Jawab :
Suatu negara bagaimanapun bentuk, sifat dan sistem pemerintahan yang dianut, pada hakikatnya
senantiasa berupaya agar proses pencapaian tujuannya dapat terwujud sebagaimana diharapkan.
Demikian juga halnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa untuk mencapai tujuan
Negara sebagaimana telah ditetapkan, yaitu masyarakat adil dan makmur berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945 dengan dukungan Sistem Administrasi Negara yang baik.
Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI), berbagai dimensi
nilai yang dijadikan sebagai dasar, landasan dan arah dalam sistem penyelenggaraan kebijakan
negara, bahkan dimensidimensi tersebut dapat dikatakan sebagai conditio sine guanon dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Dasar/Falsafah Negara
Sebagaimana diketengahkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa Pancasila merupakan dasar
negara yang terdiri atas berikut ini.
c. Persatuan Indonesia.
a. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita, serta memberi
petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam
masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
b. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila memberi corak yang khas
kepada bangsa Indonesia, serta tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia serta
merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat
kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain-bersifat universal, yang
juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Akan tetapi, kelima sila yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan itulah yang menjadi ciri khas
bangsa Indonesia (identitas nasional).
c. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat
dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta
dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
d. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia
menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekadar
karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia
yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah
mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa (Team
Penyusun Bahan P4 dan GBHN, BP-Pusat: Buku I Edisi ke 3, 1986).
Dalam era reformasi pasca-orde baru, dengan semangat menjunjung tinggi demokrasi dan hak
asasi manusia, sampai tahun 2001 telah diadakan 3 kali amendemen terhadap UUD 1945. Namun,
sejauh ini pembahasan hanya tertuju kepada pasal-pasal dalam Batang Tubuh.
Berkaitan dengan Pancasila yang termuat dalam Pembukaan, telah diterbitkan TAP MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P4 dan Penetapan
tentang penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. TAP ini pertama menegaskan bahwa
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Dasar Negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Kedua, TAP MPR Nomor I/MPR/1978 tentang P4 (Eka Prasetia Panca Karsa) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun perkembangannya adalah berikut ini.
1. Bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 perlu ditegaskan
posisi dan peranannya dalam kehidupan bernegara:
2. Bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P4 yang materi muatan dan pelaksanaannya
tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Berdasarkan itu, Penataran P4 dimaksud tidak lagi diadakan dan BP-7 juga ditiadakan.
Selanjutnya dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan ditegaskan Pancasila adalah sumber hukum dasar nasional.
Terakhir disebutkan dalam TAP MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
bahwa Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa.
2. Model pembangunan nasional yang berorientasi pertumbuhan dan model pembangunan
kebutuhan dasar disertai dengan contohnya!
Jawab :
Model ini memandang tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomis dalam
arti sempit yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu
lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP
per tahun pada angka cukup tinggi antara 5-74 atau lebih (Todaro, 1977 p. 60). Model ini
juga berasumsi (mengasumsikan) bahwa angka pertumbuhan ekonomi tinggi yang
diakibatkan oleh tingkat investasi tertentu baik domestik maupun asing serta pengerahan
tabungan (saving) akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, mengurangi pengangguran
dan meningkatkan kesejahteraan akan memicu peningkatan konsumsi yang pada giliran
berikutnya akan mendongkrak produksi demikian seterusnya. Adalah tanggung jawab utama
pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan kondusif yang memungkinkan negara
meraih titik tertentu, tingkat investasi guna mendorong ekonomi nasional tinggal landas.
Contohnya
a. akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan
SDM;
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar muncul untuk melakukan perbaikan atau
koreksi terhadap kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi
pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk yang miskin/termiskin di
negaranegara berkembang. Penganut model ini menandaskan bahwa kemiskinan di banyak
negara berkembang pada dasarnya bukan merupakan kemubaziran ekonomi, tetapi masalah
kemiskinan tadi pada hakikatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif
selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsisten dan marginal mereka. Jadi,
problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja lebih daripada kuantitas
kerja mereka (Moelyarto, 1987). Model ini mencoba memecahkan masalah kemiskinan
secara langsung atau tidak hanya mencoba memecahkan masalah kemiskinan melalui
mekanisme rrickle down effect.
Pada dasarnya model kebutuhan dasar menganjurkan program kesejahteraan atau bantuan
bagi orang-orang miskin di suatu negara melalui pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Model
ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok (Streeten, 1979, Burk! dan UI Hag, 1981), yakni
berikut ini.
a. Banyak dari kaum miskin tidak memiliki aset-aset produktif selain fisik mereka,
keinginan kerja dan inteligensi dasar mereka.
b. Peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup
mereka kalau barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan
mereka tidak tersedia. Pemeliharaan aset tersebut tergantung pada peningkatan akses
terhadap pelayanan publik, seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air
pada umumnya.
Peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan
produktivitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama dan dalam porsi tertentu karena
satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi
jangka pendek dan permanen diperlukan supaya rakyat mendapat bagian dari hasil
pembangunan.
Model kebutuhan dasar diilhami oleh Gunnar Myrdal dalam “Asian Drama”, kemudian
menemukan momentumnya dalam ILO World Employment Conference yang diadakan di
Geneva tahun 1976. Konferensi tersebut menekankan pentingnya proses pembangunan guna
menemukan kebutuhan dasar dari lapisan miskin yang mencakup persyaratan tertentu dari
keluarga untuk konsumsi pribadi (sandang, pangan, papan) dan pelayanan esensial yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat luas (air bersih, sanitasi transportasi, kesehatan dan
pendidikan).
Model pembangunan ini mencoba melakukan terobosan progresif dalam menangani masalah
kemiskinan tetapi bukan berarti tidak mengundang kritik para ahli dan pengamat
pembangunan. Para penganjur model pembangunan yang lain mengritik model kebutuhan
dasar karena kurang perhatian terhadap dipusatkannya posisi manusia dalam pembangunan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terwujudnya masyarakat yang makmur melimpah dan
menjadikan si miskin menerima secara pasif pelayanan apa pun yang dipilih dan diberikan
oleh birokrasi pemerintah berdasar kearifan yang waktu dan tempatnya ditentukan pula
adalah tidak dapat diterima (Korten, 1983).
Kritik terhadap paradigma Basic Needs melahirkan model alternatif baru, disebut Model yang
berpusat pada Masyarakat.
Contohnya