PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan
memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber
pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya
adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi,
serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya
sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu
pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan
Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua pertiga dari luas
wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis
bagi bangsa dan negara Indonesia. Laut juga memberikan kehidupan secara langsung
bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung memberikan kehidupan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Jika berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”. Pesisir
juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir
mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang
membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi
perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir merupakan
transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan darat.
Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum
dilaksanakan oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan dengan
kewenangan yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di tangan Pusat.
Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yaitu era
desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana masing-
masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab dalam hal
pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya.
Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan pemerintahan semata,
namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau pengelolaan sumberdaya alam
yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah (regional). Dengan digulirkannya
Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th 1999), maka penjabaran Pasal 33
ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya alam kini di
desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah yang mana sebelumnya dikelola
sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih bersifat sentralistis.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi
Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan
sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal
10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk
mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi.
Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan
hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang
digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata, sehingga
sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi
pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk
Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki wilayah pesisir dan
laut, terlebih lagi Propinsi, Kabupaten dan Kota yang berbentuk kepulauan sebagai
contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Kepulauan Seribu dan
Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi otonomi ekonomi juga berada di wilayah
laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah sebagai
bahagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam
memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar
laut, laut dalam dan permukaan laut.
1.2. Tujuan
Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang merupakan
daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara biofisik batas
dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lautan,
seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin laut. Sementara ke arah laut masih
dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran sungai, sedimentasi akibat
penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas pertanian, industri dan
lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat dengan sistem sungai
(daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung ekosistem darat (up land) dengan
ekosistem lautan.
Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena tergantung
karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan sangat berbeda,
karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu sungai dimana
aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan pesisir akan
semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai aktivitas daratan
baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang dibawa oleh aliran
sungai.
Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan lautan
secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan kawasan
perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang akan
datang.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut
yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir
merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada
dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang
menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah
pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
2) Kompensasi
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas,
tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun
kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya,
pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis
dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.
Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang
kecil.
Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis
untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi
dan daerah pemanfaatan intensif.
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat
kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi
pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan
pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor
produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas
negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap
perubahan bentang alam, dll.
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang
mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan
berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St = Vt x t
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu
memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
Hal yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di
Indonesia yang memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan,
badan usaha atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap
mempertimbangkan kelestarian ekosistemnya.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru dan
sangat penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan akan
mulai diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan ruang
pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait, untuk
menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan pesisir.
Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak boleh
diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai umum dan
alur pelayaran.
.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat
maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam
secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan
kelestarian pesisir dan lingkungannya. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir
belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah
mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Kewenangan Daerah dalam
rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders,
sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan
penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
3.2. Saran
Disajikan pada Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir, Pusat Riset
Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Graha SUCOFINDO, Jakarta Selatan, 12 September 2001
Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=8317&Itemid=696 online 12 Agustus 2009 at
20.55 WIB.
http://www.kp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=260
online 12 Agustus 2009 at 20.49 WIB.
http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&cid=16&artid=8195. Online 12 Agustus 2009 at
21.30 WIB.