Logo
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS
JURUSAN
FAKULTAS
2021
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Nasionalisme
Pengertian nasionalisme menurut Ernest Gellner(via Eriksen 1993:99) adalah suatu
prinsip politik yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang.
Tepatnya, Gellner lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik (lihat juga
Hobsbawm 1992:9). Lebih lanjut menurut Gellner, jika nasionalisme adalah suatu bentuk
munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat mengerti dengan baik jika kita
mendefenisikan apa itu gerakan dan sentimen. Apa yang dimaksudkan sebagai suatu
sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu bentuk antipati atau ungkapan
marah, benci, dan lain sebagainya (Kartodirdjo 1999:69). Dari penawaran Gellner
tersebut mengenai konsep sentimen dan gerakan, nampaknya telah menjadi penekanan
dari Anderson dalam melihat nasionalisme.
Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, pertama
aspek cognitive, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu
situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada
segala porsinya; aspek goal/value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap
berharga oleh pelakunya; dalam hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang
berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; aspek affective dari
tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau
menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat
kolonial melahirkan aspek affective tersebut (Kartodirdjo, 1972: 65-66) Masih menurut
Kartodirdjo (1972:64) bahwa nasionalisme sebagai fenomena historis, timbul sebagai
jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi dan sosial tertentu. Kondisi-
kondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara terhadap
negara lainnya. Hal ini terjadi sebab nasionalisme itu sendiri muncul sebagai suatu reaksi
terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dari sistem eksploitasi yang selalu
menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Dan hal ini tidak hanya
dalam bidang politik, tapi juga dalam bidang ekonomi sosial dan kultural (Kartodirdjo,
1972:56-57).
2.2 Memaknai Perjuangan Melalui Nasioanlisme
Sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang sadar akan perjuangan para
pahlawan yang sudah berjuang melawan segala bentuk penjajahan dan merebut
kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia, sudah sepatutnya kita meneruskan perjuangan
tersebut. Meskipun tidak harus dengan mengangkat senjata dan berperang layaknya para
pejuang dulu, tapip setidaknya kita melakukan hal positif yang berguna bagi diri kita,
masyarakat sekitar, maupun untuk bangsa dan negara. Salah satu memaknai perjuangan
bangsa yaitu dengan terus meningkatkan nasionalisme. Nasionalisme sangat penting
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan wujud kecintaan dan
kehormatan terhadap bangsa sendiri. Dengan hal itu, pemuda dapat melakukan sesuatu
yang terbaik bagi bangsanya, menjaga keutuhan persatuan bangsa, dan meningkatkan
martabat bangsa dihadapan dunia. DI era Indonesia modern yang ditandai dengan
derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang dirayakan secara gegap gempita,
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal kesadaran berbangsa dan bernegara.
Derasnya gempuran kebudayaan asing yang terfasilitasi dengan media dan teknologi
internet dapat secara bebas leluasa hadir di tengah-tengah masyarakat kita dan berpotensi
mendominasi serta mempengaruhi kebudayaan lokal.
Ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan negara lainnya yang mengancam
kedaulatan bangsa, khususnya pasca 1998, seperti bermunculannya ideologi yang
berseberangan dengan ideologi negara, terorisme, radikalisme, serta konflik sosial
berbasis suku, ras dan agama. Singkatnya, sekelumit permasalahan bangsa di atas sedikit
banyak menjelaskan bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan serius terkait
dengan nasionalisme. Menurunnya nilai-nilai nasionalisme di kalangan masyarakat
sebetulnya bukan perkara baru, melainkan permasalahan klasik yang terus dialami
bangsa ini sejak Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial hingga saat ini. Hasil survei
LSI Denny JA patut direnungkan. Survei itu menunjukkan bahwa sejak 2005-2018
jumlah warga yang pro-Pancasila semakin berkurang setidak-tidaknya 10%. Di level
pendidikan formal, khususnya kelompok muda, jumlah pro-Pancasila juga menurun.
Hasil penelitian LSI 2019 cukup memberikan sedikit angin segar karena jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nasionalisme masyarakat mengalami
kenaikan. Sebesar 66,4 persen warga yang masih mengidentifikasi diri sebagai bagian
dari bangsa Indonesia, 19,1 persen warga mengidentifikasi diri sebagai kelompok
penganut agama tertentu, dan 11,9 persen warga mengidentifikasi diri sebagai bagian
dari suku tertentu.
Meskipun hasil survei menunjukkan perkembangan nasionalisme cukup positif di
pada 2019, kita tidak boleh lupa bahwa 33,6 persen warga yang tidak mengutamakan
nasionalisme bukanlah angka yang kecil dan artinya nasionalisme masih berada dalam
tantangan, oleh karena itu topik ini masih relevan untuk disuarakan. Dalam upaya
mendirikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Soekarno
mengadopsi gagasan Ernest Renan tentang nasionalisme yang merujuk pada kesepakatan
politik untuk mencapai cita-cita masa depan bersama sebagai bangsa yang senasib
sepenanggungan dan kesediaan berkorban untuk menjaga semangat kebangsaan.
Nasionalisme dalam pandangannya bukanlah nasionalisme sempit, melainkan lebih
mencerminkan humanisme dan internasionalisme yang terlahir dari tiga kondisi yaitu
adanya eksploitasi ekonomi, kekecewaan politik akibat dominasi kekuasaan asing, dan
hilangnya hak mengembangkan kebudayaan lokal di bawah cengkeraman sistem
pendidikan kolonial. Di era kolonial, nasionalisme dibangun atas kesadaran bersama
yang dipupuk atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan untuk terbebas
dari belenggu penjajahan kolonial. Dalam pemerintahan Orde Lama, nasionalisme
dibangun untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan
kebudayaan lokal dan nasional serta sekeras mungkin menutup keran terhadap pengaruh
kebudayaan asing.
Sementara di era Orde Baru nasionalisme dipupuk dan dibentuk dalam doktrin-
doktrin yang bersifat top-down serta terkesan digunakakan sebagai legitimasi kekuasaan
yang bersifat militeristik. Nasionalisme mendapat tantangan yang signifikan di era
reformasi. Hal ini ditandai dengan mulai terpinggirkannya muatan Pancasila di level
pendidikan formal yang sebagaian besar terfokus hanya pada perkembangan teknologi
dan ekonomi. Memudarnya nasionalisme di era ini juga dapat disoroti dari maraknya
konflik sosial berbasis ras seperti kasus Poso, Ambon, Aceh, Papua, serta lepasnya
Timor Timur dari Indonesia, bermunculannya ormas-ormas yang menegaskan identitas
kultural, serta banyaknya ideologi alternatif yang kerap bertentangan dengan ideologi
bangsa. Belum lagi, maraknya berbagai narasi primordialisme dan sentimen berbasis isu
SARA yang berkembang di masyarakat pada saat pilpres dua periode terakhir seolah
membuat sekat-sekat kultural menjadi lebih kuat dan tidak terhindarkan. Berangkat dari
kenyataan ini, nasionalisme perlu disuarakan kembali untuk menjaga kedaulatan bangsa
dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik karena jika tidak persatuan dan
kesatuan akan terancam dan generasi mendatang akan bersikap apatis terhadap negerinya
sendiri.
Nasionalisme merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Karena dengan nasionalisme yang tinggi sebuah bangsa dapat berdiri tegak dan
memiliki sebuah jati diri yang kuat. Nasionalisme merupakan sesuatu yang harus
diperhatikan oleh setiap elemen bangsa dalam setiap perjalanan bangsa tersebut, begitu pula
dengan Indonesia. Indonesia memulai istilah nasionalisme jauh sebelum Indonesia terbentuk.
Pergerakan nasionalisme di Indonesia dimulai ketika lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908.
Kemudian muncul organisasi lainnya, seperti Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia, Partai
Nasional Indonesia, dan organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera.
Organisasi menjadi ajang pergerakan nasionalisme oleh kaum intelektual. Meski organisasi
tersebut memiliki corak yang berbeda, namun memiliki semangat dan tujuan yang sama,
yaitu berjuang menumpas penjajahan. Selanjutnya, semangat nasionalisme mendapat
kulminasi pada saat Sumpah Pemuda tahun 1928, yang mengilhami lahirnya konsep
bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa Indonesia. Sumpah Pemuda
menandakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan menjunjung tinggi nilai
nasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhaida dan M. Insya Musa.2015. ” Dampak pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan Bangsa
Indonesia”. Jurnal pesona Dasa r.3(3):4-5
Shafer, Boyd C. 1955. Nationalism Myth and Reality. New York: A Harvest Book Harcourt
Nurhaida dan M. Insya Musa.2015. ” Dampak pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan Bangsa
Indonesia”. Jurnal pesona Dasar .3(3):10-11