Anda di halaman 1dari 6

Komunisme/Marxisme

IDE DAN GAGASAN KARL MARX

“Hubungan kerja dan sifat dasar manusia yang telah diselewengkan oleh kapitalisme aku sebut
sebagai alienasi, dimana manusia tidak lagi melihat kerja mereka sebagai sebuah ekspresi dari tujuan
mereka” begitu penjelasan Marx.

Menurutnya, alienasi atau keterasingan terdiri dari empat unsur dasar. Pertama, kaum pekerja
tidak lagi memproduksi objek-objek berdasarkan ide-ide mereka. ekerja tak lagi bekerja untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tetapi mereka bekerja untuk kapitalis, yang memberi mereka
upah untuk menyambung hidup. Aktivitas produksi bukan lagi menjadi ajang ekspresi ide-ide manusia,
tetapi sudah dikontrol dan menjadi milik para kapitalis. Hal itulah yang akhirnya menjadikan kerja-kerja
di pabrik menjadi sarana-sarana yang amat membosankan dan mematahkan semangat para pekerja.

Kedua, Marx berpendapat bahwa para pekerja teralienasi dari produk-produk yang telah mereka
buat, dimana produk-produk kerja bukan menjadi milik mereka, melainkan menjadi milik para kapitalis.
Marx benar, bayangkan saja, jika kami menginginkan barang-barang yang kami produksi di pabrik,
kami harus membelinya seperti orang lain. Kami menjadi seorang produsen sekaligus konsumen.
Bahkan salah seorang buruh di pabrik roti ada yang mati kelaparan karena tak mampu membeli roti
yang, ironisnya, mereka buat sendiri. Kondisi yang sama juga dialami oleh para buruh petani yang mati
kelaparan karena mereka tak mampu membeli gandum yang mereka produksi sendiri.

Ketiga, sistem kapitalisme membuat para pekerja teralienasi dari sesama pekerja. Ketika Marx
berusaha melanjutkan penjelasannya, ada seorang pekerja melambaikan tangannya ke arah
Marx, “Hai tuan, aku sepakat dengan pendapat anda”  begitu kata pria tersebut. Perhatian Marx dan
para pekerja tertuju kepada laki-laki itu. Namanya Terkel, ia berusaha memperjelas apa yang ia
bicarakan dengan mengatakan bahwa para pekerja bisa berdampingan dengan seseorang selama
beberapa bulan tanpa mengetahui namanya. Satu hal yang diketahui oleh para pekerja bahwa mereka
terlalu sibuk untuk sekedar berbicara. Begitulah, bahkan untuk berbicara, para buruh tidak memiliki
waktu. Suara Telker yang sangat lantang membuat suasana di dalam pabrik begitu hening. Marx pun
memberikan senyuman dan apresiasi terhadap laki-laki ini, lalu mengatakan bahwa apa yang dibilang
Telker harus menjadi renungan bagi seluruh kaum buruh di Jerman, tidak hanya di pabrik tekstil milik
Engels. Marx mengatakan bahwa para buruh dipaksa untuk berkompetisi, bukan bekerjasama. Maka
tak heran jika banyak pekerja yang berusaha mencari muka di hadapan bos-bos pabrik demi
mendapatkan imbalan dan tidak disingkirkan atau dipecat. Siapa yang bekerja lebih cepat, bersedia
dieksploitasi dengan memproduksi lebih banyak, dan siapa yang berhasil menyenangkan atasannya,
maka dialah yang mendapatkan imbalan.
Komunisme/Marxisme

Yang keempat dan terakhir, Marx mengatakan bahwa kelas pekerja teralienasi dari potensi
kemanusiaan mereka sendiri. Kerja bukan lagi sebagai wujud ekspresi dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan manusia, tetapi malah membuat manusia tidak menjadi dirinya sendiri. Hal itulah yang
menurut Marx membuat para pekerja seperti di pabrik ini akan merasa nyaman ketika tidak bekerja dan
merasakan gelisah dan tidak nyaman ketika sedang bekerja. Oleh karena itu kerja-kerja buruh tak lagi
bersifat sukarela, melainkan terpaksa; dipaksa bekerja.

Waktu sudah menunjukan pukul 13.00, para pekerja terlihat gelisah dan satu persatu dari
mereka mulai berpamitan kepada Marx untuk memulai kembali aktivitas produksi mereka. Lalu,
sebelum aku kembali bekerja, aku bertanya kepada Marx, “tuan Marx, bagaimana cara mengubah ini
semua? mungkinkah kami para buruh akan terus dieksploitasi layaknya hewan dan terus bergantung
kepada kaum kapitalis sehingga kami tidak bisa merdeka atas diri kami sendiri?”

Marx langsung menjawab“Kekejaman sistem kapitalisme akan melahirkan lebih banyak kelas
pekerja yang menderita akibat tereksploitasi, dan orang-orang yang tereksploitasi seperti kalianlah
yang kelak berpotensi sebagai aktor yang akan mengakhiri kapitalisme melalui revolusi kelas
pekerja.” Marx mengucapkan kata-kata itu dengan penuh harap dan kepercayaan bahwa kelak kaum
buruh mampu memutus sendiri rantai penderitaan mereka.

Tak lama setelah itu, Engels yang sedari tadi memperhatikan dan larut dalam penjelasan
menambahkan apa yang dikatakan Marx, “Untuk melakukan sebuah revolusi demi terbentuknya
tatanan dunia yang lebih adil, maka kaum buruh se-dunia bersatulah!”

Belum puas dengan jawaban Marx dan Engels, aku kembali bertanya “Tuan, lalu masyarakat
seperti apa yang akan lahir ketika zaman kapitalisme berhasil diakhiri oleh sebuah revolusi?”

Marx menjawab dengan tenang “Masyarakat tanpa kelas”. Katanya, akan hadir suatu zaman
yang lebih baik dibandingkan pada saat ini, dengan berakhirnya kepemilikan pribadi, eksploitasi, dan
kelas-kelas sosial demi terwujudnya kemerdekaan umat manusia. Semua orang hidup dalam bingkai
kesetaraan, tak ada yang saling mendominasi, tak ada diskriminasi, tak ada lagi perbudakan, tak ada
lagi penghisapan dan penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Tahapan zaman itu bernama
komunisme, dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk merealisasikan diri dan berpartispasi
aktif dalam segala bentuk kehidupan sosial.
Komunisme/Marxisme

MASUKNYA KOMUNIS DI INDONESIA


Merdeka.com - Komunis merupakan ideologi yang dilahirkan Karl Marx, seorang Filsuf sekaligus
pakar ekonomi dan politik. Pemahamannya mengenai komunis pun menjadi pergunjingan. Sebab,
Marx menyebut bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat.
Bagaimana paham komunis masuk ke Indonesia? Komunis di Indonesia lahir dari haribaan
organisasi Islam yaitu Syarikat Islam (SI) yang dibentuk tahun 1912. Dari sana, muncul tokoh-tokoh
sayap kiri, seperti Semaun dan Darsono.
"Dari gagasan-gagasan sosial demokrasi berangsur-angsur berubah menjadi demokrasi sosial
yang radikal. Semaun dan Darsono selalu merupakan sayap oposisi dalam Syarikat Islam,"
kata Mohammad Hatta dikutip buku 'Bung Hatta Menjawab'.
Setelah lima tahun, tepatnya 1917, lahirlah Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, nama PKI
belum besar karena dibuat secara diam-diam dan menjadi fraksi kiri dalam SI.
Sebelum mendirikan PKI, Semaun dan Darsono pernah mengenyam pendidikan tentang
komunis dari Sneevlit di Indische Social Demoratische Partij (ISDP). Sneevlit sendiri diketahui
merupakan sayap kiri di dalam ISDP. Dari sana, keduanya sering berdiskusi dengan Sneevlit.
Keduanya pun melihat celah di SI, sehingga secara perlahan memasukkan ideologi-ideologinya.
"Syarikat Islam yang kurang memperhatikan nasib buruh, telah merupakan lowongan baik bagi
ide-ide radikal yang dimasukan oleh Semaun dan Darsono yang tadinya diinspirasikan oleh Sneevlit,"
jelasnya.
Salah seorang tokoh SI, Haji Agus Salim, akhirnya menegakkan disiplin partai. SI pun berganti
nama menjadi Partai Syarikat Islam di tahun 1921. Sesudah itu, barulah resmi nama PKI mencuat.
Namun, lanjut Hatta, partai komunis itu pun tidak kompak lantaran salah seorang pendirinya, Tan
Malaka, membentuk Partai Rakyat Indonesia (PARI).
"PKI yang baru itupun tidak kompak. Tan Malaka kemudian membentuk PARI," terangnya.
Dalam sejarahnya di Indonesia, PKI melakukan tiga pemberontakan. Pemberontakan pertama
adalah tahun 1926. Pemberontakan itu gagal dan PKI dilibas pemerintah kolonial Belanda. Ribuan
orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai,
dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua.
Gerakan bawah tanah membangkitkan PKI hingga kembali solid. Pada 1948, PKI melancarkan
pemberontakan kedua. Pemberontakan berniat meruntuhkan RI dan menggantinya dengan negara
komunis. Upaya kedua ini kembali gagal. Literatur mencatat pemberontakan ketiga dilakukan pada
1965, lagi-lagi gagal. [did]
Komunisme/Marxisme

LAHIR DAN BERKEMBANGNYA GERAKAN KOMUNIS DI INDONESIA


Muslimdaily.net – Pada awalnya, ketika mengemukakan gagasan mengenai paham komunis,
Karl Marx tidak berbicara masalah negara. Sebab menurut Marx hancurnya Kapitalisme untuk
kemudian digantikan dengan Komunisme adalah sebuah proses alamiah. Marx hanya berbicara
mengenai masyarakat. Ketika gagasan Marx ini ditangkap oleh Lenin, seorang tokoh Komunis Rusia
yang menggantikan posisi Marx, barulah komunisme berubah menjadi sebuah ideologi politik yang
bertugas untuk mengakselerasi perubahan negara dari negara kapitalis menjadi negara komunis.
Menurut Lenin, kelas buruh hanya bisa menjadi kelas buruh yang sadar jika dipimpin oleh
sebuah parta revolusioner Marxis-Leninis. Partai ini dikendalikan dengan disiplin militer dan
“sentralisme-demokratis.” Keanggotaan partai dikontrol ketat dan semua anggota partai harus
menjalankan disiplin partai, mereka tidak boleh menentang garis-partai secara public kecuali hanya
melalui perdebatan internal di tingkat pengurus partai. Koran partai memainkan peran utama untuk
membentuk opini public. Partai sendiri mempercepat gerakannya pada organisasi-organisasi front,
yang bertindak seolah-olah independen tetapi pada kenyataannya dikontrol partai (As’ad Said
Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan
Ideologis.  Jakarta: LP3ES, 2012. hal. 6). Gerakan ini mengalami pasang surut, meski demikian,
gerakan komunis telah memberikan dampak yang cukup besar bagi jalannya perpolitikan di dunia,
termasuk di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan maupun pasca gerakan
reformasi tahun 1998.
Lahir dan berkembangnya gerakan komunis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sebuah
organisasi yang bernama ISDV ( Indische Sociaal-democratische Vereeniging ). Organisasi kaum
sosialis Belanda yang pada mulanya merupakan klub debat kecil diantara sesama anggota mereka.
Klub ini didirikan oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet di Semarang pada bulan Mei
1914 (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926.  Jakarta: Grafiti,
1997. hlm. 133). Karena anggotanya mayoritas adalah orang-orang Eropa, Sneevliet dan kawan-
kawannya merasa sangat sulit untuk mengembangkan organisasi tersebut, karena orang pribumi
bersifat antipati trerhadap nama yang berbau Eropa. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk
bersekutu dengan gerakan yang lebih besar dan yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada
massa rakyat Indonesia (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V,  Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Hlm. 198).
Hal ini dilakukan ketika pada tahun 1916, H.J.M. Sneevliet aktif dalam Vereniging Spoor en
Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem. Dari organisasi ini dibinalah
Samaoen, seorang buruh kereta api pindahan dari Surabaya yang baru berusia 17 tahun (lahir 1899
M), sebagai kader. Selanjutnya pada tahun 1916, Darsono (lahir 1897 M), usia 19 tahun, Alimin
Prawirodirdjo (1889 – 1964), usia 27 tahun, dan Tan Malaka (1897 – 1949 M), usia 19 tahun, menjadi
kader ISDV dan VSTP4. Pada awalnya Samaoen, Darsono dan Alimin adalah anak buah H.O.S.
Komunisme/Marxisme

Cokroaminoto, mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarikat Islam (CSI) di Surabaya sejak 1915.
Ketika H.J.M. Sneevliet ditarik ke Belanda pada tahun 1918, Samaoen menggantikannya menjadi
ketua ISDV (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I cet. V,  Bandung: Salammadani, 2012.
hlm.409-410).
Apa yang dilakukan Sneevliet dengan mengkader tiga murid Cokroaminoto tersebut adalah
proses menginfiltrasi Sarekat Islam yang waktu itu merupakan salah satu gerakan politik yang disegani.
Tidak hanya di Sarekat Islam, Sneevliet juga menginfiltrasikan anggota ISDV Mr. Brandsteder ke dalam
serdadu angkatan laut Belanda dan Ir. Baars, Van Burink ke kalangan pegawai negeri berkebangsaan
Belanda (Ahmad Mansur, Idem,  hlm. 410).
Dengan posisinya sebagai ketua ISDV, maka Samaoen merasa sederajat dengan pemimpin
Centraal Sjarekat Islam (CSI), apalagi pada saat itu mulai terdengar isu-isu Revolusi Oktober 1917 di
Rusia. Dengan posisi psikologis seperti itu dapat dipahami mengapa dalam National Congres Centraal
Sjarikat Islam  keempat, kelompok kader ISDV mulai berani menyerang pimpinan CSI: Oemar Said
Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agoes Salimdan Soerjopranoto. Mereka berusaha mengganti ideologi
Islam dengan Marxist (Pringgodigdo,Mr. A.K, Sedajarah Pergerakan Rakjat Indonesia,  Djakarta :
Pustaka Rakjat, 1960. hlm. 38). Imbas sikap ini akhirnya menjadikan Centraal Sjarikat Islam terpecah
menjadi dua. CSI Putih yang dipimpin Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoel Moeis, dan di sisi lain
CSI Merah yang dipimpin Samaoen. Pada tanggal 23 Mei 1920 berdirilah Perserikatan Kommunist di
India (PKI) (Ahmad Mansur, Idem,  hlm. 410). Tujuh bulan kemudian partai ini mengubah namanya
menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan Samaoen sebagai ketuanya.
Partai Komunis Indonesia yang dipimpin Samaoen gerakan model kota pembelah ( wig politiek),
pemutus kontak politik pimpinan Central Sjarikat Islam Surabaya Jawa Timur dengan pimpinan dan
massa pendukung Central Sjarikat Islam Bandung, Jawa Barat. Dampak selanjutnya, yang ditargetkan
adalah terputusnya kontak politik dengan daerah luar Jawa sebagai wilayah kerja Central Sjarikat
Islam, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Dengan demikian, terlihat jelas,
tujuan para peletak dasar ISDV seperti H.J.M. Sneevliet, J.A. Brandseder, P. Bergsma dan A. Baars,
tidaklah murni. Melalui gerakan mereka, pemerintah Belanda berhasil membelah CSI dari dalam. Hal
ini juga bisa dibaca dari sikap H.J.M. Sneevliet yang menentang tuntutan Sjarikat Islam, Indonesia
Merdeka atau Indonesia Berpemerintahan Sendiri. Sneevliet menyatakan, apabila Indonesia Merdeka,
akan berdampak buruh Belanda banyak yang menganggur (Ahmad Mansur, Idem,  hlm. 412-413).
Krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1920 memberikan lahan yang subur bagi
pertumbuhan PKI. Prinsip pertentangan kelas yang dianut PKI mendapatkan basisnya di tengah-
tengah kemiskinan masyarakat. Dalam propaganda politiknya, ideologi komunis menempatkan kaum
proletar (masyarakat miskin dan kaum buruh) serta masalah yang menimpa kelas tersebut sebagai isu
utama perjuangan. Dalam kondisi krisis tersebut, PKI berhasil menggalang massa untuk melakukan
tindakan-tindakan radikal dan revolusioner. Pemogokan-pemogokan pegawai pegadaian pada tahun
Komunisme/Marxisme

1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 merupakan aksi PKI untuk menghadapi krisis
tersebut. Titik kulminasi dari radikalisme ini tercapai pada pemberontakan komunis pada tahun 1926 di
Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
(Poesponegoro dkk, Idem, hlm. 208).
Sebagai jawaban terhadap aktivitas-aktivitas yang revolusioner itu, pemerintah kolonial
mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran dilakukan,
ribuan orang yang dicurigai dipenjarakan, banyak diantara mereka yang dibuang atau ditawan. Hak
mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan cermat. Pertemuan-pertemuan harus
dihadiri oleh anggota-anggota polisi yang diberi kekuasaan untuk membubarkan apabila pertemuan itu
dianggap membahayakan ketentraman umum (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru
: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme,  Jilid 2, Jakarta: Gramedia,
1999. hlm. 61-62).
Artikel ini merupakan bagian dari makalah ilmiah berjudul: Komunisme/Marxisme-
Leninisme Pasca Reformasi Indonesia
Penulis: Arif Wibowo – Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

Anda mungkin juga menyukai