Anda di halaman 1dari 10

PEMBERDAYAAN DAN AKSI KOLEKTIF PEREMPUAN:

SEBUAH REFLEKSI SOSIOLOGIS

WOMEN COLLECTIVE ACTION AND EMPOWERMENT:


A SOCIOLOGICAL REFLECTION
Ida Ruwaida
Departemen Sosiologi, FISIP UI
Idar.noor@gmail.com

Abstract
This paper focuses on the women’s collective action related to the economic empowerment through poverty
reduction programs. Empirically, policies and programs of poverty reduction, do not able to stimulate women’s
capacities and awareness, both individually and collectivelly. The roles of women is more instrumental than
substantive. Moreover, those programs have failed to empower women for organizing themselves to articulate
their interests collectivelly. Some cases reflects that the women’s association rely on their leader. It means the
performance of association and also the economic matters still depended on the capacity of the leader. The
women leaders are able to develop institutional transformation even they face structural and cultural obstacles.
Sociologycally, it is interesing to reveal the strategiesof women agencies in dealing with those obstacles.
Keywords: Women’s collective actions, women agency, economic empowerment, instrumental roles,
transformative roles, institutional transformation.

Abstrak
Tulisan ini memfokuskan perhatian pada aksi kolektif perempuan dalam upaya pemberdayaan ekonominya
melalui program penanggulangan kemiskinan. Berdasar kajian terefleksi bahwa kebijakan maupun program
penanggulangan kemiskinan masih belum menstimuli kapasitas dan kesadaran kritis perempuan baik secara
individual maupun kolektif. Artinya, perempuan masih diposisikan dengan peran instrumentalnya, bukan peran
substantif/transformatifnya. Menariknya, ada kecenderungan program-program yang ada justru menfragmentasi
perempuan. Hal ini dimungkinkan ketika kebutuhan dan kesadaran perempuan untuk mengorganisir diri dan
memperjuangkan kepentingan bersama masih lemah. Pada sejumlah kasus, aksi kolektif perempuan sangat
diwarnai oleh keberadaan figur yang memiliki kapasitas individual sebagai agen perubahan. Aktor perempuan
ini mampu melakukan transformasi institusional, meski berhadapan dengan tantangan struktural dan kultural.
Secara sosiologis, menarik mengungkap strategi agensi perempuan dalam menyikapi tantangan-tantangan
struktural maupun kultural.
Kata kunci: Aksi kolektif perempuan, agensi perempuan, pemberdayaan ekonomi, peran instrumental, peran
substantif/transformatif, transformasi institusional.

Pendahuluan lebih miskin. Berbagai faktor yang melatarinya


tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang
Pemerintah Indonesia, sejalan dengan
diberlakukan di masyarakat pada perempuan,
tujuan pembangunan milenium (MDGs), yang
yang kemudian mengkondisikan kelompok
kini dikembangkan menjadi tujuan pembangunan
perempuan berpendidikan lebih rendah, menikah
berkelanjutan (SDGs), menempatkan kemiskinan
pada usia lebih muda, bergantung secara ekonomi
sebagai salah satu masalah utama yang harus
pada laki-laki/keluarga, dan lainnya. (www.
ditanggulangi. Data BPS, per September 2015,
genderindex.org).
menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai
28,51 juta jiwa (11,13%). Persentase penduduk Berbagai kebijakan dan program telah
miskin di desa jauh lebih besar (14,09%) diluncurkan oleh pemerintah, yang pada dasarnya
dibandingkan kota (8.2%). Adapun gini ratio bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan
mencapai 0.41, nilai di daerah kota lebih besar (antara 9% hingga 10%) dan juga menurunkan
(0,43) dibanding desa (0,33) (www.bps.go.id). angka gini ratio atau ketimpangan pendapatan
Jika dilihat berbasis gender, data menunjukkan (target 0,39). Berkenaan dengan upaya nyata
bahwa perempuan lebih rentan secara ekonomi, menanggulangi kemiskinan–yang menurut UNDP

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 283


lebih berwajah perempuan (www. undp.org), selayaknya memberi benefit pada perempuan,
maka strategi yang dikembangkan perlu bersifat bukan saja partisipasi ekonominya meningkat,
terpadu baik menyasar pada rumah tangga tetapi juga pendapatan dan kesejahteraannya
maupun komunitas, bahkan pada perempuannya meningkat, serta menguatnya kedudukan dan
sendiri.1 Salah satu program terkini yang diinisiasi perannya di keluarga juga di masyarakat. Lebih
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah dari itu, Kabeer (2005) menegaskan bahwa
Australia, yang bersifat terpadu dan terintegrasi, hakikat pemberdayaan adalah membangun
adalah “MAMPU” (maju perempuan Indonesia proses ‘politik’ melalui gerakan atau perjuangan
untuk penaggulangan kemiskinan). Program ini di berbagai arena ‘kekuasaan’ dalam upaya
melibatkan berbagai kelompok pemangku transformasi institusional. Hal itu berarti
kepentingan, khususnya organisasi penggiat pemberdayaan bukan hanya memampukan
perempuan/gender di berbagai wilayah. kapasitas individual, tetapi juga organisasional
atau institusional. Oleh karena itu, pertanyaan
Pada dasarnya sebagian besar program
kunci yang muncul adalah “apakah upaya
pemberdayaan ekonomi, termasuk MAMPU
pemberdayaan ekonomi mampu meningkatkan
(2012-2020), berpijak dari asumsi dasar bahwa
kapasitas perempuan baik di level individual
memperluas akses peluang pekerjaan bagi
maupun juga kolektif (organisasional)?”. Hal ini
perempuan dapat meningkatkan pendapatan dan
mengingat tantangan yang dihadapi perempuan
mengatasi kemiskinan. Hasil kajian International
bukan hanya pada aspek kultural, tetapi juga
Poverty Centre memang menunjukkan bahwa
struktural; bukan hanya pada ranah
apabila perempuan tidak mengalami hambatan
komunitas/masyarakat, tetapi bahkan pada level
apapun dalam memasuki pasar tenaga kerja,
rumah tangga juga.
angka kemiskinan akan berkurang setidaknya
25% di Argentina dan Brazil serta mencapai 40%
Pemberdayaan, Transformasi, dan Agensi
di Chili. Sementara itu, studi lain menegaskan
Perempuan
bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi
perempuan dapat meningkatkan pemberdayaan Upaya mengatasi kemiskinan perempuan
SDM bagi anak perempuan, serta ditundanya usia dan mewujudkan kesetaraan gender perlu
pernikahan dan melahirkan bagi perempuan diarahkan pada akar persoalannya yakni struktur,
(www.mampu.co.id). Untuk konteks Indonesia, kondisi sosial, dan kultur masyarakat. Oleh
apakah asumsi memberdayakan ekonomi karena itu, menurut Chafetz (1988), perlu
perempuan juga akan memampukan kapasitasnya? dilakukan penghapusan sistem normatif dan
Dengan kata lain, apakah program-program ideologis yang mendasari stratifikasi gender
penanggulangan kemiskinan yang menyasar (jenis kelamin). Untuk itu perempuan selayaknya
pada perempuan secara langsung maupun tidak tidak berjarak dengan isu-isu kekuasaan dan
langsung (misalnya kelompok usaha bersama/ politik sebagai arena strategis yang bertujuan
KUBE, Simpan Pinjam Perempuan/SPP-PNPM, melakukan transformasi struktural penguasaan
juga yang terkini MAMPU, serta program sumber daya dari struktur ber-ketidakadilan ke
lainnya baik di level lokal/nasional/regional) akan struktur berkeadilan (Chafetz, 1988: 70-72;
memampukan atau memberdayakan perempuan Lengermann & Niebrugge, 2009: 410-411).
baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik? Transformasi struktural, pada dasarnya, hanya
dimungkinkan jika ada keberpihakan dan
Menurut Linda Mayoux dan Maria Hartl
komitmen atas realitas yang dianggap tidak adil
(2009), program pemberdayaan ekonomi
pada perempuan. Keberpihakan dan komitmen
ini, menurut Seidman (1998: 62), memungkinkan
1
Setidaknya terdapat 3 program penanggulan para penggiat perempuan melakukan aksi politik
kemiskinan, yakni: program bantuan khusus pada karena dilandasi pemahaman dan kesadaran
rumah tangga sangat miskin (RTSM) maupun miskin
bahwa perempuan mengalami ketimpangan
(RTM); pemberdayaan komunitas (PNPM, SPP, dll);
dan penguatan ekonomi (KUBE, dll). Pada level karena adanya blok secara ideologis maupun
rumah tangga, sejumlah program bantuan khusus sosial. Strategi pembebasan dari ketimpangan
antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT atau kekuasaan inilah yang kemudian dikenal sebagai
BLSM); Kartu Keluarga Sejahtera (KKS/KPS sebagai pendekatan pemberdayaan.
syarat mendapat BLSM, PKH, dll); Kartu Indonesia
Pintar (pemberian beasiswa semacam BSM, Bidik
Dalam konsepsi Cousins dan Whitmore
Misi, dll), Kartu Indonesia Sehat (sebelumnya (1998), pemberdayaan merupakan proses melalui
Jamkesmas), dan berbagai program sektoral. mana kelompok yang diberdayakan mampu

284 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


berefleksi demi menentukan nasib/kondisinya merupakan konsep sentral pemberdayaan, yang
sendiri (self determination). Melalui pemberdayaan, merepresentasikan power atau kemampuan
kelompok sasaran atau dampingan dikondisikan melakukan pilihan dan mempertimbangkan
mampu atau memiliki kekuatan dalam menentukan konsekuensinya. Sementara itu, sumber daya
tindakan dan mengambil keputusan berkaitan adalah medium melalui mana agensi bekerja.
dengan kehidupan mereka. Pemberdayaan tersebut Capaian adalah keluaran agensi. Konteks
memiliki 3 (tiga) kondisi prasyarat, yakni: (1) pemberdayaan sangat terkait dengan kerja agensi
mengurangi dampak dari hambatan sosial atau dalam kaitannya dengan struktur dan relasi
pribadi dalam menerapkan kekuasaan, (2) kekuasaan. Ada dua alternatif yang dimungkinkan
meningkatkan kapasitas dan percaya diri untuk bagi agensi yakni ‘power to’ (bermakna positif,
menggunakan kekuatan, dan (3) memindahkan memilih berbeda) atau ‘power over’ (bermakna
kekuatan dari lingkungan kepada kelompok itu negatif, menguasai/cenderung koersif). Diakui
sendiri. Dalam upaya penguatan posisi tawar ini, Kabeer bahwa agensi berhadapan dengan norma
Kabeer (2005) juga menegaskan bahwa ideologis dan kultural yang memungkinkan
pemberdayaan merupakan arena ‘kekuasaan’, adanya bias. Implikasinya, pilihan tindakan
yang membutuhkan kemampuan (the power agensi bisa dalam bentuk: (1) agensi yang pasif
within) dalam melakukan aksi nyata (power (aksi dengan pilihan terbatas); (2) agensi yang
struggle) untuk mengakses, memanfaatkan, aktif (bertujuan jelas); (3) agensi efektif (bertindak
mengkontrol, dan bertanggung jawab atas merujuk pada peran dan tanggungjawabnya); dan
sumber daya demi perubahan yang diharapkan. (4) agensi transformatif (mampu menantang
Oleh karena itu, melakukan upaya pemberdayaan batasan peran dan tanggung jawab).
tidaklah mudah karena berpilar pada pola relasi
yang setara. Kesetaraan relasi ini menurut Pemberdayaan dan Aksi Kolektif Perempuan
Cohran dan Henderson (dalam Warren, 1997)
Aksi kolektif merupakan bagian yang
mengedepankan rasa saling menghargai di antara
melekat dalam proses pemberdayaan. Secara
berbagai pihak dan mereka senantiasa
konkret, aksi kolektif perlu melalui tahapan: (1)
melakukan refleksi kritis atas proses dan relasi
membangun rasa ingin tahu/ketanggapan, (2)
yang terjalin selama proses pemberdayaan.
melakukan identifikasi atas berbagai kondisi
Penguatan kapasitas individual sekaligus perempuan, (3) berkembangnya kesadaran, bahkan
kolektif melalui pemberdayaan juga ditegaskan rasa “marah” pada situasi dan kondisi yang
oleh Young (1993: 158). Menurutnya, perempuan dialami perempuan, (4) melakukan konsolidasi
perlu melakukan proses refleksi dan pengambilan internal maupun ke pihak-pihak lain, (5)
keputusan secara kolektif. Kondisi keberdayaan terbangun identitas kolektif, yang sekaligus
tersebut teridentifikasi dari sejumlah parameter, mencerminkan kekuatan atau keberdayaan
yakni: citra diri dan percaya diri yang positif, perempuan, baik sebagai individu maupun
kemampuan berpikir kritis, kohesivitas kelompok, kelompok kepentingan. Tahapan ini setidaknya
terlibat dalam proses pengambilan keputusan, merefleksikan bahwa kesadaran kolektif tidak
dan melakukan aksi nyata. Secara konseptual, bisa dipisahkan dari berkembangnya kesadaran
jika pada bagian sebelumnya Chafetz (1988) personal.
mengemukakan pemberdayaan merupakan transformasi
Pada dasarnya, peran perempuan sebagai
struktural, Kabeer (2005) menawarkan transformasi
agensi tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial
institusional, yakni proses transformasi yang
dan politik, termasuk interaksi antaraktor lokal.
mensyaratkan adanya gerakan atau perjuangan di
Untuk itu, Schneider dan Libercier (1995: 12)
berbagai arena ‘kekuasaan’, yakni: dari individu
menekankan pentingnya upaya membangun rasa
ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik,
percaya diri di antara aktor yang memiliki
dari ranah informal ke ranah formal. Gagasan
beragam latar belakang melalui dialog dan sikap
Kabeer bagi sebagian kalangan dianggap sebagai
tanggap, serta membangun kesiapan/kemampuan
alternatif jawaban, dengan memperhatikan tiga
untuk membagi kekuasaan dan mengkombinasikan
aspek/ dimensi yang saling terkait, yakni:
sumber daya/potensi lokal dengan prosedur dan
agency, resources, dan achievement.
sumber daya administratif. Mengingat pemberdayaan
Merujuk pada gagasan Kabeer (2005) merupakan reflextive activity dari kelompok yang
tentang transformasi insitusional, maka persoalan powerless sehingga mampu memperjuangkan
pertama dan utama yang dihadapi adalah kepentingannya, maka kelompok/aktor lainnya
menyangkut agensi. Pada dasarnya agensi diharapkan mampu berkolaborasi dalam

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 285


menciptakan iklim (climate), relasi (relations), ada perbedaan kepentingan, tetapi masih
sumber daya (resources), dan prosedur (procedure) dimungkinkan dipertemukan melalui apa yang
yang bisa mengkondisikan terbangun rasa percaya disebutnya sebagai ‘common morality’. Moralitas
diri kelompok yang marginal dan rentan. Lebih ini akan menjadi pendorong perubahan/reformasi
dari itu, mereka juga mampu membagi sosial (Durkheim, 1938/1977 dalam Ritzer &
kekuasaannya. Inilah yang oleh Himmelman Goodman, 2004; Ritzer, 1996). Sementara itu,
(1994) disebut sebagai strategi pemberdayaan Seidman (1998: 62) juga masih melihat peluang
kolaboratif, yang bisa berbentuk: (1) mengorganisasi membangun ikatan sosial, bahkan mensyaratkan
masyarakat berdasar tujuan/ kepentingan yang adanya spesialisasi dan interdependensi peran-
ditetapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, peran sosial. Ikatan sosial inilah yang menjadi
dan (2) menfasilitasi proses yang ‘menyatukan’ landasan terbangunnya kerjasama untuk
pihak-pihak luar dalam mendukung tujuan pencapaian tujuan atau kepentingan bersama.
masyarakat yang difasilitasi (Sardjono, 2004:
Gagasan Durkheim tentang solidaritas
172-173).
sosial menjadi basis semangat kolektif
Strategi kolaboratif mengantarkan pada (collective conscience) bahkan berkembangnya
pemahaman pentingnya sinergi atau produksi ‘collective representation’. Representasi kolektif
bersama antaraktor dalam melakukan pemberdayaan mengkondisikan perempuan dari beragam latar
sebagai upaya transformasi sosial. Sinergi ini— belakang melebur menjadi “kelompok tunggal’
meminjam gagasan pemikiran Durkheim—hanya (single group) (Ritzer,1996). Representasi kolektif
bisa dilakukan jika ada pembagian kerja yang inilah yang menjadi agenda utama feminis.
bukan semata bertumpu pada fungsi ekonomi Meski, diakui, feminis gelombang ketiga
tetapi juga pada sebuah kekuatan moral. Adanya menyadari adanya perbedaan di kalangan
moral solidaritas ini sekaligus memperkukuh perempuan berdasar etnis, agama, status ekonomi,
asumsi bahwa demokratisasi ekonomi terlekat dan lainnya. Perempuan bukanlah kelompok yang
dengan persoalan keadilan sosial, keadilan homogen, karenanya membangun kesadaran
gender, bahkan keadilan di antara perempuan kolektif, apalagi representasi kolektif bukanlah
sendiri. Oleh karena itu, bagi Durkheim, upaya hal mudah. Oleh karena itu, menurut Cornwal
perubahan atau reformasi bersumber dari (2000), pembangunan yang partisipatif selayaknya
kekuatan masyarakat. Menurutnya, hal-hal ideal mempertimbangkan diversitas perempuan dan
tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat implikasinya pada partisipasi maupun representasinya.
legislasi, tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ Karenanya, Cornwal menegaskan pentingnya
yang paham, berkomitmen, dan mampu memberikan kerangka kembali kepada pembangunan
mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks partisipatif, khususnya terfokus pada dua hal,
inilah, ‘asosiasi perempuan’ menjadi signifikan yakni: kewarganegaraan (citizenship) dan hak
untuk dipersoalkan, termasuk keterikatan sosial berpartisipasi. Menurutnya, esensi partisipasi adalah
di dalamnya. memberikan suara dan pilihan, serta mengembangkan
kapasitas manusia berikut organisasi dan
Dalam konteks keberdayaan perempuan
manajemennya dalam memecahkan masalah
secara kolektif inilah modal sosial perempuan
guna memperbaiki kondisi atau situasi secara
menjadi elemen penting. Modal sosial yang
berkelanjutan. Konsekuensinya, partisipasi tidak
dimaksudkan Putnam (1993) adalah seperangkat
dijabarkan berdasarkan pada derajat atau
hubungan horisontal antarindividu atau networks
tingkatannya, melainkan pada bentuk/tipe
of civic engagement, yang diatur oleh norma-
partisipasi: nominal, instrumental, representatif,
norma yang menentukan produktivitas suatu
dan transformatif.
kelompok masyarakat atau komunitas. Jaringan
ini terbangun dari interaksi antarperempuan,
Refleksi Teoritik atas Kondisi Nyata Program
bahkan antarkelompok perempuan, dan mungkin
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
antarkelompok perempuan dengan kelompok
lainnya di komunitas, bahkan dengan kelompok Menurut Bambang Ismawan (2000),
‘penindas perempuan’, sebagaimana yang pada dasarnya, kelangsungan dan kemandirian
distrategikan oleh kelompok Feminis Sosialis. kelompok swadaya masyarakat (KSM) dapat
Dalam berelasi dengan ‘kelompok penindas’, dibangun melalui lima tahap, yakni: (1)
Karl Marx masih tetap melihat adanya perbedaan penggalian motivasi dan proses penyadaran, (2)
kepentingan mendasar antarkelompok dan sulit pembentukan organisasi, (3) tahap konsolidasi
dicari titik temunya. Bagi Durkheim, meskipun dan stabilisasi organisasi, (4) pengembangan

286 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


usaha produksi dan pemasaran, serta (5) tahap upaya banyaknya kelompok yang dibentuk.
kemandirian. Berkenaan dengan tahapan tersebut, Idealnya, proses awal pembentukan kelompok
jika merefleksi pada sejumlah program keuangan justru menjadi basis keberhasilan pengorganisasian
mikro (KUBE, PEKKA, SPP-PNPM, dll), sosial. Artinya, pengorganisasian sosial melalui
tampaknya keterbatasan proses rekrutmen kelompok, lebih terfokus dan termotivasi pada
anggota sudah ditemukan sejak tahap ke-1, aspek ekonomi, khususnya pemberian dan
karena motivasi anggota kelompok hanya pada pengembalian kredit. Dalam konteks ini,
bantuan modal usaha. Dalam kelompok pun pemampuan secara sosial kurang terefleksi,
tidak dilakukan upaya yang sistematis dan padahal pilar pembentukan kelompok merupakan
berkelanjutan untuk membangun kesadaran dan dasar pemberdayaan secara sosial.
tanggung jawab, sekaligus kedisiplinan, serta
Lemahnya pengorganisasian ini berbeda
kemandirian. Konsekuensinya derajat konsolidasi
dengan praktik Grameen Bank, yang pembentukan
dan stabilisasi organisasi relatif rentan, kecuali
kelompoknya dilakukan dengan kriteria ketat,
ditopang oleh figur yang kuat.
yakni: beranggotakan enam orang yang bukan
Terkait dengan keberadaan figur kuat, kerabat dan seluruh anggota aktif dalam
biasanya adalah ketua yang bertindak sebagai kegiatan. Keaktifan ini menjadi dasar penilaian
aktor yang diharapkan menjadi inisiator atas kelayakan anggota mendapatkan bantuan.
sekaligus motor penggerak. Kiprah ketua tidak Melalui kelompok terbangun solidaritas dan aksi
bisa dilepaskan dengan latar belakang atau kolektif, yang juga menjadi prasyarat
karakteristik ketua dan kapabilitasnya. Pertanyaannya, penerimaan bantuan kredit usaha. Dengan
apakah figur ketua merepresentasikan kelompok/ demikian ada aturan normatif yang menjadi
asosiasinya? Atau sebaliknya, kelompok/asosiasi acuan tindakan anggota, termasuk relasi
direpresentasikan melalui figur ketuanya? Berkenaan antaranggota, dan diberlakukan relatif ketat.
dengan hal ini, gagasan Durkheim menjadi Berbeda dengan Indonesia, persyaratan dan
bagian signifikan. Apakah semangat kolektif mekanisme kurang memberdayakan perempuan
(collective conscience) menjadi basis berkembangnya sebagai individu maupun bagian dari kolektiva.
‘collective representation’, yang mengkondisikan Di sinilah tanggung jawab sosial sekaligus moral
perempuan beragam latar belakang melebur selayaknya ditumbuhkan, meskipun relasi sosial
menjadi “kelompok tunggal’ (single group)? dalam kelompok lebih bersifat fungsional
(Ritzer,1996). Pada sejumlah kasus empirik, (ekonomi).
keberadaan ketua asosiasi/kelompok lebih
Refleksi dari Ikasari (2003: 70) yang
dianggap sebagai representasi simbolik dan belum
melakukan studi pada program PPSW di Jakarta
merepresentasikan kepentingan anggota (representasi
memperlihatkan bahwa dalam kelompok, anggota
kolektif).
melakukan pertemuan rutin, saling belajar, bahkan
Merujuk Ismawan (2000), lemahnya saling mengembangkan solidaritas. Selain itu,
asosiasi horisontal dan juga reperesentasi anggota dapat melakukan simpan pinjam,
kolektifnya ditentukan oleh lemahnya tiga pengembangan usaha kelompok, juga memberikan
tahapan di awal, yakni: penguatan kapasitas dan bantuan dan memobilisasi sumber daya seperti
kesadaran individual, pengorganisasian (pembentukan dana sehat, beasiswa, jimpitan, dan arisan. Dari
organisasi), dan konsolidasi-stabilisasi organisasi. pengalaman berorganisasi, anggota belajar
Meskipun pada prinsipnya tahapan yang ada bekerja sama-sama, menjadi pemimpin, dan
tidak berjalan linear, tetapi satu tahap dengan mengambil keputusan dalam berbagai kegiatan
tahap lainnya merupakan satu kesatuan. sosial dan produktif yang sebelumnya tidak
Contohnya, pada program SPP (Simpan Pinjam pernah mereka lakukan. Meskipun demikian,
Perempuan)-PNPM, terkesan kelompok tidak pada banyak kasus, pengorganisasian sosial lebih
diorganisasikan secara kuat dan bahkan bersifat terbatas dan partisipasi anggotanya
pembentukan kelompok lebih diorientasikan masih cenderung nominal. Hal ini terkait dengan
pada kemudahan mendapatkan dan/memperbesar lemahnya solidaritas yang terbangun dalam
bantuan modal usaha. Oleh karena itu, ketika kelompok, bahkan dengan pihak-pihak luar. Hal
logika program dimaknai bahwa besar kredit ini tidak bisa dipisahkan dengan latar historis
yang disalurkan merupakan indikator capaian pembentukan kelompok, termasuk tradisi
proyek (kinerja pemberdayaan), sementara berkelompok (sense of organized).
besaran kucuran kredit dipengaruhi oleh besaran
kelompok, maka program lebih difokuskan pada

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 287


Jika memaknai pemberdayaan sebagai belum terjalin interaksi yang menjadi basis
kinerja (selain proses), studi Setyawati (2005) terbangunnya asosiasi horisontal (kelompok
atas program ekonomi di masyarakat pesisir keanggotaan), sekaligus sumber trust. Artinya,
Kabupaten Gunung Kidul menunjukkan belum belum terbentuk ikatan sosial sekaligus ikatan
optimalnya capaian tujuan program, yakni emosional di antara anggota, apalagi dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pengurus/pengelola. Asosiasi horisontal akan
peningkatan partisipasi masyarakat terhadap terbangun melalui pembiasaan para anggota dan
lingkungan. Ketidakoptimalan tersebut menunjukkan pengurus untuk berkegiatan bersama dan saling
bahwa program pemberdayaan tidak dirancang bekerja sama, sehingga mampu mengembangkan
secara partisipatif, bahkan sinergis. Hal ini solidaritas dan semangat publik (Robert Putnam,
mencerminkan lemahnya modal sosial antarwarga/ Robert Leonardi, Rafaella Nanetti, 1996: 36).
anggota, khususnya jika menyangkut akses dan Artinya, upaya pengembangan/pemberdayaan
kontrol atas sumber daya ekonomi yang terbatas. ekonomi perempuan perlu lebih berbasis
perspektif komunitarian, yang menfokuskan
Lemahnya sinergitas ini mencermikan
perhatian pada bentuk organisasi sosial yang
lemahnya aksi/tindakan kolektif perempuan,
potensial bagi perempuan dalam membangun
yang juga masih bertumpu pada figur
komitmen antarperempuan.
penggerak. Bahkan, ada kesan bersifat elitis/
eksklusif. Kondisi ini menunjukkan belum Lebih jauh, Jim Ife dan Frank Tesoriero
terbangunnya kohesi sosial di antara mereka, (2006: 425-429) mengemukakan bahwa hal
apalagi membangun kesadaran kritis untuk paling pokok dalam upaya pemberdayaan
memperjuangkan hak ekonomi secara kolektif. ekonomi lokal adalah pengembangan ‘institusi’
Padahal, merujuk Young (1993: 158), perempuan ekonomi (alternatif) berbasis masyarakat, misalnya
terberdayakan jika mampu berefleksi dan Lembaga Keuangan Mikro/LKM, Koperasi,
melakukan pengambilan keputusan secara Credit Union, dan lain-lain. Meskipun demikian,
kolektif. Keberdayaan ini diindikasikan melalui pengembangan dan penguatan institusi ekonomi
terbangunnya citra diri, percaya diri yang positif, lokal bukanlah hal yang mudah. Salah satu
mampu berpikir kritis, terbangun kelompok yang tantangan yang dihadapi adalah pengorganisasian
kohesif, aktif dalam proses pengambilan keputusan, sosial di tingkat lokal, termasuk pelembagaannya
serta melakukan aksi nyata. (institusionalisasinya). Hal ini menarik mengingat
sejumlah kasus pengorganisasian sosial yang
Dengan bahasa lain, lemahnya aksi
berhasil cenderung berpilar pada isu yang nyata
kolektif perempuan, juga mencerminkan belum
dan dasar di masyarakat, yakni ekonomi.
terbangunnya relasi horisontal antarindividu atau
Artinya, program pemenuhan kebutuhan praktis
jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh
(ekonomi) kepada masyarakat, termasuk perempuan,
norma-norma yang menentukan produktivitas
lebih mudah dikelola karena menentukan
suatu kelompok masyarakat atau komunitas.
eksistensi dan kelangsungan hidup manusia.
Meskipun demikian, berbagai kajian menunjukkan
bahwa di tengah diversitas perempuan, sudah Oleh karena itu, selain isu ekonomi, isu
terjadi kontak fisik di antara mereka, bahkan pendidikan dan kesehatan merupakan pintu
terbangun perhatian dan kesadaran bersama. masuk untuk menumbuhkan kepedulian perempuan
Namun, ikatan emosional bisa dikatakan masih dan masyarakat. Kedekatan isu pemberdayaan
lemah, khususnya antaranggota kelompok. Hal dengan kebutuhan masyarakat akan menumbuhkan
ini disebabkan bukan semata adanya perbedaan minat dan keinginan individu untuk kemudian
latar belakang, tetapi lebih karena subjektifitas berkelompok atas dasar kepentingan yang sama.
anggota sudah terbatasi oleh persoalan ekonomi, Meskipun temuan menunjukkan bahwa
sehingga relasi sosial yang terbangun pun lebih perempuan lebih memilih ‘mengelola usaha
bersifat transaksional. Hal inilah yang mendasari sendiri walau dengan modal kecil’, tetapi isu
tidak terbangunnya representasi kolektif, ekonomi menjadi daya ikat yang menstimulasi
sebagaimana yang disampaikan oleh Durkheim. keinginan perempuan untuk bergabung dalam
Meskipun kelompok bersifat sukarela, tetapi kelompok, dengan harapan mendapat bantuan
partisipasi perempuan di dalamnya masih ‘modal usaha’. Menurut Durkheim, perlu ada
cenderung instrumental, bahkan fungsional. pembagian kerja yang bukan semata memnuhi
fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan
Merujuk konsepsi Putnam (1996),
moral. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa
kecenderungan tersebut dimungkinkan karena
dibentuk dan ditetapkan lewat legislasi/aturan,

288 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ yang usaha mikro dan/bantuan kredit usaha (mikro),
paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan sejak tahun ’90-an tampaknya menjadi model
hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah, yang mengglobal, khususnya dalam upaya
keterikatan sosial diharapkan terbangun melalui mengentaskan kemiskinan perempuan. Pada
‘asosiasi’ (Ritzer, 1996). konteks Indonesia, upaya pengentasan atau
penanggulangan kemiskinan pada dasarya sudah
Keterikatan sosial yang terbangun,
dilaksanakan selama beberapa dekade melalui
bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari
program pengembangan usaha dan bantuan
karakteristik individu-individu yang ada di
usaha/kredit mikro. Namun, realitas empirik di
dalamnya. Kecenderungannya, pembentukan
tingkat pemampuan perempuan secara ekonomi
kelompok lebih berbasis pada kekerabatan dan
masih belum mencerminkan gagasan aksi
pertemanan, tanpa melakukan identifikasi yang
Beijing yang telah digulirkan hampir 20 tahun
cukup memadai tentang berbagai situasi dan
lalu.2
kondisi yang dialami perempuan. Pada beberapa
kasus, pembentukan kelompok berhasil dilalui Keberdayaan perempuan secara sosial
dengan baik dan sudah berjalan. Konsekuensinya, juga masih lemah. Hal ini ditandai dengan
daya ikat atau keterikatan sosial antaranggota bentuk partisipasi perempuan yang masih
sudah terbangun. Demikian pula aturan main nominal/instrumental. Peran agensi lebih bersifat
dalam kelompok. Meskipun demikian, perbedaan aktif, belum transformatif. Artinya, meski
latar belakang bahkan ‘kelas sosial’ menjadi memiliki tujuan yang jelas, tetapi mereka belum
tantangan tersendiri bagi kelompok yang telah mampu bekerja secara efektif (Kabeer, 2005).
dibentuk tersebut. Artinya, diversitas sosial Di sisi lain, negara (pemerintah lokal) masih
pengelola dan penerima program, bahkan belum cukup berkomitmen pada pemberdayaan
kondisi keluarga dan masyarakat, mewarnai ekonomi perempuan, baik secara substansial,
dinamika komunitas sekaligus organisasi/ institusional, maupun kultural/normatif. Salah
asosiasi. satu indikatornya adalah lemahnya refleksi atas
berbagai program pemberdayaan yang sudah/
Dalam konteks ini, adanya kontak
tengah berjalan, sehingga terkesan sekedar
bersama dan fokus/kepentingan bersama belum
melakukan replikasi (reproduksi) kebijakan/
cukup menjamin terbangunnya asosiasi
program, dengan menempatkan perempuan dan
horisontal. Perlu ada kesamaan kondisi emosi di
usaha mikro-kecil sebagai komoditas pembangunan.
antara pihak-pihak yang ada, serta representasi
Imbasnya pembelajaran perempuan atas program
simbolik bersama. Dua hal terakhir tidak mudah
pemberdayaan masih terbatas. Faktor lain yang
diwujudkan dalam komunitas dengan ciri: (1)
membatasi perempuan adalah nilai-nilai gender
ada ketimpangan sumber daya di antara pelaku
yang relatif masih diberlakukan dengan ketat.
interaksi, (2) densitas sosial relatif tinggi, (3)
Kondisi inilah yang melatari pilihan perempuan
derajat diversitas sosial cukup tinggi. Dalam
sebagai agensi pasif di sebagian wilayah, meski
upaya mengatasi ini, perlu diadakan kegiatan
ada juga yang menempatkan diri sebagai agensi
yang memungkinkan terbangun “cross-cutting
aktif, bahkan efektif, meskipun belum ditemukan
affiliation”, misalnya kegiatan ‘pengajian rutin’,
agen transformatif.
pemberian bantuan sosial, dll. Keaktifan anggota dan
masyarakat dalam berkegiatan menunjukkan Kalaupun ada asosiasi perempuan
semangat kolektif (collective concience), dan (termasuk di tingkat desa), tampaknya belum
sebaliknya semangat kolektif mencerminkan
besaran ruang partisipasi masyarakat. Pada tahap 2
Gagasan Konferensi Perempuan di Beijing
‘pembentukan kelompok’, adanya kegiatan adalah: (1) merumuskan kebijakan ekonomi dan
bersama bisa menjadi pondasi dalam membangun strategi pembangunan yang berpihak pada kelompok
asosiasi horisontal (kelompok keanggotaan), miskin, khususnya perempuan, (2) revisi hukum dan
yang akan menjadi sumber trust dan ikatan sosial kebijakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
(Putnam, Leonardi & Nanetti, 1996: 36). perempuan dan meningkatnya akses perempuan atas
sumber daya ekonomi, (3) meningkatkan akses
Penutup perempuan atas perbankan, tabungan/investasi, mekanisme
dan kelembagaan kredit, (4) mengembangkan riset
Upaya peningkatan partisipasi perempuan dan monitoring atas sebab, dampak dan upaya
dan pemberdayaannya di bidang ekonomi, mengatasi feminisasi kemiskinan (dapat dikaitkan
khususnya melalui pengembangan program dengan tindak lanjut atas ratifikasi konvensi hak
ekonomi, sosial, budaya).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 289


berperan sebagai ‘sekolah pemberdayaan’, IDS Dicussion Paper, No. 378.
karena proses ber’sekolah’ cenderung berjalan November.
secara alamiah. Fasilitasi program tidak optimal
Cousins, J.B. & Whitmore, E. (1988). Framing
dan tidak diorientasikan pada penguatan
Participatory Evaluation. New Directions
kelompok secara sosial, karena hanya menekankan
for Evaluation, 80, p.5-23.
pada dimensi ekonominya, bukan sosial dan
politiknya. Terbatas atau miskinnya fasilitasi Ife, Jim and Frank Tesoriero. (2006), Community
berimplikasi pada lemahnya kapasitas individual development: Alternatif pengembangan
maupun kelompok yang diberdayakan. Sementara masyarakat di era globalisasi, (Satatrawan
di sisi lain, determinasi pada figur penggerak Manulang, Nurul Yakin, & M.Nursyahid,
menunjukkan lemahnya kinerja pemberdayaan, penerjemah. 2008). Yogyakarta: Pustaka
karena jejaring yang terbangun pun bertumpu Pelajar
pada figur/tokoh tersebut. Pada konteks fasilitasi Ikasari. (2003).” Implikasi Program Pemberdayaan
inilah organisasi masyarakat sipil maupun terhadap Otonomi Perempuan: Studi
organisasi basis selayaknya lebih berperan aktif, Kasus Program Tingkat Netral di Bina
dan negara idealnya menfasilitasi dari aspek Swadaya dan Tingkat Positif di PPSW”.
sumber daya, termasuk kebijakan yang terpadu Tesis. Jakarta: Program Kajian Wanita,
dan berkesinambungan. Pascasarjana Universitas Indonesia.
Singkatnya, berbagai program replikatif Ismawan, Bambang. (2000). “Bina Swadaya dan
cenderung tidak diiringi upaya pembelajaran Pengembangan Keuangan Mikro untuk
yang reflektif dari program-program sebelumnya. Mengatasi Kemiskinan”. Disampaikan
Aksi reflektif merupakan salah satu prinsip pada Lokakarya Lembaga Keuangan
pemberdayaan, baik sebagai proses maupun Mikro di Indonesia. Bogor, 4-5 Juli
kinerja. Merujuk pada Dunst, dkk., pemberdayaan 2000.
sebagai kinerja tercermin dari kemampuan
mengambil pesan pembelajaran melalui proses Kabeer, Naila. (1994). Reversed realitis: gender
reflektif. Sebagai proses, pemberdayaan merefleksikan hierarchies in development thought.
pengalaman, sejarah, dan dinamika upaya London-New York: Verso.
pemampuan kelompok dampingan. Oleh karena Kabeer, Naila. (2005). Gender equality and
itu, pemberdayaan perlu waktu panjang. women’s empowerment: A critical analysis
Lemahnya modal sosial antarperempuan juga of the third millenium development
menunjukkan keterbatasan pemberdayaan sebagai goals. Gender and Development Vol.13.
proses, yakni berupa berbagai aktivitas/kegiatan, No.3. Maret.
antara lain mentoring, aksi reflektif, dukungan
kolektif, dan lain-lain. Oleh karena itu, Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge.
keberhasilan keberadaan program MAMPU di (1996). Contemporary feminist theory. In
berbagai wilayah dalam memampukan perempuan George Ritzer, Sociological theory.
secara ekonomi, sosial. dan politik, masih dalam (p.436-486). The McGraw-Hill Companies.
rumusan ‘hipotetis’ saja. Inc.
Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge-
Daftar Pustaka Brantley. (2009). Teori feminis kontemporer.
Chafetz, Janet Saltzman. (1988). Feminist Dalam George Ritzer, Teori sosiologi.
sociology: An Overview of Comtemporary (hal.487-536). (Nurhadi, Penerjemah).
Theories. Itasca-Illinois, F.E.Paecock Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Publishers.Inc. Mayoux, Linda and Maria Hartl, “Gender and
----------------------------. (1989). Gender equality: rural microfinance: reaching and empowering
Toward a theory of change. In Ruth women: Guide for practitioners”, International
Wallace (Ed). Feminism and Sociological Fund for Agricultural Development
Theory. (p.135-160). California: SAGE (IFAD), 2009.
Publications, Inc. Putnam, R. (1993). Making democracy work:
Cornwall, A. (2000). ”Making a Difference? civic tradition in modern Italy.
Gender and Prticipatory Development”. Princeton: Princeton University Press.

290 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


Putnam, Robert, and Robert Leonardi, Rafaella Seidman, Steven. (1998). Contested knowledge:
Nanetti. (1996). “Making democracy social theory in the postmodern era,
work: Tradition in modern Italy”, 2nd edtion, USA: Blackewell Publisher
Princenton, NJ: Princenton University Inc.
Press.
Warren, Chris et all. (1997). Social action with
Pickering, W.S.F, (1998). Representation as children and families: A community
understood by Durkheim: an introductory development approach to child and
sketch, in WSF Pickering (ed). Durkheim family welfare, London: Routledge.
and Representations: Routledge Studies
Young, Kate. (1993). Planning development
in Social and Political Thought. (p.19-
with women: Making a world of difference,
31). London and New York: Routledge.
London and Basingstoke: The Maxmilllan
Ritzer, George & Douglas J. Goodman (2004). Press Ltd.
Classical Socilogical Theory. Ohio:
McGraw-Hill. Daftar Laman
Ritzer, George. (1996). Sociological Theory. www.bps.go.id
Ohio: McGraw-Hill Companies.
www.undp.org, “Gender and Poverty
Sardjono, Mustofa Agung. (2004). Mosak Reduction”,
Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal,
www.mampu.co.id
Politik, dan Kelestarian Sumber Daya.
Yogyakarta: Debut Press. Gender Equality in Indonesia”, Social Institution
and Gender Index, OECD Development
Setyawati, Yuningtyas. (2005). “Diversifikasi
Centre, www.genderindex.org
Bidang Usaha Rumah Tangga Nelayan
Pantai Ngrenehan sebagai Upaya Alejandro Portes and Patricia Landolt, “The
Peningkatan Pendapatan Keluarga”. Downside of Social Capital”,
Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. http://epn.org/prospect 26/26-cnt2.html.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis:
Yogyakarta. Alternative Paradigms. UNDP Website
Schneider, H. & M.-H. Libercier. (1995). http://www.undp.org/gender
Toward a New Partnership. Dalam H. http://www.worldbank.org/participation/
Schneider. & M.-H. Libercier (eds) participation.htm
Participatory Development: From
Advocary to Action. Paris: OECD. http://www.undp.org/gender/docs/mdgs-
genderlens.pdf.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 291


292 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai