1 SM
1 SM
…………Amanda Novandila S
(Kasus di Peternakan Sapi Perah Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota
Cimahi)
(A Case at Dairy Farm Cipageran Village, Sub District of North Cimahi, Cimahi City)
ABSTRAK
ABSTRACT
The research entitled “The Correlation of Cognitive, Affective and
Psychomotor of Dairy Farmer in Matitis Disease Prevention” has been conducted since Mayto
June 2016 in Kelurahan Cipageran, Subdistrict of Cimahi Utara, City of Cimahi. The research
aims to examine the cognitive,affetive, and psychomotor levelof the dairy farmers in its
relation on preventing Mastitis disease, as well as the correlation between the three. 30 dairy
farmers out of three groups domiciled in Kelurahan Cipageran were selected for the samples.
The research adopted a survey method, meanwhile proportional random sampling method was
used for sampling decision, and as for the analysis method was being used in the research is
the Spearman‟s rank correlations. The result showed the cognitive level of the dairy farmers in
regards to the aspects of Mastitis disease prevention is classified as “low” (86.67%).
Nevertheless, the affective level of the dairy farmers in regards to the aspects of mastitis
disease prevention is classified as “high” (93.33%), while the psychomotor level of the dairy
farmers in regards to the aspects of Mastitis disease prevention is classified as “medium”
(56.67%). The correlation between the cognitive, affective and psychomotor level of the dairy
farmers in terms of Mastitis disease prevention concluded as a definite but small relationship
indicated by the Spearman‟s correlation coefficient rank of 0.257.
Key words : extension cognitive, affetive, psychomotor, dairy farmer, mastitis.
Pendahuluan
Ternak sapi perah merupakan komoditi yang masih luas peluang pasarnya, kebutuhan
akan susu terus meningkat setiap tahunnya diiringi dengan kesadaran masyarakat akan
kebutuhan protein hewani bagi tubuh, sehingga masyarakat semakin jeli dan peduli dengan
kualitas dari produk yang dibutuhkan dan di konsumsi. Kecamatan Cimahi Utara merupakan
salah satu wilayah pengembangan sapi perah potensial di Kota Cimahi. Populasi sapi perah di
kelurahan Cipageran kecamatan Cimahi Utara saat ini berjumlah 203 ekor, dengan produksi
susu pada tahun 2014 dari seluruh sapi perah sekitar 1.556 liter/hari atau 46.680 liter/bulan,
berasal dari 91 ekor sapi perah laktasi (Tim Peneliti Fapet Unpad & Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Pemerintah Kota Cimahi, 2014). Permasalahan yang mendesak untuk
diselesaikan pada tingkat peternak adalah masih rendahnya produktivitas sapi perah dan
tingginya kasus mastitis.
Kendala yang dihadapi dalam usaha peternakan sapi perah antara lain kurangnya
pengetahuan dan sikap peternak dalam upaya pencegahan penyakit mastisis. Tingkat
pengetahuan peternak mempengaruhi tindakannya dalam pencegahan mastitis. Pengetahuan
peternak sapi perah akan pentingnya menjaga kebersihan ternak maupun peralatan perah
sangat diperlukan sehingga ternak dapat terhindar dari penularan mastitis. Begitupun dengan
sikap peternak dalam upaya pencegahan penyakit mastitis perlu diperhatikan apakah telah
sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya.
Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar ambing dengan berbagai
penyebab dan derajat keparahan, lama penyakit serta akibat penyakit yang ditimbulkan sangat
beragam. Manifestasi penyakit mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi dua macam yaitu
mastitis klinis dan subklinis. Kasus mastitis seringkali bermula dari mastitis subklinis yang
terjadi pada saat laktasi. Mastitis klinis selalu diikuti tanda klinis, berupa pembengkakan,
pengerasan ambing, rasa sakit, panas serta kemerahan bahkan sampai terjadi penurunan fungsi
ambing. Namun demikian, kedua jenis mastitis subklinis maupun klinis dapat menyebabkan
penurunan produksi dan penurunan kualitas susu. Susu yang dihasilkan oleh sapi penderita
mastitis dapat mengalami perubahan secara fisik, kimiawi, patologis dan bakteriologis,
demikian pula dengan jaringan kelenjar ambingnya (Samad 2008).
Kerugian akibat mastitis yang paling utama adalah penurunan produksi susu, bahkan
pada mastitis klinis dapat menyebabkan produksi terhenti. Upaya penanggulangan mastisis
melalui tindakan pencegahan perlu mendapat perhatian serius, karena penularan akan terus
terjadi apabila dibiarkan tanpa upaya-upaya yang jelas. Upaya pencegahan melalui perbaikan
tata laksana, lingkungan yang bersih, tata cara pemerahan yang tepat dan penanganan sapi
kering kandang perlu terus diupayakan. Mastitis menyebabkan produktivitas sapi perah
cenderung rendah, sapi perah yang terjangkit mastitis subklinis menyebabkan produksi susu
turun 10-12% (Sudarwanto, 1999). Khususnya di peternakan rakyat Kelurahan Cipageran
Cimahi Utara yang menjadi salah satu kawasan sentra susu di Jawa Barat, terdapat kasus
mastitis subklinis yang mencapai 80%.
Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
tentang hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan upaya pencegahan penyakit mastitis
di kawasan peternakan rakyat Kelurahan Cipageran Cimahi Utara.
kelompok yaitu 62 orang. Hal ini sejalan dengan pendapat Singarimbun dan Efendi (1989),
bahwa sampel yang besar jika jumlahnya lebih besar atau sama dengan 30, maka akan
mendekati kurva distribusi normal.
4. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dihimpun terdiri dari 2 jenis data yaitu, primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari peternak yang dihimpun melalui wawancara yang berpedoman pada kuisioner
yang telah disediakan dan dilakukan secara observasi. Data sekunder diperlukan sebagai data
penunjang yang diperoleh dari instansi terkait.
Aspek kognisi merupakan salah satu unsur dalam menentukan persepsi seseorang
terhadap suatu objek. Secara umum aspek kognitif pada peternakan Kelurahan Cipageran
dapat dilihat pada Tabel 8. Aspek kognisi dalam penelitian ini berupa pengetahuan tentang
penyakit mastitis, penularan mastitis, gejala mastitis, pencegahan mastitis, dan pengendalian
mastitis.
Peternak pada umumnya mengetahui penularan mastitis terjadi melalui kandang yang
tidak memenuhi syarat kebersihan (becek, kotor dan lembab). Peternak membersihkan
kandang secara rutin sebelum memerah sapi perah sehingga pada saat memerah kandang
sudah dalam keadaan bersih. Beberapa peternak tidak mengetahui bahwa pencemaran
lingkungan dapat memberikan dampak yang cukup besar dalam penularan penyakit mastitis.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sutarti dkk (2003), faktor lingkungan dan manajemen
kandang serta pakan pun mempengaruhi kejadian mastitis subklinis. Menurut Sutarti dkk
(2003), kebersihan lingkungan dan jumlah kepemilikan ternak juga berasosiasi positif dan
bermakna terhadap kejadian mastitis, artinya dengan kebersihan lingkungan yang jelek maka
kejadian mastitis akan meningkat, demikian pula dengan jumlah kepemilikan ternak. Hal ini
mudah dipahami karena dengan jumlah ternak yang sedikit, peternak akan lebih mudah
membersihkan ternak dan kandangnya. Sedangkan peternak beranggapan bahwa mereka tidak
memiliki fasilitas dan modal yang cukup untuk membuat kandang yang sesuai, maka hal
tersebut menyebabkan aspek pengetahuan peternak mengenai penularan mastitis kategori
sedang (50%).
mastitis kronis sapi demam, dehidrasi, kehilangan nafsu makan dan produksi susu menurun.
Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara
akut, subakut dan kronis. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis
radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut,
tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa
sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah,
bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang
berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala seperti di atas, namun derajatnya lebih
ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses
berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode
laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar
mammae.
Aspek afektif dalam penelitian ini adalah berupa sikap responden terhadap stimulus
berupa tanggapan. Aspek afektif merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
merupakan kecendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek.
Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian
melalui penguatan serta menerima informasi verbal.
Tingkat afeksi responden termasuk kategori sedang (56,67%). Aspek sikap peternak
mengenai penyakit mastitis yang meliputi definisi, penyebab dan dampak mastitis
menunjukan perhatian/antusiasme yang tinggi. Hal ini disebabkan kebanyakan peternak
menyetujui aspek-aspek dari definisi, penyebab dan dampak dari mastitis. Pada aspek
penularan mastitis, peternak menyetujui bahwa pencemaran lingkungan, kandang yang tidak
memenuhi syarat (becek, kotor, dan lembab), dan pemerah harus mendahulukan memerah
sapi/ambing yang sehat, hal tersebut sesuai dengan Sudono, dkk (2003) bahwa kebersihan
pemerah harus diutamakan, karena melalui pemerah dapat terjadi penularan mastitis akibat
kontak bakteri antara pemerah dan sapi yang diperah.
Khususnya pada aspek gejala mastitis, kebanyakan dari peternak setuju dengan gejala-
gejala yang ditimbulkan seperti ambing dan puting membengkak, permukaan ambing
kemerahan, ambing menjadi keras dan sapi merasa sakit bila diperah, sapi demam dan
produksi menurun, hanya beberapa peternak kurang setuju dengan pernyataan bahwa sapi
yang terkena mastitis akan mengalami dehidrasi, karena menurut pengalaman mereka sapi
akan minum seperti biasa. Adapun aspek pencegahan mastitis, peternak menunjukan respon
yang tinggi, pada umumnya mereka menyetujui seluruh pernyataan yang disebutkan
khususnya peternak harus memperhatikan cara pemerahan sapi dengan memandikan sapi
sebelum diperah dan cara memerah harus betul-betul higienis. Aspek terakhir yaitu
pengendalian mastitis, kebanyakan dari peternak menyetujui hanya saja karena terbatasnya
modal mereka tidak melakukan pencegahan secara maksimal misalnya mereka tidak
melakukan pengujian CMT pada ternak yang mereka miliki. Hal tersebut dapat terjadi karena
pola pikir yang sulit dirubah dikarenakan penerimaan respon yang bisa sangat lambat (akibat
pengetahuan pengalaman, yang telah tertanam dalam diri seseorang dan sulit diubah) dan
pengaruh sarana/fasilitas yang sulit terpenuhi untuk dilakukan atau menerima secara positif
dari suatu objek/stimulus.
Apabila dikaji dari masing-masing aspek yang dipertanyakan, tindakan atau perilaku
peternak mengenai upaya pencegahan penyakit mastitis secara umum termasuk ke kategori
sedang (56,67%). Hal ini disebabkan kebanyakan dari peternak sudah mengetahui dan
mengerti untuk melakukan pencegahan dengan mengusahakan tindakan-tindakan yang
mungkin dilakukan agar ternak mereka tidak terkena penyakit mastitis.
Peternak secara umum sudah mengetahui dan membedakan sapi yang sehat dan sapi
yang terkena mastitis. Beberapa yang mereka sebutkan sesuai dengan pernyataan Bramley
(1991) bahwa gejala klinis mastitis ditandai dengan adanya kelenjar ambing membengkak,
udematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti: suhu
meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Namun seringkali sulit untuk
mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis harus
dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan
penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu. Terjadinya peradangan ditandai oleh
perbarahan, panas, kemerahan, rasa sakit pada ambing, menurunnya produksi susu serta
perubahan warna dan komposisi susu (Mc Donald, 2009; Morin, 2009; Hurley Dan Morin,
2000). Dengan demikian aspek tindakan peternak mengenai gejala mastitis termasuk dalam
kategori sedang (60%).
Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Peternak Sapi Perah
Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Mastitis
Hubungan antara pengetahuan dan sikap peternak dengan tindakan peternak dalam
upaya pencegahan penyakit mastitis sebesar 25,7% hal tersebut dapat diartikan bahwa
sebenarnya peternak sudah mengetahui dan menyetujui dari beberapa upaya pencegahan
penyakit mastitis yang seharusnya diterapkan namun pada kenyataan terdapat keterbatasan
modal waktu tenaga, dan fasilitas. Dengan demikian dalam penerapan upaya pencegahan
penyakit mastitis, mereka hanya dapat melakukan semampunya, sehingga hasil perhitungan
dari Rank Spearman tidak menunjukan hasil yang begitu besar. Berdasarkan hasil tersebut
faktor eksternal yang merupakan pengalaman pribadi, infomasi, dan sosial budaya (kebiasaan)
juga dapat mempengaruhi dan 74,3% merupakan faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti.
Simpulan
1. Tingkat pengetahuan peternak terhadap upaya pencegahan penyakit mastitis termasuk
kategori rendah dan sikap peternak dalam upaya pencegahan penyakit mastitis termasuk
kategori tinggi.
2. Tindakan peternak terhadap upaya pencegahan penyakit mastitis termasuk dalam kategori
sedang.
3. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan peternak sapi perah. dalam upaya
pencegahan mastitis dikategorikan hubungan yang rendah tapi pasti dengan koefisien
korelasi rank Spearman (rs) sebesar 0,257.
Saran
1. Untuk meningkatkan pengetahuan dan pola pikir/tanggapan dari segi sikap peternak dalam
upaya pencegahan penyakit mastitis maka perlu dilakukan penyuluhan atau pemberian
informasi dan pelatihan yang terus menerus terhadap peternak sapi perah di Kelurahan
Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi.
2. Kurang maksimal nya aspek tindakan peternak dalam melakukan upaya pencegahan
penyakit mastitis, diperlukan kesadaran pada peternak agar melakukan prosedur
pemerahan yang benar untuk mencegah mastitis.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing Dr.Ir. Marina Sulistyati, MS.,
dan Dr.Ir. Didin Tasripin, M.Si., yang telah memberikan bimbingan selama penulisan jurnal
ini.
Daftar Pustaka
Bramley, A.J. 1991. Mastitis. Physiology or Pathology?. Flem.Vet. J(62): Suppl. 1: 3 – 11.
Mc Donald. 2009. Mastitis in cow. Dairy Cattle Production 342 – 480. A McDonald Campus
of McGill University. Faculty of Agricultural & Environmental Sciences. Departement
of Animal Science 1 – 12.
Morin, D. 2009. Mastitis Case Studies. Mastitis Clinical Syndromes. Mastitis Detective
Cases. University of Illinois. http;//www.Mastitis detective cases. Mastitis.resources
2017.htm (10-9-2009).
Tim Peneliti Peternakan Universitas Padjadjaran dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Pemerintah Kota Cimahi. 2014 Laporan Akhir Perencanaan Pengembangan
Sentra Industri Susu Sapi Perah di Kota Cimahi-Jabar.
Samad, MA. 2008. Animal husbandry and veterinary science. Vol. II. Mymensingh
(Bangladesh): Bangladesh Agricultural University.
Singarimbun M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sudarwanto M. 1999. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus
Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak
dipublikasikan), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudono, A. Rosdiana, F. R dan Setiawan, R. S. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Agro Media Pustaka. Jakarta.
Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis
pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. J Sain Vet.
21:43-49.