Anda di halaman 1dari 2

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TEMPE SEBAGAI ENERGI LISTRIK

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai
terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe,
40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi
tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg (Yuliana,
2010).
Hampir disetiap kota di Indonesia, khususnya di pulau Jawa akan mudah dijumpai pabrik
pembuatan tempe. Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu negara yang kaya akan
teknologi fermentasi secara tradisional, dan tempe merupakan salah satu produk yang paling
menonjol. Dengan teknologi yang masih sederhana dan nilai gizi yang tinggi serta harga yang
relatif murah, maka tempe cukup terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.
Limbah cair yang berasal dari proses pembuatan tempe apabila tidak dikelola dengan baik dan
hanya langsung dibuang diperairan akan sangat mengganggu lingkungan disekitarnya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan terciumnya bau busuk disekitar lokasi pabrik tempe.
Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang
langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989). Jika limbah tersebut langsung dibuang
keperairan maka dalam waktu yang relative singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H 2 S,
amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut
(Wardojo,1975).
Adanya proses pembusukan, akan menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama pada musim
kemarau dengan debit air yang berkurang. Ketidak seimbangan lingkungan baik fisik, kimia
maupun biologis dari perairan yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi
tempe ini, akan dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan tersebut .
Berdasarkan bagan tersebut diatas nampak bahwa hampir disetiap tahap pembuatan tempe
menghasilkan limbah. Komposisi kedelai dan tempe yang sebagian besar terdiri dari protein,
karbohidrat dan lemak, maka dalam limbahnyapun dapat diduga akan terkandung unsur unsur
tersebut.
Nilai Biological Oxygen Demand (BOD atau kebutuhan oksigen biologis) dari limbah cair ini
sangat tinggi sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme didalam perairan
untuk mendegradasi limbah tersebut, sangat besar. Bahan organik akan diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi gas CO2, H2O dan gas NH3. Gas NH3 inilah yang menimbulkan bau
busuk.
Dampak limbah padat terhadap lingkungan belum dirasakan, karena bias dimanfaatkan sebagai
makanan ternak, namun limbah cairnya mampu mengeluarkan bau dan saat dibuang langsung ke
sungai akan mengakibatkan polusi. 100 kilogram kedelai bias menghasilkan limbah hingga 2 m3.
[4]
proses produksi tempe menghasilkan
limbah cair dalam jumlah yang banyak. Limbah
cair yang dihasilkan mengandung padatan
tersuspensi dan terlarut yang akan mengalami
perubahan fisik, kimia, dan biologi sehingga
menghasilkan zat beracun apabila tidak diolah
dengan baik serta dapat menciptakan media
pertumbuhan bakteri.

Potensi tanaman sorgum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioethanol sangat besar
karena sumber bahan bakunya dapat diambil dari pati, nira, dan ampas dari sorgum. Sorgum
memiliki komposisi pati sebanyak 80,42%, bahkan kandungan karbohidrat dalam biji sorghum
cukup tinggi, yaitu sekitar 73%, jauh lebih tinggi dibandingkan pada singkong yang hanya
sekitar 34,5% (Suarni, 2004).

Anda mungkin juga menyukai