Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/322498601

Praktik Gugatan Perdata dalam Penanganan Perkara Korupsi di Indonesia

Working Paper · January 2018

CITATIONS READS

0 2,606

1 author:

Noviana Ernawati
Universitas Gadjah Mada
8 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Noviana Ernawati on 24 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

PRAKTIK GUGATAN PERDATA DALAM PENANGANAN PERKARA KORUPSI


DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata

Oleh:

Nama : Noviana Ernawati


NIM : 15/382566/HK/20633

YOGYAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

1. Definisi Korupsi

Dewasa ini, selain kata "miskin", kata yang selalu menjadi topik permasalahan dalam
realitas bangsa khususnya bangsa Indonesia adalah kata "korupsi". Sudah selayaknya korupsi
masuk dalam jajaran permasalahan klasik bangsa Indonesia. Kalau kemudian kemiskinan
adalah "the oldest social problems", maka korupsi barangkali boleh juga dikatakan sebagai
"as old as the organization of powers"1.

Korupsi dapat ditemukan di seluruh bagian dunia, sebagaimana yang dinyatakan oleh
PBB: “This evil phenomenon is found in all countries—big and small, rich and poor—but it is
in the developing world that its effects are most destructive. Corruption hurts the poor
disproportionately by diverting funds intended for development, undermining a Government’s
ability to provide basic services, feeding inequality and injustice and discouraging foreign
aid and investment. Corruption is a key element in economic underperformance and a major
obstacle to poverty alleviation and development”2.

Dalam UU No 31 Tahun 1999 maupun dalam United Convention Against Corruption


tidak diberikan suatu definisi untuk korupsi sebagai kata yang berdiri sendiri. Adapun jenis-
jenis tindak pidana korupsi sebagaimana di atur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:

1. Berkaitan dengan kerugian keuangan negara, diatur dalam 2 (dua) pasal

2. Berkaitan dengan suap menyuap, diatur dalam 12 (dua belas) pasal

3. Berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan, diatur dalam 5 (lima) pasal

4. Berkaitan dengan pemerasan, diatur dalam 3 (tiga) pasal

5. Berkaitan dengan perbuatan curang, diatur dalam 6 (enam) pasal

1
Tim Garda Tpikor, 2016, Kejahatan Korupsi, Penerbit Rangkang Education dengan kerjasama Garda Tpikor
Universitas Hasanuddin, Yogyakarta, halaman 12
2
United Nations Convention Against Corruption, 2004
6. Berkaitan dengan pengadaan, diatur dalam 1 (satu) pasal

7. Berkaitan dengan gratifikasi, diatur dalam 1 (satu) pasal.

2. Penanganan Korupsi dan Upaya Perdata

Selama ini upaya penanganan korupsi lebih banyak dilakukan melalui prosedur
pidana. Hal ini tidak mengherankan, mengingat posisi korupsi sebagai tindak pidana khusus,
yang memiliki undang-undang khusus dan diutamakan percepatan perkaranya.

Namun demikian, tidak berarti jalur perdata sama sekali tidak dapat digunakan
sebagai langkah untuk menangani perkara korupsi. Secara normatif, aturan tentang
penggunaan jalur perdata terdapat dalam Pasal 32, 33, dan 34 UU Nomor 31 Tahun 1999
yang pada pokoknya mengatur bahwa gugatan perdata dapat dilakukan apabila:

1. Dalam hal penyidik tidak mendapat cukup bukti tetapi telah ada kerugian keuangan negara
secara nyata.

2. putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian
keuangan negara.

3. dalam penyidikan dan/atau pemeriksaan sidang, tersangka/terdakwa meninggal dunia


namun telah ada kerugian keuangan negara.

4. putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenai perampasan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa meskipun penanganan perkara korupsi identik
dengan penanganan melalui jalur pidana, penggunaan instrumen perdata masih
memunngkinkan untuk dilakukan. Namun demikian, belum diketahui apakah instrumen
perdata untuk menangani perkara korupsi memiliki kekhususan-misalnya dijadikan perkara
yang diprioritaskan penyelesaiannya-, mengingat korupsi merupakan suatu extra ordinary
crime yang sangat mengancam kehidupan bernegara. Selain itu efektivitas penanganan
perkara korupsi menggunakan instrumen perdata juga belum diketahui. Makalah ini ditulis
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bilamana (dalam situasi seperti apa) gugatan perdata dapat dilakukan dalam penanganan
perkara korupsi di Indonesia?

2. Bagaimanakah ketentuan mengenai pengajuan gugatan dan pembuktian dalam perkara


korupsi, apakah terdapat ketentuan khusus?

3. Bagaimana efektivitas penanganan perkara korupsi melalui mekanisme gugatan perdata


dan apa saja faktor pendorongnya?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Situasi yang Memungkinkan Penanganan Korupsi Melalui Mekanisme Gugatan


Perdata

Penggunaan mekanisme perdata dalam penanganan perkara korupsi dapat dilakukan


dalam dua situasi yaitu ketika pemeriksaan secara pidana mengalami hambatan, dengan kata
lain proses pidana belum selesai, dan dalam upaya pengembalian aset negara yang dikorup.

Secara normatif, pengaturan mengenai situasi yang memungkinkan gugatan perdata


diajukan ketika pemeriksaan secara pidana mengalami hambatan, dengan kata lain proses
pidana belum selesai ada dalam pasal 32 sampai dengan pasal 34 Undang-undang Nomor 31
Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun bunyi pasal-pasal
tersebut adalah:

Pasal 32

(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur
tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam
perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara.

Pasal 33

Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 34

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli warisnya.

Dalam praktik, ketentuan pasal-pasal tersebut digunakan sebagai alasan dan dasar
gugatan. Selain ketentuan pasal tersebut, alasan dan dasar gugatan yang dapat digunaka
adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal1365 KUHPerdata yang
berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut”. Penggunaan pasal perbuatan melawan hukum ini memang penting, mengingat
istilah korupsi tidak didefinisikan secara normatif dalam hukum perdata, dan pasal perbuatan
melawan hukum merupakan pasal yang paling akomodatif bagi istilah korupsi.

Gugatan perdata sebagai langkah untuk mengembalikan aset negara yang


dikorup,meski telah terdapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, secara normatif
diatur dalam pasal 38 C UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: Apabila setelah putusan
pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda
milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang
belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal38 B ayat
(2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.”

Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran berpendapat


bahwa penerapan pertanggungjawaban perdata ahli waris pelaku tindak pidana korupsi juga
dapat diberlakukan kepada mantan Presiden Soeharto yang telah wafat, perkara gugatan
perdata terhadapnya tidak gugur. Gugatan itu tetap dapat dilakukan hingga tiga garis
keturunan3.

Keterlibatan ahli waris dalam pengembalian asset negara menimbulkan satu


permasalahan, apakah hal ini bertentangan dengan keadilan atau tidak. Hans Kelsen
menyatakan bahwa: “kriteria keadilan, seperti halnya kriteria kebenaran, tergantung pada
frekuensi dibuatnya penbenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak bangsa,
kelas, agama, profesi, dan sebagainya, yang berbeda-beda, maka terdapat banyak ide keadilan

3
Muhammad Luthfan Hadi Darus, Pertanggungjawaban Perdata Ahli Waris Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam
Mengembalikan Kerugian Negara, halaman 11
yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk menyebut salah satunya sebagai keadilan4”.
Dari pendapat Hans Kelsen tersebut, maka didapatlah suatu logika bahwa keadilan akan suatu
haltergantung pada frekuensi pembenaran tersebut. Termasuk dalam perkara korupsi, jika
frekuensi pembenaran dari pertanggungjawaban ahli waris semakin banyak, maka hal
tersebut dianggap adil. Jika memakai logika pragmatis, ahli waris ikut menikmati hasil
korupsi yang dilakukan pewarisnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi sudah
sewajarnya jika ahli waris ikut bertanggungjawab dalam pengembalian kerugian negara jika
pewaris meninggal dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban ahli waris
dalam pengembalian kerugian negara bukanlah suatu hal yang menciptakan ketidakadilan.
Sebaliknya, gugatan perdata tentang pengembalian kerugian negara ini adalah untuk
memberikan rasa keadilan masyarakat sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan pelaku tindak pidana korupsi5.

Jika kita bandingkan dengan aturan di negara lain, penegakan tindak pidana korupsi
melalui hukum keperdataan lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat
melalui penyitaan (confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi
ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa “Countries such as Italy, Ireland and the
United States provide, under varying contitions, for the possibility of civil or preventive
confiscation of assets suspected to be derived from certain criminal activity. Unlike
confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do not require proof of illicit origin
beyond reasonable doublt . Instead , the consider proof on a balance of probabilities or
demand a high probability of illicit origin combined the inability of the owner to prove the
contrary”6.

B. Pengajuan Gugatan dan Pembuktian di dalam Peradilan Perkara Korupsi

1. Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan dalam perkara korupsi dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara
atau instansi terkait yang dirugikan, sesuai dengan pasal 32 sampai dengan pasal 34 UU No

4
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, halaman 17
5
Haswandi, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pelaku dan Ahli Warisnya Menurut Sistem Hukum
Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 1, Maret 2017
6
Muhammad Luthfan Hadi Darus, Pertanggungjawaban Perdata Ahli Waris Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam
Mengembalikan Kerugian Negara, halaman 11
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktik, penggugat
adalah Kejaksaan Agung RI, diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus dan Surat Perintah dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Berikut
adalah contoh penulisan penggugat dalam putusan perkara korupsi yang diselesaikan melalui
mekanisme perdata7:

Pengadilan Negeri tempat mengajukan gugatan tunduk pada ketentuan pasal 118 Het
Herziene Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui. Ketentuan tersebut
pada pokoknya mengatur bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama diajukan ke
Pengadilan Negeri:

1. Tempat Tergugat Diam atau jka tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;

2.Jika tergugat lebih dari satu orang, diajukan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal salah seorang tergugat. Jika tergugat adalah debitur dan penanggung, diajukan ke PN
yang wilayah hukumnya meliputi domisili debitur;

3. jika tempat diam dan tempat tinggal tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat. Jika surat gugat tentang barang gelap,
diajukan kepada Ketua PN di daerah hukum yang meliputi letak barang tersebut;

7
Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK
4. Sesuai dengan perjanjian.

Meskipun pengajuan gugatan terkait perkara korupsi tidak diatur secara khusus,
namun kemungkinan tempat pengajuan gugatan hanya ada pada ketentuan pasal 118 ayat (1)
atau ayat (2), atau ayat (3). Ayat (4) tidak mungkin digunakan, karena korupsi di lihat dari
kacamata hukm perdata dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, yang
merupakan perikatan yang lahir karena undang-undang, sehingga tidak mugkin pengajuan
gugatan diajukan ke PN yang sudah disetujui sebelumnya lewat perjanjian.

Adapun tergugat, sesuai dengan ketentuan pasal 32 sampai dengan pasal 34 UU No


31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pelaku korupsi atau
ahli warisnya. Sebagai contoh, dalam gugatan perdata terkait perkara korupsi yang
disidangkan di PN Depok, ahli waris sebagai tergugat adalah ahli waris golongan 1 menurut
KUHPerdata yaitu janda/istri pewaris ketika masih hidup dan semua anak. Dari contoh kasus
ini dapat diperoleh tafsiran atas frasa ahli waris dalam pasal 32 sampai pasal 34 UU No 31
Tahun 1999, yaitu ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris sebagaimana dimaksud oleh
KUHPerdata, sehingga ketentuan tentang pembagian golongan ahli waris dan persederajatan
ahli waris juga berlaku.

2. Pembuktian

UU No 31 Tahun 1997 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi tidak memberikan ketentuan khusus terkait pembuktian dalam gugatan
perdata sebagai langkah penanganan perkara korupsi. Ketentuan-ketentuan khusus dalam
undang-undang tersebut hanya berlaku dalam proses pidana. Hal ini dapat dilihat dalam
pasal-pasal pembuktian yang menggunakan frasa “terdakwa”, bukan tergugat. Karena tidak
ada ketentuan khusus, maka layaknya perkara perdata lainnya, perkara korupsi yang
diselesaikan melalui mekanisme perdata tunduk pada ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku umum.

Beban pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata, termasuk perkara korupsi


yang diselesaikan melalui mekanisme perdata tunduk pada ketentuan pasal 163 HIR/pasal
283 Rbg/pasal 1865 KUHPerdata. Pasal tersebut pada pokoknya mendalilkan bahwa setiap
orang yang beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan
haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu.
Dengan kata lain, beban pembuktian ada pada penggugat.
UU No 31 Tahun 1997 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak memberikan ketentuan khusus terkait alat bukti yang dapat digunakan
dalam perkara korupsi yang diselesaikan melalui mekanisme perdata. Sehingga, ketentuan
mengenai alat bukti tunduk pada ketentuan pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg. Dalam pasal
tersebut ditentukan bahwa alat-alat bukti terdiri dari bukti tertulis, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah.

Ketentuan-ketentuan lain terkait pembuktian secara perdata sama sekali tidak diatur
dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Ketentuan-ketentuan khusus dalam
undang-undang tersebut hanya berlaku bagi penyelesaian perkara korupsi melalui mekanisme
pidana. Dengan kata lain, hukum pembuktian dalam pengajuan gugatan perdata terkait
perkara korupsi dalah sama dengan hukum pembuktian yang berlaku bagi perkara perdata
biasa. Demikian pula ketentuan pemeriksaan sidang dalam penanganan perkara korupsi
melalui mekanisme perdata tidak diatur secara khusus, sehingga ketentuannya merujuk pada
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku secara umum.

C. Efektivitas Penanganan Perkara Korupsi Melalui Mekanisme Perdata

Efektivitas penanganan perkara korupsi, termasuk yang ditangani melalui mekanisme


perdata dapat dihitung secara matematis dengan menghitung jumlah kerugian negara dibagi
jumlah uang pengganti serta denda yang masuk ke dalam kas negara.

Berdasarkan data hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
(UGM), kerugian negara akibat korupsi dalam rentang waktu 2001-2015 adalah sekitar 203.9
triliun rupiah. Dari nilai kerugian tersebut, nilai hukuman finansial (denda, hukuman
pengganti, dan perampasan barang bukti) hanya mencapai 21.3 triliun rupiah 8. Melihat
presentase jumlah kerugian negara dibagi hukuman finansial yang tidak mencapai 10%, dapat
dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak efektif, ibarat jauh panggang dari api.

Penanganan perkara korupsi melalui jalur perdata juga tidak efektif, hal ini bisa
dilihat dari jumlah piutang uang pengganti di neraca kejaksaan yang ada pada bidang Bidang

8
Rimawan Pradiptyo, dkk, Korupsi Striktural; Analisis Database Korupsi Versi 4, Laboratorium Ilmu Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, diakses dari http://cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id/publikasi-
/Database%20Korupsi%20V%204-5April16_RP_VR_THP.pdf
Perdata Dan Tata Usaha Negara dengan nilai sebesar Rp9.8 triliun9. Hal ini berarti, kejaksaan
belum berhasil menyerahkan uang penganti sebagai salah satu komponen untuk menambal
kerugian negara ke kas negara. Juga berarti kegagalan yang ganda, selain gagal menuntut dan
menggugat untuk mendapat pengganti yang senilai dengan kerugian negara, gagal untuk
segera menyetorkan uang pengganti ke kas negara.

Hal yang tentu menjadi pertanyaan adalah penyebab dari buruknya performa
pemberantasan korupsi, khususnya melalui upaya perdata. Menurut Suhadibroto, mantan
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, ada beberapa hal yang menjadikan
sulitnya penannganan korupsi melalui mekanisme perdata, yaitu10:

1. Sistem pembuktian yang rumit. Pembuktian menurut hukum acara perdata adalah
pembuktian formil, yang lebih sulit dari pembuktian materiil. Selain itu, beban pembuktian
juga ada pada penggugat.

2. Waktu yang lama dan proses yang bertele-tele.

3. Kejaksaan jarang memfokuskan pada pengejaran aset dalam konteks pengembalian


kerugian negara.

Selain itu, menurut Mujahid A Latief, penyebab tidak efektifnya penggunaan


mekanisme perdata dalam penanganan perkara korupsi adalah hukum acara perdata tidak
memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem
pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas
penanganan perkara, serta hambatan lain seperti tidak ada kemudahan dalam proses sita
jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya11.

Biaya perkara juga ikut andil sebagai faktor pemicu tidak efektifnya penanganan
perkara korupsi. Besaran biaya penanganan per perkara korupsi faktanya tidak seragam
diantara tiga institusi penegak hukum yang menangani perkara korupsi. Biaya penanganan
per perkara korupsi di Kejaksaan dan Kepolisian jauh lebih kecil jika dibandingkan yang
9
Evaluasi Indonesia Corruption Watch atas 2 tahun Kinerja HM Prasetyo Sebagai Jaksa Agung, diakses dari
http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/files/Siaran%20Pers/Evaluasi%202%20tahun%20Kin
erja%20HM%20Prasetyo%20Sebagai%20Jaksa%20Agung.pdf
10
Suhadibroto dalam wawancara dengan hukumonline, diakses
darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12178/suhadibroto-sulit-menggugat-koruptor-secara-
perdata, pada 15 Mei 2017
11
Mujahid A. Latief, Pengembalian Aset Korupsi via Instrumen Perdata,
http://www.antikorupsi.org/en/content/pengembalian-aset-korupsi-instrumen-perdata, diakses pada Mei
2017
diterima oleh KPK. Pada tingkat lokal biaya penanganan perkara korupsi di Kepolisian
Daerah sebesar Rp. 25 juta/perkara dan di Kejaksaan Tinggi Rp. 50 juta/perkara dinilai tidak
memadai12.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa penanganan korupsi
melalui jalur perdata belum dapat dikatakan efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
yang jika ditarik akar permasalahannya adalah satu, yaitu tidak adanya aturan hukum yang
khusus dan menyeluruh yang mengatur mekanisme penanganan perkara korupsi melalui jalur
perdata. Aturan dalam undang-undang Tipikor terkait penanganan prkara korupsi melalui
mekanisme perdata masih sangat umum, padahal korupsi merupakan suatu extra ordinary
crime yang membutuhkan “special treatment” dalam penanganannya. Namun demikian,
tidak dapat dikatakan aturan dalam undang-undang Tipikor terkait penggunaan jalur perdata
merupakan lex imperfecta, dalam bahasa awamnya macan ompong, karena ada beberapa
kasus yang menggunakan aturan tersebut, misalnya kasus Yayasan Supersemar. Tetapi,jika
melihat banyaknya kekurangan dalam aturan tersebut, dapat diibaratkan aturan tersebut
merupakan macan yang sakit gigi, namun harus tetap mengunyah mangsa.

12
Supriyadi Widodo Eddyono, 2017, Dari Lacak Kayu Bulatnya Ke Lacak Uangnya Penerapan Anti Pencucian
Uang Kejahatan Alih Fungsi Lahan Dalam Kasus Adelin Lis, Marthen Renouw dan Labora Sitorus, Institute for
Criminal Justice Reform, Jakarta
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Penggunaan mekanisme perdata dalam penanganan perkara korupsi dapat dilakukan


dalam dua situasi yaitu ketika pemeriksaan secara pidana mengalami hambatan, dengan kata
lain proses pidana belum selesai, dan dalam upaya pengembalian aset negara yang dikorup.

2. Pengajuan gugatan dalam perkara korupsi dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau
instansi terkait yang dirugikan, sesuai dengan pasal 32 sampai dengan pasal 34 UU No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tergugat adalah pelaku korupsi
atau ahli warisnya. Ketentuan mengenai pembuktian dan pemeriksaan sidang mengikuti
hukum acara perdata yang berlaku umum.

3. Penanganan korupsi melalui jalur perdata belum dapat dikatakan efektif. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang jika ditarik akar permasalahannya adalah satu, yaitu
tidak adanya aturan hukum yang khusus dan menyeluruh yang mengatur mekanisme
penanganan perkara korupsi melalui jalur perdata. Aturan dalam undang-undang Tipikor
terkait penanganan prkara korupsi melalui mekanisme perdata masih sangat umum, padahal
korupsi merupakan suatu extra ordinary crime yang membutuhkan “special treatment” dalam
penanganannya.

B. SARAN

1. Penggunaan mekanisme perdata dalam penanganan perkara korupsi harus lebih sering
digunakan, karena sifatnya yang lebih luwes yang dapat digunakan dalam berbagai situasi
yang tidak dapat menggunakan jalur pidana, atau untuk melengkapi penggunaan jaur pidana.

3. Perlu dibentuk aturan khusus di bidang hukum acara perdata untuk menangani perkara
korupsi agar penanganan perkara korupsi menjadi lebih efektif, khususnya yang
menggunakan mekanisme perdata
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta

Eddyono,Supriyadi Widodo, 2017, Dari Lacak Kayu Bulatnya Ke Lacak Uangnya Penerapan
Anti Pencucian Uang Kejahatan Alih Fungsi Lahan Dalam Kasus Adelin Lis, Marthen
Renouw dan Labora Sitorus, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta

Haswandi, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pelaku dan Ahli Warisnya Menurut
Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 1, Maret 2017

Tim Garda Tpikor, 2016, Kejahatan Korupsi, Penerbit Rangkang Education (dengan
kerjasama Garda Tpikor Universitas Hasanuddin), Yogyakarta

Peraturan dan Putusan Pengadilan

Het Herziene Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui


Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Rechtreglement voor de Buitengewesten/ Reglemen Hukum Daerah Seberang

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

United Nations Convention Against Corruption, 2004


Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK

Sumber Lain

Muhammad Luthfan Hadi Darus, Pertanggungjawaban Perdata Ahli Waris Pelaku Tindak
Pidana Korupsi dalam Mengembalikan Kerugian Negara (artikel)

Rimawan Pradiptyo, dkk, Korupsi Struktural; Analisis Database Korupsi Versi 4,


Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, diakses dari
http://cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id/ pada Mei 2017
Evaluasi Indonesia Corruption Watch atas 2 tahun Kinerja HM Prasetyo Sebagai Jaksa
Agung, diakses dari http://www.antikorupsi.org/ pada Mei 2017

Suhadibroto dalam wawancara dengan hukumonline, diakses dari


http://www.hukumonline.com, pada 15 Mei 2017

Mujahid A. Latief, Pengembalian Aset Korupsi via Instrumen Perdata,


http://www.antikorupsi.org/en/content/pengembalian-aset-korupsi-instrumen-perdata, diakses
pada Mei 2017

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai