Pada 1913, Ki Hajar Dewantara beserta Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan
dr. Cipto Mangoenkoesoemo di asingkan ke Belanda karena memprotes rencana perayaan 100
tahun kemerdekaan Belanda dan Prancis di negara jajahan mereka. Meski harus hidup terasing
dari Tanah Air, jiwa pejuang Ki Hajar Dewantara tidak redup. Dia aktif dalam organisasi pelajar
asal Indonesia di Belanda. Di saat yang sama, ide-ide tokoh pendidikan barat menjadi fondasi Ki
Hadjar dalam merintis cita-cita memajukan pendidikan di Indonesia untuk para pribumi.
Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
perguruan Taman Siswa. Lembaga ini bertujuan memberikan kesempatan dan hak pendidikan
yang sama bagi para pribumi jelata Indonesia seperti yang dimiliki para priyayi atau orang-orang
Belanda.
Taman Siswa menanamkan rasa kebangsaan pada anak didiknya, Metode pendidikannya
merupakan gabungan perspektif Barat dengan budaya nasional. Meski demikian, Taman Siswa
tidak mengajarkan kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Karena menurut Ki Hajar Dewantara
pendidikan kolonial Belanda yaitu tidak sejalan dengan falsafat orang Timur yang menekankan
prinsip keseimbangan antara pemenuhan lahir dan bathin, material spiritual, jasmani dan rohani,
individual dan sosial, emosional dan intelektual. Pendidikan kolonial yang diberikan kepada
bangsa Indonesia telah menyebabkan rakyat kita menjadi materialistis ( mengutamakan hidup
materi semata-mata ), rasionalistis ( hanya menerima hal-hal yang benar menurut akal saja ),
egoistis ( hanya mementingkan diri sendiri saja ) dan eropanis ( mengagung-agungkan budaya
Eropa ).
Selain mengembangkan Taman Siswa, Ki Hajar tetap menulis. Tema tulisannya kini
tidak lagi politik, melainkan bernuansa pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Tulisan-tulisan itu menjadi media Ki Hajar dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional
bagi bangsa Indonesia.
Implementasi nasionalisme tamansiswa
Istilah “ kurikulum “ berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di
Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari
garis start sampai garis finish. Dengan pengertian yang sederhana kurikulum dapat
diartikan sebagai mata pelajaran atau bidang studi. Kegiatan-kegiatan belajar dimaksud
dapat dilakukan dalam kelas dengan mengikuti ceramah, bertanya jawab, mengadakan
demonstrasi, bisa juga kegiatan di luar kelas, baik didalam maupun di luar kampus.
Pada bagian berikutnya Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa peajaran yang
menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya
program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-
ekornya : intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan
keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan
dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.
Dengan kata lain, sekolah sebaiknya tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga kemampuan
lainnya. Sehingga, anak tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga mampu menerapkan
ilmunya tersebut.
Pendidikan juga harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang konsep
mendidik itu sendiri. Dalam arti yang sesungguhnya, pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia (humanisasi), misalnya melalui konsep “penguasaan diri”. Ki Hajar
meyakini, jika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, maka mereka juga akan mampu
menentukan sikapnya sebagai pribadi merdeka, mandiri dan dewasa