Anda di halaman 1dari 25

Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

BAB 4

KAJIAN HUKUM SERTA KONVENSI INTERNASIONAL


YANG TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Bab ini menyebabkan kajian terhadap peraturan perundangan-undangan yang terkait


dengan pengaturan pemanfaatan dan sumberdaya pesisir.

4.1. Tinjauan Umum


4.1.1. Landasan Hukum Penyusunan Rancangan UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir
1. Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa "bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha
Esa dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ".

Sejalan dengan amanat UUD 1945 tersebut, maka pengelolaan wilayah pesisir
diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya pesisir untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu pengelolaan
wilayah pesisir diarahkan guna memberdayakan masyarakat setempat serta
memperluas lapangan kerja.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup angka 4, menyatakan “Mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang
pengusahaannya diatur dengan UU”.

Pengelolaan sumber daya alam khususnya di wilayah pesisir di samping pengelolaan


sumber daya lainnya, merupakan kegiatan pokok yang harus dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya degradasi lingkungan dalam program Penataan Kelembagaan
dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan
Hidup.
3. UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Th. 2000-
2004, khususnya Bab X Pembangunan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
angka 4 Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan :
“Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) Penyusunan UU Pengelolaan Sumber
Daya Alam berikut perangkat peraturannya; (2)……dst.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Amanat pengelolaan sumber daya khususnya di wilayah pesisir didorong oleh kenyataan
meningkatnya kerusakan lingkungan serta makin menipisnya sumber daya alam yang
dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir yang
bersifat sektoral, padahal ciri sumber daya alam itu bersifat holistik dan saling terkait.
Kedua, peraturan perUUan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir tidak
memberikan dasar bagi perlindungan fungsi lingkungan dan masyarakat adat/lokal.
Ketiga, lemahnya kelembagaan dalam mencegah kerusakan sumber daya publik non-
komoditas (intangible product) seperti daerah aliran sungai (watershed), kawasan
lindung, danau dan sebagainya. Keempat, lemahnya kelembagaan dalam penataan
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

4.1.2. Pengaturan Sektoral yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir


Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan-kegiatan yang diatur dalam peraturan
perUUan sektoral diantaranya sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian dan
perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian serta sektor kehutanan.
Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah
mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat
peraturan perUUan untuk mengelola sumberdaya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir
sesuai dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada peningkatan
pendapatan asli daerahnya. Demikian pula, ada kecenderungan daerah akan membuat
peraturan-peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-masing.
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan melahirkan
“ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan
dengan wilayan pesisir (stakeholders).
Dengan demikian diperlukan UU yang dapat mencakup berbagai aspek sebagaimana
diatur dalam UUD 1945, yang bertujuan untuk :
a. Memperkecil benturan;
b. Mengatur hal yang sebelumnya belum diatur; serta
c. Dalam rangka pelaksanaan konvensi internasional yang relevan.

4.1.3. Otonomi daerah


Dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah melalui peningkatan
pemberdayaan Daerah di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir demi peningkatan
kesejahteraan rakyat lokal, meningkatkan peran Swasta Nasional dalam kegiatan usaha
pengelolaan wilayah pesisir, meningkatkan peranserta masyarakat lokal. Memberda-
yakan usaha kecil dan Koperasi dalam rangka pemerataan kemakmuran dan
kesempatan berusaha dan upaya mengurangi dampak negatif dari kegiatan pengelolaan
wilayah pesisir.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-2


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Untuk menjadikan usaha pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih dapat memberikan
beragam manfaat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya tatanan hukum guna
mendorong kinerja pemerintahan daerah. Selain itu tatanan hukum tersebut harus
dapat melandasi kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir dalam iklim yang kondusif
dan mampu meningkatkan daya saing usaha, hubungan antar daerah, pusat maupun
internasional, sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang tinggi.

4.1.4. Pendekatan Global


Mengingat daerah juga dimungkinkan berkerjasama dengan lembaga-lembaga asing
dan memanfaatkan dana-dana internasional maka perlu dikembangkan pengaturan
tersebut dalam RUU yang baru sebagai landasan hukum kewenangan daerah sesuai
dengan mekanisme hukum yang tercermin dalam UU No. 22/1999.
Selain itu perlu diatur kewenangan daerah untuk melaksanakan bagian-bagian tertentu
dari ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konvensi internasional sepanjang
kegiatan-kegiatan tersebut berada di kawasan pesisir.

4.2. Karakteristik Sektoral


Pengaturan sektoral yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, masing-masing
memiliki karakateristik. Peraturan sektoral ini sering menimbulkan benturan kepentingan
antar sektor dan peraturan tersebut belum menampung hal-hal yang menyangkut
pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Karakteristik peraturan sektor tersebut dapat
dilihat sebagai berikut :

4.2.1. Sektor Pertanahan


Pada sektor ini terdapat UU No. 5/1960 yang lebih dikenal dengan UUPA (UU Pokok
Agraria). Di dalam UUPA ini diatur mengenai hak menguasai oleh Negara atas bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu, juga diatur
hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak atas air. Hak atas tanah mencakup Hak Milik
(HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP),
sedangkan hak atas air adalah Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI).
Hak Menguasai oleh Negara tersebut, memberikan kewenangan untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-3


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Hak menguasai oleh Negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan
masyarakat hukum adat (Pasal 2). Artinya, kewenangan-kewenangan pengaturan dan
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir, dapat didesentralisasikan,
baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat adat.
Di dalam UU ini pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak sejenisnya dari masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada serta tidak bertentangan dengan kepentingan
Negara dan peraturan perUUan yang lebih tinggi, diakui eksistensinya (Pasal 3).
Sementara itu, hak-hak atas tanah yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya
wilayah pesisir adalah HM , HGU, HGB, HP, sedangkan hak atas air adalah HPPI.

4.2.2. Sektor Pertambangan

UU ini bernuansa sentralistik, terutama yang berkaitan dengan penguasaan,


pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum di mana
semua ditetapkan oleh Menteri, sehingga tidak memberi ruang bagi partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan
pertambangan. Selain itu, karena pengelolaan pertambangan berorientasi pada investor
dengan kapital besar, maka UU ini belum memberi ruang bagi pengelolaan tambang
oleh masyarakat setempat.

Dalam konteks pemberian perijinan usaha tambang Pemerintah tidak memberi peluang
bagi partisipasi masyarakat dalam pemberian ijin dan transparansi dalam pengambilan
keputusan. Karena itu masyarakat terutama masyarakat adat tempat usaha tambang
beroperasi tidak pernah diberi informasi dan diminta persetujuannya (informed-consent)
sebelum ijin pertambangan diberikan kepada BUMN atau BUMD. Ini berarti terjadi
pengabaian atas hak-hak masyarakat setempat atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya tambang yang berada di atas tanah ulayat masyarakat setempat.
Dari segi ekologi setiap usaha pertambangan pasti menimbulkan kerusakan lingkungan
tanah, air termasuk laut dan sumber daya alam hayati di dan sekitar perusahaan
tambang beroperasi. Kendatipun dalam pasal 30 UU Pertambangan diatur mengenai
reklamasi dan rehabilitasi, tetapi yang dimaksudkan hanya dalam kaitan dengan
kemungkinan penyakit yang ditimbulkan, bukan pada usaha untuk mengembalikan
fungsi lingkungan. Karena itu UU ini kurang berorientasi pada usaha konservasi,
rehabilitasi dan reklamsi lingkungan pantai.

4.2.3. Sektor Perindustrian dan Perhubungan


Pada sektor perindustrian terdapat UU No. 5/1984, yang mengatur bahwa perusahaan
industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam
serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup
akibat kegiatan industri yang dilakukannya. Pemerintah mengadakan pengaturan dan
pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-4


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan


industri.
Pada sektor perhubungan terdapat UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, yang mengatur
bahwa pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan perairan,
kepelabuhan serta keamanan dan keselamatannya. Pelabuhan adalah tempat yang
terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antara moda transportasi. Untuk
kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia, pemerintah menetapkan,
membangun, mengoperasikan, dan memelihara alur-alur pelayaran. Pemerintah juga
menetapkan alur-alur laut kepulauan untuk kepentingan yang sifatnya terus menerus,
langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
Penggunaan bagian tertentu daerah daratan dan/atau perairan untuk pelabuhan wajib
memenuhi persyaratan.

4.2.4. Sektor Pertanian

Pada sektor ini terdapat dua UU yang relevan yakni UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman dan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.

Di dalam UU Sistem Budidaya Tanaman diatur bahwa sistem budidaya tanaman


bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman
guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri,
eksport, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, serta mendorong perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman, mengatur
produksi budidaya tanaman tertentu serta menciptakan kondisi yang menunjang peran
serta masyarakat.
Sementara itu, di dalam UU Karantina ditetapkan perlunya tempat pengasingan
dan/atau tindakan sebagai upaya pencagahan masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di
dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Republik Indonesia.

4.2.5. Sektor Perikanan


Pada sektor ini terdapat UU No. 9/1985 yang mengatur mengenai wilayah perikanan,
yang mencakup perairan Indonesi, sungai,waduk, rawa, genangan air lainnya, dan ZEEI.
Di dalam wilayah perikanan tersebut, pemerintah melaksanakan pengelolaan
sumberdaya ikan (semua jenis ikan dan jenis biota perairan lainnya) secara terpadu dan

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-5


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan beserta lingkungannya bagi


kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Namun demikian, dengan kemajuan ilmu dan teknologi telah menyebabkan munculnya
kebutuhan hukum yang melebihi dari apa yang sudah diatur di dalam UU Perikanan, di
antaranya mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menjadi penting mengingat
wilayah pesisir merupakan salah satu faktor yang strategis di dalam peningkatan
produksi berbagai jenis ikan, khususnya jenis-jenis ikan/udang yang mempunyai nursery
ground dan spawning ground di wilayah pesisir. Di dalam wilayah ini pula terdapat
kebutuhan baru berupa hak penguasaan atas bagian-bagian tertentu dari wilayah pesisir
untuk usaha budidaya laut.

4.2.6. Sektor Kehutanan


Pada sektor ini terdapat UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di dalam UU ini, antara
lain diatur mengenai penugasan hutan oleh Negara, kewenangan pemerintah berkaitan
dengan penguasaan hutan, status hutan, dan fungsi-fungsi hutan.
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 4 ayat 1). Penguasaan hutan oleh Negara tersebut memberi wewenang
kepada pemerintah untuk (Pasal 4 ayat 2) :
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;

2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional (pasal 4 ayat 3).
Kewenangan Departemen Kehutanan yang menyangkut penyediaan lahan kawasan
hutan untuk pengembangan usaha budidaya pertanian diatur dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Pertanian dengan Menteri Kehutanan No. KB
550/246/kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Di dalam Pasal 3 SKB
tersebut, antara lain, ditentukan bahwa penyediaan lahan kawasan hutan pantai
(mangove) untuk pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Penyediaan lahan kawasan hutan pantai untuk pengembangan usaha budidaya


perikanan diprioritaskan di luar Pulau Jawa.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-6


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

2. Lahan kawasan hutan pantai (mangrove) yang merupakan Kawasan Suaka Alam,
Hutan Wisata dan Produksi yang ditetapkan untuk menunjang bahan baku kayu
industri chips, rayon, dan energi, serta lahan kawasan hutan pantai yang terletak di
pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2 tidak dapat disediakan untuk
pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan.

3. Jalur hijau hutan pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai dan tempat
berpijahnya biota laut tetap dipertahankan, yang lebarnya akan ditetapkan
berdasarkan penelitian ilmiah oleh lembaga atau instansi yang berwenang, dengan
ketentuan bahwa sampai belum adanya hasil penelitian yang dimaksud, maka lebar
jalur hijau pantai ditetapkan sejauh 200 meter.

4.2.7. Sektor Pariwisata


Pada sektor ini terdapatUU No. 9/1990 yang mengatur pengusahaan obyek dan daya
tarik wisata. Pengusahaan tersebut meliputi kegiatan membangun dan mengelola obyek
dan daya tarik wisata beserta sarana dan prasarana yang diperlukan atau kegiatan
mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada. Pengusahaan obyek dan daya
tarik wisata dapat dilakukan oleh badan usaha atau perorangan berdasarkan ijin.
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan
sumberdaya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sarana wisata. Masyarakat
memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan kepariwisataan (Pasal 30).

4.3. Konvensi Internasional


4.3.1. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut ini ditandatangani di
Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada tanggal 31 Desember
1985, Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan UU Nomor 17 Tahun 1985.
Bahkan, beberapa ketentuan Konvensi yang berkaitan dengan wilayah perairan suatu
negara, telah ditindaklanjuti Indonesia dengan mengesahkan UU No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia.
Ketentuan Pasal 308 ayat (1) Konvensi menyatakan bahwa Konvensi mulai berlaku dua
belas bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau tanda tangan dari
negara yang ke-60. Dengan demikian, konvensi tersebut sudah mulai berlaku sejak
tanggal 16 Nopember 1994 karena pada tanggal 16 Nopember 1993, ratifikasi ke-60
oleh Guayana resmi didaftarkan (Sitepu, 1996).
Dalam konvensi ini, selain diatur mengenai batas-batas dari berbagai rezim kawasan
atau zona laut berikut hak-hak negara pantai atas zona-zona tersebut, secara khusus,
diatur pula mengenai ketentuan eksploitasi dan konservasi sumber daya hayati laut .

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-7


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Secara spasial dari darat, zona-zona laut tersebut akan dijelaskan satu demi satu, yang
dimulai dengan perairan pedalaman.
a. Perairan pedalaman (internal waters) adalah perairan pada sisi darat garis
pangkal laut teritorial (Pasal 8 ayat 1). Perairan ini dapat terletak di muara
sungai, teluk, atau di bagian-bagian perairan kepulauan yang sama sekali tidak
diperlukan bagi pelayaran internasional. Di perairan pedalaman ini, Indonesia
sebagai negara pantai memiliki kedaulatan wilayah yang penuh (territorial
sovereignity) sebagaimana halnya di darat, yaitu kedaulatan atas airnya, dasar
laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya, serta segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (Pasal 2).
b. Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil ke arah laut yang
diukur dari garis pangkal, yaitu garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana
yang terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi negara pantai tersebut
(Pasal 3 dan 5). Pada laut teritorial juga berlaku kedaulatan penuh negara pantai
(Pasal2).
c. Perairan kepulauan (archipelago waters) adalah perairan yang berada di sisi
dalam garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya
dari pantai. Negara pantai pun berdaulat penuh atas perairan kepulauan (Pasal
49). Berbeda dengan perairan pedalaman, pada perairan kepulauan Indonesia
terletak kewajiban-kewajiban tertentu, diantaranya, berkaitan dengan sumber
daya alam perikanan.

d. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah suatu daerah di luar
dan berdampingan dengan laut teritorial, yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil
diukur dari garis pangkal (Pasal 55 dan 57). Dalam wilayah ZEE, negara pantai
antara lain mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk keperluan
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam,
baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut, tanah di
bawahnya serta berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi air, arus dan angin
(Pasal 56 ayat 1a).
Di dalam wilayah ZEE, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun,
mengusahakan dan mengatur pembangunan, operasi, dan penggunaan :

• Pulau Buatan;

• Instansi dan bangunan untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan


pengelolaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, serta untuk tujuan
ekonomi lainnya (Pasal 60).
Untuk kepentingan konservasi dan eksploitasi optimal, negara pantai diharuskan
menentukan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang dibolehkan di ZEE,
dengan didasari bukti-bukti ilmiah, serta harus melakukan tindakan-tindakan untuk
mencegah eksploitasi yang berlebihan. Tindakan itu harus ditetapkan agar populasi ikan

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-8


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari (maximum
sustainable yield) (Pasal 61).
Apabila negara pantai tidak mampu menangkap seluruh jumlah tangkapan yang
dibolehkan, maka kapal-kapal ikan asing harus diberi akses di ZEE agar dapat
mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang dibolehkan. Pemberian akses
tersebut, harus dengan perjanjian dan memperhatikan beberapa faktor, seperti hak-hak
khusus negara-negara yang tidak berpantai dan yang secara geografis tidak
menguntungkan (Pasal 62).
Khusus untuk jenis ikan yang berimigrasi jauh (highly migratory species), negara pantai
dan negara lain yang berwarganegaranya melakukan penangkapan ikan jenis ini,
menurut Lampiran 1 UNCLOS terdapat 17 jenis harus bekerja sama secara langsung
atau melalui organisasi internasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan
pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di kawasan, baik di dalam maupun di luar ZEE
(Pasal 64).

Indonesia, melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, antara lain,
menetapkan sebagai berikut :

• Barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomi, seperti
pembangkit tenaga dari air ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari
Pemerintah Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional tersebut
(Pasal 5 ayat 1);

• Eksploirasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah ZEE
Indonesia dapat diizinkan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh
Pemerintah Indonesia melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya
(Pasal 5 ayat 3).

Berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut International (UNCLOS, 1982) Pasal 51


ayat (1), negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional” (traditional
fishing rights) dari nelayan negara lain. Menurut Hasjim Djalal, dalam menetapkan
kategori “hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa ketentuan, sebagai
berikut :
1. Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di
suatu perairan tertentu.

2. Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat


tertentu.
3. Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu.
4. Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-
nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah
tersebut (Djalal, 1989).

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-9


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

4.3.2. Konvensi Marine Pollution (Marpol) 1973/1978

Tragedi kandasnya tanker Torrey Canyon di pantai Selatan Inggris pada tahun 1967
yang menumpahkan 35 juta gallon crude oil, telah membangkitkan kesadaran
masyarakat internasional tentang pentingnya suatu kerja sama untuk pencegahan
pencemaran laut. Hasilnya, pada tahun 1973, disepakati International Convention for
the Prevention of Pollution from Ships, yang kemudian disempurnakan dengan Tanker
Safety and Pollution Prevention, Protokol 1978, yang dikenal dengan nama Konvensi
Marpol 1973/1978. Konvensi Marpol telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 46
Tahun 1986.

Di dalam Konvensi Marpol ini, dalam garis besarnya, terbagi ke dalam dua kategori,
yakni:

1. Peraturan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran.


2. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan terjadinya pencemaran mencakup :
(1) Kewajiban bagi kapal tanker memiliki salah satu di antara tiga sistem
pencegahan, yakni segregated ballast tanks (SBT), dedicated clean ballast tanks
(CBT), dan crude oil washing (COW) (Annex I Regulation 13);
(2) Pembatasan pembuangan minyak, antara lain, hanya boleh membuang minyak
pada areal sejauh lebih 50 mil dari darat dan kewajiban negara anggota untuk
mengeluarkan peraturan agar semua pelabuhan kapal tanker harus dilengkapi
tangki penampungan sisa atau campuran minyak di darat (Annex I Regulation
13);
(3) Monitoring dan kontrol pembuangan minyak dengan kewajiban setiap kapal
tanker untuk dilengkapi oily water separating equipment (bagi kapal ukuran >
400 GT tetapi < 10.000 GT) dan oil filtering equipment yang dapat membatasi
kandungan minyak dalam air yang akan dibuang ke laut maksimum 15 ppm
(parts per million) (bagi kapal ukuran > 10.000 GT) (Annex I Regulation).
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut setiap kapal tanker yang berukuran
150 GT atau lebih diwajibkan memiliki internasional oil pollution prevention (IOPP)
certificate (Annex I Regulation 4-5). Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, kapal harus
melalui pemeriksaan secara berkala sesuai peraturan sebagai berikut :
Pemeriksaan permulaan untuk mengetahui bahwa kapal yang akan dipasarkan
telah memenuhi ketentuan Annex I yang berhubungan dengan struktur dan
perlengkapan kapal. Setiap kapal di bawah yurisdiksi Negara anggota IMO harus
diperiksa secara berkala, paling kurang sekali dalam lima tahun. Selama masa
berlakunya sertifikat IOPP, paling kurang harus dilakukan satu kali survei antara
untuk mempertahankan kondisi kapal agar tetap dalam keadaan laik
laut.Sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan oleh petugas yang berwenang
terhadap fasilitas dan sertifikat yang ada di atas kapal.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-10


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

4.3.3. Konvensi Ramsar 1971 tentang Lahan Basah untuk Kepentingan


Internasional sebagai Habitat Burung Air
Konvensi ini diratifikasi dengan dengan Keppres No. 48/1991. Lahan basah (wetlands)
adalah daerah-daerah payau (marsh), paya (fen), tanah gambut (featland), atau
perairan (baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan
perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin, ataupun asin,
termasuk daerah-daerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter
pada waktu air surut. Adapun yang dimaksud burung air adalah burung-burung yang
secara ekologis bergantung pada lahan basah (Pasal 1).
Setiap anggota hendaknya menunjuk lahan basah yang baik/subur di dalam derahnya
untuk dicantumkan pada Daftar Lahan Basah Kepentingan Internasional. Batas-batas
setiaplahan basah hendaknya dibuat dan ditentukan dalam peta, serta batas-batas
tersebut boleh digabungkan antara daerah aliran sungai dengan zona-zona pantai yan
gberbatasab dengan lahan basah, serta dengan pulau-pulau atau bagian-bagian dari
perairan laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada waktu air surut, yang
terdapat di lahan basah, terutama apabila di situ terdapat kepentingan sebagai habitat
burung air. Lahan basah yang dipilih hendaknya dipandang dari segi ekologi, botani,
zoologi, limnologi atau hidrologi (Pasal 2).

4.3.4. Konvensi PBB 1992 tentang Keanekaragaman Hayati

Konvensi ini diratifikasi melalui UU No. 5/1994. Di dalam konvensi ini terdapat ketentuan
bahwa setiap negara wajib mengembangkan strategi, rencana, atau program nasional
untukkonservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau
menyesuaikan strategi, rencana, atau program yang sudah ada untuk maksud tersebut
(Pasal 6).
Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan
lindung yang memerlukan penanganan khusus untuk menkonservasi keanekaragaman
hayati; mengembangkan pedoman untuk menyesuaikan, pendirian, dan pengelolaan
kawasan lindung atau kawasan-kawasan untuk memerlukan upaya-upaya khusus untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati; mengatur dan mengelola sumberdaya hayati
yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati; dan seterusnya (Pasal 8).

Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib memadukan pertimbangan konservasi


dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya alam hayati ke dalam pengambilan
keputusan nasional; melindungi dan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam hayati
yang sesuai dengan praktek-praktek budaya tradisional, yang cocok dengan persyaratan
konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan (Pasal 10).

4.3.5. Agenda 21 Global

Agenda 21 Global adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) dan telah diadopsi oleh 178

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-11


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

negara, termasuk Indonesia. UNCED juga dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi, diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992
(Kuswartojo, 1996).
Agenda 21 Global terdiri atas empat bagian, yaitu sosial dan ekonomi, pelestarian dan
pengelolaan sumber daya, penguatan peran kelompok-kelompok utama, dan sarara
implementasi. Keempat bidang-bidang tersebut, keseluruhannya terdiri atas 40 pasal.
Dalam Pasal 3 mengenai kemiskinan, disepakati bahwa PBB dan negara-negara
anggotanya perlu memberikan prioritas utama pada usaha menanggulangi kemiskinan.
Meskipun disadari kemiskinan ditimbulkan oleh sedemikian banyak penyebab sehingga
tidak ada satu pun penyelesaian tunggal yang dapat memecahkan segala masalah di
tiap negara, tetapi disepakati bahwa salah satu cara yang patut dipertimbangkan adalah
pemerintah nasional dalam strategi pembangunannya, memberikan lebih banyak
tanggung jawab dan sumber daya kepada kelompok lokal dan kaum perempuan.
Selanjutnya, dalam Bab 17 mengenai perlindungan dan pengelolaan lautan, diakui
bahwa lautan kini mengalami semakin banyak tekanan lingkungan karena pencemaran,
penangkapan ikan secara berlebihan, pelanggaran batas perairan oleh armada-armada
asing, degradasi ekosistem, dan penggunaan perlengkapan yang tidak tepat sehingga
dapat menangkap terlalu banyak ikan semakin banyak terjadi. Pengetahuan tentang
keadaan pasok ikan dalam laut, tidak memadai, dan terlalu sedikit kerjasama
internasional untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan di laut lepas.
Sehubungan dengan keadaan laut tersebut, sejumlah strategi telah disepakati. Empat di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan kebijaksanaan tentang pemanfaatan laut secara berkelanjutan, dengan
memeperhatikan kebutuhan masyarakat setempat dan penduduk asli.
2. Mengembangkan lebih banyak budi daya perairan dengan cara pemeliharaan ikan
dalam keramba-keramba di laut.
3. Memperkuat pengawasan dan pelaksanaan peraturan perikanan.
4. Mengurangi pemborosan dalam menangkap, menangani dan mengolah ikan, serta
memperkecil penangkapan spesies-spesies yang seringkali tidak dipakai.

4.4. Kewenangan Pengelolaan

4.4.1. Otonomi Daerah


Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan & keleluasan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 UU Dasar 1945 menyatakan
bahwa daerah Indonesia tebagi atas daerah besar dan kecil. Dengan demikian
penyelenggaraan otonomi daerah mempunyai landasan kuat dengan diberikannya
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-12


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka


pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, oleh karena itu penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif tapi
dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah (Pasal 11).
Kewenangan daerah tersebut meliputi kewenangan mengelola sumber daya nasional
yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungannya sesuai dengan peraturan perUUan. Adapun sumber daya nasional yang
dimaksud meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia serta sumber daya buatan.
Pasal 3 dan 10 UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa wilayah daerah propinsi terdiri
atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut, yang diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan kewenangan
Pemerintah Kabupaten dan Kota meliputi sepertiga dari wilayah laut daerah propinsi,
atau sejauh 4 mil laut dari garis pantai.
Adapun kewenangan pemerintah daerah di wilayah laut tersebut meliputi kewenangan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam, dan tanggung jawab
untuk melestarikannya (Pasal 10). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa khusus
untuk penangkapan ikan secara tradisional, tidak dibatasi wilayah laut. Ketentuan
“secara tradisional” tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan dalam hal tidak adanya
kriteria yang jelas secara formal terhadap kegiatan penangkapan ikan secara tradisional.
Hal ini menimbulkan peluang bagi pemerintah daerah untuk memformalisasikan kriteria
penangkapan secara tradisional tersebut dalam bentuk peraturan daerah sesuai dengan
kriteria, tata nilai serta karakteristik daerahnya masing-masing.
UU No.22/1999 menyatakan bahwa ketentuan peraturan perUUan beserta peraturan
pelaksananya yang berbentuk instruksi, petunjuk atau pedoman dan dikeluarkan baik
oleh pemerintah maupun pemerintah daerah yang ada, sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan otonomi daerah dinyatakan masih berlaku dan dilakukan
penyesuaian-penyesuaian (Pasal 127 jo. Pasal 133). Ketentuan ini berlaku juga terhadap
peraturan perUUan relevan dengan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana telah
dibahas pada bagian sebelumnya.

Kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dalam hal penyelenggaraan otonomi daerah


secara luas dan utuh pada dasarnya diletakan pada daerah kabupaten atau kota
sedangkan pelaksanaan otonomi untuk daerah propinsi merupakan otonomi yang
terbatas.
Kewenangan pemerintah propinsi dalam hal pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas
pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan menghindari konflik
kepentingan antar kab./kota serta kewenangan yang tidak/belum dapat dilaksanakan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Adapun kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumber daya,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah sebagai daerah otonom, dinyatakan terbatas pada

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-13


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dengan
ketentuan pelaksanaan:

• Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;

• Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;

• Menjamin efektifitas pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut


dan skala nasional;

• Menjamin keselamatan fisik dan non-fisik secara setara bagi semua warga
negara;

• Menjamin supremasi hukum nasional.

4.4.2. Perimbangan Keuangan


Dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah.
Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari
pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan
yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang
digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Sedangkan dana perimbangan
dapat bersumber dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dana penerimaan dari sumber daya alam, yang merupakan
sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil.
Selain itu dana perimbangan juga dapat berasal dari dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan
tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang
maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus
bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Di
samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam, kepada
daerah dapat dialokasikan Dana Darurat.

Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir memerlukan pendanaan yang proporsional


sehingga daerah kabupaten/kota dapat memanfaatkan alokasi sumber-sumber
pembiayaan dalam rangkadesentralisasi tersebut. Apabila dalam pengelolaan wilayah
pesisir, meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten/kota, maka pembiayaannya
melibatkan dana alokasi untuk daerah propinsi. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dapat optimal ditunjang dengan sumber daya nasional (sumber daya
alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan) serta pembiayaan.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-14


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

4.5. Hak Masyarakat Adat (Tradisional)

4.5.1. Pengakuan Hak Ulayat Laut


Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah
dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang “komunalistik, religius, yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono, 1997).
Hak ulayat memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu :
1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hak
ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan
segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang
hukum perdata, adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan
yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola,
mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya.
Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i oleh seseorang maupun
yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah maupun perairan
sebagai res nulius (Boedi Harsono, 1997).
Konsekuensi dari tidak adanya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan hak
ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum baik yang bersifat perdata maupun
publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu
sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat
laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk
sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.
Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya seperti tradisi
penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara
tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang (Saad, 2000).

4.5.2. Hak Kepemilikan Masyarakat Adat (Marinetenure Right and Property


Rights)
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-kewajiban
terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan kewajiban
harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan lingkungan dan

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-15


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial , politik, alamiah, budaya dan
agama dari kehidupan masyarakat adat1.
Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak hanya
berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari
masyarakat tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu
bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat
mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta sumber
daya alam di dalamnya.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola wilayah laut
dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi besar bagi
masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar, termasuk dari negara.
Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajiban mereka
jauh bahkan sebelum negara itu ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah
laut dan pesisir bukan atas pemberian negara melainkan secara alamiah merupakan
bagian dari legenda dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka
diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.
Hak kepemilikan dari masyarakat adat menekankan pada 3 elemen mendasar yaitu :
1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.

2. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.


3. Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan
negara yang berdampak pada nasib masyarakat adat itu sendiri.

Saat ini hubungan antara sumber daya laut dan pesisir dengan kewenangan
pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah
dan pembuat kebijakan. Selain itu beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan
dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan walaupun
hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum lainnya yang
mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan
pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan
pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat
kepada daerah, merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan
untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat
walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.

4.5.3. Sasi Laut di Maluku


Masyarakat pesisir di Kepulauan Maluku masih mempertahankan sumber daya laut dan
pesisir mereka berdasarkan pelaksanaan hukum adat, pengetahuan , sejarah dan
institusi lokal. Salah satunya adalah sasi. Sasi adalah kegiatan perlindungan dari

1
Ronald Titahelu, Paper on Indonesia Legal Center for Community Based Property Rights and Marine and
Coastal Resources Management.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-16


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

eksploitasi terhadap tumbuhan dan hewan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Sasi seringkali dianggap sebagai elemen pengelolaan sumber daya laut dan pesisir
dengan tujuan keberlanjutan2.
Pernyataan dari masyarakat adat di sana bahwa pelaksanaan sasi dan kaitannya dengan
hasil panen sangat erat. Menurut mereka dengan melakukan sasi, maka hasil panen
mereka jauh lebih baik daripada tidak melakukan sasi. Selain itu sasi juga berkaitan
dengan isu keberlanjutan yang kemungkinan berperan penting didalam keberlanjutan
keberadaan institusi local karena dilihat sebagai sumber pemanfaatan yang terdiri dari
peraturan-peraturan dan pelaksanaannya.

Di dalam institusi sasi laut, ada beberapa prinsip umum, misalnya sumber tertentu dapat
atau tidak dapat dilakukan penanaman dalam waktu tertentu dan didaerah tertentu di
laut. Juga ada pembagian hak dan kewajiban yang bervariasi, seperti misalnya di dalam
suatu peraturan secara jelas disebutkan siapa yang menentukan, siapa yang
mengumumkan, atau mengawasi sasi, siapa yang diikutsertakan dan siapa yang tidak
diikutsertakan, siapa yang mendapatkan keuntungan dari sasi. Disini kita dapat melihat
pelaksanaan sasi sebagai elemen pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang terdiri
dari sekumpulan hak. Hak-hak tersebut di miliki oleh berbagai macam pihak yang
terlibat di dalam sasi dan pemegang hak ini memiliki fleksibilitas di dalam
melaksanakan sasi. Kita menemukan bahwa masyarakat tidak homogen dan hak
kepemilikan masyarakat adat juga tertanam di dalam aspek-aspek lainnya seperti
pembangunan social budaya, pertimbangan secara ekologi, refleksi keagamaan, dan
bahkan didominasi oleh institusi politik dan ekonomi dan kepentingan

4.6. Masalah Krusial yang Perlu Diatur


Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir,
maka dijumpai empat permasalahan hukum yang krusial, yaitu :

4.6.1. Konflik antar Undang-Undang; seperti:

• Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan
laut. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan
bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya,
di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa
penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi
(Pasal 10 ayat 2).

• Demikian pula, konflik serupa terjadi antara UU Pertambangan dengan UU


Konservasi. Di satu sisi, UU Pertambangan mengklasifikasi bahan galian/tambang

2
Hermien L. Soselisa “Sasi Laut in Maluku” Communal Property and Community Rights in Marine Resource
Management.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-17


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

ke dalam tiga kategori, yakni strategis, vital, dan di luar keduanya (lazim disebut
tambang golongan C). Sementara di sisi lain, UU Konservasi juga menentukan
kawasan tertentu sebagai kawasan konservasi. Konfliknya terjadi ketika di dalam
kawasan konservasi ternyata terdapat bahan tambang (terutama kategori
strategis dan vital), seperti dalam kasus tambang batubara di dalam zona
proteksi Taman Nasional Kutai.

4.6.2. Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum Adat, yakni:

• Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan
sumber daya alam di daerah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir
dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut
dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang
telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Konflik tersebut menjadi
kenyataan di berbagai daerah, seperti beberapa pulau-pulau kecil di desa
Mandeh Sumatera Barat diklaim sebagai milik masyarakat kaum/adat.

4.6.3. Kekosongan Hukum; seperti:

• Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah


perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan
tanah sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang Hak
Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar
disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya. Padahal, seiring dengan
perkembangan pembangunan kewilayahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi
bidang kelautan, muncul pula tuntutan baru di tengah masyarakat untuk
memperoleh kepastian hak atas wilayah laut pesisir.

• Kekosongan hukum juga terjadi pada bidang konservasi dan bencana wilayah
pesisir. UU No. 5/1960 tentang Konservsi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
belum secara spesifik mengatur wilayah pesisir, padahal justru wilayah inilah
yang paling rentan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai
akibat dari letaknya pada pertemuan wilayah darat dan laut. Bahkan, masalah
pencegahandan penanggulangan bencana wilayah pesisir serta konservasi yang
berskala kecil di tingkat desa, hingga kini belum diatur sama sekali. Kealpaan ini
harus segera diakhiri sebab bencana wilayah pesisir, seperti tsunami, banjir, dan
erosi pantai sudah terlalu banyak menelan korban, baik nyawa manusia maupun
harta benda.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-18


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Ketiga masalah krusial tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik


kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan fisik sumberdaya alam dan ekosistem
pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya
pun harus terpadu.
Di dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut, paling sedikit, memuat norma-norma
hukum sebagai berikut :
1. Penataaan ruang wilayah pesisir, khususnya perairan pesisir.
2. Pengelolaan pulau-pulau kecik berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
3. Koordinasi dan sertifikasi program pengelolaan wilayah pesisir antara berbagai
sektor, stakeholders, dan antar berbagai level pemerintahan secara voluntir.
4. Pengaturan hak-hak atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat
diberikan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
terkandung di dalamnya.
5. Pengakuan hak ulayat laut (marine tenure right) dan hak-hak tradisional lainnya
berdasarkan hukum adat dan kebiasaan masyarakat lokal.
6. Konservasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, terumbu karang, estuaria, dan lain-
lain.
7. Pengendalian pencemaran dan konservasi yang berskala kecil pada tingkat desa.
8. Mitigasi bencana di wilayah pesisir.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka Departemen Kelautan dan Perikanan perlu
mengusahakan agar penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir masuk dalam
Program Legislasi Nasional untuk kemudian meminta persetujuan prakarsa
penyusunannya dari Presiden Republik Indonesia.

4.7. Perkembangan Baru berdasarkan Wawasan Nusantara


4.7.1. Konsep Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara adalah wawasan yang memandang rakyat, bangsa negara, dan
wilayah Nusantara darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak
bisa dipisah-pisahkan. Wawasan ini memperkuat rasa kekeluargaan dan kebersamaan
dalam persatuan. Wawasan ini juga menjelaskan makna Bhineka Tunggal Ika.
Dalam pembangunan nasional, Wawasan Nusantara mencakup perwujudan Kepulauan
Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan
ekonomi dan satu kesatuan Pertahanan dan Keamanan.

4.7.2. Pertahanan dan Keamanan


Dalam UU No. 20 Th. 1982 diatur mengenai pengamanan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan yang dilaksanakan dengan konservasi dan diversifikasi serta

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-19


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

didayagunakan bagi kepentingan pertahanan keamanan negara. Pengembangan


sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka pendayagunaannya dilakukan
dengan :
(a) Mendayagunakan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai
strategis, dengan jalan mengelolanya menjadi cadangan material strategis untuk
mencukupi kebutuhan dalam jangka waktu tertentu pada keadaan darurat;
(b) Menentukan dan atau menetapkan cadangan material strategis dalam rangka
mewujudkan sistem logistik wilayah di daerah-daerah sesuai dengan persyaratan
dan tuntutan upaya pertahanan keamanan negara.

Pengamanan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka


pendayagunaannya bagi kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara
dilakukan dengan :
1) Mengkonservasi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai
strategis untuk dapat didayagunakan dalam jangka panjang;

2) Mengembangkan dan mewujudkan diversifikasi sumberdaya alam dan


sumberdaya buatan yang bernilai strategis.
Secara spesifik terdapat doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, sebagaimana
diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan No.
Skep/820/VII/1982, yang berkaitan dengan pembinaan sumberdaya.
Pembinaan sumberdaya merupakan upaya mengubah faktor statis dalam wilayah
negara dan bangsa menjadi kekuatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan
nasional. Khusus untuk mewujudkan keamanan nasional, maka kekuatan yang
diharapkan sebagai keluaran adalah kekuatan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta
(Hankamrata). Dengan demikian, pembinaan sumberdaya akan meliputi :
1. Pembinaan demografi;
2. Pembinaan geografis;
3. Pembinaan sumberdaya dan kekayaan alam yang dilaksanakan melalui :

a) Penguasaan dan pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam vital strategis


untuk peningkatan kesejahteraan dan cadangan perang;
b) Penyebaran dan pengelolaan sumberdaya alam melalui penyebaran industri ke
seluruh wilayah tanah air sehingga memungkinkan setiap wilayah dapat
berswasembada dalam pangan dan kebutuhan logistik lainnya;

c) Keikutsertaan dalam pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-20


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

4.7.3. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang

Di dalam UU No. 23/1997 ditentukan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup


adalah :

• Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan


lingkungan hidup;

• Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Hak, kewajiban, dan


peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan dan
penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat.

UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang wilayah
nasional, wilayah propinsi dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara terpadu dan
tidak dipisah-pisahkan (Pasal 8). Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari
satu wilayah propinsi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri untuk kemudian
dipadukan ke dalam rencana tata ruang wilayah propinsi. Penataan ruang untuk
kawasan yang meliputi lebih dari satu kabupaten atau kota dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang
wilayah Kabupaten/Kota.
Penataan ruang wilayah propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota meliputi ruang daratan
dan, pada batas tertentu menurut perUUan, juga mencakup ruang lautan dan udara.
Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar tersebut sebelumnya, diatur
secara terpusat dengan UU (Pasal 9).

4.8. Kajian Undang-Undang Terkait


Analisa atau kajian ini dilakukan terhadap 5(lima) Undang-Undang. Adapun tujuan yang
ingin dicapai adalah melihat seberapa besar atau kecil potensi jika dikaitkan dengan
konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu tidak hanya di dalam 5 UU (internal review)
tersebut tetapi juga antar UU (eksternal review) di atas.
Selain itu kajian juga dilakukan untuk melihat permasalahan atau konflik yang terjadi
antar UU tersebut yang mengakibatkan tidak efektifnya pelaksanaan UU tersebut.
Kelima UU ini memiliki ruang lingkup yang seharusnya mencakup pengaturan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu . Selain itu, tahun
pemberlakuan UU tersebut saling berdekatan yang seharusnya ada semacam koordinasi
antar kelima UU itu.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-21


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

Tabel 4.1. Matriks Kajian 5 (Lima) Undang-Undang


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNDANG-
UNDANG Keterpaduan Keterpaduan Keterpaduan
Keterpaduan Sektor
Wilayah/Ekologis Disiplin Ilmu Stakeholders
UU No.9 tahun Pengelolaan yang dilakukan UU Perikanan dengan Pengelolaan sumber Beberapa pasal di UU
1985 tentang terhadap sumber daya ikan tegas melarang kegiatan daya ikan dan ling- Perikanan ini menun-
Perikanan dan lingkungannya tidak penangkapan dan pem- kungannya harus me- jukkan adanya ketidak
terlepas dari berbagai ke- budidayaan ikan dengan liputi beberapa disiplin terpaduan antar-sta-
Didalam UU giatan manusia di daratan. menggunakan bahan ilmu yang terpadu. keholders. Hal ini
Perikanan ini Dampak yang ditimbulkan dan/atau alat yang dapat Misalnya dalam hal terlihat dalam Bab III
secara umum akibat dari kegiatan per- membahayakan keles- daerah, jalur, dan mengenai pengelo-
usaha untuk tanian, perindustrian, per- tarian sumber daya ikan waktu atau musim laan sumber daya
melakukan tambangan, kehutanan, pe- dan lingkungannya (Pasal penangkapan, pene- ikan dimana peranan
pengelolaan dan mukiman, dsb juga akan 6 ayat 1) . Pasal 7 ayat 1 baran ikan jenis baru, pemerintah sangat
pemanfaatan membawa dampak bagi ke- juga melarang perbuatan penangkapan, pem- dominan dibanding-
sumber daya langsungan sumber daya yang mengakibatkan pen- budidayaan ikan dan kan dengan stake-
ikan secara ikan dan lingkungannya. cemaran dan kerusakan perlindungannya, holders lainnya.
terpadu sudah Selain itu perlu juga dibe- sumber daya ikan dan/ pencegahan dan pem-
mulai terlihat. dakan antara pengelolaan atau lingkungannya berantasan hama ser- Berkaitan dengan
Pasal 3 ayat 2 perikanan air tawar maupun ta penyakit ikan, se- pembinaan dan pe-
menyatakan air laut. Namun larangan-larangan muanya harus di ngembangan peneli-
bahwa : tersebut tidak berlaku harmonisasikan anta- tian dan kegiatan
Pasal 13 s/d 16 mengatur apabila perbuatan di atas ra penerapan tekno- ilmiah lainnya di
“Untuk mencapai mengenai pencemaran dan dilakukan berdasarkan bidang perikanan, pe-
tujuan sebagai- logi moderen dengan
kerusakan sumber daya ikan kepentingan ilmiah dan pene-rapan penge- merintah hanya meli-
mana dalam ayat dan lingkungannya. Sebagai kepentingan tertentu batkan lembaga
(1), Pemerintah lolaan secara tradi-
contoh, pencemaran sumber (Pasal 6 ayat 2) serta ke- sional menurut buda- swasta nasional, lem-
melaksanakan daya ikan terjadi karena ma- pentingan kegiatan pene- baga internasional,
pengelolaan ya masya-rakat adat
suknya mahluk hidup, zat, litian dan kegiatan ilmiah setempat. atau lembaga asing
sumberdaya ikan energi dan/atau komponen (Pasal 7 ayat 2) yang di- (Pasal 15) tanpa me-
secara terpadu lain akibat perbuatan manu- atur didalam peraturan libatkan pihak lain
dan terarah de- sia sehingga sumber daya pemerintah. misalnya LSM bidang
ngan melestari- ikan menjadi kurang atau perikanan dan/atau
kan sumberdaya tidak berfungsi. Pasal ini Untuk sektor perlin- universitas .
ikan serta ling- tidak menyatakan dengan dungan, didalam Pasal 8
kungannya bagi jelas apakah pencemaran ayat 1 pemerintah dapat Selain itu didalam
kesejahteraan tersebut diakibatkan oleh menetapkan jenis ikan menyenggarakan
dan kemakmuran kegiatan pemanfaatan sum- tertentu yang dilindungi pendidikan, latihan,
rakyat Indo- berdaya ikan atau akibat dan/atau lokasi perairan penyuluhan dan bim-
nesia” dari kegiatan di daratan. tertentu sebagai suaka bingan di bidang per-
perikanan berdasarkan ikanan, pemerintah
kepentingan ilmu penge- dapat melibatkan
tahuan, kebudayaan atau masyarakat dan lem-
peles-tarian alam baga-lembaga kema-
perairan. syarakatan, namun
tidak merupakan su-
atu keharusan (Pasal
16)
UU Perikanan juga
tidak menunjukkan
adanya perencanaan
pengelolaan sumber-
daya ikan dan ling-
kungannya secara ter-
padu & melibatkan
semua stakeholders.

UU No.5 th. Walaupun UU Konservasi Di dalam usaha UU ini di dalam Pengelolaan taman
1990 tentang SDA Hayati dan ekosis- melakukan pengelolaan melakukan pengelola- nasional, taman hutan
Konservasi temnya menekankan pada dan perlindungan terha- an sumberdaya alam raya dan taman wi-
Sumberdaya perlindungan sistem pe- dap kawasan suaka alam, hayati dan pemanfa- sata alam dilakukan
Alam Hayati nyangga kehidupan, pe- pengawetan jenis tum- atannya tidak mema- oleh pemerintah tan-
dan Ekosistem- ngawetan keanekaragaman buhan dan satwa, ka- dukan antara ilmu pa melibatkan pihak
nya jenis tumbuhan dan satwa wasan pelestarian alam, pengetahuan dan tek- lain terutama masya-
Konsep pem- beserta ekosistemnya, ka- ada ketentuan-ketentuan nologi moderen de- rakat setempat (Pasal
bangunan berke- wasan suaka alam, penga- yang mengatur larangan- ngan pengelolaan se- 34 ayat 1).
lanjutan dengan wetan jenis tumbuhan dan larangan melakukan tin- cara tradisional yang
satwa dan kawasan pe- dakan tertentu yang ber- telah dilakukan oleh Kemudian di dalam
jelas terdapat di zona pemanfaatan
dalam bagian lestarian yang semuanya ini potensi merubah keutuh- masyarakat adat.
untuk mewujudkan pem- an dari kegiatan konser- taman nasional, ta-
menimbang man hutan raya, dan
huruf a s/d d. bangunan yang berkelan- vasi sumber daya alam
jutan hayati dan ekosistemnya taman wisata alam

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-22


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNDANG-
UNDANG Keterpaduan Keterpaduan Keterpaduan
Keterpaduan Sektor
Wilayah/Ekologis Disiplin Ilmu Stakeholders
jutan. hayati dan ekosistemnya. dapat di bangun sara-
na kepariwisataan
Namun UU ini tidak Namun ada pengecualian berdasarkan rencana
mengatur secara jelas untuk melakukan kegiat- pengelolaan. Pemerin-
bahwa pengelolaan sumber an penelitian, ilmu penge- tah dalam hal ini
daya hayati mencakup eko- tahuan, menunjang budi hanya memberikan
sistem daratan, lautan dan daya, budaya, wisata masyarakat hak pe-
pesisir, sehingga secara alam, pendidikan, penye- ngusahaan atas kegi-
umum UU ini cen-derung lamatan jenis tumbuhan atan di atas, tetapi
dianggap hanya mencakup dan satwa, pemerintah masyarakat dan pe-
ekosistem daratan saja. dapat memberikan izin merintah daerah tidak
melalui peraturan peme- dilibatkan dalam pro-
Ada perbedaan perlakuan rintah.
antara pengelolaan daratan ses rencana penge-
dengan perairan. Pasal 9 lolaan.
ayat 1 menyebutkan adanya
usaha melakukan penge-
lolaan tanah, tetapi untuk
perairan lebih kepada hak
pengusahaan yang diberikan
pemerintah untuk meman-
faatkan sumber daya alam
yang ada di perairan.

UU No.24 Secara umum keterpaduan Keterpaduan sektor ter- UU ini dalam Pasal 4 menyebutkan
tahun 1992 wilayah/ekologis sudah ter- lihat di dalam Pasal 7 s/d melaksanakan pe- bahwa setiap orang
tentang Pena- lihat di dalam Pasal 1 angka 18 mengenai perenca- manfaatan ruang cu- berhak untuk menge-
taan Ruang. 1 yang menyebutkan bahwa naan, pemanfaatan dan kup banyak mem- tahui rencana tata
“Ruang adalah wadah yang pengendalian. pertimbangkan berba- ruang dan berperan
UU ini sudah meliputi ruang daratan, ru- gai aspek, misalnya serta dalam penyu-
mencerminkan ang lautan, dan ruang udara Pasal-pasal ini menje- pertimbangan aspek sunan rencana tata
pengaturan sebagai satu kesatuan wila- laskan mengenai koordi- waktu, modal , opti- ruang, pemanfaatan
penataan ruang yah….” Namun di dalam nasi penataan ruang masi, daya dukung ruang dan pengen-
yang didasarkan penjelasan disebutkan bah- yang dilakukan pemerin- lingkungan, daya dalian pemanfaatan
atas pembangun- wa ruang-ruang ini memiliki tah baik pusat maupun tampung lingkungan ruang. Namun pasal
an yang berke- potensi yang dapat diman- pro-pinsi, kabupaten/kota dan geopolitik ini tidak menjelaskan
lanjutan. Hal ini faatkan sebagai tempat ke- berdasarkan fungsi utama mekanisme dari peran
sangat terlihat giatan pemenuhan kebu- kawasan, aspek adminis- Di dalam perencanaan serta atau sampai se-
jelas di bagian tuhan pangan, industri, per- tratif, dan kombinasi an- tata ruang, UU ini jauh mana keterli-
menimbang (b) tambangan, sebagai jalur tara fungsi kawasan dan mempertimbangkan batan masyarakat di
“bahwa penge- perhubungan, objek wisata, aspek kegiatan. berbagai aspek antara dalam perencanaan
lolaan sumberda- sumber energi, penelitian. lain; keserasian, kese- tata ruang.
ya alam yang Kegiatan-kegiatan diatas larasan, dan keseim-
beraneka ragam hampir semuanya di lakukan bangan fungsi budida- Tidak munculnya su-
di daratan, di la- di daratan, tidak disebutkan ya, dan fungsi lin- atu mekanisme peran
utan dan di uda- misalnya kegiatan kelautan dung, dimensi waktu, serta dan penyebaran
ra, perlu dilaku- atau perikanan. teknologi, sosial bu- informasi juga terlihat
kan secara terko- daya serta fungsi di dalam Pasal 12 dan
ordinasi dan pertahanan keaman- 25 bahwa pemerintah
terpadu dengan an. di dalam melakukan
sumberdaya ma- pembinaan terhadap
nusia dan sum- Untuk aspek penge- masyarakat, wajib
ber daya buatan lolaan, UU ini juga mengumumkan dan
dalam pola pem- memperhatikan aspek menyebarkan rencana
bangunan yang pengelolaan secara tata ruang kepada
berkelanjutan….” terpadu berbagai masyarakat.
sumber daya, fungsi
Pasal 2 huruf a dan estetika lingkung-
juga menye- an serta kualitas rua-
butkan bahwa ng.
“penataan ruang
berasaskan
pemanfaatan
ruang bagi
semua kepen-
tingan secara
terpadu, berdaya
guna, serasi, se-
laras, seimbang

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-23


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNDANG-
UNDANG Keterpaduan Keterpaduan Keterpaduan
Keterpaduan Sektor
Wilayah/Ekologis Disiplin Ilmu Stakeholders
dan berkelan-
jutan”.

UU No.21 Keterpaduan wilayah da- Penyelenggaraan pela- Untuk meningkatkan UU pelayaran ini
tahun 1992 ratan dan lautan terdapat buhan umum dilakukan penyelenggaraan pe- mengakui adanya pe-
tentang pada Pasal 1 angka 3 dan 4, oleh pemerintah, namun layaran, maka dikem- layaran rakyat yaitu
Pelayaran yaitu mengenai perairan pelaksanaannya dapat di- bangkan pemanfaatan usaha rakyat yang
Indonesia yang meliputi laut limpahkan kepada badan ilmu pengetahuan dan bersifat tradisional
wilayah, perairan kepulauan, usaha milik negara (Pasal teknologi (Pasal 5 (Pasal 77) di dalam
UU Pelayaran ini perairan pedalaman serta 26). ayat 2). cara pengolahan usa-
sangat sedikit perairan daratan. ha dan pengelolanya.
Di dalam hal pencegahan Hal-hal tersebut juga
mengatur hal-hal Dan pelabuhan adalah tem- dan penanggulangan
yang berkaitan dikembangkan de-
pat yang terdiri dari daratan pencemaran oleh kapal, ngan memperhatikan
dengan penge- dan perairan di sekitarnya pemerintah berkoordinasi
lolaan wilayah perkembangan ilmu
dengan batas-batas tertentu dengan instansi yang ber- pengetahuan dan tek-
pesisir. sebagai tempat kegiatan wenang menangani pe- nologi.
Namun begitu pemerintahan. nanggulangan pencemar-
banyak hal yang an laut di pelabuhan
Berkaitan dengan penetapan (Pasal 67 ayat 2-3).
diatur di dalam lokasi untuk pembangunan
undang-undang pelabuhan disebutkan bah- Selain mengatur usaha
ini sehingga dari wa penggunaan bagian ter- angkutan di perairan, Pa-
132 pasal, sekitar tentu daerah daratan dan/ sal 70 juga mengatur
60 pasal dian- atau perairan untuk pela- usaha tertentu seperti
taranya memer- buhan, wajib memenuhi usaha di bidang industri,
lukan peraturan persyaratan (Pasal 23). pertambangan, perikanan
pemerintah se- kegiatan penelitian, kegi-
bagai pelaksana- atan sosial , dsb.
annya.

Apabila kita melihat hasil eksternal review dari kelima UU tersebut, terlihat bahwa tidak
adanya koordinasi, ketidakjelasan dan tumpang tindih di dalam pengaturan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Beberapa contoh antara
lain :
1) Dalam hal menimbang terutama UU yang berlaku tahun 1992, misalnya UU
pelayaran dan UU Penataan Ruang, seharusnya mencantumkan UU Pariwisata,
UU Perikanan dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
dalam bagian menimbang.

2) Secara umum kelima UU ini tidak mengatur secara jelas antara daratan dan
lautan serta wilayah pesisir baik dalam hal pengakuan, pengelolaan,
pemanfaatan dan perlindungan, terutama wilayah pesisir.
3) Pengakuan terhadap hak masyarakat adat didalam beberapa UU tersebut juga
tidak diatur secara jelas dan parsial. Kalaupun diatur , terlihat pengaturannya
hanya “setengah hati”.
4) Antara UU perikanan dengan UU Penataan Ruang seharusnya ada koordinasi di
dalam keterpaduan wilayah / ekologis. UU Penataan Ruang mengatur kegiatan-
kegiatan di dalam ruang lingkup penataan ruang dan terlihat secara umum
kegiatan kelautan dan khususnya kegiatan perikanan tidak diatur.

5) UU Pelayaran juga seharusnya berkoordinasi kepada UU Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di dalam melakukan pembangunan

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-24


Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan

dermaga atau pelabuhan yang berkaitan dengan kemungkinan dampak


lingkungan yang terjadi terhadap ekosistem di wilayah pesisir.
6) Koordinasi juga tidak terjadi antara UU Pelayaran dengan UU Penataan Ruang.
Di dalam pengaturannya, UU Penataan Ruang seharusnya mengikutsertakan
usaha kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan, pembangunan dermaga,
dan sebagainya.
7) UU Pelayaran mengatur mengenai beberapa kegiatan usaha tertentu di luar
kegiatan usaha angkutan di perairan, namun kegiatan untuk pariwisata tidak
diatur di dalamnya, padahal di UU Pariwisata disebutkan bahwa usaha
penyediaan sarana wisata tirta dapat berupa usaha pembangunan dan
pengelolaan dermaga dan pelabuhan.

8) Berkaitan penjelasan No.7 , UU Pelayaran mengatur mengenai penetapan lokasi


untuk pembangunan pelabuhan dan pengelolaannya. Sedangkan di dalam UU
Pariwisata juga mengatur usaha penyediaan sarana wisata tirta, termasuk usaha
pembangunan dan pengelolaan dermaga dan pelabuhan. Padahal kedua UU ini
tidak melakukan koordinasi dengan instansi lain.
9) Keterpaduan sektor dilihat dari 2 hal yaitu berkaitan dengan koordinasi antar
sektor dan desentralisasi. UU Penataan Ruang di dalam menentukan fungsi
utama kawasan seharusnya mempertimbangkan aspek keterpaduan sektor dan
wilayah/ekologis dari UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan juga UU Pariwisata di dalam menentukan objek dan kawasan
wisata. Dalam hal ini koordinasi dengan instansi yang terkait perlu dilakukan.
Berkaitan dengan konsep desentralisasi, pelimpahan kewenangan antara
pemerintah pusat dengan daerah kurang jelas di sebagian besar UU tersebut.
10) Di dalam keterpaduan disiplin ilmu, UU Pelayaran mengakui dan mengatur
pengolahan dan pengelolaan usaha pelayaran rakyat yang tradisional sedangkan
UU Perikanan mengakui dan mengatur berbagai pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan. Namun keduanya tidak terkait satu sama lain padahal
kegiatan ini seharusnya dilakukan secara terpadu dalam multi disiplin ilmu
karena merupakan satu kesatuan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir
yang berkelanjutan.

Dengan melihat hasil analisa antar 5 UU tersebut (eksternal review), maka semakin
terbukti bahwa konsep pengelolaan wilayah peisisr terpadu ini tidak terintegrasi ke
dalam peraturan perUUan yang sedang berlaku sekarang ini sehingga diperlukannya UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang mencakup konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu
sebagai dasar pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

***

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir IV-25

Anda mungkin juga menyukai