Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan
memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber
pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya
adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi,
serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya
sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu
pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan
Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua pertiga dari luas
wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis
bagi bangsa dan negara Indonesia. Laut juga memberikan kehidupan secara langsung
bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung memberikan kehidupan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Jika berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”. Pesisir
juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir
mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang
membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi
perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir merupakan
transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan darat.
Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum
dilaksanakan oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan dengan
kewenangan yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di tangan Pusat.
Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yaitu era
desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana masing-
masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab dalam hal
pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya.
Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan pemerintahan semata,
namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau pengelolaan sumberdaya alam
yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah (regional). Dengan digulirkannya
Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th 1999), maka penjabaran Pasal 33
ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya alam kini di
desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah yang mana sebelumnya dikelola
sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih bersifat sentralistis.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi
Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan
sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal
10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk
mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi.
Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan
hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang
digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata, sehingga
sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi
pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk
Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki wilayah pesisir dan
laut, terlebih lagi Propinsi, Kabupaten dan Kota yang berbentuk kepulauan sebagai
contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Kepulauan Seribu dan
Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi otonomi ekonomi juga berada di wilayah
laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah sebagai
bahagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam
memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar
laut, laut dalam dan permukaan laut.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk:

1. Mengetahui manfaat dari sumberdaya wilayah pesisir.


2. Mengetahui kewenangan pengelolaan wilayah pesisir melalui desentralisasi
atau otonomi daerah.
3. Sebagai sarana informasi bagi khalayak ramai.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengelolaan Perairan Pesisir

Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang merupakan
daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara biofisik batas
dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lautan,
seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin laut. Sementara ke arah laut masih
dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran sungai, sedimentasi akibat
penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas pertanian, industri dan
lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat dengan sistem sungai
(daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung ekosistem darat (up land) dengan
ekosistem lautan.

Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena tergantung
karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan sangat berbeda,
karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu sungai dimana
aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan pesisir akan
semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai aktivitas daratan
baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang dibawa oleh aliran
sungai.

Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus mengutamakan 3


prinsip keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar ekosistem darat dan laut,
dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak biofisik dan sosial-ekonomi yang
terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena merupakan satu kesatuan ekologi
yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem
daratan akan berimplikasi negatif terhadap ekosistem lautan, begitu pula sebalinya.
Prinsip ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena berbagi
sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan sendiri-
sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir merupakan pusat
pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan dengan daratan
maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan kapal, perikanan,
pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan industri manufaktur di daratan.
Sehingga dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk menghindari arogansi masing-
masing sektor dalam mengimplementasikan program pembangunannya. Selain itu
stakeholder terkait seperti pihak pemerintah, swasta, akademisi, LSM dan masyarakat
perlu diakomodir bersama-sama dalam penentuan kebijakan yang berhubungan
dengan pengelolaan perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk penyamaan
persepsi. Prinsip ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat
maupun daerah, dimana harus ada komunikasi 2 arah dan kerjasama yang harmonis
antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan dan ketidak akuratan dalam
melakukan perencanaan dan pengimplementasian berbagai program pembangunan.

Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan lautan
secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan kawasan
perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang akan
datang.

2.2. Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi
msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2)
UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :

1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas


wilayah laut tersebut.
2. Pengaturan kepentingan administratif.
3. Pengaturan tata ruang.
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.
5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut
yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir
merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .

Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada
dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang
menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah
pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.

Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan


masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir
untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Daerah. Untuk
memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya yang tersedia di
Daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber daya yang
dimiliki Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir.

2.3. Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil

1) Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan.

Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang


mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta
dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil,
sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif
terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa
lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang
mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses
penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai
kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga
cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.

2) Kompensasi

Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk


menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat
diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya
dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.

3) Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang


kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar
prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap
daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada
semua bidang.

Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas,
tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun
kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya,
pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis
dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.

4) Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif

Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan


terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan
intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan
konservasi sebagai berikut :

 Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan


publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir,
namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan
pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya
mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.

 Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang
kecil.

 Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis
untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi
dan daerah pemanfaatan intensif.

5) Penentuan Sektor Unggulan

Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona


konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu:
penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.

6) Penentuan Struktur Tata Ruang

Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat
kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi
pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan
pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor
produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas
negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap
perubahan bentang alam, dll.

7) Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai


Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah
aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai
tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan
serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.

8) Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif

Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang
mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan
berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :

St = Vt x t

St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya

Vt = Kecepatan sebar pencemar

t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut

9) Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional

Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang


terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan
musyawarah, dan media partisipatif lainnya.Penataan ruang juga memperhatikan dan
mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup
dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.

Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud


mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi
kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi
pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.

Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu
memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :

1) Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar


pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana.

2) Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada


tingkat makro.
3) Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua
pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas).

4) Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum.

5) Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang


ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya
dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya


bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut
peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan
dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.

2.4. Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui undang-undang No. 22/1999,


provinsi diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan
mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dalam batas 12 mil laut perairan
wilayah Indonesia. Isi dari undang-undang yang terdapat pada pasal 10 yaitu
memberikan wewenang untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan
mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata ruang,
mengatur dan menyediakan bantuan kepada pemerintah pusat dalam pelaksanaan
undang-undang dan kedaulatan nasional.

Berdasarkan keputusan Menteri No. 10/2002 wilayah pesisir didefinisikan


sebagai wilayah peralihan antar ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12
mil batas wilayah kearah perairan dan batas kabupaten atau kota kearah pedalaman.
Lokasi zona pesisir ini merupakan focus dari kegiatan perencanaan dalam proyek
MCRM (Marine and Coastal Resources Management). Kewenangan untuk
pengelolaan laut dan sumberdaya pesisir yang terbentang antara 12 mil batas wilayah
perairan sampai dengan 200 mil ZEE Indonesia tetap berada di pemerintah pusat dan
diserahkan kepada DKP.

Otonomi daerah, diasumsikan bahwa pemerintah kabupaten akan menjadi


sasaran pokok dan yang memperoleh manfaat terbesar dari program ICZM. Rencana
ICZM berbasis pada perencanaan untuk wilayah taman nasional dan konservasi,
tetapi hal ini dapat disesuaikan untuk tingkat cakupan wilayah provinsi,
kabupaten/kota atau daerah prioritas. Rencana strategis biasanya disiapkan untuk
wilayah yang luas (Provinsi), tapi dalam prakteknya dapat juga disusun untuk tingkat
kabupaten/kota karena mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam
Undang-undang 22/1999. Dalam proyek MCRM, Rencana Zonasi, Rencana
pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan di tingkat kabupaten, namun boleh juga
dilakukan pada tingkat provinsi agar prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan
memiliki prioritas.

ICZM adalah suatu proses pemerintahan yang melibatkan penyusunan rencana-


rencana strategis, zonasi, pengelolaan dan aksi, terstruktur menurut hirarkinya.
Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi Pemangku Kepentingan
yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Manfaat
menyiapkan dokumen Rencana Strategis, Rencana Zonasi, dan Rencana Aksi hanya
dapat dirasakan jika kemauan dan kemampuan kelembagaan tersedia untuk
melaksanakannya.

Rencana pengelolaan harus mendukung hakikat penegakan hokum, peraturan-


peraturan dan proses-proses administrasi yang berlaku dengan menyediakan pedoman
yang rinci untuk pejabat pemerintah dan pengelola sumberdaya. Tujuan khusus
Rencana Pengelolaan adalah untuk :

 Membangun kerjasama kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan


masyarakat.

 Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal


(usulan) pembangunan secara sistematik.

 Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki


rencana ICZM.

 Mengkoordinasikan dengan inisiatif-inisiatif perencanaan lain.

2.5. Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh


masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri
dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput
laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada
umumnya potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan baru
terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan
keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian
rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam
skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah
pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di
sektor pariwisata.

Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya


untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah
pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di
Daerah.

Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan


yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi Daerah
maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten
dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.

2.6. Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat


maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam
secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan
kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir
secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu
yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.

Kebijakan reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak


lingkungan pada beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir.
Perizinan pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian besar
menjadi kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut tanpa
memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.

Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan


perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan suatu kebijakan.
 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama
lain.

 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep


daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan antar Daerah.

 Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara


komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap
sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam
pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.

Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :

 Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut


dan pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi
pelaksanaan kewenangan Daerah di bidang kelautan.

 Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem


yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.

 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari dan berkelanjutan.

2.7. Terobosan Baru Pengelolaan Wilayah Pesisir :

Lahirnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) patut diberikan apresiasi positif, karena
ini menandakan adanya niat baik dari semua pihak, terutama legislatif dan eksekutif
untuk memperhatikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai potensi
unggulan yang selama ini termarjinalkan. UU-PWP3K diharapkan menjadi payung
hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan yang berkepanjangan.

Hal yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di
Indonesia yang memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan,
badan usaha atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap
mempertimbangkan kelestarian ekosistemnya.

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru dan
sangat penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan akan
mulai diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan ruang
pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait, untuk
menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan pesisir.
Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak boleh
diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai umum dan
alur pelayaran.

Selain itu, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena perairan pesisir


sangat berbeda dengan wilayah daratan, baik dari aspek biofisik-kimia maupun
sosial-ekonomi. Secara biologis kawasan ini kaya akan keanekaragaman sumberdaya
hayati yang rentan terhadap faktor eksternal berupa tekanan eksploitasi yang
berlebihan, karena akan menyebabkan over eksploitasi. sedangkan secara fisik
kawasan perairan pesisir beserta sumberdaya alamnya sangat rentan terhadap
aktivitas manusia yang merusak, seperti destruktif fishing, penambangan karang dan
pasir, yang akan menyebabkan degradasi dan menurunkan mutu lingkungan perairan
pesisir. Sementara secara kimiawi kawasan ini juga rawan terhadap bahaya
pencemaran, seperti tumpahan minyak dari kapal dan buangan limbah kimia
berbahaya yang mengandung logam berat dari berbagai aktivitas manusia di daratan,
karena dapat memberikan dampak yang besar terhadap menurunnya kualitas perairan
pesisir.

Dari aspek sosial-ekonomi, perairan pesisir sangat rentan konflik pemanfaatan


ruang antar berbagai sektor dan atau stakeholder terkait. Apalagi kedepan akan
adanya perubahan yang sangat fundamental terhadap status kepemilikan perairan
pesisir beserta sumberda alamnya, yang tadinya dapat dimanfaatkan oleh semua
orang (open access) karena milik bersama (common property resources), namun
dengan pemberlakuan HP3 akan berubah status menjadi milik pribadi (private
property resources) walaupun dalam batas wilayah dan rentang waktu tertentu, karena
hak-hak masyarakat secara umum berupa hak akses maupun hak pemanfaatan akan
dibatasi bahkan hilang.

.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat
maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam
secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan
kelestarian pesisir dan lingkungannya. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir
belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah
mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Kewenangan Daerah dalam
rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders,
sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan
penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.

3.2. Saran

Pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir harus memperhatikan pemanfaatan


sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dan pelaku
pembangunan serta semua stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan daerah
pesisir secara terpadu.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Petunjuk Penyusunan RENCANA PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR


DAN LAUT. Direktorat Pesisir dan Lautan. 2006.

Dedi syafikri.Identifikasi Potensi dan Permasalahan Pengelolaan dan Pemanfaatan


Sumberdaya Pesisir dan Laut di Era.28 april 2009.

Disajikan pada Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir, Pusat Riset
Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Graha SUCOFINDO, Jakarta Selatan, 12 September 2001

Husain Latuconsina (Staf Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas


Darussalam).HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR DI INDONESIA.online
12 Agustus at 20 40 WIB.

Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah.


http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=106. Online 12
Agustus 2009 at 20.38 WIB.

Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak

http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=8317&Itemid=696 online 12 Agustus 2009 at
20.55 WIB.

PENTINGNYA PENGELOLAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR DAN


PULAU-PULAU KECIL. February 18, 2007 by

Joyke Christian Kumaat. http://jchkumaat.wordpress.com/2007/02/18/pentingnya-


pengelolaan-tata-ruang-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil/ online 12 Agustus
2009 at 21.22 WIB.

http://www.kp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=260
online 12 Agustus 2009 at 20.49 WIB.

http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&cid=16&artid=8195. Online 12 Agustus 2009 at
21.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai