Sastra (al-Adab) merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mencapai masa keemasannya
pada masa itu. Sastra adalah salah satu unsur kebudayaan yang paling terkenal dalam
Renaisans Andalusia yang diprakarsai oleh Abdurrahman al-Dakhil sehingga mirip dengan
tradisi istana Troubadour Perancis (penyair dan penyanyi keliling pada abad ke-11 sampai
abad ke-13).
Kebangkitan sastra pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah terkait dengan kemajuan budaya,
keadaan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Andalusia.
PEMBAHASAN
A. Syair Andalusia
Karya sastra sebagai cermin kehidupan, dalam tema dan idenya sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan penyairnya. Baik lingkungan alam, ekonomi dan politik. Begitu juga
dengan sya’ir-sya’ir Arab Andalusia. Karena panjangnya rentang waktu keberadaan Islam di
Andalusia, karya-karya sastranya dibagi berdasarkan perkembangan politik:
1. Periode yang dimulai dengan kemenangan Islam tahun 93 H / 712 M dan berakhir dengan
berdirinya daulah bani umayyah di Andalusia dibawah kekuasaan Abdurrahman Ad-Dakhil
tahun 138 H / 755 M.
2. Periode pembentukan pemerintahan dimulai dari berkuasanya daulah umayyah di
andalusia dibawah pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil dan keturunannya sampai tahun
238 H / 852 M.
3. Periode konflik pemerintahan mulai sejak berkuasanya Abdurrahman Ausath dan dan
keturunannya berakhir pada tahun 316 H / 929 M.
4. Periode Khilafah atau Masa keemasan Islam di Andalusia di bawah kekuasaan Khalifah
An-Nashir Lidinillah (Abdurrahman III) berakhir pada tahun 366 H / 976 M.
5. Periode kemunduran yang berakhir pada tahun 399 H / 1009 M.
Macam-macam tujuan syair andalusia:
1. Madh (Pujian)
Syair ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa senang dan cinta terhadap orang yang pernah
berjasa atau orang yang sangat dihormati dan juga merupakan sarana untuk mencari
kehidupan. Penyair Andalusia merupakan generasi dari penyair timur. Penyair ini tetap
memelihara dengan baik gaya bahasa yang terdahulu dan ditujukan untuk kerajaan. Penyair
Madh yang paling terkenal di Andalusia yaitu, Ibnu Hani, Ibnu Darraj, Ibnu Zaidun, Ibnu
Syahid, dan Lisanuddin bin Al-Khotib. Contoh syair di bawah ini mengikuti style Mutanabbi,
yang ditujukan untuk memuji Khalifah, sebagaimana perkataan al-Mu’iz liddinillah al-
Fatimi:
2. Risa’(Ratapan / elegi)
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalusia, menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai
ekspresi kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar bersatu merebut kembali harta
mereka. Penyair yang terkenal dengan tujuan syair ini yaitu Ibnu ‘abd Rabbihi, Ibnu Hani’,
Ibnu zaidun. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang fakih yang juga penyair Abdullah bin
Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Ghassâl, yang terpaksa mengungsi
ke Granada saat jatuhnya kota Toledo tahun 1094 M yang keruntuhannya diibaratkan dengan
pakaian yang carut marut, dia berkata:
3. Hija’ (Ejekan)
Penyair Andalusia jika mengejek mereka tidak terlalu memperpanjang dan cenderung untuk
bersikap toleransi, memaafkan dan tidak sampai melampaui batas dalam ejekannya. Penyair
yang terkenal dengan tujuan syair ini adalah Ibnu hani’, Ibnu Khufajah, Abu bakar al-
makhzumi, Ibnu jubair. Ibnu Jubair al-Andalusi berkata:
فداؤك نفسي كيف تلك المعالم فيا راكب الوجناء هل أنت عالم
“Wahai penunggang unta yang galak, apakah kamu tahu tebusanmu adalah diriku bagaimana
petunjuk jalan itu?”
4. Ghazal (Rayuan)
Syair ini banyak beredar di andalusia, bahkan pola syairnya lebih umum dan luas, penduduk
andalusia lebih terkenal dengan kelembutan dan kecendrungannya. Beberapa syair ini suci
nan indah, dan menggambarkan pencitraan perempuan dan deskripsi dari pesonanya. Syair
ini mencerminkan kepribadian penyair. Penyair yang terkenal dengan tujuan syair ini yaitu
yahya bin hakam, ibnu zaidun, abu amir bin syahid, ibnu ‘abd rabbihi. Ibnu ‘abd rabbihi
berkata:
7. Kerinduan
Penyair timur mereka lebih suka mengarah pada puisi nostalgia, di Andalusia mengikuti
penyair timur, dan diterapkan dalam seni ini, Dan mengacu pada dua hal:
a. Penduduk Andalusia pergi ke Arab Timur untuk mencari ilmu pengetahuan.
b. Sebagian besar penyair Andalusia membuat syair dengan hati dan makna yang paling
penting dari puisi seputar keterasingan mereka, kerinduan pada tanah air, pengalaman di
negeri asing, dan menggambarkan masa kecil.
Seperti penyair Ibnu zaidun membuat syair untuk seorang gadis bernama Wiladah dan
tentang pengalaman bercinta dengannya tetapi kemudian terhalang oleh keberadaannya di
penjara, membuat syair romantisnya sangat indah, lahir dari jiwa yang jernih, rasa yang tajam
dan kerinduan yang menggelora. Dalam salah satu syairnya yang melimpahkan emosi
kerinduan pada Wiladah:
Pada awal kekuasaan Islam di Andalusia, bentuk sya’irnya masih mengikuti style sya’ir Arab
di Jazirah Arab dan penyairnya pun masih penyair rantau. Kemudian berkembang dari segi
tema, style, dan struktur sya’ir. Style sya’ir Arab Andalusia terkenal dengan kelembutan dan
kehalusan dalam pemilihan diksi, dan gaya bahasa terutama dalam tasybih (perumpamaan)
dan majaz isti’arah (personifikasi).
Di masa ini pula lahir satu bentuk puisi yang oleh ahli sastra dipandang juga sebagai benih
lahirnya puisi Arab bebas, yaitu al-muwasysyah. Bentuk puisi ini cukup popuper di
Andalusia pada abad III H. Meskipun jenis puisi ini kemudian juga menyebar ke dunia
Timur, orang-orang Andalusia dalam hal kreasi al-muwasysyah ini lebih unggul dari pada
orang-orang Timur.
Secara etimologis, al-muwasysyah merupakan derivasi dari kata al-wusyah yang berarti
sebuah kalung dari permata dan mutiara yang masing-masing dirangkai dan dihubungkan
sedemikian rupa serta dipakai kalung oleh wanita. Ungkapan ‘saubun muwasysyahun’ berarti
baju yang dibordir dan dihias. Secara terminologis, al-muwasysyah memiliki banyak definisi.
Salah satunya adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Sina’ al Malik al Misry dalam bukunya Dar
al-Tiraz. Menurutnya, al-muwasysyah adalah ungkapan yang berwazan, metrik tertentu
dengan qafiyah, rima yang berlainan; paling banyak terdiri dari enam qafl dan lima larik yang
selanjutnya disebut al-muwasysyah al taam dan minimal terdiri dari lima qafl dan lima larik
yang kemudian disebut al-muwasysyah al aqra’. Yang pertama diawali dengan qafl dan yang
kedua dimulai dengan bait, larik.
Bentuk al-muwasysyah sendiri cukup beragam, tetapi yang paling populer adalah penyair
menulis dua larik yang masing-masing sadrnya berima sama dan masing-masing ‘ajznya juga
memiliki rima lain yang sama. Dua larik itu lalu dikuti oleh tiga larik yang masing-masing
sadrnya sama dan masing-masing ‘ajznya juga berima sama. Kemudian diikuti dua larik yang
kedua sadr dan ‘ajznya mempunyai rima yang sama dengan awal al-muwasysyah.
Selanjutnya penyair menulis lima larik lain yang susunannya sama. Bentuk lain al-
muwasysyah adalah penyair menulis satu larik yang sadr dan ‘ajznya berima sama, lalu tiga
syatr dengan satu rima yang berlainan dengan larik, kemudian dua syatr yang rimanya sama
dengan larik pertama, dan seterusnya.
Muwasysyah muncul karena corak kehidupan masyarakat Andalusia yang sarat kemewahan,
kesenangan, dan hiburan. Al-Muwasysyah merupakan bentuk ekspresi yang sesuai dengan
kecenderungan itu. Bentuk ini merupakan satu pembaharuan dalam tipografi puisi Arab,
bukan dalam isinya.
Penyair pertama yang meretas jenis puisi ini menurut Ibnu Khaldun adalah Miqdam bin al
Mu’afy al Qubry dan diikuti oleh Abu Umar Ashmad bin Abd Rabbah, pengarang buku al
‘Iqd. Sedangkan yang berhasil mempopulerkan al-muwasysyah ke seluruh Andalusia adalah
Ibadah bin Ma’ al-Sama’ (w. 422 H). Sepeninggalnya muncul beberapa penyair al-
muwasysyah Andalusia, antara lain yang populer adalah : Yahya bin Baqqy, Abu Bakar bin
zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al Din bin al Khatib.
Sebagai sebuah pembaharuan dalam bentuk atau tipografi dan bukan dalam isi maka tema-
tema yang diusung al-muwasysyah tetap berkisar pada masalah-masalah seperti cinta,
khamer, dan pemerian alam. Setelah itu baru masuk pada tema-tema madah (eulogi), hija’
(satire), dan risa (elegi). Terkadang sebuah al-muwasysyah memuat lebih dari satu tema. Ahli
Tasawuf di masa kemunduran Islam bahkan pernah menjadikannya sebagai media untuk
menyampaikan gagasan dan pemikirannya yang sarat nasehan dan pujian agama.
Biasanya, al-muwasysyah terdiri dari beberapa bagian, yaitu :
1. Al-Matla’ atau al-mazhab, yaitu pembuka al-muwasysyah. Matla’ ini disebut qafl pertama.
Apabila qafl pertama ada maka disebut al-muwasysyah al-taam dan bila tidak ada maka
disebut al-muwasysyah al-aqra’.
2. Al Qafl, yaitu bagian al-muwasysyah yang rimanya berulang enam kali dalam al-
muwasysyah al-taam atau lima kali dalam al-muwasysyah al-aqra’. Qafl-qafl itu memiliki
satu rima dalam keseluruhan al-muwasysyah. Qafl terakhir disebut al-kharjah.
3. Al Daur, yaitu bagian yang terletak setelah al-matla’ dalam al-muwasysyah al-taam. Dalam
al-muwasysyah al-aqra,’ al-daur ini terletak di permulaan al-muwasysyah. Daur ini berulang-
ulang setelah setiap qafl. Ia terdiri dari tiga bagian dan hanya sedikit yang lebih dari lima.
4. Al Bait, yaitu daur itu sendiri atau daur dengan qafl yang mengiringinya.
5. Al Kharjah, yaitu qafl terakhir. Metrik (wazan), rima (qafiyah), dan jumlah bagian al-
kharjah sama dengan matla’ dan qafl. Dalam kharjah dimungkinkan adanya dialek, kata
asing, atau ungkapan tidak baku “ammy,” dan terkadang melalui perantaraan bahasa hewan.
6. Al Samt, yaitu satu istilah untuk menyebut setiap syatr dalam daur. Paling sedikit jumlah al
samt dalam satu daur itu tiga. Terkadang samt ini terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat
fiqrah. Setiap fiqrah memiliki satu rima yang diulang-ulang dalam samt-samt sebuah daur
akan tetapi dalam setiap daurnya, rima itu berlainan. Kata “qultu,” “qalat,” “Gana,” dan
“Syada” seringkali terdapat pada bagian terakhir al samt yang mempunyai kharjah.
7. Al Gusn, yaitu sebutan untuk setiap syatr matla’, qafl, atau kharjah dalam al muwasysyah.
Jumlah al gusn dalam matla,’ qafl, dan kharjah harus sama.
Penyair tersohor kalangan wanita yaitu Ayesah , Hasana al-Tamimiyah, Umm al-Ula, Al-
walladah (seorang wanita berbakat), al-Aruziyah wanita yang mahir dalam bidang retorika,
Maria (dari Seville, salah satu guru wanita pada masa ini, ia mengajarkan ilmu retorika, syair
dan kesusastraan), Hafsah binti al-Hajj (selain terkenal sebagai wanita cantik, ia berbakat
dalam berbagai bidang dan hidupnya kaya raya).
KESIMPULAN
Karya sastra sebagai cermin jernih kehidupan, dalam tema dan idenya sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan penyairnya. Baik lingkungan alam, ekonomi dan politik. Di segi
tema, sya’irnya berkembang berdasarkan gejolak politik, pesona alam (perbedaan alam
Andalusia dan Arab yang sangat kontras melahirkan kekaguman yang luar biasa bagi
penyairnya).
Style sya’ir Arab Andalusia terkenal dengan kelembutan dan kehalusan dalam pemilihan
diksi, dan gaya bahasa terutama dalam tasybih (perumpamaan) dan majaz isti’arah
(personifikasi). Dalam struktur, sya’ir Andalusia biasa mengunakan bahasa pengantar. Dan
penyair masa ini menciptakan corak baru bernama Tausyih atau muwasysyah. Tausyih
biasanya terdiri dari beberapa bagian, tiap bagian terdiri dari 5 bait. Bait pertama sampai
ketiga dalam setiap bagian mempunyai rima atau qafiyah berbeda, sedangkan bait keempat
dan kelima mempunyai rima yang sama pada semua bagian. Berbeda dengan susunan syair
Arab biasa yang terikat dengan Prosodi dan rima yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Maki, Ath-Thahir, Dirasat andalusiah fi al-adab wa at-tarikh wa falsafah, Libanon: Darul
Ma’arif, 1987
Ar-Rubayyi’, Muhammad bin Abdurrahman, Al-adab al-‘arabi wa tarikhuhu jilid 2, Riyadh: Jami’ah al-
Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiah, 1422 H
Al-Tunjy, Muhammad, al-Mu’jam al-Mufassal fi al-Adab I & II, Beirut:Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1993
Dawud, anis, al-Tajdid fi Syi’r al-Mahjar, Mesir: Dar al Katib al ‘Araby li al Tiba’ah wa al Nasyr, 1967
http://www.averroes.or.id/thought/pengaruh-sastra-arab-terhadap-andalusia-dan-barat.html
Lubis, Nabilah, Almu’in fi al-adab al-‘arabi wa tarikhihi, Jakarta: FAH UIN, 2005
Usman, Ahmad & Cahya Buana, Al-adab arabi fil’ashil al-‘abasi wa al-andalusi wa ‘ashri al-inhithath,
Jakarta: kulliyatul adab wa ‘ulum al-insaniah, 2010
Wahba, Majdy & Kamil Muhandis, Mu’jam al Mustalah fi al Lugah wa al Adab, Libanon: Maktabah
Lubnan, 1984