Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Logika sebagai landasan utama untuk menguasai filsafat dan ilmu pengetahuan serta
sarana penghubung antara filsafat dan ilmu. Dari segi filsafat, dengan logika kita berarti
memahami fungsi logis manusia. Logika adalah suatu cara yang diciptakan untuk meneliti
ketepatan penalaran dan mencegah kesesatan berpikir. Dari sudut pandang ilmu, logika berarti
penyelarasan berpikir, yang disesuaikan dengan kenyataan sehari-hari, sehingga kualitas
pengetahuan selalu berada dalam pengujian terus menerus dan bergerak secara empiris dan
teoritis. Logika menyelelaraskan kaidah objektif dengan situasi objektif dan konkret.
Menurut Kaplan & Manners secara sederhana mendefinisikan generalisasi sebagai
proposisi yang menjadikan dua atau lebih kelas fenomen saling berhubungan. Dalam
generalisasi terkandung dua atau lebih kelas fenomen saling berhubungan. Dalam generalisasi
terkadang suatu sikap logis yang penting, yaitu bahwa pernyataan yang dikemukakannya
bersifat melampui hal yang diamati atau direkam, melampui suatu batas hubungan seperti
pernyataan, "Semua manusia memiliki tabu incest" adalah generalisasi. Namun, berdasarkan
pengamatan ada dua jenis yang membuat proses penggeneralisasiaan menjadi terkesan rancu.
Kaplan&Manners (1999) mengemukakan bahwa suatu teori sekalipun merupakan generalisasi
pula, tapi generalisasi yang bercorak khusus dan berbeda dalam beberapa hal penting.
Perbedaan dua macam generalisasi tersebut antara lain :

Generalisasi empirik yang terbagi ke dalam :


1. Memberikan label pada regularitas alami
2. Menembus hingga melampaui pengamatan, tapi jangkauan penjelasannya terbatas
3. Menunjuk pada hubungan-hubungan yang berlaku dalam kondisi-kondisi tertentu tanpa
peduli ruang dan waktu.

Generalisasi teoritik yang terbagi ke dalam :


1. Memberikan alasan berlangsungnya regularitas
2. Menuntun ke arah fakta baru dan membuka jalur-jalur baru dalam penelitian
3. Mengacu pada hubungan-hubungan yang sangat abstrak yang dapat dipandang sebagai
induk generalisasi empirik di mana pernyataan deskriptif merupakan kasus khusus.
BAB II
PEMBAHASAN

Generalisasi merupakan bagian dari penalaran. Oleh sebab itu untuk memahami
kemampuan generalisasi kita harus pahami dulu apa yang dimaksud dengan penalaran. Keraf
(dalam Shadiq, 2004) menyatakan bahwa penalaran sebagai proses berpikir yang
menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Sebagai contoh,
dari pengetahuan tentang besar dua sudut dalam suatu segitiga diketahui 45 derajat dan 35
derajat, maka dapat disimpulkan atau dibuat pernyataan bahwa sudut yang ketiga dalam
segitiga tersebut besarnya adalah 100 derajat. Alasan dari jawaban ini adalah jumlah sudut
dalam satu segitiga adalah 1800. Penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu
aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang
benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau
diasumsikan sebelumnya.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Shurter dan Pierce (dalam Sumarmo, 1987)
penalaran adalah proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang
relevan. Secara global penalaran dibedakan menjadi penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Penalaran induktif adalah proses penalaran dari hal-hal khusus ke hal-hal yang umum.
Sumarmo (1987) menyatakan generalisasi merupakan salah satu bagian dari penalaran
induktif. Sedangkan penalaran deduktif adalah proses penalaran dari pengetahuan prinsip atau
pengalaman yang umum yang menuntun kita memperoleh kesimpulan untuk sesuatu yang
khusus. Penalaran Induktif dan deduktif seringkali hanya dibedakan antara keumuman dan
kekhususan dari premis dan kesimpulannya. Deduktif didefinisikan sebagai proses penalaran
yang berjalan dari premis umum ke khusus.
Kemudian Soekadijo (1991) menyatakan bahwa penalaran yang lebih luas daripada
premisnya disebut penalaran induktif. Tidak semua induktif konklusinya harus suatu
generalisasi; konklusinya itu suatu proposisi umum, suatu proposisi universal, yang berlaku
secara umum. Deduktif dan induktif bukan dibedakan dari keumuman dan atau kekhususan
premis dan konklusinya saja, tetapi berkaitan dengan derajat kesahihannya, yakni deduktif
berhubungan dengan kesahihan argumen dan induktif berhubungan dengan derajat
kemungkinan kebenaran dari konklusi. Penalaran induktif dan deduktif walaupun saling
berlawanan, akan tetapi penggunaannya dalam matematika keduanya saling melengkapi.
Bruner (dalam Lohman, 2002) yang menyatakan bahwa ketika orang memberikan alasan, maka
akan melewati informasi yang ada dengan salah satu atau kedua cara berikut ini:
1. Mereka berusaha menarik kesimpulan secara otomatis dari konsep-konsep, pola-pola
atau aturan-aturan yang dipandang terbaik mencirikan hubunganhubungan atau pola-
pola yang mereka rasakan untuk semua elemen (kata, simbol, gambar, suara,
pergerakan dan sebagainya) dalam suatu kumpulan rangsangan.
2. Mereka berusaha mendeduksi konsekuensi-konsekuensi atau implikasiimplikasi dari
suatu aturan, sekelompok premis atau pernyataan menggunakan jaminan yang
dipandang masuk akal secara logis atau melalui informasi yang telah diketahui dalam
soal-soal atau yang diasumsikan benar oleh sekelompok orang yang melakukan
diskursus. Menurut Soekadijo (1991), penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi
yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik disebut
generalisasi.
Selanjutnya Soekadijo (1991) menyatakan prinsip yang menjadi dasar penalaran
generalisasi itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Apa yang beberapa kali terjadi dalam
kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.
Generalisasi yang berasal dari kata generalization, didefinisikan oleh Bassham, dkk (2008:70)
sebagai berikut: A generalization, as that term is used in critical thinking, is a statement that
attributes some characteristic to all or most members of a given class. Pendapat dari Shurter
dan Pierce (dalam Dahlan, 2004) generalisasi adalah proses penalaran yang dihasilkan dari
pengujian contoh secukupnya menuju sebuah kesimpulan mengenai semua atau beberapa
contoh. Selanjutnya Polya (dalam Ward and Hardgrove, 1966) generalisasi adalah proses
melalui pertimbangan dari himpunan objek yang diberikan menuju sebuah himpunan yang
besar yang memuat objek yang diberikan.
Senada dengan pendapat Polya¸ Hudoyo (2001) mendefinisikan proses generalisasi
sebagai sembarang himpunan X yang diperluas menjadi himpunan yang lebih luas. NCTM
(2000) mendeskripsikan proses generalisasi adalah mencatat keteraturan dan
memformulasikan konjektur. Pendeskripsian NCTM serupa dengan pendeskripsian Ward dan
Hardgrove (1966) bahwa proses generalisasi meliputi mengobservasi pola, membuat hubungan
yang mungkin dan formulasi konjektur. Untuk deskripsi yang lebih lengkap dikemukakan oleh
Mason (dalam Rojano, 2002) proses generalisasi terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Perception of generality; yaitu proses mempersepsi atau mengidentifikasi pola.
2. Expression of generality, yaitu menggunakan hasil identifikasi pola untuk menentukan
struktur atau data atau gambaran atau suku berikutnya.
3. Symbolic expression of generality, yaitu memformulasikan keumuman secara simbolis.
4. Manipulation of generality, yaitu menggunakan hasil generalisasi untuk menyelesaikan
masalah.
Selain empat tahap proses generalisasi diatas, yang juga harus diperhatikan adalah
syarat generalisasi. Soekadijo (1991) mengemukakan suatu proposisi dapat dikatakan
generalisasi apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya tidak boleh terikat pada
jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa “semua A adalah B”, maka proposisi itu harus
benar, berapapun jumlah A. Dengan kata lain proposisi itu berlaku untuk setiap dan
semua subyek yang memenuhi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya tidak boleh terbatas
dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian. Yang dimaksud dengan “dasar
pengandaian” adalah: dasar dari yang disebut ‘contrary-to-facts conditionals’ atau
‘unfulfilled conditional.
BAB III
KESIMPULAN

Menurut Guba & Lincoln (1981), generalisasi yang bebas konteks seperti yang digagas
kelompok positivisme adalah omong kosong ketika diterapkan pada perilaku manusia.
Generalisasi tidak terdapat di alam, tetapi kreasi aktif dari pikiran. Secara logis selalu ada
beberapa kemungkinan generalisasi yang dipertimbangkan pada suatu fenomena. Dengan kata
lain tidak ada hukum yang mutlak, sehingga generalisasi selalu bersifat relatif. Menimbang
bahwa pada perilaku sosial selalu terjadi perubahan, maka tidak ada generalisasi yang berlaku
selamanya, karena itu generalisasi hanya berlaku pada kurun waktu dan konteks tertentu. Selain
itu, setiap temuan adalah hasil interaksi peneliti dengan yang ditelitinya dengan memperhatikan
nilai-nilai dan kekhususan setempat yang mungkin sukar direplikasi dan diduplikasi.
Tambahan lagi menurut Abu-Lughod (1991) ada dua hal yang perlu diwaspadai oleh para ahli
antropologi, yakni :
1. Obyektivitas dan kemampuan berbahasa
2. Segala akibat dari homogenitas, keterkaitan, dan ketidak-terbatasan dalam
menghasilkan suatu generalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ramdhani, S. (2018). Kemampuan Generalisasi Mahasiswa Pada Perkuliahan Kapita Selekta


Matematika SMA. Jurnal Analisa.

Shadiq, F. (2013). Penalaran Dengan Analogi. Jurnal Pendidikan.

Mustofa, Id. (2016). Jendela Logika Dalam Berpikir Sebagai Dasar Pelanaran Ilmiah.
Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai