Anda di halaman 1dari 37

I.

KONSEP TEORI
A. Definisi Cedera Kepala
1. Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Morton, 2012).
2. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak,
paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik yamg serius diantara
penyakit neurology dan merupakan proporsi epidemiologi sebagai hasil
kecelakaan jalan raya (Smeltzer, 2002).
3. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
4. Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu trauma pada
kepala (kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak) yang disebabkan adanya
trauma pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung disertai atau
tanpa perdarahan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi neurologis,
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.

B. Etiologi Cedera Kepala


Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

2. Jatuh

1
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan
turun maupun sesudah sampai ke tanah.
3. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-


deselerasi, coup-countre-coup, dan cedera rotasional.
1. Cedera Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (mis.,
alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala)
2. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
3. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan fisik
4. Cedera Coup-Countre coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan
serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul
dibagian belakang kepala
5. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan
bagian dalam rongga tengkorak (Nurarif dan Kusuma, 2015).

C. Klasifikasi Cedera Kepala

2
1. Berdasarkan mekanisme
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah
(terjatuh, terpukul).
b. Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
2. Berdasarkan Patologi
a. Cedera primer
Cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma. Merupakan akibat cedera
awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik
dari sel diarea tersebut yang menyebabkan kematian sel.
1) Kulit : vulnus laserasi hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.
2) Tulang : fraktur linear, fraktur basis krani, fraktur inpresi (tertutup dan
terbuka).
3) Otak : cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan, kontusio
sedang, berat : fokal dan difus laserasi atau robekan.
b. Cedera sekunder
Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera
sekunder lain seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik,
kelainan saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok.
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut
yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan
biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi
sistemik, dan infeksi local atau sistemik
1) Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
2) Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacuum (Nurarif dan Kusuma, 2015).
3. Menurut jenis cedera
a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi diameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
b. Cedera kepala tertutup : dapat disamakan pada pasien dengan dengan gegar
otak ringan dengan cedera serebral yang luas (Nurarif dan Kusuma, 2015).

3
4. Berdasarkan tingkat keparahan dengan GCS (Glasgown Coma Scale)
a. Cedera kepala ringan (CKR)
 Bila GCS 14-15 (kelompok risiko rendah)
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak,
 Tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS) :
 Bila GCS 9-13 (kelompok risiko sedang)
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c. Cedera kepala berat (CKB) :
 Bila GCS 3-8 (kelompok risiko berat)
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial
(Nurarif dan Kusuma, 2015).
Glasgown Coma Scale
Dewasa Respon Bayi dan anak - anak
Respon Mata (Eye)
Spontan 4 Spontan
Berdasarkan perintah verbal 3 Berdasarkan suara
Berdasarkan rangsang nyeri 2 Berdasarkan rangsang nyeri
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon
Respon Verbal
Orientasi baik 5 Senyum, orientasi terhadap obyek
Percakapan kacau, bingung, 4 Menangis tetapi dapat ditenangkan
disorientasi waktu dan tempat
Kata – kata tidak jelas 3 Menangis dan tidak dapat
ditenangkan
Keluar suara tetapi tak berbentuk 2 Mengerang dan agitatif
kata-kata (mengerang)
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon
Respon Motorik
Mengikuti perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsangan nyeri 5 Melokalisir rangsangan nyeri

4
Menjauhi rangsang nyeri 4 Menjauhi rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respon

5. Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘splintering’.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.
Selain retak terdapat juga hematoma subdural
b. Lesi intracranial
Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan
hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan masa lesi, pergeseran otak.
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
c. Cedera otak
1) Commotio cerebri (gegar otak)
Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10
menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat
berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar
kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum
dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
2) Contusio cerebri (memar otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak
di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah
kelumpuhan n. Facialis atau n.hypoglossus, gangguan bicara, yang
tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala
adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon

5
dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat
encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi
paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia,
meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
d. Perdarahan intrakranial
1) Hematoma epidural
Hematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal akibat
robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi,
penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala
dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode
lusid.
2) Hematoma subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini
timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik
yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.
 Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.

 Hematoma subdural subakut


Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah

6
cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang
subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap.
 Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan
dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari hematoma
subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
3) Hematoma subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala: nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
4) Hematoma intracerebralis
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks
yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga
terjadilah subduralis haematoma.

D. Manifestasi Klinis
1. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
2. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
3. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
4. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
5. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
6. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi
atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya

7
simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
7. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
8. Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), napas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
9. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung
(css), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
10. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
11. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
12. Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
13. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
14. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
15. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
16. Trauma baru atau trauma karena kecelakaan
17. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
18. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
19. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
20. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma
ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat,

8
sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang
otak.
21. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan tik. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi
(Price dan Wilson, 2006).

Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain :


1. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10
menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan jaringan
otak.
2. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna pingsan
> 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri lebih
sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal dibandingkan bagian otak
lain.
3. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan durameter
dan fraktur terbuka pada kranium.
4. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang. Sumber
perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media. Epidural hematom
biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan
neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline
shift > 5 mm akan dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
Gambaran CT scan didapatkan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau
letikuler antara 2 sutura.
5. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara durameter dan
jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom dibawah lapisan
durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v cortical, sinus
venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri kepala, bingung, mengantuk,
berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat dikenali dengan
penurunan kesadaran disertai dengan adanya laterasi yang paling sering
berupa hemiparese/plegi. Gambaran CT scan didapatkan hiperdens yang yang
berupa bulan sabit (cresent).

9
6. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah
subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri. Pada
pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-
girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.
7. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi perdarahan antara neuron otak
yang relatif normal.
8. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar tengkorak
(temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid). Terbagi menjadi 2 yaitu fraktur
anterior (melibatkan tulang etmoid dan sphenoid) dan fraktur posterior
(melibatkan tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid).
Tanda-tanda dari fraktur basis kranii yaitu:
a. Ekimosis periorbital (racoon’s eyes)
b. Ekimosis mastoid (battle’s sign)
c. Keluar darah berserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (rinore
atau otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial (Nurarif dan Kusuma, 2015).

10
E. Pathway
Trauma Kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya kontinuitas Risiko Perdarahan Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak


jaringan kulit, otot, dan jaringan tulang (kontusio laserasi)
vaskuler

- Perubahan autoregulasi
 Perdarahan Gangguan suplai darah Risiko Infeksi Nyeri Akut - Oedema serebral
 Hemastoma
Iskemia Kejang
Perubahan sirkulasi Gangguan Memori
CSS
Hipoksia
Risiko Perfusi Serebral Gangguan neurologis - Bersihan jalan napas
Tidak Efektif vokal - Obstruksi jalan napas
Peningkatan TIK
- Dispnea
- Henti napas
Defisit neurologis - Perubahan pola naas
Gilus medialis lobus - Mual muntah
temporalis tergeser - Papilodema
- Pandangan kabur Risiko Hipovolemia Gangguan persepsi Bersihan Jalan Napas
- Penurunan fungsi sensori Tidak Efektif
Herniasi unkus
pendengaran
- Nyeri kepala Kompresi medulla oblongata

Risiko cedera Tonsil cerebrum bergeser


Mesenfalon tertekan
Imobilisasi Gangguan Mobilitas Fisik

Gangguan kesadaran Ansietas


11

Ansietas
F. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera
kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang
datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat
benturan (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma
tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala
terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak.
Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah
dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi
perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Corwin, 2001).
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas

12
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Gallo, 1996).
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab
terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut
terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat
menimbulkan perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan
ekstrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek
muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga
tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan
TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah
otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang
menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu.
Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak napas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan
tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator
histamin, bradikinin, prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian
diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai
nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan
lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi
bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan
terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.

G. Komplikasi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya
memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan

13
respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh.
2. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
4. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
5. Hilangnya kemampuan kognitif
Berpikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.
6. Komplikasi lain : kejang, pneumonia, perdarahan gastrointestinal, distrimia
jantung, hidrochepalus, kerusakan control respirasi, inkotinensia bladder dan bowel,
kebocoran, liquor cerebro spinal, edema pulmonal, bocornya lcs, gangguan
mobilisasi, hipovolemia, hyperthermia, dan infeksi.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan subarakhnoid.
b. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan tik atau perubahan mental.

14
2. Radiologi
a. CT-Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI : sama dengan CT-Scan
c. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
d. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar-X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen
tulang.
f. Baer : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. Pet : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. Screen toxicology : untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
i. Myelogram : dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan
dari spinal aracknoid jika dicurigai.
j. Thorax X-Ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
3. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
4. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, screen toxicologi:
untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadan.
5. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari inspirasi
dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan
pusat pernafasan (medulla oblongata).

I. Penatalaksaan Medis
6. Penatalaksanaan
a. Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring.

15
b. Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah
terutama pada cedera kepala terbuka)
c. Dilakukan ventilasi mekanis
d. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika
e. Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranial termasuk
pemberian diuretik dan anti inflamasi
f. Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan alat
pengaman seperti helm,sabuk pengaman
g. Lakukan pengkajian neurologik
1) Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
2) TTV ( TD, nadi)
3) Pupil (isokor, anisokor)
4) Fungsi motorik dan sensorik
h. Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan anak
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan/ditangani. Tinggikan
kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
i. Pantau adanya komplikasi
1) Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
2) Periksa adanya peningkatan TIK
3) Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
7. Pengobatan
a. Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah nacl 0,9 % atau RL. Kadar natrium harus
dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan
odema otak dan harus dicegah dan diobati.
b. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak. Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena

16
perfusi otak menurun PCO2 < 25 mmHg, hiperventilasi harus dicegah.
Pertahankan level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
c. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB bolus IV. Indikasi penderita
koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi
pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada
penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia.
d. Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila
terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat
menurunkan tekanan darah.
e. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis.
f. Dapat diberikan phenothiazine.
g. Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebihan.
h. Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien, 19
diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sedang dan sisanya hanya
sedikit perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic dapat
mendukung, namun harus dibatasi penggunaan hariannya.
i. Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari)
berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
j. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat,
dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi
peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
1) Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan
komponen membran lain dari kerusakan.
2) Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
3) Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
4) Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
5) Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
6) Menghambat pelepasan asam arakhidonat.

17
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, golongan darah, no. register, tanggal MRS, dan
diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka di
kepala
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi,
adanya akumulasi secret pada saluran pernapasan, lemah, paralisis, takipnea
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya pasien memiliki riwayat jatuh
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya
3. Pemeriksaan Primer
a. Airway management / penatalaksanaan jalan napas :
1) Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada
pasien tidak sadar)
2) Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar)
3) Kaji adanya obstruksi jalan napas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernapasan, sianosis
4) Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi
intratrakeal)
5) Kaji jalan napas pembedahan (krikotiroidotomi)
b. Breathing / pernapasan :
1) Kaji pemberian O2

18
2) Kaji nilai frekuensi napas / masuknya udara (simetris) / pergerakan
dinding dada
3) Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi
c. Circulation / sirkulasi :
1) Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi
apeks/JVP/bnyi jantung/bukti hilangnya darah
2) Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit
3) Kaji adanya tanda – tanda syok seperti : hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi, pucat, akral dingin, CRT > 2 detik, penurunan produksi urine.
4. Pemeriksaan Sekunder
a. Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas
b. Tingkat kesadaran
Kesadaran pasien mengalami penurunan GCS < 15
c. Tanda – tanda vital
Suhu tubuh : biasanya meningkat saat terjadi benturan (normalnya 36,5-
37,50C)
Tekanan darah : hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan
darah sistolik < 90 mmHg (normalnya 110/70–120/80 mmHg)
Nadi : biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (normalnya 60 – 100 x/mnt)
Respirasi : biasanya menurun saat TIK meningkat (normalnya 16 – 20 x/mnt)
d. Pemeriksaan Nervus Cranial
1) Nervus I : penurunan daya penciuman
2) Nervus II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan karena
edema pupil
3) Nervus III, IV, VI :penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
anisokor
4) Nervus V : gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah dahi
5) Nervus VII, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa
pada 2/3 anterior lidah

19
6) Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
7) Nervus IX, X, XI : jarang ditemukan
8) Nervus XII : jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disflagia dan disartia
e. Pemeriksaan Head to Toe
1) Pemeriksaan Kepala
 Tulang tengkorak : inspeksi (bentuk mesochepal, ukuran cranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
 Kulit kepala : inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi ada skuama,
ada kemerahan)
 Wajah : inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi (tidak ada kelainan sinus)
 Rambut : inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada
uban) Palpasi (rambut mudah rontok)
 Mata : inspeksi (simetris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil
anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak secret) Palpasi
(bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
 Hidung : inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe/cairan serebrospinal
keluar dari hidung, ada pernapasan cuping hidung, tidak ada deviasi
septum) Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
 Telinga : inspeksi (simetris kotor, fungsi pendengan tidak baik, ada
otorrhoe / cairan serebrospinal keluar dari telinga, battle sign (warna biru
atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os. Mastoid), dan
memotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi
(tidak ada lipatan, ada nyeri)
 Mulut : inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membrane
mukosa kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak
bersih, gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada
pembengkakan, tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah)
Palpasi (tidak ada lesi, tidak ada massa)

20
 Leher dan tengkorak : inspeksi dan palpasi ( tidak ada pembesaran jvp,
tidak ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak
ditemukan kaku kuduk)
2) Pembesaran Dada dan Thorax
 Paru-paru :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, napas dada
cepat dan dangkal, sesak napas, frekuensi napas > 20 x/mnt
Palpasi : suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : suara napas tidak baik, ada wheezing
 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada V±2 cm, tidak ada nyeri tekan, denyut
nadi bradikardia
Perkusi : pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, irama napas
tidak teratur, tekanan darah menurun
3) Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, hepar tidak
teraba, limpa tidak teraba, ginjal tidak teraba, tidak ada ascites,
tidak ada nyeri pada titik Mc. Burney
Perkusi : tidak ada cairan atau udara suara redup
4) Pemeriksaan genetalia
Inspeksi : terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
5) Pemeriksaan ekstremitas
Inspeksi : adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot,
adanya sianosis
Palpasi : turgor buruk, kulit kering

21
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma kepala)
3. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala
4. Gangguan memori berhubungan dengan hipoksia
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan kognitif, program
pembatasan gerak
6. Risiko perdarahan dibuktikan dengan trauma (trauma kepala)
7. Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif
8. Risiko infeksi dibuktikan dengan peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan
9. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, kurang
terpapapr informasi, terpapar bahaya lingkungan
10. Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan orientasi afektif, perubahan
fungsi kognitif, ketidakamanan transportasi

22
C. Rencana Keperawatan
Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas
Penyebab : selama …x 24 jam pasiem mampu  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Fisiologis mengatasi bersihan jalan napas tidak efektif  Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
 Spasme jalan napas dengan kriteria hasil : wheezing,ronkhi kering)
 Hipersekresi jalan napas Bersihan jalan napas  Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
 Disfungsi neuromuskuler  Pasien mampu batuk secara efektif  Posisikan semi fowler atau fowler
 Benda asing dalam jalan napas  Produksi sputum menurun  Berikan minum hangat
 Adanya jalan napas buatan  Suara napas tambahan ( wheezing,  Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
 Sekresi yang tertahan ronkhi) berkurang  Berikan oksigen
 Hyperplasia dinding jalan napas  Dispnea berkurang  Ajarkan teknik batuk efektif
 Proses infeksi  Sianosis berkurang  Delegasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
 Respon alergi  Gelisah berkurang jika perlu.
 Efek agen farmakologis (mis,  Sulit bicara berkurang
anastesi)  Frekuensi napas membaik Pemantauan Respirasi
Situasional  Pola napas teratur  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
 Merokok aktif  Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
 Merokok pasif hiperventilasi, kussmaul cheyne-stokes, biot, ataksik)
 Terpajan polutan  Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
Tanda dan gejala  Monitor adanya sumbatan jalan napas
Data Mayor  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Objektif  Auskultasi bunyi napas
 Batuk tidak efektif  Monitor saturasi oksigen
 Tidak mampu batuk  Monitor nilai AGD
 Sputum berlebih  Monitor hasil X-ray thorax
 Mengi, wheezing dan/atau ronkhi
kering
 Meconium di jalan napas (pada
neonates)
Data Minor
Subjektif
 Dispnea
 Sulit bicara

23
 Ortopnea
Objektif
 Gelisah
 Sianosis
 Bunyi napas menurun
 Frekuensi napas berubah
 Pola napas berubah
2. Nyeri Akut Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen nyeri
Penyebab: selama …x 24 jam diharapkan keluhan Observasi
 Agen pencedera fisiologis ( mis. nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
inflamasi, iskemia, neoplasma) sebagai berikut: intensitas nyeri
 Agen pencedera kimiawi ( mis. Tingkat Niyeri  Identifikasi skala nyeri
terbakar, bahan kimia iritan)  Keluhan nyeri menurun  Identifikasi respon nyeri nonverbal
 Agen pencedera fisik ( mis.  Sikap meringis menurun  Identifikasi factor yang memperingan dan memperberat
abses, amputasi, terbakar,  Sikap gelisah menurun nyeri
terpotong, mengangkat berat,  Sikap protektif menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
prosedur operasi, trauma, latihan  Kesulitan tidur menurun  Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
fisik berlebihan)  Frekuensi nadi dalam rentang normal  Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien
 Pola napas dalam rentang normal  Monitor efek samping penggunaan analgetik
Gejala dan Tanda Mayor  Tekanan darah dalam rentang normal  Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
Subjektif :  Pola tidur membaik diberikan
 Mengeluh nyeri Terapeutik
Objektif :  Fasilitasi istirahat tidur
 Tampak meringis  Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( missal: suhu
 Bersikap protektif (mis. ruangan, pencahayaan dan kebisingan).
waspada, posisi menghindari  Beri teknik non farmakologis untuk meredakan nyeri
nyeri) (aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback, teknik
 Gelisah imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas dalam dan
 Frekuensi nadi meningkat kompres hangat/ dingin)
 Sulit tidur Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Gejala dan Tanda Minor  Jelaskan strategi meredakan nyeri
Subjektif :-  Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Objektif :
 Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
 Tekanan darah meningkat Kolaborasi
 Pola napas berubah  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
 Nafsu makan berubah Pemberian analgesic

24
 Proses berpikir terganggu Observasi :
 Menarik diri  Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda,
 Berfokus pada diri sendiri kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
 Diaphoresis  Identifikasi riwayat alergi obat
 Identifikasi kesesuaian jenis analgesic dengan tingkat
keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgesic
 Monitor efektifitas analgesic
Terapeutik :
 Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk mencapai
analgesia optimal, jika perlu
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus
oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum
 Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan
respons pasien
 Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek
yang diinginkan
Edukasi :
 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, jika perlu
3. Risiko perfusi serebral tidak efektif Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Faktor risiko : selama …x 24 jam diharapkan perfusi Observasi
 Keabnormalan masa protrombin serebral kembali efektif dengan kriteria  Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi, gangguan
dan/atau masa tromboplastin hasil sebagai berikut : metabolism, edema serebral)
parsial Perfusi Serebral  Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah
 Penurunan kinerja ventrikel kiri  Tingkat kesadaran meningkat meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas
 Aterosklerosis aorta  Kognitif meningkat ireguler, kesadaran menurun)
 Diseksi arteri  Sakit kepala berkurang  Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
 Fibrilasi atrium  Gelisah berkurang  Monitor status pernapasan
 Tumor otak  Kecemasan berkurang  Monitor intake dan output cairan
 Stenosis karotis  Agitasi berkurang Terapeutik
 Miksoma atrium  Tidak ada demam  Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
 Aneurisma serebri  Tekanan darah membaik yang tenang
 Koagulopati (misl anemia sel  Tekanan intra kranial membaik  Berikan posisi semi fowler
sabit)  Pertahankan suhu tubuh optimal

25
 Dilatasi kardiomiopati Kolaborasi
 Koagulasi intravaskuler  Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
diseminata  Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
 Embolisme  Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
 Cedera kepala
 Hiperkolesteronemia Pemantauan Tekanan Intrakranial
 Hipertensi Observasi :
 Endokarditis infektif  Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi
 Katup prostetik mekanis menempati ruang, gangguan metabolism, edema serebral,
 Stenosis mitral peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan
 Neoplasma otak serebrospinal, hipertensi intracranial idiopatik)
 Infark miokard akut  Monitor peningkatan TD
 Sindrom sick sinus  Monitor penurunan frekuensi jantung
 Penyalahgunaan zat  Monitor irreguleritas irama napas
 Terapi tombolitik  Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Efek samping tindakan  Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil
 Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang yang
diindikasikan
 Monitor tekanan perfusi serebral
Terapeutik
 Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
 Kalibrasi transduser
 Pertahankan sterilitas system pemantauan
 Pertahankan posisi kepala dan leher netral
 Bilas system pemantauan, jika perlu
 Atur interval pemantauan sesuai kondisi
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4. Gangguan memori Setelah diberikan asuhan keperawatan Latihan Memori
Penyebab : selama …x 24 jam diharapkan gangguan Observasi
 Ketidakadekuatan stimulasi memori dapat teratasi dengan kriteria hasil  Identifikasi masalah memori yang dialami
intelektual sebagai berikut:  Identifikasi kesa;ahan terhadap orientasi
 Gangguan sirkulasi ke otak Memori  Monitor perilaku dan perubahan memori selama terapi
 Gangguan volume cairan  Verbalisasi kemampuan mempelajari
dan/atau elektrolit hal baru meningkat

26
 Proses penuaan  Verbalisasi kemampuan mengingat Terapeutik
 Hipoksia informasi factual meningkat  Stimulasi memori dengan mengulang pikiran yang terakhir
 Gangguan neurologis  Verbalisasi kemampuan mengingat kali diucapkan, jika perlu
 Efek agen farmakologis perilaku tertentu yang pernah dilakukan  Koreksi kesalahan orientasi
 Penyalahgunaan zat meningkat  Fasilitasi mengingat kembali pengalaman masa lalu, jika
 Faktor psikologis  Verbalisasi kemampuan mengingat perlu
 Distraksi lingkungan peristiwa meningkat  Fasilitasi tugas pembelajaran (mis. mengingat informasi
 Melakukan kemampuan yang dipelajari verbal dan gambar
Gejala dan Tanda Mayor meningkat  Fasilitasi kemampuan konsentrasi, jika perlu
Subjektif :  Verbalisasi pengalaman lupa menurun  Stimulasi menggunakan memori pada peristiwa yang baru
 Melaporkan pernah mengalami terjadi, jika perlu
pengalaman lupa Edukasi
 Tidak mampu mempelajari  Jelaskan tujuan dan prosedur latihan
keterampilan baru  Ajarkan teknik memori yang tepat
 Tidak mampu mengingat Kolaborasi
informasi factual  Rujuk pada terapi okupasi
 Tidak mampu mengingat
perilaku tertentu yang pernah Orientasi Realita
dilakukan Observasi
 Tidak mampu mengingat  Monitor perubahan orientasi
peristiwa  Monitor perubahan kognitif dan perilaku
Objektif : Terapeutik
 Tidak mampu melakukan  Perkenalkan nama saat memulai interaksi
kemampuan yang dipelajari  Orientasikan orang, tempat, dan waktu
sebelumnya  Hadirkan realita
 Sediakan lingkungan dan rutinitas secara konsisten
Gejala dan Tanda Minor  Atur stimulus sensorik dan lingkungan
Subjektif :  Gunakan symbol dalam mengorientasikan lingkungan
 Lupa melakukan perilaku pada  Libatkan dalam terapi kelompok orientasi
waktu yang telah dijadwalkan  Berikan waktu istirhat dan tidur yang cukup, sesuai
 Merasa mudah lupa kebutuhan
Objektif : -  Fasilitasi akses informasi, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan perawatan diri secara mandiri
 Anjurkan penggunaan alat bantu
 Anjurkan keluarga dalam perawatan orientasi realitas

27
5. Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan Dukungan mobilisasi
Penyebab : selama ….x 24 jam diharapkan gangguan Observasi
 Kerusakan integritas struktur mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
tulang hasil sebagai berikut :  Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
 Perubahan metabolism Mobilitas Fisik  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
 Ketidakbugaran fisik  Pergerakan ekstermitas meningkat memulai mobilisasi
 Penurunan kendali otot  Kekuatan otot meningkat  Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
 Penurunan masa otot  Rentang gerak (ROM) meningkat
 Keterlambatan perkembangan  Nyeri menurun Terapeutik
 Kekakuan sendi  Kecemasan menurun  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
 Kontraktur  Gerakan terbatas menurun pagar tempat tidur)
 Malnutrisi  Kelemahan fisik menurun  Fasilitasi melakukan pergerakan
 Gangguan muskuluskleletal  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
 Gangguan neuromuscular meningkatkan pergerakan
 Efek agen farmakologis Edukasi
 Program pembatasan gerak  Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Nyeri  Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Kecemasan  Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan

Gejala dan Tanda Mayor Dukungan Ambulasi


Subjektif : Observasi
 Mengeluh sulit menggerakan  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
ekstermitas  Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
Objektif :  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
 Kekuatan otot menurun memulai ambulasi
 Rentang gerk ROM menurun  Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Gejala dan Tanda Minor Terapeutik
Subjektif :  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
 Nyeri saat bergerak  Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
 Enggan melakukan pergerakan  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
 Merasa cemas saat bergerak meningkatkan ambulasi
Objektif : Edukasi
 Sendi kaku  Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Gerakan tidak terkoordinasi  Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Gerakan terbatas  Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
 Fisik lemah

28
6. Risiko perdarahan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan perdarahan
Faktor risiko : selama ….x 24 jam diharapkan risiko Observasi
 Aneurisma perdarahan tidak terjadi dengan kriteria  Monitor tanda dan gejala perdarahan
 Ganguan gastrointestinal hasil sebagai berikut :  Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan setelah
 Gangguan fungsi hati kehilangan darah
 Komplikasi kehamilan Tingkat perdarahan  Monitor tanda – tanda vital ortostatik
 Komplikaso pasca partum  Hemoglobin membaik  Monitor koagulasi (mis. Prothrombin (PT), partial
 Gangguan koagulasi  Hematokrit membaik thromboplastin (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin dan/atau
 Efek agen farmakologis  Tekanan darah dalam batas normal platelet)
 Tindakan pembedahan  Frekuensi nadi dalam batas normal Terapeutik
 Trauma  Suhu tubuh dalam batas normal  Pertahankan bed rest selama perdarahan
 Kurang terpapar informasi  Membran mukosa lembab  Batasi tindakan invasif, jika perlu
tentang pencegahan perdarahan  Gunakan kasur pencegah dekubitus
 Proses keganasan Tingkat cedera  Hindari pengukuran suhu tubuh rektal
 Perdarahan menurun Edukasi
 Ekspresi wajah kesakitan menurun  Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
 Gangguan mobilitas menurun  Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari
konstipasi
 Anjurkan menghindari penggunaan aspirin atau koagulan
 Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
 Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

Pencegahan cedera
 Observasi
 Mengidentifikasi area lingkungan yang berpotensi
menyebabkan cedera
 Terapeutik
 Sediakan pencahayaan yang memadai
 Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan
ruang rawat (mis. Penggunaan telepon, tempat tidur,
penerangan ruangan dan lokasi kamar mandi)
 Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi di tempat tidur,

29
jika perlu
 Pastikan bel panggilan mudah dijangkau
 Pastikan barang – barang pribadi mudah dijangkau
 Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan
fasilitas pelayanan kesehatan.
 Edukasi
 Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk selama
beberapa menit sebelum berdiri.
7. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen hipovolemia
Faktor risiko : selama …x 24 jam diharapkan risiko  Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi
 Kehilangan cairan secara aktif hipovolemia tidak terjadi dengan kriteria meningkat, nadi teraba lemah, dsb)
 Gangguan absorbsi cairan hasil :  Monitor intake dan output cairan
Status cairan  Hitung kebutuhan cairan
 Usia lanjut
 Frekuensi nadi dalam batas normal  Berikan posisi modified trendelenburg
 Kelebihan berat badan  Output urine meningkat  Berikan asupan cairan oral
 Status hipermetabolik  Membran mukosa lembab  Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Kegagalan mekanisme regulasi  Perasaan lemah berkurang  Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
 Evaporasi  Tekanan nadi kuat  Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)
 Kekurangan intake cairan  Turgor kulit baik  Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa
 Efek agen farmakologis  Intake cairan adekuat 2,5%, NaCl 0,4%)
 Suhu tubuh dalam batas normal  Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin,
plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah
Pemantauan cairan
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum
 Monitor intake dan output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia

30
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan cairan
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan
8. Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi
Faktor Risiko: selama… x 24 jam diharapkan pasien dapat Observasi :
 Penyakit Kronis (mis. Diabetes melakukan aktivitas dengan kriteria hasil :  Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
mellitus) Tingkat Infeksi Terapeutik :
 Efek prosedur invasif  Tidak ada demam (36.5-37oC)  Batasi jumlah pengunjung
 Malnutrisi  Tidak ada kemerahan  Berikan perawatan kulit pada area edema
 Peningkatan paparan organisme  Tidak ada nyeri  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
pathogen lingkungan  Vesikel normal dan lingkungan pasien
 Ketidakadekuatan pertahanan  Tidak ada letargi  Pertahanakan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
tubuh primer:  Tidak ada cairan berbau busuk Edukasi :
 Gangguan peristaltic  Tidak ada sputum berwarna hijau  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Kerusakan integritas kulit  Tidak ada piuria  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Perubahan sekresi pH  Tidak mengalami malaise  Ajarkan etika batuk
 Penurunan kerja siliaris  Tidak menggigil  Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Ketuban pecah lama  Tidak ada letargi  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Ketuban pecah sebelumnya  Tidak mengalami gangguan kognitif  Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Merokok
 Kadar sel darah putih normal
 Statis cairan tubuh Pemberian Obat
 Ketidakadekuatan pertahanan Observasi :
tubuh sekunder  Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi, dan
 Penurunan hemoglobin kontraindikasi obat
 Imununosupresi  Periksa tanggal kadaluwarsa obat
 Leukopenia
 Monitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum
 Supresi respon inflamasi
pemberian obat, jika perlu
 Vaksinasi tidak adekuat
 Monitor efek terapeutik obat
 Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat
Terapeutik :
 Perhatikan prosedur pemberian obat jenis hipnotik,
narkotik, dan antibiotic
 Hindari pemberian obat yang tidak diberi label dengan
benar
 Buang obat yang tidak terpakai atau kadaluwarsa

31
 Fasilitasi minum obat
 Dokumentasikan pemberian obat dan respons terhadap
obat.
Edukasi :
 Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek samping sebelum pemberian
 Jelaskan faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
efektifitas obat
9. Ansietas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi Ansietas
Penyebab : selama… x 24 jam diharapkan ansietas Observasi
 Krisis situasional pasien berkurang dengan kriteria hasil :  Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. kondisi,
 Kebutuhan tidak terpenuhi Tingkat ansietas waktu, stressor)
 Krisis maturasional  Verbalisasi kebingungan menurun  Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Ancaman terhadap konsep diri  Verbalisasi khawatir akibat kondisi  Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
 Ancaman terhadap kematian yang dihadapi menurun Terapeutik
 Kekhawatiran mengalami  Perilaku gelisah berkurang  Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kegagalan  Perilaku tegang berkurang kepercayaan
 Disfungsi system keluarga  Keluhan pusing berkurang  Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
 Hubungan orang tua-anak tidak  Anoreksia berkurang memungkinkan
memuaskan  Palpitasi berkurang  Pahami situasi yang membuat ansietas
 Faktor keturunan  Tremor berkurang  Dengarkan dengan penuh perhatian
 Penyalahgunaan zat  Pucat berkurang  Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Terpapar bahaya lingkungan  Pola tidur membaik  Tempatkan barang pribadi yang memberika kenyamanan
 Kurang terpapar informasi  Frekuensi pernapasan dalam batas  Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
normal (16-20 kali/mnt)  Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang
Gejala dan Tanda Mayor  Frekuensi nasi dalam batas normal (60- akan datang
Subjektif : 100 kali/mnt) Edukasi
 Merasa bingung  Tekanan darah membaik  Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
 Merasa khawatir dengan akibat  Kontak mata baik  Informasikan secara factual mengenai diagnosis,
dari kondisi yang dihadapi  Orientasi baik pengobatan, dan prognosis
 Sulit berkonsentrasi  Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
Objektif :  Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
 Tampak gelisah kebutuhan
 Tampak tegang  Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Sulit tidur  Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
Gejala dan Tanda Minor  Latih teknik relaksasi

32
Subjektif : Kolaborasi
 Mengeluh pusing  Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
 Anoreksia
 Palpitasi Terapi Relaksasi
 Merasa tidak berdaya Observasi
Objektif :  Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan
 Frekuensi napas meningkat berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu
 Frekuensi nasi meningkat kemampuan kognitif
 Tekanan darah meningkat  Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
 Diaphoresis  Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
 Tremor sebelumnya
 Muka tampak pucat  Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan
 Suara bergetar suhu sebelum dan sesudah latihan
 Kontak mata buruk  Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
 Sering berkemih
 Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan
 Berorientasi pada masa lalu
pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur
teknik relaksasi
 Gunakan pakaian longkan
 Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan
berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang
tersedia (mis. music, meditasi napas dalam, relaksasi otot
proresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
 Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang
dipilih
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
10. Risiko cedera Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan cedera
Faktor risiko selama… x 24 jam diharapkan cedera tidak Observasi
Eksternal : terjadi dengan kriteria hasil :  Identifikasi lingkungan yang mengakibatkan cedera

33
 Terpapar pathogen Tingkat cedera  Identifikasi obat yang berotensi menyebabkan cedera
 Terpapar zat kimia toksik  Toleransi aktivitas meningkat  Indentifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastis pada
 Terpapar agen nosocomial  Toleransi makanan meningkat ekstremitas bawah
 Ketidakamanan transportasi  Kejadian cedera menurun Terapeutik
Internal :  Tidak ada luka/lecet  Sediakan pencahayaan yang memadai
 Ketidaknormalan profil darah  Tidak ada fraktur  Gunakan lampu tidur selama tidur
 Perubahan orientasi afektif  Tidak ada perdarahan  Gunakan alas lantai bila berisiko mengalami cedera serius
 Perubahan sensasi  Tidak ada ekspresi wajah kesakitan  Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi diatas tempat
 Disfungsi autoimun  Agitasi menurun tidur
 Disfungsi biokimia  Gangguan mobilitas menurun  Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
 Hipoksia jaringan  Gangguan kognitif menurun  Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat
 Kegagalan mekanisme  Tekanan darah dalam batas normal digunakan
pertahanan tubuh  Frekuensi nadi dalam batas normal (60-  Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalm kondisi
 Malnutrisi 100 kali/mnt) terkunci
 Perubahan fungsi psikomotor  Frekuensi napas dalam batas normal  Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijkan
 Perubahan fungsi kognitif (16-20 kali/mnt) fasilitas pelayanan kesehatan
 Pola istirahat/tidur membaik  Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang
 Nafsu makan membaik diperlukan
 Diskusikan mengenai alat bantu mobilisasi
 Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat
mendampingi pasien
 Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien
Edukasi
 Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan
keluarga
 Anjurkan berganti posisi secara perlahan

Pencegahan jatuh
Observasi :
 Identifikasi factor risiko jatuh
 Identifikasi factor ligkungan yang meningkatkan risiko
jatuh
 Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala
 Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kunsi
roda dan sebaliknya

34
Terapeutik
 Orientasi ruangan pada pasien dan keluarga
 Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda slalu dalam
keadaan terkunci
 Pasang hedrail tempat tidur
 Atur tempat tidur mekanis dalam posisi rendah
 Gunakan alat bantu berjalan
Edukasi
 Ajurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan
untuk berpindah
 Anjurkan menggunka alas kaki yang tidak licin
 Anjurkan berkonsetrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh
 Anjurkan melebarkan kaki untuk meningkatkan
keseimbangan saat berdiri

35
DAFTAR PUSTAKA

Brain Injury Association of America. 2009. Types of Brain Injury. Diakses pada
tanggal 16 November 2019, dari http://www.biausa.org/pages/
typeofbraininjury.hmtl.
Corwin, J.E. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume
II.Jakarta : EGC
Morton, G.P. 2012. Keperawatan Kritis, Edisi 2. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 2.
Jogjakarta : Mediaction Publishing
Price, SA. & Wilson, LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 2. 6th ed. Jakarta : EGC
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Price, SA. & Wilson, LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 2. 6th ed. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2.
Jakarta : EGC.

36
LEMBAR PENGESAHAN

…………….. , .......................................2019

Mengetahui

Pembimbing Praktek / CI Mahasiswa

NIP. NIM.

Mengetahui

Pembimbing Akademik / CT

NIP :

Anda mungkin juga menyukai