BAB 4
Sejalan dengan amanat UUD 1945 tersebut, maka pengelolaan wilayah pesisir
diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya pesisir untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu pengelolaan
wilayah pesisir diarahkan guna memberdayakan masyarakat setempat serta
memperluas lapangan kerja.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup angka 4, menyatakan “Mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang
pengusahaannya diatur dengan UU”.
Amanat pengelolaan sumber daya khususnya di wilayah pesisir didorong oleh kenyataan
meningkatnya kerusakan lingkungan serta makin menipisnya sumber daya alam yang
dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir yang
bersifat sektoral, padahal ciri sumber daya alam itu bersifat holistik dan saling terkait.
Kedua, peraturan perUUan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir tidak
memberikan dasar bagi perlindungan fungsi lingkungan dan masyarakat adat/lokal.
Ketiga, lemahnya kelembagaan dalam mencegah kerusakan sumber daya publik non-
komoditas (intangible product) seperti daerah aliran sungai (watershed), kawasan
lindung, danau dan sebagainya. Keempat, lemahnya kelembagaan dalam penataan
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Untuk menjadikan usaha pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih dapat memberikan
beragam manfaat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya tatanan hukum guna
mendorong kinerja pemerintahan daerah. Selain itu tatanan hukum tersebut harus
dapat melandasi kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir dalam iklim yang kondusif
dan mampu meningkatkan daya saing usaha, hubungan antar daerah, pusat maupun
internasional, sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang tinggi.
Hak menguasai oleh Negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan
masyarakat hukum adat (Pasal 2). Artinya, kewenangan-kewenangan pengaturan dan
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir, dapat didesentralisasikan,
baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat adat.
Di dalam UU ini pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak sejenisnya dari masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada serta tidak bertentangan dengan kepentingan
Negara dan peraturan perUUan yang lebih tinggi, diakui eksistensinya (Pasal 3).
Sementara itu, hak-hak atas tanah yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya
wilayah pesisir adalah HM , HGU, HGB, HP, sedangkan hak atas air adalah HPPI.
Dalam konteks pemberian perijinan usaha tambang Pemerintah tidak memberi peluang
bagi partisipasi masyarakat dalam pemberian ijin dan transparansi dalam pengambilan
keputusan. Karena itu masyarakat terutama masyarakat adat tempat usaha tambang
beroperasi tidak pernah diberi informasi dan diminta persetujuannya (informed-consent)
sebelum ijin pertambangan diberikan kepada BUMN atau BUMD. Ini berarti terjadi
pengabaian atas hak-hak masyarakat setempat atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya tambang yang berada di atas tanah ulayat masyarakat setempat.
Dari segi ekologi setiap usaha pertambangan pasti menimbulkan kerusakan lingkungan
tanah, air termasuk laut dan sumber daya alam hayati di dan sekitar perusahaan
tambang beroperasi. Kendatipun dalam pasal 30 UU Pertambangan diatur mengenai
reklamasi dan rehabilitasi, tetapi yang dimaksudkan hanya dalam kaitan dengan
kemungkinan penyakit yang ditimbulkan, bukan pada usaha untuk mengembalikan
fungsi lingkungan. Karena itu UU ini kurang berorientasi pada usaha konservasi,
rehabilitasi dan reklamsi lingkungan pantai.
Pada sektor ini terdapat dua UU yang relevan yakni UU No. 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman dan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional (pasal 4 ayat 3).
Kewenangan Departemen Kehutanan yang menyangkut penyediaan lahan kawasan
hutan untuk pengembangan usaha budidaya pertanian diatur dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Pertanian dengan Menteri Kehutanan No. KB
550/246/kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Di dalam Pasal 3 SKB
tersebut, antara lain, ditentukan bahwa penyediaan lahan kawasan hutan pantai
(mangove) untuk pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
2. Lahan kawasan hutan pantai (mangrove) yang merupakan Kawasan Suaka Alam,
Hutan Wisata dan Produksi yang ditetapkan untuk menunjang bahan baku kayu
industri chips, rayon, dan energi, serta lahan kawasan hutan pantai yang terletak di
pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2 tidak dapat disediakan untuk
pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan.
3. Jalur hijau hutan pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai dan tempat
berpijahnya biota laut tetap dipertahankan, yang lebarnya akan ditetapkan
berdasarkan penelitian ilmiah oleh lembaga atau instansi yang berwenang, dengan
ketentuan bahwa sampai belum adanya hasil penelitian yang dimaksud, maka lebar
jalur hijau pantai ditetapkan sejauh 200 meter.
Secara spasial dari darat, zona-zona laut tersebut akan dijelaskan satu demi satu, yang
dimulai dengan perairan pedalaman.
a. Perairan pedalaman (internal waters) adalah perairan pada sisi darat garis
pangkal laut teritorial (Pasal 8 ayat 1). Perairan ini dapat terletak di muara
sungai, teluk, atau di bagian-bagian perairan kepulauan yang sama sekali tidak
diperlukan bagi pelayaran internasional. Di perairan pedalaman ini, Indonesia
sebagai negara pantai memiliki kedaulatan wilayah yang penuh (territorial
sovereignity) sebagaimana halnya di darat, yaitu kedaulatan atas airnya, dasar
laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya, serta segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (Pasal 2).
b. Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil ke arah laut yang
diukur dari garis pangkal, yaitu garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana
yang terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi negara pantai tersebut
(Pasal 3 dan 5). Pada laut teritorial juga berlaku kedaulatan penuh negara pantai
(Pasal2).
c. Perairan kepulauan (archipelago waters) adalah perairan yang berada di sisi
dalam garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya
dari pantai. Negara pantai pun berdaulat penuh atas perairan kepulauan (Pasal
49). Berbeda dengan perairan pedalaman, pada perairan kepulauan Indonesia
terletak kewajiban-kewajiban tertentu, diantaranya, berkaitan dengan sumber
daya alam perikanan.
d. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah suatu daerah di luar
dan berdampingan dengan laut teritorial, yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil
diukur dari garis pangkal (Pasal 55 dan 57). Dalam wilayah ZEE, negara pantai
antara lain mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk keperluan
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam,
baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut, tanah di
bawahnya serta berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi air, arus dan angin
(Pasal 56 ayat 1a).
Di dalam wilayah ZEE, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun,
mengusahakan dan mengatur pembangunan, operasi, dan penggunaan :
• Pulau Buatan;
berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari (maximum
sustainable yield) (Pasal 61).
Apabila negara pantai tidak mampu menangkap seluruh jumlah tangkapan yang
dibolehkan, maka kapal-kapal ikan asing harus diberi akses di ZEE agar dapat
mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang dibolehkan. Pemberian akses
tersebut, harus dengan perjanjian dan memperhatikan beberapa faktor, seperti hak-hak
khusus negara-negara yang tidak berpantai dan yang secara geografis tidak
menguntungkan (Pasal 62).
Khusus untuk jenis ikan yang berimigrasi jauh (highly migratory species), negara pantai
dan negara lain yang berwarganegaranya melakukan penangkapan ikan jenis ini,
menurut Lampiran 1 UNCLOS terdapat 17 jenis harus bekerja sama secara langsung
atau melalui organisasi internasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan
pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di kawasan, baik di dalam maupun di luar ZEE
(Pasal 64).
Indonesia, melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, antara lain,
menetapkan sebagai berikut :
• Barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomi, seperti
pembangkit tenaga dari air ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari
Pemerintah Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional tersebut
(Pasal 5 ayat 1);
• Eksploirasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah ZEE
Indonesia dapat diizinkan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh
Pemerintah Indonesia melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya
(Pasal 5 ayat 3).
Tragedi kandasnya tanker Torrey Canyon di pantai Selatan Inggris pada tahun 1967
yang menumpahkan 35 juta gallon crude oil, telah membangkitkan kesadaran
masyarakat internasional tentang pentingnya suatu kerja sama untuk pencegahan
pencemaran laut. Hasilnya, pada tahun 1973, disepakati International Convention for
the Prevention of Pollution from Ships, yang kemudian disempurnakan dengan Tanker
Safety and Pollution Prevention, Protokol 1978, yang dikenal dengan nama Konvensi
Marpol 1973/1978. Konvensi Marpol telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 46
Tahun 1986.
Di dalam Konvensi Marpol ini, dalam garis besarnya, terbagi ke dalam dua kategori,
yakni:
Konvensi ini diratifikasi melalui UU No. 5/1994. Di dalam konvensi ini terdapat ketentuan
bahwa setiap negara wajib mengembangkan strategi, rencana, atau program nasional
untukkonservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau
menyesuaikan strategi, rencana, atau program yang sudah ada untuk maksud tersebut
(Pasal 6).
Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan
lindung yang memerlukan penanganan khusus untuk menkonservasi keanekaragaman
hayati; mengembangkan pedoman untuk menyesuaikan, pendirian, dan pengelolaan
kawasan lindung atau kawasan-kawasan untuk memerlukan upaya-upaya khusus untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati; mengatur dan mengelola sumberdaya hayati
yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati; dan seterusnya (Pasal 8).
Agenda 21 Global adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) dan telah diadopsi oleh 178
negara, termasuk Indonesia. UNCED juga dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi, diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992
(Kuswartojo, 1996).
Agenda 21 Global terdiri atas empat bagian, yaitu sosial dan ekonomi, pelestarian dan
pengelolaan sumber daya, penguatan peran kelompok-kelompok utama, dan sarara
implementasi. Keempat bidang-bidang tersebut, keseluruhannya terdiri atas 40 pasal.
Dalam Pasal 3 mengenai kemiskinan, disepakati bahwa PBB dan negara-negara
anggotanya perlu memberikan prioritas utama pada usaha menanggulangi kemiskinan.
Meskipun disadari kemiskinan ditimbulkan oleh sedemikian banyak penyebab sehingga
tidak ada satu pun penyelesaian tunggal yang dapat memecahkan segala masalah di
tiap negara, tetapi disepakati bahwa salah satu cara yang patut dipertimbangkan adalah
pemerintah nasional dalam strategi pembangunannya, memberikan lebih banyak
tanggung jawab dan sumber daya kepada kelompok lokal dan kaum perempuan.
Selanjutnya, dalam Bab 17 mengenai perlindungan dan pengelolaan lautan, diakui
bahwa lautan kini mengalami semakin banyak tekanan lingkungan karena pencemaran,
penangkapan ikan secara berlebihan, pelanggaran batas perairan oleh armada-armada
asing, degradasi ekosistem, dan penggunaan perlengkapan yang tidak tepat sehingga
dapat menangkap terlalu banyak ikan semakin banyak terjadi. Pengetahuan tentang
keadaan pasok ikan dalam laut, tidak memadai, dan terlalu sedikit kerjasama
internasional untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan di laut lepas.
Sehubungan dengan keadaan laut tersebut, sejumlah strategi telah disepakati. Empat di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan kebijaksanaan tentang pemanfaatan laut secara berkelanjutan, dengan
memeperhatikan kebutuhan masyarakat setempat dan penduduk asli.
2. Mengembangkan lebih banyak budi daya perairan dengan cara pemeliharaan ikan
dalam keramba-keramba di laut.
3. Memperkuat pengawasan dan pelaksanaan peraturan perikanan.
4. Mengurangi pemborosan dalam menangkap, menangani dan mengolah ikan, serta
memperkecil penangkapan spesies-spesies yang seringkali tidak dipakai.
penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dengan
ketentuan pelaksanaan:
• Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;
• Menjamin keselamatan fisik dan non-fisik secara setara bagi semua warga
negara;
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang
hukum perdata, adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan
yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola,
mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya.
Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i oleh seseorang maupun
yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah maupun perairan
sebagai res nulius (Boedi Harsono, 1997).
Konsekuensi dari tidak adanya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan hak
ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum baik yang bersifat perdata maupun
publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu
sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat
laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk
sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.
Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya seperti tradisi
penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara
tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang (Saad, 2000).
sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial , politik, alamiah, budaya dan
agama dari kehidupan masyarakat adat1.
Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak hanya
berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari
masyarakat tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu
bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat
mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta sumber
daya alam di dalamnya.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola wilayah laut
dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi besar bagi
masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar, termasuk dari negara.
Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajiban mereka
jauh bahkan sebelum negara itu ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah
laut dan pesisir bukan atas pemberian negara melainkan secara alamiah merupakan
bagian dari legenda dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka
diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.
Hak kepemilikan dari masyarakat adat menekankan pada 3 elemen mendasar yaitu :
1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
Saat ini hubungan antara sumber daya laut dan pesisir dengan kewenangan
pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah
dan pembuat kebijakan. Selain itu beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan
dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan walaupun
hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum lainnya yang
mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan
pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan
pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat
kepada daerah, merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan
untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat
walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.
1
Ronald Titahelu, Paper on Indonesia Legal Center for Community Based Property Rights and Marine and
Coastal Resources Management.
eksploitasi terhadap tumbuhan dan hewan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Sasi seringkali dianggap sebagai elemen pengelolaan sumber daya laut dan pesisir
dengan tujuan keberlanjutan2.
Pernyataan dari masyarakat adat di sana bahwa pelaksanaan sasi dan kaitannya dengan
hasil panen sangat erat. Menurut mereka dengan melakukan sasi, maka hasil panen
mereka jauh lebih baik daripada tidak melakukan sasi. Selain itu sasi juga berkaitan
dengan isu keberlanjutan yang kemungkinan berperan penting didalam keberlanjutan
keberadaan institusi local karena dilihat sebagai sumber pemanfaatan yang terdiri dari
peraturan-peraturan dan pelaksanaannya.
Di dalam institusi sasi laut, ada beberapa prinsip umum, misalnya sumber tertentu dapat
atau tidak dapat dilakukan penanaman dalam waktu tertentu dan didaerah tertentu di
laut. Juga ada pembagian hak dan kewajiban yang bervariasi, seperti misalnya di dalam
suatu peraturan secara jelas disebutkan siapa yang menentukan, siapa yang
mengumumkan, atau mengawasi sasi, siapa yang diikutsertakan dan siapa yang tidak
diikutsertakan, siapa yang mendapatkan keuntungan dari sasi. Disini kita dapat melihat
pelaksanaan sasi sebagai elemen pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang terdiri
dari sekumpulan hak. Hak-hak tersebut di miliki oleh berbagai macam pihak yang
terlibat di dalam sasi dan pemegang hak ini memiliki fleksibilitas di dalam
melaksanakan sasi. Kita menemukan bahwa masyarakat tidak homogen dan hak
kepemilikan masyarakat adat juga tertanam di dalam aspek-aspek lainnya seperti
pembangunan social budaya, pertimbangan secara ekologi, refleksi keagamaan, dan
bahkan didominasi oleh institusi politik dan ekonomi dan kepentingan
• Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan
laut. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan
bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya,
di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa
penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi
(Pasal 10 ayat 2).
2
Hermien L. Soselisa “Sasi Laut in Maluku” Communal Property and Community Rights in Marine Resource
Management.
ke dalam tiga kategori, yakni strategis, vital, dan di luar keduanya (lazim disebut
tambang golongan C). Sementara di sisi lain, UU Konservasi juga menentukan
kawasan tertentu sebagai kawasan konservasi. Konfliknya terjadi ketika di dalam
kawasan konservasi ternyata terdapat bahan tambang (terutama kategori
strategis dan vital), seperti dalam kasus tambang batubara di dalam zona
proteksi Taman Nasional Kutai.
• Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan
sumber daya alam di daerah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir
dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut
dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang
telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Konflik tersebut menjadi
kenyataan di berbagai daerah, seperti beberapa pulau-pulau kecil di desa
Mandeh Sumatera Barat diklaim sebagai milik masyarakat kaum/adat.
• Kekosongan hukum juga terjadi pada bidang konservasi dan bencana wilayah
pesisir. UU No. 5/1960 tentang Konservsi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
belum secara spesifik mengatur wilayah pesisir, padahal justru wilayah inilah
yang paling rentan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai
akibat dari letaknya pada pertemuan wilayah darat dan laut. Bahkan, masalah
pencegahandan penanggulangan bencana wilayah pesisir serta konservasi yang
berskala kecil di tingkat desa, hingga kini belum diatur sama sekali. Kealpaan ini
harus segera diakhiri sebab bencana wilayah pesisir, seperti tsunami, banjir, dan
erosi pantai sudah terlalu banyak menelan korban, baik nyawa manusia maupun
harta benda.
UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang wilayah
nasional, wilayah propinsi dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara terpadu dan
tidak dipisah-pisahkan (Pasal 8). Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari
satu wilayah propinsi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri untuk kemudian
dipadukan ke dalam rencana tata ruang wilayah propinsi. Penataan ruang untuk
kawasan yang meliputi lebih dari satu kabupaten atau kota dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang
wilayah Kabupaten/Kota.
Penataan ruang wilayah propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota meliputi ruang daratan
dan, pada batas tertentu menurut perUUan, juga mencakup ruang lautan dan udara.
Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar tersebut sebelumnya, diatur
secara terpusat dengan UU (Pasal 9).
UU No.5 th. Walaupun UU Konservasi Di dalam usaha UU ini di dalam Pengelolaan taman
1990 tentang SDA Hayati dan ekosis- melakukan pengelolaan melakukan pengelola- nasional, taman hutan
Konservasi temnya menekankan pada dan perlindungan terha- an sumberdaya alam raya dan taman wi-
Sumberdaya perlindungan sistem pe- dap kawasan suaka alam, hayati dan pemanfa- sata alam dilakukan
Alam Hayati nyangga kehidupan, pe- pengawetan jenis tum- atannya tidak mema- oleh pemerintah tan-
dan Ekosistem- ngawetan keanekaragaman buhan dan satwa, ka- dukan antara ilmu pa melibatkan pihak
nya jenis tumbuhan dan satwa wasan pelestarian alam, pengetahuan dan tek- lain terutama masya-
Konsep pem- beserta ekosistemnya, ka- ada ketentuan-ketentuan nologi moderen de- rakat setempat (Pasal
bangunan berke- wasan suaka alam, penga- yang mengatur larangan- ngan pengelolaan se- 34 ayat 1).
lanjutan dengan wetan jenis tumbuhan dan larangan melakukan tin- cara tradisional yang
satwa dan kawasan pe- dakan tertentu yang ber- telah dilakukan oleh Kemudian di dalam
jelas terdapat di zona pemanfaatan
dalam bagian lestarian yang semuanya ini potensi merubah keutuh- masyarakat adat.
untuk mewujudkan pem- an dari kegiatan konser- taman nasional, ta-
menimbang man hutan raya, dan
huruf a s/d d. bangunan yang berkelan- vasi sumber daya alam
jutan hayati dan ekosistemnya taman wisata alam
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNDANG-
UNDANG Keterpaduan Keterpaduan Keterpaduan
Keterpaduan Sektor
Wilayah/Ekologis Disiplin Ilmu Stakeholders
jutan. hayati dan ekosistemnya. dapat di bangun sara-
na kepariwisataan
Namun UU ini tidak Namun ada pengecualian berdasarkan rencana
mengatur secara jelas untuk melakukan kegiat- pengelolaan. Pemerin-
bahwa pengelolaan sumber an penelitian, ilmu penge- tah dalam hal ini
daya hayati mencakup eko- tahuan, menunjang budi hanya memberikan
sistem daratan, lautan dan daya, budaya, wisata masyarakat hak pe-
pesisir, sehingga secara alam, pendidikan, penye- ngusahaan atas kegi-
umum UU ini cen-derung lamatan jenis tumbuhan atan di atas, tetapi
dianggap hanya mencakup dan satwa, pemerintah masyarakat dan pe-
ekosistem daratan saja. dapat memberikan izin merintah daerah tidak
melalui peraturan peme- dilibatkan dalam pro-
Ada perbedaan perlakuan rintah.
antara pengelolaan daratan ses rencana penge-
dengan perairan. Pasal 9 lolaan.
ayat 1 menyebutkan adanya
usaha melakukan penge-
lolaan tanah, tetapi untuk
perairan lebih kepada hak
pengusahaan yang diberikan
pemerintah untuk meman-
faatkan sumber daya alam
yang ada di perairan.
UU No.24 Secara umum keterpaduan Keterpaduan sektor ter- UU ini dalam Pasal 4 menyebutkan
tahun 1992 wilayah/ekologis sudah ter- lihat di dalam Pasal 7 s/d melaksanakan pe- bahwa setiap orang
tentang Pena- lihat di dalam Pasal 1 angka 18 mengenai perenca- manfaatan ruang cu- berhak untuk menge-
taan Ruang. 1 yang menyebutkan bahwa naan, pemanfaatan dan kup banyak mem- tahui rencana tata
“Ruang adalah wadah yang pengendalian. pertimbangkan berba- ruang dan berperan
UU ini sudah meliputi ruang daratan, ru- gai aspek, misalnya serta dalam penyu-
mencerminkan ang lautan, dan ruang udara Pasal-pasal ini menje- pertimbangan aspek sunan rencana tata
pengaturan sebagai satu kesatuan wila- laskan mengenai koordi- waktu, modal , opti- ruang, pemanfaatan
penataan ruang yah….” Namun di dalam nasi penataan ruang masi, daya dukung ruang dan pengen-
yang didasarkan penjelasan disebutkan bah- yang dilakukan pemerin- lingkungan, daya dalian pemanfaatan
atas pembangun- wa ruang-ruang ini memiliki tah baik pusat maupun tampung lingkungan ruang. Namun pasal
an yang berke- potensi yang dapat diman- pro-pinsi, kabupaten/kota dan geopolitik ini tidak menjelaskan
lanjutan. Hal ini faatkan sebagai tempat ke- berdasarkan fungsi utama mekanisme dari peran
sangat terlihat giatan pemenuhan kebu- kawasan, aspek adminis- Di dalam perencanaan serta atau sampai se-
jelas di bagian tuhan pangan, industri, per- tratif, dan kombinasi an- tata ruang, UU ini jauh mana keterli-
menimbang (b) tambangan, sebagai jalur tara fungsi kawasan dan mempertimbangkan batan masyarakat di
“bahwa penge- perhubungan, objek wisata, aspek kegiatan. berbagai aspek antara dalam perencanaan
lolaan sumberda- sumber energi, penelitian. lain; keserasian, kese- tata ruang.
ya alam yang Kegiatan-kegiatan diatas larasan, dan keseim-
beraneka ragam hampir semuanya di lakukan bangan fungsi budida- Tidak munculnya su-
di daratan, di la- di daratan, tidak disebutkan ya, dan fungsi lin- atu mekanisme peran
utan dan di uda- misalnya kegiatan kelautan dung, dimensi waktu, serta dan penyebaran
ra, perlu dilaku- atau perikanan. teknologi, sosial bu- informasi juga terlihat
kan secara terko- daya serta fungsi di dalam Pasal 12 dan
ordinasi dan pertahanan keaman- 25 bahwa pemerintah
terpadu dengan an. di dalam melakukan
sumberdaya ma- pembinaan terhadap
nusia dan sum- Untuk aspek penge- masyarakat, wajib
ber daya buatan lolaan, UU ini juga mengumumkan dan
dalam pola pem- memperhatikan aspek menyebarkan rencana
bangunan yang pengelolaan secara tata ruang kepada
berkelanjutan….” terpadu berbagai masyarakat.
sumber daya, fungsi
Pasal 2 huruf a dan estetika lingkung-
juga menye- an serta kualitas rua-
butkan bahwa ng.
“penataan ruang
berasaskan
pemanfaatan
ruang bagi
semua kepen-
tingan secara
terpadu, berdaya
guna, serasi, se-
laras, seimbang
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNDANG-
UNDANG Keterpaduan Keterpaduan Keterpaduan
Keterpaduan Sektor
Wilayah/Ekologis Disiplin Ilmu Stakeholders
dan berkelan-
jutan”.
UU No.21 Keterpaduan wilayah da- Penyelenggaraan pela- Untuk meningkatkan UU pelayaran ini
tahun 1992 ratan dan lautan terdapat buhan umum dilakukan penyelenggaraan pe- mengakui adanya pe-
tentang pada Pasal 1 angka 3 dan 4, oleh pemerintah, namun layaran, maka dikem- layaran rakyat yaitu
Pelayaran yaitu mengenai perairan pelaksanaannya dapat di- bangkan pemanfaatan usaha rakyat yang
Indonesia yang meliputi laut limpahkan kepada badan ilmu pengetahuan dan bersifat tradisional
wilayah, perairan kepulauan, usaha milik negara (Pasal teknologi (Pasal 5 (Pasal 77) di dalam
UU Pelayaran ini perairan pedalaman serta 26). ayat 2). cara pengolahan usa-
sangat sedikit perairan daratan. ha dan pengelolanya.
Di dalam hal pencegahan Hal-hal tersebut juga
mengatur hal-hal Dan pelabuhan adalah tem- dan penanggulangan
yang berkaitan dikembangkan de-
pat yang terdiri dari daratan pencemaran oleh kapal, ngan memperhatikan
dengan penge- dan perairan di sekitarnya pemerintah berkoordinasi
lolaan wilayah perkembangan ilmu
dengan batas-batas tertentu dengan instansi yang ber- pengetahuan dan tek-
pesisir. sebagai tempat kegiatan wenang menangani pe- nologi.
Namun begitu pemerintahan. nanggulangan pencemar-
banyak hal yang an laut di pelabuhan
Berkaitan dengan penetapan (Pasal 67 ayat 2-3).
diatur di dalam lokasi untuk pembangunan
undang-undang pelabuhan disebutkan bah- Selain mengatur usaha
ini sehingga dari wa penggunaan bagian ter- angkutan di perairan, Pa-
132 pasal, sekitar tentu daerah daratan dan/ sal 70 juga mengatur
60 pasal dian- atau perairan untuk pela- usaha tertentu seperti
taranya memer- buhan, wajib memenuhi usaha di bidang industri,
lukan peraturan persyaratan (Pasal 23). pertambangan, perikanan
pemerintah se- kegiatan penelitian, kegi-
bagai pelaksana- atan sosial , dsb.
annya.
Apabila kita melihat hasil eksternal review dari kelima UU tersebut, terlihat bahwa tidak
adanya koordinasi, ketidakjelasan dan tumpang tindih di dalam pengaturan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Beberapa contoh antara
lain :
1) Dalam hal menimbang terutama UU yang berlaku tahun 1992, misalnya UU
pelayaran dan UU Penataan Ruang, seharusnya mencantumkan UU Pariwisata,
UU Perikanan dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
dalam bagian menimbang.
2) Secara umum kelima UU ini tidak mengatur secara jelas antara daratan dan
lautan serta wilayah pesisir baik dalam hal pengakuan, pengelolaan,
pemanfaatan dan perlindungan, terutama wilayah pesisir.
3) Pengakuan terhadap hak masyarakat adat didalam beberapa UU tersebut juga
tidak diatur secara jelas dan parsial. Kalaupun diatur , terlihat pengaturannya
hanya “setengah hati”.
4) Antara UU perikanan dengan UU Penataan Ruang seharusnya ada koordinasi di
dalam keterpaduan wilayah / ekologis. UU Penataan Ruang mengatur kegiatan-
kegiatan di dalam ruang lingkup penataan ruang dan terlihat secara umum
kegiatan kelautan dan khususnya kegiatan perikanan tidak diatur.
Dengan melihat hasil analisa antar 5 UU tersebut (eksternal review), maka semakin
terbukti bahwa konsep pengelolaan wilayah peisisr terpadu ini tidak terintegrasi ke
dalam peraturan perUUan yang sedang berlaku sekarang ini sehingga diperlukannya UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang mencakup konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu
sebagai dasar pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.
***