Tugas Study Hadist
Tugas Study Hadist
Kelas: PGMI C 20
Menurut bahasa, kata al-Mutawatir, memiliki makna yang sama dengan kata al-tatabu’u/ al-
mutatabi’, yang artinya beriringan atau berturut-turut dan beruntun. Sedangkan menurut
makna istilah (secara tehnis) adalah ” hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, bersadarkan
panca indra , yang menurut adat , mustahil mereka terlebih dahulu melakukan kesepakatan
bohong, Kaadaan periwayatan ini terus menerus demikian sejak thabaqat pertama sampai yang
terahir.”
Dari pengertian di atas , maka ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh hadits
mutawatir :
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang, atau dua orang, atau lebih
tetapi belum cukup syarat untuk memasukkannya kedalam kategori mutawatir.
Dari sisi kualitasnya, hadits ahad ada yang berstatus shahih, hasan dan ada yang berkualitas
dha’if. Oleh karena itu penelitian terhadap kualitas sanad yang dijadikan sandaraannya sangat
penting, sehingga dapat dipisahkan antara yang berstatus shahih, hasan dan yang dha’if.
Ditinjau dari segi banyak sedikitnya perawi pada tiap thabaqat, hadits ahad dibagi menjadi tiga
macam :
Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatakan oleh tiga orang atau lebih tetapi belum
mencapai derajat mutawatir. Sebagian ulama’ memasukkan hadits masyhur ini kedalam kategori
mutawatir, tetapi para ulama Hanafiyah memasukkan di antara hadits mutawatir dan hadits
ahad. Oleh karena itu menurut mereka hadits masyhur dapat menjadi mukhassis ke-umumam
al-Qur’an.
Menurut ulama fiqih, hadits masyhur itu muradif dengan hadits mustafidl. Tetapi menurut
pendapat ulama lainnya berbeda. Suatu hadits dinyatakan sebagai hadits mustafidl jika jumlah
rawinya ada tiga orang atau lebih (tetapi belum mencapai mutawatir) sejak thabaqat pertama
(shahabat) sampai thabaqat terahir. Sedangkan hadits masyhur bersifat lebih umum, artinya
jumlah rawi pada tiap thabaqat tidah harus sama banyaknya (tidak harus seimbang). Oleh sebab
itu dalam sanad masyhur, jumlah rawi pada thabaqat pertama (sahabat) dan thabaqat ke dua
(tabi’in), bisa terjadi hanya terdiri atas satu orang rawi saja, kemudian jumlah rawi dalam
thabaqat berikutnya cukup banyak.
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إنما األعمال بالنية وإنما المرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى هللا ورسوله فهجرته إلى هللا
ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Hadits tersebut di atas diriwayatkan imam al-Bukhari dan Muslim dengan sanad sebagai berikut:
2. Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang pada sebagian thabaqatnya dan
pada thabaqat lainnya ada yang lebih dari dua orang. Dari pengertian ini berarti hadits Aziz bisa
berpadu dengan istilah hadits Masyhur. Oleh karena itu sebagian ulama’ memberikan
penjelasan bahwa kata Aziz dalam istilah ini bermakna kuat. Artinya, walaupun pada suatu
thabaqat sanad terdapat hanya dua orang perawi, tetapi berhubung pada thabaqat lainnya
diriwayatakan lebih banyak, maka hadits tersebut tetap dinilai kuat (aziz).
Dengan demikian , maka yang dikatakan sebagai hadits yang bersanad aziz bukan hanya yang
diriwayatkan oleh dua orang perawi pada tiap-tiap thabaqat : sejak thabaqat pertama hingga
yang terahir saja, tetapi juga mencakup hadits-hadits yang di dalam salah satu sanadnya
diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam satu thabaqat. Di antara contohnya adalah hadits yang
ditakhrij al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik berikut:
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين
Hadits ini pada thabaqat sahabat diriwayatkan oleh Anas bin Malik, kemudian diriwayatkan
kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abd.Aziz bin Suhaib. Dari Qatadah dituturkan kepada dua
orang yaitu Syu’bah dan Husain al-Mu’allim. Dari Abd Aziz diriwayatkan kepada dua orang pula
yaitu Abd Warits dan Isma’il. Selanjutnya dari empat orang perawi tersebut diriwayatkan kepada
perawi di bawahnya lebih banyak lagi.
Hadits Gharib, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
periwayatannya. Dalam hal ini para ulama membagi menjadi dua macam ; yaitu gharib mutlak
dan gharib nisbi. Jika sekiranya ke-ghariban itu mengenai personalia rawi, artinya tidak ada
orang lain yang meriwayatkan kecuali hanya rawi itu sendiri, maka disebut gharib mutlak.
Penyendirian rawi hadits gharib ini harus harus berpangkal pada aslus sanad , yaitu tabi’in,
bukan sahabat, sebab yang menjadi pembicaraan mengenai diterima atau tidaknya perawi itu
bukan pada sahabat. Para ulama sunni sepakat bahwa seluruh sahabat dinyatakan adil secara
keseluruhan. Dalam pada itu penyendirian rawi dalam hadits gharib mutlaq bisa terjadi pada
tabi’in saja (aslussanad), atau pada tabi’ tabi’in, atau terjadi pada keseluruhan rawi pada tiap-
tiap thabaqat. Contoh sanad hadits gharib mutlaq adalah sebagaimana dituturkan al-Bukhari –
Muslim sebagai berikut:
قال النبي صلى هللا عليه وسلم اإليمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من اإليمان
Hadits ini diriwayatkan melalui sahabat Abu Hurairah, kemudian dituturkan kepada Abu Shalih.
Senjutnya oleh Abu Shalih diriwayatkan kepada Abdullah bin Dinar, lalu dituturkan kepada
Sulaiman bin Bilal. Oleh Sulaiman bin Dinar diriwayatkan kepada Abu Amir. Dari Abu Amir
dituturkan kepada Abdullah bin Hamid, Ubaidillah bin Sa’id, dan Abdullah bin Muhammad. Dari
Abdullah dan Ubaidillah diriwayatkan kepada imam Muslim. Sedang dari Abdullah bin
Muhammad dituturkan kepada al-Bukhari.
Sedangkan jika ke-ghariban itu menyangkut sifat-sifat atau kaadaan tertentu seorang perawi,
maka dinamai gharib nisbi. Penyendirian perawi mengenai kaadaan atau sifat perawi ini
mempunyai beberapa kemungkinan. Antara lain
Tentang sifat keadilan dan kedlabitan (ke tsiqahan) rawi. Seperti hadits riwayat imam Muslim
mengenai pertanyaan Umar bin Khattab kepada Abi Waqid al_laitsi tentang surat apa yang
dibaca Nabi saw dalam shalat dua hari raya. Abu Waqid menjawab :
كان يقرأ في األضحى والفطر بق والقرأن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر
Hadits ini ditahrij oleh imam Muslim dan Daraquthni dengan sanad sebagai berikut:
Dlamurah bin Sa’id al-Mazini , salah seorang perawi dalam sanad Muslim adalah perawi yang
tsiqat. Ia meriwayatkan hadits dari Ubaidillah, dari Abu Waqid al-Laitsi. Ia disifatkan menyendiri
tentang ketsiqahannya jika dinisbatkan kepada perawi yang ada dalam sanad ad-Daraquqni,
yaitu Ibnu Luhai’ah, yang meriwayatkan hadits dari Khal;id bin Yazid, dari Urwah, dari A’isyah.
Ibnu Luhai’ah oleh Jumhur ulama’ dinilai lemah. Karena itu ia juga disifatkan menyendiri dalam
ketidak tsiqahan.
Tentang kota atau tempat tinggal tertentu. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
dari Bashrah
أمرنارسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن نقرأ بفاتحة الكتاب وماتيسر منه
Hadits yang ditakhrij Abu Dawud ini memiliki sanad dari Abu al-Walid at-Tayalisi, dari Hammam,
dari Qatadah, dari Abu Nadhrah, dari Sa’id. Semua perawi ini dari kota Bashrah. Karena itu
sanad ini disebut sebagai gharib nisbi. Untuk memperjelas keterangan ini disertakan skema
sanad bersangkutan sebagai berikut :
Hadits Ahad bernilai dhanni. Oleh karena itu maka masih perlu dilakukan penelitian mengenai
kualitas keabsahannya, sebab tidak semua hadits ahad itu shahih., Hadits ahad yang maqbul dan
berkaitan dengan hukum maka menurut jumhur ulama, wajib diamalkan. Sedangkan yang
menyangkut masalah aqidah, masih diperselisihkan. Di atara mereka ada yang berpendapat
bahwa hadits ahad yang maqbul bisa dijadikan dalil aqidah, sebab hadits ahad itu memberi
faidah ilmu. Tetapi menurut pendapat yang lain menolak, sebab dailil aqidah haruslah
berdasarkan keyakinan yang qoth’I, padahal hadits ahad itu nilainya dhanni.
Pendapat yang agak moderat menyatakan bahwa hadits ahad yang maqbul dapat saja dijadikan
landasan aqidah , sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits lain yang lebih
kuat.
1. Hadits Shahih
Hadits Shahih yaitu hadits yang sanadnya muttashil, diriwayatkan oleh perawi yang adil,
sempurna ingatannya, tidak janggal dan tidak cacat (illat).[14]
Dari pengertian ini maka sutu hadits dapat dinilai sebagai hadits shahih apabila memenuhi
syarat sebagai beriku :
Sanadnya muttashil
Sang perawi yang tergabung dalam sanad memiliki ingatan yang sempurna
Perawinya bersifat adil
Dalam sanad maupun matannya tidak terdapat illat
Di dalam sanad maupun matan hadits tidak terdapat kejanggalan.
Hadits shahih ini terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih lizatihi dan shahih li ghairihi.
Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi lima persyaratan sebagaimana
tersebut di atas, Sedangkan hadits shahih li ghairihi adalah hadits yang kaadaan perawinya
kurang dhabith (hafalannya kurang sempurna) namun masih terkenal sebagai orang yang adil
dan jujur, kemudian dikuatkan oleh jalur sanad lain, sehingga kekurangan yang ada tadi dapat
tertutupi. Artinya hadist hasan yang dikuatkan oleh hadits serupa lainnya.[15]
2. Hadits Hasan
Hadits Hasan Yaitu hadits yang sanadnya bersambung , yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang adil , tetapi kurang dhabith. Tidak memiliki illat dan tidak terdapat kejanggalan.
Dari pengertian definitif di atas, dapat diketahui bahwa persyaratan hadits hasan itu sebenarnya
mirip dengan hadits shahih. Perbedaannya terletak pada kekuatan hafalan para perawinya. Jika
persyaratan hadits shahih harus diriwayatkan oleh perawi yang sempurna ingatannya, maka
hadits hasan cukup diriwayatkan oleh rawi yang ngatannya kurang sempurna.
Hadits hasan terbagi atas dua macam; yaitu hadits hasan li dzatihi dan hadits hasan li ghairihi.
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang memenuhi persyaratan hadits hasan secara lengkap.
Sedangkan hadits hasan li ghairihi adalah hadits dhaif, tetapi ada petunjuk lain yang
menguatkannya, sehingga statusnya naik menjadi hasan karena didukung faktot yang ada di luar
dirinya.
Imam Bukhari dan Ibnu al- Arabi menolak hadits hasan sebagai dalil penetapan hukum. Tetapi
al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah dapat menerimanya sebagai hujjah dengan syarat
tidak bertentangan dengan hadits yang shahih.
3. Hadits Dha’if
Yang dimaksud hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat hadits shahih
dan hadits hasan.
Hadits dhaif ini ada yang disebabkan karena terputusnya sanad, ada yang dhai’if karena
perawinya cacat (lemah), dan ada yang dho’if disebabkan oleh matannya yang tidak memenuhi
syarat.
Ada dua pendapat mengenai boleh tidaknya mengamalkan hadits dha’if. Pertama, Imam
Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa hadits dha’if sama
sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan
dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.
Kedua, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abd. Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar al-Atsqalani
menyatakan bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah hanya untuk keutamaan amal dengan
syarat :
a. Para rawi yang menyampaikan hadits tersebut tidak terlalu lemah
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits bersangkutan, mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan al-Qur’an atau hadits shahih
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
2.) Macam-macam istilah khusus hadist Da’if
Hadist Mauquf
Definisi
Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan
sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang
bersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya
1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi
Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui,
apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2. Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam
sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3. Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di
depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits
mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.
Hadits Maqthu’
Definisi
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah
adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di
bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah
bagian dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang
Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi
sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak
bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-
Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak
populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits,
kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang
shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad
Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan
menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
2. Mushannaf Abdurrazzaq.
" Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha'if dapat dijadikan pedoman
dalam masalah fadha'il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang
menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadits)
menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila
kami meriwayatkan Hadits tentang fadha'il al-a’mal, maka kami melonggarkannya ".
(Majmu' Fatawi wa Rasa'il, 251)
Pertama, bukan hadits yang sangat dha'if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah
terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang
universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha'if, namun
perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.
Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak Hadits Dha'if. Dalam hal-hal
tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana
disebutkan di atas.