IQ pada ketidak mampuan intelektual :
Tingkat Ketidak Mampuan Menurut Skor Binet Menurut Skor Weschdler
Ringan 68 – 52 69 – 55
Sedang 51 – 36 54 – 40
Parah 35- 39-

Pemanfaatan IQ sebagai indikator kemampuan intelektual telah memberikan konsekuensi positif


dan negatif.
Bila dipahami sebagaimana mestinya dan digunakan secara hati-hati oleh ahli psikologi yang
kompeten, tes IQ ini dapat memberikan estimasi yang berguna tentang potensi intelektual anak,
dan dapat digunakan untuk membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya pada usia yang
sama.
Menurut Bower (1981) siswa yang emosinya terganggu mempunyai karakteristik sebagai berikut,
1. Ketidak mampuan belajar, yang tidak dapat diterangkan dengan faktor kesehatan intelektual
dan sensori.
2. Ketidak mampuan membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal dengan teman
dan gurunya.
3. Bentuk perilaku dan perasaan yang tidak memadai tapi berada di bawah normal.
4. Menunjukkan ketidak bahagiaan dan berada dalam suasana depresi.

C. PESERTA DIDIK AUTIS


Autis berasal dari bahasa Yunani dari kata autos, yang berarti diri.
Dalam perkembangannya autisme telah didefinisikan secara beragam.
Dalam perkembangan mutakhir, pandangan yang lebih banyak disepakati adalah pandangan yang
memandang autis sebagai terjadinya gangguan fungsi otak yang mempengaruhi fungsi menerima,
mengolah dan menerjemahkan informasi dalam perilaku.
1. Karakteristik Anak Autis
Menurut pengklasifikasian Lauren B. Alloy, dkk, dalam Abnormal Psychology, terdapat
empat karakteristik yang umumnya ditemui pada anak-anak autis, yaitu isolasi diri,
keterbelakangan mental, kemampuan bahasa rendah, dan perilaku menyimpang.
Berdasarkan penelaahan terhadap beberapa referensi dapat dikemukakan bahwa karakteristik
(ciri khas) pada perilaku anak autis adalah :
a. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara, tetapi kemudian sirna.
b. Anak tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain dan tidak mempunyai empati dan
tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya.
Akibatnya anak sukar bersosialisasi dengan lingkungannya.
c. Pemahaman anak sangat kurang, sehingga apa yang di baca sukar dipahami.
Dalam belajar mereka lebih mudah memahami lewat gambar-gambar (visual learners).
d. Kadangkala anak mempunyai daya ingat yang sangat kuat, seperti perkalian, kalender dan
lagu-lagu.
e. Anak mengalami kesukaran dalam mengekspresikan perasaannya.
f. Memperhatikan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan
seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV.
2. Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam Setting Pembelajaran Autis
Dalam setting pembelajaran anak autis, interaksi yang dominan melibatkan guru dan individu
anak didiknya, sebab pembelajaran untuk anak autis lebih bersifat individual (satu lawan
satu).. Berdasarkan penelitian dan pengalaman dalam melakukan interaksi dengan anak autis,
diperoleh temuan bahwa empati dan peran aktif keluarga memainkan peran yang sangat
menentukan keberhasilan pembelajaran terhadap anak autis.
3. Strategi Pembelajaran Anak Autis
Strategi pembelajaran sebagaimana dikemukakan Wina Sanjaya adalah ‘perencanaan yang
berisi serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (2007 :
126).
Berkaitan dengan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yang dalam hal ini anak-anak
autis, pilihan strategi yang digunakan beranjak dari strategi individual sampai pada
penggunaan strategio kelompok, bagi anak yang telahmenunjukkan adanya peningkatan
kemampuan.
Strategi individual didahulukan sebab anak-anak autis merupakan individu yang sangat unik.
Dalam uji coba penerapannya, strategi yang kerap digunakan untuk anak autis mengacu pada
teori A-B-C (Antecendent – Behavior – Consequence) yang diperkenalkan psikologi Loovas,
atau juga dikenal dengan Apllied Behavior Analysis (ABA).
Persoalan paling mendasar yang dihadapi anak-anak autis adalah berkenaan dengan
kemampuan mereka mengidentifikasi dirinya ketika berinteraksi dengan orang lain.
Karenanya pembelajaran anak-anak autis ditujukan untuk penumbuhan dan pengembangan
kemampuan anak mengenali diri dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungannya.
KEGIATAN BELAJAR 3

KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK


BERKESULITAN BELAJAR

A. FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI KELAS KHUSUS


Konsep ketidakmampuan belajar muncul sebagai bagian dari tantangan bahwa semua anak
akan secara otomatis belajar pada saat mereka “mencapai kesiapan dan kematangan”. Anak-
anak yang berketidakmampuan telah ditempatkan dalam kelas-kelas terpisah sehingga
pembelajaran khusus, dalam kelompok-kelompok kecil dengan guru-guru yang terlatih secara
khusus, akan membantunya mencapai kemajuan/progres. Jhonson (1962) menyatakan bahwa
anak-anak tidak lagi memperoleh manfaat yang lebih daripada di kelas biasa, karena di kelas-
kelas khusus lingkungannya ditujukan bagi anak-anak yang mempunyai kekurangan.

B. MODIFIKASI TUGAS-TUGAS DISESUAIKAN DENGAN KEMAMPUAN DAN GAYA


BELAJAR SISWA

Bagian esensial dari proses perencanaan dan evaluasi siswa yang mengalami kesulitan
belajar mencakup penganalisaan kemampuan dan gaya belajar yang berkaitan dengan tugas-
tugas instruksional yang terjadi dikelas. Para guru harus yakin apakah kemampuan siswa akan
memungkinkan mereka mendapat manfaat dari kurikulum di kelas yang ditempatinya. Bila
materi dari tugas-tugas akademik dan proses pembelajaran dapat dipadukan dengan kesiapan
siswa untuk belajar dengan gaya belajar mereka, progres siswa dalam belajar dapat
dimaksimalkan.

Guru perlu memadukan tugas-tugas dengan kemampuan dan gaya belajar siswa. Guru
harus mengadaptasi hampir seluruh materi dan strategi pembelajaran sebelum memulai
pembelajaran.
Perkembangan siswa dapat dipengaruhi oleh hakikat tugas-tugas yang dihadapinya di
kelas.;
Beberapa modifikasi tugas untuk memfasilitasi perkembangan siswa diuraikan berikut ini
1. Modifikasi Tugas Disesuaikan pada Kesiapan Siswa
Sebagian anak mungkin tidak dapat mempelajari sesuatu sebagaimana yang
diharapkan pada usia tertentu, tetapi sebenarnya mereka dapat mempelajari keterampilan-
keterampilan dasar yang lebih mudah baginya. Bila materi tugas disesuaikan dengan
kesiapan siswa untuk belajar, maka guru telah memfasilitasi belajar anak itu. Ketercapaian
tujuan pada tingkat yang lebih tinggi akan terjadi lebih cepat dan lebih lengkap bila kita
lebih dahulu mengajarkan latar belakang yang diperlukan.
Tugas-tugas dapat dianalisis melalui dimensi proses. Spenry (1974) menunjukkan
dimensi- dimensi untuk dipertimbangkan dalam menganalisis tugas-tugas dari yang paling
sulit kepada yang kurang sulit. Dari komunikasi eksternal kepada yang internal. Lebih sulit
mengemukakan apa yang diketahui daripada hanya mengenal apa yang ditunjukkan.
Misalnya, lebih sulit mengkomunikasikan pengetahuan dalam bentuk esai daripada memilih
salah satu yang paling benar dalam bentuk pilihan ganda. Mengeja sebuah kata lebih sulit
daripada mengenal apakah kata yang tertulis itu ejaannya benar atau salah.
a. Dari situasi sosial kepada yang non-sosial.
Bekerja dalam kelompok lebih sulit daripada bekerja sendiri-sendiri.
b. Dari materi dan respon yang abstrak kepada yang konkret.
Menjumlahkan angka-angka lebih sulit daripada menjumlahkan lidi (yang dipotong
pendek- pendek)
c. Dari materi dan respon verbal kepada yang nonverbal.
Tugas-tugas kebahasaan lebih sulit daripada visual-gerak

2. Modifikasi proses-proses Tugas Disesuaikan dengan Gaya-gaya Belajar Siswa


Pada saat kita ketahui tentang apa yang siap dipelajari oleh siswa, kita tidak dapat
secara langsung mengasumsikan bahwa dia secara otomatis akan menyerap materi yang
disajikan. Untuk meningkatkan perolehan materi/ pengetahuan, tugas-tugas harus
disesuaikan sebaik mungkin yang sesuai dengan bagaimana setiap siswa belajar. Siswa
dengan ketidakmampuan belajar mempunyai cara unik belajar yang akan memudahkan
baginya menyerap materi yang disajikan dengan cara yang khusus.
Meichenbaum (1976) menyarankan tiga langkah dalam modifikasi tugas.
a. Manipulasi tugas
Temukan dalam keadaan apa seorang siswa dapat mendemonstrasikan kompetensinya
(misal dengan menggunakan modalitas yang berbeda untuk menyajikan suatu
informasi).

b. Mengubah lingkungan
Perhatikan dan temukan apakah siswa dapat melakukan sesuatu dengan baik dalam
suatu lingkungan ideal, tempat dia belajar dan mengerjakan tugas dengan aman dan
nyaman.

c. Berikan dukungan/ spirit


Berikan dukungan dan bimbingan dalam mengerjakan tugas dengan menjelaskannya
bagian demi bagian. Berikan umpan balik pada hasil belajar dan hasil tugasnya.
C. SEKOLAH INKLUSIF

Perkembangan pendidikan saat ini, memandang bahwa pendidikan harus mampu


mengakomodasi semua peserta didik. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan pendidikan
inklusif. Mampukah pendidikan inklusif menawarkan sebuah solusi untuk semua tantangan
masalah belajar yang dihadapi sekolah-sekolah di Indonesia? Sebenarnya pendidikan inklusif
itu merangkul dan menerima keberagaman yang tidak hanya menolerirnya, tetapi juga
mendorong keingintahuan dan kreativitas, bukan menyesuaikan atau kompromi. Pendidikan
inklusif menciptakan sebuah semangat kompetensi yang konstruktif, bukan hanya diantara
anak-anak, tetapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya.

Dalam sebuah sekolah inklusif, seorang anak diharapkan untuk belajar bertindak
menurut keterampilan, kebutuhan dan kemampuannya. Kurikulum harus fleksibel untuk
mengakomodasi keberagaman peserta didik. Keunikan setiap anak merupakan landasan bagi
pendidikan inklusif. Suatu sistem yang memungkinkan anak meraih optimalisasi potensinya.

Pendidikan inklusif merupakan ideologi atau cita-cita yang ingin dicapai. Pendidikan
inklusif harus menjadi arah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau pendekatan
pendidikan yang memasukkan anak penyandang cacat ke sekolah reguler, tetapi bagaimana
pendidikan itu dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang beragam dalam kelas yang
sama.

Untuk memperkenalkan pendidikan inklusif menuju pendidikan yang berkualitas


diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman, dan sikap para penyelenggara pendidikan
(kepala sekolah, guru, administrator/ pengambil kebijakan pendidikan, orang tua dan
masyarakat pada umumnya) terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian
pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif.sosialisasi pendidikan inklusif kepada
masyarakat, diperlukan strategi dan metode yang tepat dan sistematik agar tidak terjadi
resistensi dan kesalahan pemahaman. Sebagai langkah awal, dapat ditempuh dengan mulai
memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan terbuka (welcomeing school). Sebagai
sekolah masa depan dan guru yang ramah (welcomeing teachers) kepada penyelenggara dan
pengambil kebijaksanaan.

Pendidikan inklusif menghendaki penyatuan bagi semua anak tanpa kecuali kedalam
program- program sekolah reguler, semua sekolah harus dapat memberi perlakuan yang
bersifat terbuka terhadap kehadiran setiap peserta didik apapun kondisinya.
1. Konsep Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan suatu pandangan yang menuntut adanya
perubahan layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, menghargai perbedaan, dan
pemenuhan kebutuhan setiap individu berdasarkan kemampuannya.
Pendapat lain menyatakan pendidikan inklusif adalah sebuah proses yang
sistematis mengantarkan anak-anak berkebutuhan khusus dan kelompok anak tertentu
pada usia yang sama ke dalam lingkungan yang alami dimana umumnya anak-anak
bermain dan belajar (Phil Foreman, 2001). Sedangkan Bern (1977) dalam Budi H.
(2003) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi merupakan filosofi pendidikan yaitu
bagian dari keseluruhan. Artinya kita merupakan bagian dari keseluruhan dari sistem
yang ada sehingga tidak ada alasan untuk memisah-misahkan, apa lagi mengisolasi
salah satu bagian dari keseluruhan sistem tersebut
Pada sisi lain Stainback (1990) dalam Sunardi (2002) menyebutkan bahwa
sekolah inklusi merupakan sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama
dengan layanan pendidikan yang disesuaikan kemampuan dan kebutuhan siswa.
Dengan demikian sekolah harus merupakan tempat setiap anak diterima menjadi bagian
dari kelas dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya agar kebutuhan
individualnya terpenuhi.
Pendidikan inklusif diartikan sebagai penggabungan penyelenggaraan
pendidikan luar biasa dan pendidikan biasa dalam satu sistem yang dipersatukan.
Adapun yang dimaksud pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diselenggarakan
bagi siswa luar biasa atau berkelainan baik dalam makna dikaruniai keunggulan
(gifted/talented) maupun karena adanya hambatan fisik, sensorik, motorik, intelektual,
emosi, dan atau sosial.
Dalam sistem pendidikan yang segregatif eksklusif, peserta didik
dikelompokkan dalam dua kategori, normal dan berkelainan. Sebagai konsekuensi dari
pandangan yang dikotomis semacam itu maka peserta didik yang normal dimasukkan
ke sekolah reguler sedangkan yang berkelainan dimasukkan ke sekolah khusus atau
sekolah luar biasa.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang berjuang, mempertahankan
kesatuan dan persatuannya sebagai bangsa, pendidikan inklusif memiliki makna yang
sangat penting. Pendidikan inklusif dapat diperluas maknanya bukan hanya dalam
konteks anak yang membutuhkan layanan PLB tetapi juga dalam konteks
mempersatukan kebinekaan bangsa Indonesia (Budiyanto, 2005). Dalam konteks yang
lebih luas, kebinekaan siswa tidak hanya dipandang dari sudut dikotomi berkelainan
dan normal tetapi mencakup perspektif yang sangat luas. Kebinekaan vertikal
mencakup perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik ketajaman sensoris, kepekaan sosial,
dan kematangan emosional. Kebinekaan horizontal mencakup perbedaan ras, suku,
adat-istiadat, agama, dan berbagai variabel lain yang tidak dapat dibedakan secara
kualitatif karena memiliki kesetaraan. Adanya kebinekaan vertikal dan horizontal
menuntut diselenggarakannya pendidikan inklusif.
2. Prinsip Pendidikan Inklusif dalam Pembelajaran
Konsep paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar
peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama. Johnsen dan
Miriam Skojen (2001) menjabarkan dalam tiga prisip, yaitu (1) bahwa setiap anak
termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu kelas atau kelompok, (2) bahwa
hari sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan
perbedaan pendidikan dan leksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati, (3) guru
bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar
individu serta keperluan- keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan
keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Sementara itu Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005)
mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif kedalam sembilan elemen dasar yang
memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
Sementara itu Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasi
prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan
pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
a. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
b. Interaksi promotif
c. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
d. Pembelajaran adaptif
e. Konsultasi kolaboratif
f. Hidup dan belajar dalam masyarakat
g. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga
h. Belajar dan berpikir independen
i. Belajar sepanjang hayat
3. Prosedur pembelajaran yang inklusif
Prosedur yang ideal untuk mengembangkan program pembelajaran
sebagaimana dikemukakan UNESCO (2004) yang dimodifikasi kembali oleh Tim
Direktorat PLB dan IDP Norway, memiliki lima aspek yaitu:
a. Pembentukan tim program pembelajaran yang inklusif
Langkah awal dalam penyusunan program pembelajaran adalah
membentuk suatu tim yang disebut tim pembelajaran inklusif. Tim inilah yang
mempunyai tugas merancang dan menyusun suatu program pembelajaran.
b. Mengidentifikasi kebutuhan
Mengidentifikasi kebutuhan dengan mempertimbangkan seperti: ukuran
kelas, mata pelajaran, strategi pembelajaran kemampuan dan gaya belajar
peserta didik, adanya peserta didik yang membutuhkan bantuan khusus atau
tambahan. Identifikasi kebutuhan ini mencakup kebutuhan anak dan kebutuhan
lingkungan pembelajaran yang akan dikembangkan pada intinya ditujukan bagi
kepentingan peserta didik
c. Mengembangkan tujuan
Di dalam mengembangkan tujuan pembelajaran prosesnya dapat
dilakukan melalui penyelarasan antara materi yang ada dalam kurikulum
dengan temuan hasil asesmen atau identifikasi kebutuhan. Tujuan pembelajaran
yang dimaksud di sini dikenal dengan istilah tujuan jangka panjang dan tiujuan
jangka pendek. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan yang akan ditempuh
dalam jangka waktu relatif panjang (lama) mungkin untuk satu semester atau
satu tahun. Sementara tujuan jangka pendek atau tujuan instruksional khusus,
merupakan tujuan yang akan menuntut terjadinya perubahan perilaku yang
diharapkan dalam waktu yang relatif singkat.
d. Merancang pengembangan pembelajaran
Proses pembelajaran mungkin dirancang dengan cara mengelompokkan
peserta didik berdasarkan kondisi dan materi yang akan di belajarkan secara
kooperatif, mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih bersifat individual.
Proses pembelajaran secara kooperatif ini akan dikelola guru sesuai kondisi dan
situasi peserta didik yang dihadapinya.
e. Menentukan evaluasi kemajuan
Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek
atau tujuan instruksional khusus. Hal penting yang harus dicamkan dalam
melakukan evaluasi keberhasila peserta didik adalah melihat terjadinya
perubahan perilaku pada diri peserta didik itu sendiri sebelum dan setelah
diberikan perlakuan.

D. PENILAIAN BAGI PESERTA DIDIK BERKELAINAN

Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran


yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek atau tujuan instruksional khusus.
Teknik evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk yaitu, melalui tes tertulis, lisan atau
bersifat perbuatan melalui observasi/ catatan guru.
Untuk melakukan evaluasi perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:
1) Apakah pembelajaran dalam setting inklusif yang dilaksanakan sesuai dengan yang
direncanakan?
2) Perubahan apa saja yang telah dilakukan, khususnya dalam pembelajaran?
Evaluasi memiliki dua sisi yaitu, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses
dilakukan dan terjadi selama proses pembelajaran berlangsung, sementara evaluasi hasil
dilakukan setelah pemberian materi tuntas diselesaikan. Evaluasi proses penting dalam
kaitannya melakukan berbagai perubahan dalam strategi pembelajaran, sementara evaluasi
hasil penting untuk melihat tingkat pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Laporan evaluasi kemajuan peserta didik bisa gabungan kuantitatif dan kualitatif, sebab
cara penilaian ini akan memberikan gambaran secara nyata dan tidak akan mengaburkan
gambaran kemampuan sesungguhnya yang dicapai peserta didik. Pembelajaran siswa
berkebutuhan khusus tidak bersifat baku dan kaku, melainkan lentur dan sangat fleksibel. Jika
perubahan itu memerlukan modifikasi yang relatif besar, maka hasil modifikasi itu
dikomunikasikan kepada orang tua, agar orang tua juga dapat membantu keberhasilan belajar
anaknya.

Anda mungkin juga menyukai