Anda di halaman 1dari 64

PEMODELAN SPATIAL AUTOREGRESSIVE MOVING AVERAGE

DENGAN MENGGUNAKAN MAXIMUM LIKELIHOOD ESTIMATION

(Hasil Penelitian)

Oleh

PUTRI WULAN ANGGORO ASIH

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Analisis regresi merupakan cabang dari metodologi statistik yang fokus pada analisis
hubungan antara peubah terikat Y dengan peubah bebas X. Hal ini bertujuan untuk
melihat hubungan antara peubah terikat dan peubah bebas sehingga mampu
memprediksi nilai Y jika diberikan nilai X dengan error terkecil. Regresi dibedakan
menjadi regresi linear sederhana dan regresi linear berganda yang digunakan untuk
mencari hubungan linear antara peubah bebas dan peubah terikat. Perbedaannya
terletak pada jumlah peubah bebas, pada regesi sederhana hanya ada satu peubah
bebas, sedangkan regresi linear berganda memiliki peubah bebas lebih dari satu.
Kemudian regresi data panel yang merupakan regresi bagi data cross section atau
data runtun waktu. Serta regresi spasial yang merupakan regresi bagi data yang
memiliki efek spasial (Anselin, 1998).

Regresi spasial merupakan hasil pengembangan dari metode regresi linear sederhana.
Pengembangan tersebut karena adanya pengaruh tempat atau spasial pada data yang
dianalisis. Sehingga, jika terdapat data dengan efek spasial maka analisis yang
digunakan adalah analisis regresi spasial. Sebab, jika menggunakan regresi linear
sederhana ataupun berganda maka model yang dihasilkan kurang akurat dan
menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas tidak
terpenuhi (Winarno, 2009).
2

Analisis regresi spasial memiliki beberapa model yaitu Spatial Autoregressive Model
(SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Autoregressie Moving Average
(SARMA). SAR mengasumsikan bahwa terdapat pengaruh spasial pada peubah
terikatnya. SEM merupakan model spasial yang mengandung pengaruh spasial pada
errornya. Sedangkan SARMA merupakan gabungan antara SAR dan SEM yaitu
model spasial yang mengandung pengaruh spasial pada peubah terikat maupun
errornya (Lesage, 1999).

Seiring perkembangan analisis spasial, berkembang metode regresi spasial pada tingkat
(order) yang lebih tinggi, yaitu spatial autoregressive and moving average (SARMA).
SARMA adalah metode regresi spasial yang digunakan apabila diasumsikan bahwa pengaruh
spasial bergantung pada variabel dependen dan sisaan. Model SARMA digunakan untuk
menganalisis data cross section dengan matriks pembobot spasial sebagai bentuk
hubungan antar daerah (Huang, 1984). Model regresi SARMA dibangun dari model
analisis deret waktu ARMA dengan matriks pembobot spasial sebagai pengganti faktor waktu
pada model ARMA yang menggambarkan hubungan antarlokasi.

Pada pemodelan regresi dengan efek spasial, maka harus disusun suatu matriks
pembobot spasial untuk mengetahui interaksi spasial yang terjadi antar wilayah satu
dengan yang lainnya. Jika interaksi antar wilayah berdasarkan pada persentuhan sisi
wilayah maka matriks pembobot spasial yang terbentuk adalah rook contiguity. Jika
interaksi antar wilayah berdasarkan persentuhan titik sudut maka matriks pembobot
spasial yang terbentuk adalah bishop contiguity. Sedangkan apabila interaksi antar
wilayah merupakan gabungan dari persentuhan sisi wilayah dan titik sudut, maka
matriks pembobot spasial yang terbentuk adalah queen contiguity (Anselin, 1998).

Salah satu metode yang digunakan pada pendugaan parameter adalah metode Maximum
Likelihood Estimation (MLE). Pradhan dan Kundu (2011) melakukan sebuah penelitian
3

tentang menduga parameter distribusi gamma. Penelitian tersebut membandingkan kinerja


MLE dan penduga momen. Berdasarkan penelitian tersebut dihasilkan bahwa metode MLE
memberikan dugaan dengan ketepatan lebih tinggi dibandingkan dengan penduga momen .
Pendugaan parameter dengan metode momen menduga parameter dengan cara menyamakan
k momen sampel dengan k momen populasi dan menyelesaikan sistem persamaan yang
dihasilkan. Sedangkan MLE merupakan suatu metode pendugaan parameter yang
memaksimalkan kemungkinan dari sebuah data sampel bahwa matriks kovariansi populasi
sama dengan matriks kovariansi sampel. Metode MLE ini sangat berhubungan dengan
kemampuan numerik, terutama dalam menghasilkan titik penyelesaian dalam suatu
persamaan (Yendra, 2015).

Pada tahun 2019, Muhammad Firman Annur melakukan penelitian menggunakan regresi
spasial terhadap Indek Pembangunan Manusia di Kabupaten Landak. Model regresi yang
digunakan yaitu regresi linear berganda, Spatial Autoregressive Model (SAR), dan Spatial
Error Model (SEM). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa model SEM merupakan
model terbaik dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi Indek Pembangunan
Manusia di Kecamatan Kabupaten Landak.

Menurut Badan Pusat Statistik, otonomi daerah memberikan dampak yang sangat
besar terhadap pembangunan serta pemerataan kesejahteraan di masing-masing
daerah. Hal tersebut tentunya dapat diwujudkan dengan pengelolaan sumber daya
yang bertanggung jawab serta pengelolaan anggaran pemerintahan daerah secara
efektif, nyata, dan transparan. Pada dasarnya pembangunan regional berkenaan
dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu dengan variabel-variabel
seperti Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk variabel dependen serta
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Ekspor Barang dan Jasa, dan Pengeluaran
Konsumsi Rumah Tangga dalam daerah yang dibatasi secara jelas. Penelitian ini
mengaplikasikan model Spatial Autoregressie Moving Average (SARMA) pada data Produk
Domestik Regional Bruto di Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2019 dengan
4

metode pendugaan parameter yang di gunakan adalah Maximum Likelihood Estimation


(MLE).

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Menentukan penduga parameter dari Spatial Autoregressive Moving Average
(SARMA) dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE) dan
mengkaji karakteristiknya.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap Produk Domestik
Regional Bruto tahun 2019 dengan menggunakan analisis regresi spasial metode
Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) menggunakan Maximum
Likelihood Estimation (MLE).

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi dan memperkaya


wawasan tentang penerapan analisis regresi spasial serta sebagai bahan bacaan dan
referensi dalam menyelesaikan permasalahan yang memasukkan pengaruh lokasi
kemudian memberikan informasi pola persebaran PDRB.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Regresi

Analisis regresi diinterpretasikan sebagai suatu analisis yang berkaitan dengan suatu
ketergantungan (hubungan kausal) dari satu variabel tak bebas (dependent variable)
dengan satu atau lebih variabel bebas (independent variable) untuk menduga atau
memperkirakan nilai rata-rata populasi atau nilai dari variabel tak bebas berdasarkan
nilai tertentu dari variabel bebas atau variabel penjelas.

Analisis regresi mempelajari hubungan kausal antara satu variabel tak bebas dan satu
variabel bebas/variabel penjelas disebut analisis regresi sederhana. Sedangkan
analisis regresi yang mempelajari hubungan kausal antara satu variabel tak bebas
dengan dua atau lebih variabel bebas/variabel penjelas disebut analisis regresi
berganda (Aroef, 1991).

2.2 Analisis Regresi Berganda

Bentuk umum model regresi linear berganda dengan k variabel independen adalah:
k
y i=β 0 + ∑ β j X ij +ε i
j=1
6

Dimana Y adalah variabel dependen, X 1 , X 2 , … , X k adalah variabel-variabel


independen, ε adalah galat error (random error), dan β 1 , β 2 ,… , β k adalah parameter-
parameter populasi yang nilainya tidak diketahui. Variabel dependen, X 1 , X 2 , … , X k
dianggap bukan variabel acak dan dapat diobservasi dengan kekeliruan yang
diabaikan. Sebagaimana pada model regresi linear sederhana, jika telah dimiliki
sampel berukuran n, maka galat-galat acak ε 1 , ε 2 , … , ε nakan diasumsikan mempunyai
mean 0, varian konstan σ 2, saling independen atau tidak berkorelasi dan berdistribusi
normal (Suyono, 2018).

2.3 Asumsi Klasik Regresi

Dalam Analisis Regresi Terdapat beberapa uji asumsi klasik yang harus dipenuhi
antara lain sebagai berikut:

2.3.1 Uji Normalitas

Analisis regresi linear mengasumsikan bahwa sisaan (ε i) berdistribusi normal. Uji


normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam persamaan regresi residual
berdistribusi normal. Uji normalitas dapat dilakukan dengan normal P-P Plot dan uji
Kolmogorov-Smirnov. Normal P-P plot, uji normalitasnya dapat dilihat dari
penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal grafik atau normal dengan ε i N (0 , σ 2)
(Gujarati, 2004). Menurut Siegel (1986), uji Kolmogorov-Smirnov didasarkan pada
nilai D atau deviasi maksimum, yaitu:
D=max |F0 ( X i) −Sn ( X i)|; i=1 ,2 , … , n .
7

dengan F 0 ( X i ) adalah fungsi distribusi frekuensi kumulatif relatif dari distribusi


teoritis dibawah H 0.
8

Kemudian Sn ¿) adalah distribusi frekuensi kumulatif pengamatan sebanyak sampel.


Hipotesis nol H 0 adalah sisaan berdistribusi normal dan H 1 adalah sisaan tidak
beristribusi normal. Kriteria keputusan uji Kolmogorov-Smirnova dalah jika nilai D <
Dtabel dipenuhi atau v-palue lebih dari nilai taraf nyata α maka asumsi normalitas
dipenuhi.

2.3.2 Uji Heteroskedastis

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi
terjadi ketidaksamaan varians residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain
tetap, maka disebut Heteroskedastisitas (Ghozali, 2013). Salah satu cara untuk
mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik scatter plot antara nilai
prediksi variabel terikat (ZPRED) dan nilai residualnya (SRESID) atau dengan
menggunkan uji Breusch-Pagan.
Perumusan hipotesis pada uji Breusch-Pagan (BP test) adalah sebagai berikut:
H 0 :σ 21=σ 22=…=σ 2n (Homoskedastis)
H 1 : paling tidak ada satu σ i2 ≠ σ 2j dimana i≠ j (Heteroskedastis)
Satistik Uji digunakan pada uji Breusch-Pagan adalah sebagai berikut (Anselin,
1988):

BP= ( 12 ) f Z (Z Z )
T T −1
ZT f

Dengan f merupakan vektor berukuran n ×1dengan elemennya adalah ( ε 2i /σ 2)-1, ε i


merupakan error observasi ke-i dari hasil penduga regresi dengan menggunakan ols,
σ 2 merupakan varians yang diperoleh berdasarkan error OLS, dan Z merupakan
matriks berukuran n ×( p+1) dengan elemennya merupakan variabel prediktor yang
telah dinormal standarkan. Kriteria pengujian pada uji Breusch-Pagan adalah
2
menolak H 0, apabila BP> χ( P +1 ,α ) atau p-value < α.
j
9

2.3.3 Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi karena terdapat korelasi yang cukup tinggi di antara


variabel independen.VIF (Variance Inflation Factor) merupakan salah satu cara
untuk mengukur besar multikolinearitas.
1
VIF= ; j=1 , 2, … , n
1−R2j
R2j adalah koefisien determinasi yang dihasilkan dari regresi variabel independen X j
dengan variael independen lain. Hipotesis nol ( H 0 ) pengujian multikolinearitas
adalah tidak terdapat multikolinearitas, dengan kriteria keputusan jika VIF < 10 maka
H 0di terima artinya tidak terdapat multikolinearitas (Montgomery,1992).

2.3.4 Uji Autokorelasi

Pengujian secara empiris dilakukan dengan menggunakan statistik uji Durbin Watson
(Gujarati,2004). Hipotesis yang diuji adalah:
H 0 : tidak terdapat auto korelasi antar sisaan
H 1 : terdapat autokorelasi antar sisaan
Mekanisme uji Durbin Watson adalah:
a. Mengpenduga model regresi dengan metode kuadrat terkecil untuk memperoleh
nilai ε^ i.
b. Mencari nilai d yang diperoleh dengan rumus:
n

∑ (ε^ i −ε^ i−1)2


d= i−2 n

∑ ε^ 2i
i−1

c. Untuk ukuran sampel dan banyaknya variabel tertentu dapat dilihat pada tabel
Durbin Watson mengenai pasangan nilai kritis dL dan dU.
10

d. Kriteria keputusan dalam Uji Durin Watson adalah:


1. Jika d < dL atau d > 4-dL, maka H 0ditolak artinya terjadi autokorelasi.
11

2. Jika dU<d<4-dU, maka H 0 diterima artinya tidak terdapat autokorelasi.


3. Jika dL ≤ d ≤ dU atau 4−dU ≤d ≤ dL, maka tidak dapat di putuskan apakah H 0
diterima atau ditolak, sehingga tidak dapat disimpulkan ada atau tidaknya
autokorelasi. Selain menggunakan pengujian diatas, dapat pula dilihat dari
nilai p-value, apabila nilai p-value¿ α artinya H 0 diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa model regresi tidak terdapat autokorelasi.

2.4 Regresi Spasial

Regresi spasial merupakan metode yang memungkinkan untuk menghitung


ketergantungan antar pengamatan, yang sering muncul ketika pengamatan
dikumpulkan dari titik-titik yang ada didalam ruang (LeSage, 2009). Menurut Mills
dan Patterson (2009) menghilangkan efek spasial dalam suatu persamaan bukanlah
hal yang baik untuk dilakukan karena akan menghasilkan parameter yang bias dan
tidak konsisten. Oleh karenanya diperlukan model yang memiliki pendekatan spasial,
yakni pemodelan yang berhubungan dengan titik dan area. Berdasarkan tipe data,
pemodelan spasial dapat dijadikan menjadi pemodelan dengan pendekatan titik dan
pendekatan area. Berdasarkan jenis pendekatan area yaitu Spatial Autoregressive
Models (SAR), Spatial Error Models (SEM),Spatial Durbin Models
(SDM),Conditional Autoregressive Models (CAR),dan Spatial Autoregressive
Moving Avarage (SARMA). Bentuk umum persamaan model regresi spasial adalah:
y= ρWy+ Xβ +u
u=λWu+ ε
ε N (0 ,σ 2 I )

Dimana y adalah vektor peubah respon ukuran n x 1,W adalah matriks pembobot
spasial berukuran nxn, X adalah matriks peubah penjelas berukuran n x (p+1), β
adalah vektor koefisien parameter regresi yang berukuran (p+1) x 1, dan u adalah
12

vektor galat yang diasumsikan mengandung autokorelasi yang berukuran n x 1.


Sedangkan ρ adalah koefsien parameter lag spasial dan λ adalah koefisien autoregresi
galat spasial yang bernilai |λ| < 1 (LeSage, 1999). Menurut Anselin (1998), pada
persamaan (diatas) jika nilai ρ≠ 0 danλ= 0 maka model regresi spasial akan menjadi
model spasial autoregresif (SAR) atau disebut juga Spatial Lag Model (SLM) dan
jika nilai λ ≠ 0 atau ρ = 0 maka model regresi spasial akan menjadi Spatial Error
Model (SEM).

2.5 Spasial Autoregressive Model (SAR)

Model Spasial Autoregresif (SAR) adalah model regresi spasial yang terdapat
pengaruh spasial pada variabel terikatnya. Model ini ialah pengkombinasian model
regresi sederhana dengan lag spasial pada variabel terikat dengan menggunakan data
cross section. Model umum SAR ialah sebagai berikut (Baltagi & Liu, 2012):
y= ρWy+ Xβ +ε
ε i N (0 , σ 2 I )

Dimana:
Y = vektor variabel terikat berukuran n x 1.
ρ = Koefisien autokorelasi spasial pada variabel terikat.
W = Matriks Pembobot Spasial berukuran n x n.
X = Matriks variabel bebas berukuran n x (k + 1).
β =Vektor koefisien parameter regresi berukuran (k+1)x 1.
ε =vektor error yang bebas autokorelasi berukuran n x 1 (LeSage, 1999)
Koefisien lag spasial (ρ) menunjukkan tingkat pengaruh dari suatu lokasi terhadap
lokasi disekitarnya (Samadi dkk, 2016).
13

2.6 Spatial Error Model (SEM)

Model ini merupakan model spasial dengan errornya memiliki korelasi spasial.
Model SEM ditunjukkan dengan persamaan berikut:
y= Xβ|λ W 2 μ|ε ,

ε N (0 ,σ 2 I )

Dengan koefisien (λ) menunjukkan tingkat pengaruh error spasial dari suatu lokasi
terhadap lokasi lain di sekitarnya.

2.7 Spatial Autoregressie Moving Average

Model SARMA merupakan model spasial yang terjadi akibat adanya pengaruh
spasial pada variabel dependen dan pengaruh spasial pada error. Menurut Lesage
(1999), bentuk umum model SARMA sebagai berikut:
y= ρWy + Xβ +u
u=λ Wu+ ε
u=(I −λ W )−1 ε
y= ρWy + Xβ +(I −λ W )−1 ε
ε N (0 , I σ 2)

Metode penduga parameter model SARMA yang digunakan adalah MLE.


Fungsi likelihood yang di gunakan pada model SARMA yaitu:
−n
−1
ln L ( β , ρ , λ , σ 2 ; y )=¿ (−2 π σ 2 ) 2 exp ⁡( [ I −λW ) ( y−Xβ− ρWy ) ¿ ¿ ¿ t [ ( I −λ W ) ( y− Xβ− ρWy ) ] )¿
2 σ2
(1)
14

Berdasarkan persaaan persamaan di atas di peroleh fungsi ln-likelihood model


SARMA sebagai berikut:
n −1
ln L ( β , ρ , λ , σ 2 ; y )=¿− ln ( 2 π σ 2 ) +( 2 [ I −λW ) ( y− Xβ− ρWy ) ¿ ¿ ¿ t [ ( I −λ W ) ( y− Xβ− ρWy ) ] )¿
2 2σ
(2)

Pendugaan parameter β untuk model SARMA yaitu:

^β=[ ( X−λWX )t ( X−λWX ) ]−1 ( X−λWX )t ( I − λW − ρW ) y (3)

Penduga parameter λ dan ρ diperoleh dengan menurunkan persamaan (1) secara


parsial terhadap λ atau 𝜌 dan menyamakannya dengan nol. Hasil yang diperoleh dari
penurunan tersebut tidak closed form, maka diperlukan iterasi untuk memperoleh peduga
parameter λ dan 𝜌.

Penduga parameter σ 2 untuk model SARMA yaitu:


Pendugaan parameter σ 2 , dilakukan dengan menurunkan fungsi persamaan (1) secara
parsial terhadap σ 2 dan menyamakannya dengan nol. Diperoleh nilai penduga
parameter untuk σ 2 adalah sebagai berikut:
1
σ^ 2= ( λy)t Wλy
n
dengan
−1 −1
W =( ββ ¿¿ t)−1−( ββ ¿¿ t)−1 X ( X t ( ββt ) X ) X t (ββ ¿¿ t)−1 ¿ ¿¿

2.8 Matriks Pembobot Spasial


15

Pengaruh spasial yang terdapat dalam model direpresentasikan oleh matriks


pembobot spasial (W). Matriks pembobot spasial digunakan untuk menggambarkan
16

kedekatan antar wilayah satu dengan lainnya. Matriks ini berukuran n × n dengan n
adalah banyaknya lokasi amatan. Matriks pembobot spasial merupakan matriks
simetris dengan diagonal utama selalu bernilai nol (LeSage, 1997). Selain itu,menurut
Koesfeld (2006), Matriks pembobot spasial (W) adalah matriks biner n x n yang
entrinya adalah 0 atau 1. Diberi nilai sama dengan1 jika daerah i dan j bertetangga
dan 0 sebaliknya.

w ij = 1 , jika i dan jbertetangga


{ 0 ,lainnya

Bentuk matriks pembobot spasial (W) adalah sebagai berikut:

0 w12 … w 1n
w

[
W = 21

0 w 23

wn1 wn2 …

w2 n

0 ]
Menurut Koesfeld (2006),Lokasi harus dikuantifikasi untuk menganalisis efek spasial
yaitu ketergantungan spasial dan heterogenitas spasial. Informasi lokasi dapat
digunakan dari dua sumber yaitu hubungan ketetanggaan (neighbourhood) dan Jarak
(distance). Menurut LeSage (1998), ada beberapa cara dalam mendefinisikan
hubungan ketetanggaan salah satunya dengan matriks persinggungan sisi (rook
contiguity), persinggungan sudut (bishopcontiguity), dan persinggungan sisi-sudut
(queen contiguity).

Gambar 2.1 Ilustrasi dari contiguity


17

a. Rook contiguity ialah persentuhan sisi wilayah satu dengan sisi wilayah yang lain
yang bertetanggaan. Pada gambar 2.1, wilayah 1 bersentuhan dengan wilayah 2
sehingga w 12=1 dan yang lain 0 atau pada wilayah 3 bersentuhan dengan wilayah
4 dan 5 sehingga w 34=1 , w35=1 dan yang lain 0.
b. Bishop contiguity ialah persentuhan titik vertek wilayah satu dengan wilayah
tetangga yang lain. Pada gambar 2.1, wilayah 2 bersentuhan titik dengan wilayah
3 sehingga w 23=1 dan yang lain 0.
c. Queen contiguity ialah persentuhan baik sisi maupun titik vertek wilayah satu
dengan wilayah yang lain yaitu gabungan rook contiguity dan bishop contiguity.
Contoh w 32=1 , w34=1 , w35=1dan yang lain 0.

Berdasarkan ilustrasi pada gambar 2.1 Matriks W yang merefleksikan queen


contiguity adalah:
0 1 0 0 0

[ ]
1
W queen = 0
0
0
0
1
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0

Matriks Queen contiguity atau Rook contiguity yang sudah diperoleh, dibentuk
kedalam bentuk matriks normalitas atau distandarisasi berdasarkan baris, yaitu
matriks dimana jumlah dari setiap barisnya adalah satu, sehingga matriks normalitas
dari matriks W queen tersebut adalah:

0 1 0 0 0

[
1/ 2 0

0
0
1/2 0
W 1= 0 1/3 0 1/3
0 1 /2 0
0 1 /2 1/2
0
1/ 3
1/ 2
0
]
18

2.9 Efek Spasial

Pengujian efek spasial digunakan untuk menentukan model spasial yang akan
terbentuk. Efek spasial terhadap suatu wilayah terbagi menjadi dua, ketergantungan
spasial (spatial dependence) dan keragaman spasial (spatial heterogenity).

2.9.1 Dependensi Spasial

Dependensi spasial menggambarkan adanya hubungan fungsional apa yang terjadi


pada suatu titik dalam ruang dan apa yang terjadi di tempat lain (Anselin, 1988).
Dependensi spasial terjadi akibat adanya dependensi dalam data wilayah.
Ketergantungan spasial diperkirakan akan berkurang seiring dengan meningkatnya
jarak (Kosfeld, 2006).Anselin (1988) menyatakan bahwa uji untuk mengetahui
ketergantungan spasial di dalam error suatu model adalah dengan menggunakan
statistic Moran’s I dan Langrange Multiplier. Uji ini dilakukan untuk memilih model
spasial yang tepat, yaitu menggunakan ketergantungan lag spasial, ketergantungan
galat spasial, atau ketergantungan keduanya.

2.9.2 Heterogenitas Spasial

Efek ini merupakan efek yang menunjukkan adanya keragaman antar lokasi. Setiap
lokasi memiliki struktur dan parameter hubungan yang berbeda (Samadi, dkk, 2015)
Pengujiannya menggunakan uji Breusch-Pagan test (BP tes) sebagai berikut:
n n
BP= ( ∑ xi f i
i=1
)(∑ )
i =1
x i xTi
19

2.10 Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri


berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek
di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik
didalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya
autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait
oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan atau bertetangga.

Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti clustered


(berkelompok), dispersed (menyebar),atau random (acak). Autokorelasi spasial
positif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan
cenderung berkelompok. Autokorelasi spasial negatif mengindikasikan lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar, sertatidak
ada autokorelasi spasial mengindikasikan pola lokasi acak (Lee dan Wong,2001).
Pengukuran Autokorelasi Spasial untuk data spasial area dapat dihitung
menggunakan metode Moran’s I (Indeks Moran),Geary’s c, dan Tango’sexcess
(Pfeiffer dkk, 2008)

2.11 Indeks Moran

Indeks Moran adalah sebuah tes statistik lokal untuk mengetahui nilai autokorelasi
spasial, yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu lokasi dari pengelompokkan
spasial atau autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel
dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang (Lembo, 2006).
20

Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan Indeks Moran dengan matriks


pembobot W berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut :
n ∑ ∑ w ij ( x i−x́ )( x j−x́ )
i j
I= 2
∑ w ij ∑ i ( xi −x́ )
( ) i≠ j

(Banerjee, 2004).

Nilai yang dihasilkan oleh perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 sampai
dengan 1. Nilai indeks moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok,
nilai indeks moran yang positif mengindikasikan autokorelasi spasial yang positif
yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan cenderung
berkelompok, dan nilai indeks moran yang negatif mengindikasikan autokorelasi
spasial negatif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda
(Pfeiffer dkk, 2008). Signifikansi Indeks Moran dapat ditaksir di bawah
pendekatan normal.
Uji signifikansi Indeks Moran dilakukan dengan pendekatan normal dengan
ketentuan sebagai berikut :
i. Hipotesis
H 0 : I = 0 (Tidak ada autokeralasi spasial)
H 1 : I ≠ 0 (Terdapat autokorelasi spasial)
Tingkat Signifiansi α = 5% = 0.05
ii. Statistik Uji
I −E(I )
Z ( I )= N (0 ; 1)
√ var (I )

−1
Dengan nilai harapan E ( I )=I 0=
n−1
Ragam untuk pendekatan normal (Banerjee,2004)
21

n 2 ( n−1 ) S1 −n ( n−1 ) S 2−2 S 20


Var ( I ) = 2 2
(n+1)(n−1) S 0

S0=∑ wij , 1
Dengan S1= ∑ (w ij +w ji )2
i≠ j 2 i≠ j
S2=∑ ¿ ¿¿
k

iii. Daerah Kritis


Dengan uji dua arah H 0 akan ditolak jika |Z (I )|> Z(1−α / 2)
iv. Kesimpulan

2.12 Lagrange Multiplier (LM) Test

Uji LM (Lagrange Multiplier) adalah uji untuk menentukan ada tidaknya efek spasial
pada suatu model. Bentuk tes LM (Anselin, 1988). Uji Lagrange Multiplier terdiri
dari LM lag dan LM error. LM lag digunakan untuk identifikasi Spatial
Autoregressive Model dan LM error digunakan untuk identifikasi Spatial Error
Model. Apabila keduanya signifikan maka model yang sesuai adalah Spatial
Autoregressive Moving Average (SARMA).

Pengujian hipotesis pada uji Lagrange Multiplier untuk ketiga model di atas adalah
sebagai berikut:yaitu:

1. Model Spatial Autoregressive (SAR)


H 0 : ρ=0 (Tidak ada ketergantungan lag spasial)
H 1 : ρ≠ 0 (Ada ketergantungan lag spasial)
Statistik Uji :
22

2
ε'W y

LM lag=
[ ]
ε'ε
N
D
D=¿
2. Model Spatial Error (SEM)
H 0 : λ=0(Tidak ada ketergantungan galat spasial)
H 1 : λ ≠0 ( Ada ketergantungan galat spasial)
Statistik uji:
2
ε'W y

LM error =
[ ]
ε'ε
N
tr (W ' W +WW )

Dengan ε adalah vektor galat dari model regresi klasik berukuran nx1,W adalah
matriks pembobot spasial berukuran n x n, ^β merupakan parameter yang diduga dan
diperoleh dari hasil regresi klasik, dan σ^ 2 adalah kuadrat tengah galat dari hasil
regresi klasik, I adalah matriks identitas,serta tr menyatakan operasi teras matriks
yaitu penjumlahan elemen diagonal suatu matriks. Kriteria penolakan H 0, jika
2
statistik LM lebih besar dari χ ( p) dengan p banyaknya peubah spasial, atau dengan p-
value < α (Anselin,2009).

2.13 Uji Signifikansi Parameter

Menurut Anselin (1998), uji wald digunakan untuk menguji signifikansi parameter di
dalam sebuah model. Hipotesis yang digunakan yaitu:
i. H 0 : ρ=0 (parameter spasial lag tidak signifikan)
H 0 : λ=0 (parameter spasial error tidak signifikan)
H 0 : β p =0 (parameter variael independen ke-p tidak signifikan)
23

ii. Statistik Uji yang digunakan yaitu:


ρ^
Wald=
Se( ρ^ )

Wald=
^
Se( λ)
β^ p
Wald=
Se( β^ p )
iii. H 0dapat ditolak apabila nilai ¿ Wa ld∨¿ Z α / 2

2.13 Ukuran Kebaikan Model

Ukuran kebaikan model regresi baik model regresi klasik maupun model regresi
spasial dalam penelitian ini adalah Akaike Information Criterion (AIC). Jika nilai
AIC suatu model lebih kecil dari model lainnya, model tersebut dikatakan lebih baik.
Persamaan untuk AIC adalah sebagai berikut:
AIC = –2 log (maximum likelihood) + 2p

dengan p adalah banyaknya parameter regresi (Akaike, 1974). Menurut metode AIC,
regresi terbaik adalah model regresi yang mempunyai nilai AIC terkecil.
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2019/2020, bertempat
di Jurusan Matematika,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung.

3.2 Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder tentang Produk
Domestrik Regional Bruto di Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2019 yang
diperoleh Badan Pusat Statistik (BPS).

3.3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini akan dikaji karakteristik model regresi spasial SARMA dengan
metode pendugaan parameter Maximum Likelihood Penduga (MLE). Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dala penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan model regresi spasial error.
25

2. Menduga parameter (𝛽,λ,σ 2) pada model Regresi spasial dengan menggunakan


metode MLE.
3. Memeriksa tak bias, ragam minimum (efisien), dan konsisten penduga parameter
pada model Regresi Spasial dengan MLE..
4. Identifikasi model SARMA melalui autokorelasi spasial dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
- Menentukan matriks pembobot spasial (W) menggunakan metode
persinggunan queen pada order yang lebih tinggi.
- Menghitung koefisien autokorelasi dari setiap tingkat spasial berdasarkan
fungsi autokorelasi spasial.
Beberapa model regresi SARMA dapat dibentuk dengan memperhatikan
koefisien autokorelasi yang signifikan.
5. Melihat efek spasial yaitu dengan menentukan nilai indeks moran dan uji
lagrange multiplier dan keragaman spasial dengan menggunakan uji Breusch-
Pagan.
6. Melakukan pemodelan regresi SARMA dengan tahapan sebagai berikut:
- Melakukan pendugaan parameter untuk model regresi SARMA dengan
maximum likelihood estimation (MLE).
- Pengujian signifikansi setiap parameter pada model regresi SARMA yang terpilih
menggunakan uji Wald.
7. Menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil yang diperoleh.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas tentang model regresi spasial error dan prosedur Maximum
Likelihood Estimation (MLE) untuk mengpenduga parameter pada model tersebut.

4.1 Penentuan Model Spatial Autoregressie Moving Average

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa model regresi spasial dibagi menjadi
model regresi spasial lag dan model regresi spasial error serta spatial autoregreesive
moving average. Pada bab ini akan membahas model regresi spasial yaitu spatial
autoregreesive moving average yang memperhitungkan spasial galat, sehingga
koefisien spasial lag dependen tidak diperhitungkan ( ρ=0). Adapun model regresi
spasial SARMA adalah sebagai berikut:
y= ρW 1 y + Xβ +u (4.1)
u=λ W 2 u +ε (4.2)
u=(I −λ W 2)−1 ε
y= ρWy+ Xβ +( I −λW )−1 ε
ε N (0 , I σ 2)
Dengan ε N (0 ,σ 2 I ) dan tidak ada autokorelasi. Sehingga rumus umum dari regresi
spasial SARMA adalah sebagai berikut:
y= ρWy+ Xβ +( I −λW )−1 ε
Dimana:
Y = vektor peubah dependen berukuran n x 1
27

X = matriks yang berisi p perubah independen berukuran n x p


β = vektor koefisien parameter regresi p x 1
ρ = parameter koefisien spasial lag variabel dependen
λ = koefisien autoregresi spasial galat
u = vektor galat yang diasumsikan mengandung autokorelasi berukuran n x 1
W 1 , W 2= matriks bobot spasial galat peubah dependen erukuran n x n
n = banyaknya pengamatan
p = banyaknya parameter pengamatan
ε = vektor error yang tidak mengalami autokorelasi
Sehingga bentuk umum persamaan regresi spasial SARMA dapat dinyatakan dengan
matriks berikut:
−1
Y1 ρ1 w11 w12 ⋯ w1 n Y 1 x 11 x 12 ⋯ x1 p β 1 w 11 w12 ⋯ w 1 n Y1

[ ] [ ][
Y 2 = ρ2 w21 w22 ⋯

Yn
⋮ ⋮ ⋮
ρ p w n 1 w n2 ⋯
⋯ ⋮ ⋮
][ ] [
n2 n Y 2 + x 21

wnn Y n x n1

x 22 ⋯

xn 2 ⋯

][ ] ( [
x2 p β 2 + I −λ
⋮ ⋮
xnp β p
w21 w22 ⋯ n2 n
⋮ ⋮ ⋯ ⋮
wn 1 w n 2 ⋯ wnn
]) [ ]
+ Y2

Yn

4.2 Penenentukan Fungsi Log-Likelihood Model Spatial Autoregressive Moving


Average

Penduga parameter model regresi SARMA,ditentukan melalui persamaan Spatial


Autoregressive Moving Average yang terlebih dahulu dibentuk menjadi:
y= ρW 1 y + Xβ +u
y− ρW 1 y= Xβ+u

( 1− ρW 1 ) y =Xβ+u
Ay=Xβ+ u dimana A=1−ρ W 1 (4.3)
28

Dan persamaan (4.2) dibentuk menjadi persamaan sebagai berikut:


u=λ W 2 u +ε
u−λ W 2 u=ε

( I −λ W 2 ) u=ε
Bu=ε dimana B=I −λ W 2 (4.4)
u=(I −λ W 2)−1 ε (4.5)
Dimana matriks varian kovarian error adalah
E [ ε T ε ] =Ω (4.6)
ε merupakan galat error yang diasumsikan memiliki rata-rata nol dan ragam Ω yang
masing-masing elemen berdiagonal σ 2, sehingga ditransformasikan dalam bentuk
persamaan normal baku v N (0,1) dengan elemen diagonalnya bernilai 1. Adapun
transformasi persamaan linear adalah sebagai berikut:
Maka persamaan (4.5) diubah dalam model berikut:
v=Ω1 /2 ε (4.7)
Diperoleh vektor galat acak v N (0,1), sehingga vektor error u pada persamaan (4.5)
menjadi:
u=B−1 Ω1 /2 v (4.8)
Dengan substitusi (4.8) pada persamaan (4.3) maka diperoleh:
Ay=Xβ+ B−1 Ω1 /2 v atau dapat ditulis
−1
2
Ω B ( Ay−Xβ )=v (4.9)

E [ v T v ] =I
Transformasi dari peubah acak V menjadi peubah acak Y dilakukan melalui
pendekatan metode Jacobian:

J=det ⁡ ( ∂∂ vy )
∂ ( Ay Ω−1 /2 B−Xβ Ω−1/ 2 B )
¿ det ( ∂y )
29

∂ ( Ay Ω−1/ 2 B ) ∂ ( Xβ Ω−1 /2 B )
¿ det (( ∂y )(−
∂y ))
¿ det ( Ω−1 /2 BA )−0
30

Sehingga menjadi
¿ det ( Ω−1 /2 BA )

det ( ∂∂ vy )=¿ Ω −1/ 2


BA∨¿ Ω−1/ 2∨B∨¿ A∨¿ (4.10)

Berdasarkan sebaran normal baku gabungan pada vektor error v, maka fungsi log-
likelihood untuk gabungan vektor observasi y diperoleh sebagai berikut:
−1 T
n −1
(( Ay −Xβ ) B Ω )
( 1
)
2
(( Ay −Xβ ) B Ω−1/2)
L ( y| β , 1 )=∏ ye 2
i =1 √2 π
Fungsi likelihood (L) didefinisikan sebagai fungsi kepadatan bersama dari random
error. Ketika random error diasumsikan independent, maka distribusi peluang dari
Y i terhadap β dan σ 2 merupakan hasil dari fungsi tersendiri (marjinal), dimana
i=1,2,3 , … , n, yang dirumuskan sebagai berikut:
n −1
1 (( Ay− Xβ ) T BT Ω−1 B (Ay− Xβ) )
¿∏
i=1
( √2 π
ye 2
)
n −1
1
[ ]
¿¿
2
¿ ye
√2π
−1
1 2
( Ay− Xβ ) T BT Ω−1 B (Ay −Xβ )
¿ n
ye (4.11)
2
(2 π )
Selanjutnya persamaan (4.11) diubah ke dalam fungsi log-likelihood sebagai berikut:
−1
1
T T −1
( Ay− Xβ ) B Ω B (Ay −Xβ )
2
lnL ( β , σ | y )=ln
( (2 π ) σ
n
2
n
2
ye 2

)
−1
(Ay −Xβ )T BT Ω−1 B(Ay −Xβ )
−n
+ ln y+ln e 2
2
¿ ln ⁡(2 π )
−1 −1
Substitusi det ( )|∂v
∂y
= Ω 2 BA =Ω 2 |B||A| |
n −1
¿− ln ( 2 π )+ ln Ω−1/ 2∨B∨¿ A∨ ( Ay− Xβ )T BT Ω−1 B( Ay−Xβ)
2 2
n −1
¿− ln ( 2 π )+ ln Ω−1/ 2 +ln ∨B∨+ln ∨A∨ ( Ay−Xβ )T B T Ω−1 B( Ay− Xβ)
2 2
31

n 1 −1
¿− ln ( 2 π )− lnΩ+ ln∨B∨+ ln∨ A∨ ( Ay− Xβ )T BT Ω−1 B( Ay−Xβ) (4.12)
2 2 2
32

Dimisalkan vT v=( Ay−Xβ )T B T Ω−1 B ( Ay−Xβ ) merupakan jumlah kuadrat error

−1
|
dengan syarat determinan dari matriks Jacobian terpenuhi yakni Ω 2 AB >0, atau |
secara parsial memenuhi syarat sebagai berikut:
|I −ρ W 1|> 0
|I −ρ W 2|> 0
∑ ¿0,∀i
ii

Model regresi ini melibatkan spasial error, dengan asumsi bahwa A=1− ρW 1 dan
Ω=σ 2 I , sehingga bentuk log-likelihood pada persamaan (4.8) menjadi:
n 1 1
¿− ln ( 2 π )− lnΩ+ ln|B|+ ln | A|− ( Ay− Xβ )T BT Ω−1 B ( Ay−Xβ )
2 2 2
n 1 1
¿− ln ( 2 π )− lnΩ+ ln|B|+ ln | A|− ( Ay− Xβ )T BT Ω−1 B ( Ay−Xβ )
2 2 2
n 1 1 −1
¿− ln ( 2 π )− ln ( σ 2 I ) + ln |B|+ln | A|− ( Ay −Xβ )T BT ( σ 2 I ) B ( Ay−Xβ )
2 2 2
n 1 1
¿− ln ( 2 π )− ln ( σ 2 I ) + ln |B|+ln | A|− 2 ( Ay −Xβ )T BT B ( Ay− Xβ ) (4.13)
2 2 2σ
(Lessage,1999)

4.3 Penduga Parameter Model SARMA

Metode maksimum likelihood, sesuai dengan namanya, metode ini terdiri atas
penduga dari parameter-parameter yang tidak diketahui dalam perilakunya bahwa
probabilitas dalam mengobservasi variabel Y yang telah ditentukan ini dilakukan
setinggi mungkin. Oleh karena itu, untuk mendapatkan penduga dengan metode
maksimum likelihood yaitu memaksimumkan persamaan tersebut terhadap parameter
yang akan dicari dengan menurunkan fungsi terhadap parameter.
33

4.3.1 Penduga Parameter β SARMA

Penduga parameter β diperoleh dengan cara menurunkan persamaan (4.13) terhadap


β sebagai berikut:
∂¿¿
¿∂¿¿
T T
1 ( Ay−Xβ ) B B( Ay− Xβ)
¿ 0+0+ 0+0−
2 σ2 ∂( β)T
T T T T T
1 ∂ [ ( A y − X β ) B B( Ay− Xβ) ]
¿− 2
2σ ∂(β )T
T T T T T T T T T T T T
1 ∂( A y B BAy−β X B BAy− A y B BXβ+ β X B BXβ)
¿−
2 σ2 [ ∂(β)T ]
1
¿− ¿
2 σ2
T T T T T T T T T T T T
1 ∂( A y B BAy−β X B BAy−β X B BAy+ β X B BXβ)
¿−
2 σ2 [ ∂(β)T ]
T T T T T T T T T
1 ∂( A y B BAy−2 β X B BAy+ β X B BXβ)
¿−
2 σ2 [ ∂(β)T ]
1
¿− 2
[ −2 X T B T BAy + X T BT BXβ +( β T X T BT BX )T ]

1
¿− 2
[− 2 X T BT BAy+ X T BT BXβ + X T BT BXβ ]

1
¿− 2
[−2 X T B T BAy +2 X T B T BXβ ]

1
¿− 2
[ −2 ( X T BT BX )−1 X T BT BAy+ 2 ( X T B T BX )−1 X T BT BXβ ]

1 −1
¿− 2
[−2 ( X T BT BX ) X T BT BAy+ 2 β ]

1
¿ 2
[ ( X T BT BX )−1 X T BT BAy−β ]

Dengan menyamakan hasil turunan tersebut dengan nol diperoleh
34

−1
β=( X T B T BX ) X T BT BAy
Sehingga penduga β adalah sebagai berikut:
^β=b ML =( X T BT BX )−1 X T BT BAy (4.14)
Penduga (4.14) merupakan penduga yang bersifat umum. Oleh karena itu, dilakukan
substitusi B=I −λ W 2dimana W 2 yang merupakan matriks bobot yang menyatakan
adanya autokorelasi spasial. Sehingga persamaan (4.14) diubah menjadi:
^β=(X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) Ay

Sehingga penduga β adalah sebagai berikut:


−1
^β= ( X T −λ W 2 X T )T ( X−λ W 2 X )
[ ] T
( X T − λW 2 X T ) ( I −λ W 2 ) Ay

4.3.2 Penduga Parameter σ 2 SARMA

Penduga parameter varian σ 2 diperoleh dengan cara menurunkan persamaan (4.13)


terhadap σ 2 sebagai berikut:

∂ ( lnL ( β , σ 2∨ y ) )
∂ σ2
¿∂¿¿
n 1

¿
[
∂ −( ) lnσ 2− 2 ( Ay−Xβ)T BT B( Ay−Xβ)
2 2σ ]
∂ σ2
n 1
¿− 2
+ ( Ay−Xβ)T BT B( Ay−Xβ)
2 2
2 σ 2 (σ )

−n σ 2 +( Ay− Xβ)T BT B( Ay− Xβ)


¿ 2
2 (σ2)
T T
n σ 2 ( Ay−Xβ) B B( Ay−Xβ)
=
n σ2 2σ 4
2 σ4 . n σ2 T T
4
=( Ay−Xβ) B B( Ay−Xβ)

35

1
σ 2= ( Ay− Xβ)T BT B( Ay− Xβ)
n
Sehingga penduga parameter σ 2 adalah sebagai berikut:
1
σ^ 2= ( Ay− Xβ)T BT B( Ay− Xβ) (4.15)
n
Var ( ε )=E ¿
Penduga σ 2 (4.15) merupakan penduga yang bersifat umum. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan penduga σ 2dari masing-masing lokasi dilakukan substitusi B=I −λ W 2
dimana W 2 yang merupakan matriks bobot yang menyatakan adanya autokorelasi
spasial. Sehingga diperoleh:
1
σ^ 2= ( Ay− Xβ)T BT B( Ay− Xβ)
n
1
σ^ 2= ( Ay− Xβ)T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) ( Ay−Xβ)
n
1 T
σ^ 2= ( ( I − λW 2 ) ( Ay−Xβ) ) ( I −λ W 2 ) ( Ay−Xβ)
n
Sehingga penduga σ 2 adalah sebagai berikut:
1 T
σ^ 2ML = ( ( I −λ W 2 ) ( Ay−Xβ) ) ( I − λ W 2 ) ( Ay−Xβ) (4.16)
n

4.3.3 Penduga Parameter λ SARMA

Parameter λ merupakan koefisien autoregressive pada spasial lag pada error,


sehingga perlu untuk dilakukan penduga. Adapun tahap-tahap dari penduga λ adalah
sebagai berikut:
Pertama, akan dilakukan estimasi pada β yang merupakan fungsi matriks yang
terdapat koefisien λ.
∂ ( lnL ( β , σ 2 , λ∨ y ) )
∂B
¿∂¿¿
36

1 1.2
¿ 0−0+ +0− 2 ( Ay−Xβ)T BT (Ay− Xβ)
B 2σ
1 1
= ( Ay−Xβ)T BT ( Ay− Xβ)
B σ2
σ2 T T
=( Ay− Xβ) B ( Ay−Xβ)
B
σ 2 T−1 T T T−1
B =( Ay−Xβ ) B B ( Ay −Xβ)
B
σ2 T T T−1
2
=( Ay −Xβ) B B ( Ay−Xβ )
B
2
σ T
=( Ay −Xβ) ( Ay− Xβ)
B2
2 σ2
B=
( Ay−Xβ)T ( Ay−Xβ)

σ2
B=
√ T
( Ay−Xβ) (Ay −Xβ)
Sehingga penduga ^B adalah

σ2
^B=
√ T
( Ay−Xβ) (Ay −Xβ)
Karena λ merupakan koefisien pembobot, maka nilainya ditentukan dari data
pengamatan.

4.3.4 Penduga Parameter Kovarian Ω

Pada model regresi spasial error juga terdapat varian kovarian error yang dimisalkan
dengan Ω. Penduga parameter kovarian ditentukan melalui persamaan (4.13) yang
terlebih dahulu dibentuk menjadi:
−n n n n 1
L= lnπ − ln Ω+ ln|B|+ ln | A|− ( Ay−Xβ) BΩ−1 BT ( Ay− Xβ)T
2 2 2 2 2
Selanjutnya fungsi likelihood dideferensialkan terhadap Ω,
37

∂ ( lnL ( B , Ω∨ y ) )
=
∂ (−n2 lnπ− n2 lnΩ+ n2 ln|B|+ n2 ln|A|− 12 ( Ay− Xβ)B Ω
−1
B T ( Ay−Xβ)T )
∂(Ω) ∂(Ω)
n 1
¿ 0− +0+ ( Ay−Xβ)B BT ( Ay− Xβ)T
2Ω 2Ω 2

n 1
¿− + 2 ( Ay−Xβ ) B B T ( Ay− Xβ )T
2Ω 2Ω
n 1
= ( Ay−Xβ ) B BT ( Ay− Xβ )T
2Ω 2 Ω 2

2Ω 2 1 ( T T
= Ay− Xβ ) B B ( Ay−Xβ )
2Ω n
Sehingga penduga kovarian errornya adalah

^ = 1 ( Ay −Xβ ) B BT ( Ay−Xβ )T
Ω atau (4.17)
n

^ = 1 e ML B BT dimana
Ω e ML =( Ay−X β ML )
n
Hasil penduga (4.17) merupakan penduga global, sehingga harus dicari penduga
kovarian dari setiap lokasi pengamatan. Untuk mendapatkan penduga Ω dari setiap
lokasi maka digunakan persamaan (4.4), sehingga diperoleh persamaan sebagai
berikut:
B=I −λ W 2

^ = 1 ( Ay−Xβ )(I −λ W 2 )(I −λ W 2)T ( Ay−Xβ)T



n
Sehingga penduga kovarian error adalah
^ Ay−Xβ)(I − λ W 2) ( ( Ay−Xβ ) ( I − λ W 2 ) )T
Ω=( (4.18)

4.4 Sifat-Sifat Penduga Parameter Model Spatial Autoregressive Moving Average

Penduga yang baik adalah penduga yang mendekati nilai parameter sebenarnya. Ciri-
ciri penduga yang baik adalah tidak bias, efisien, dan konsisten.
38

Maka, akan dibuktikan bahwa penduga parameter SARMA memenuhi sifat-sifat


penduga parameter yang baik.

4.4.1 Sifat Penduga Parameter β SARMA

Penduga ^β dikatakan penduga unbias jika E ( ^β )= β. Akan dibuktikan:


−1
E ( ^β )=( X T (I −λ W 2 )T (I −λ W 2) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2) Ay
−1
¿ ( X T (I −λ W 2)T (I −λ W 2) X ) X T ( I − λW 2)T (I −λ W 2 ) AE ( y )
−1
¿ ( X T (I −λ W 2)T (I −λ W 2) X ) X T (I − λW 2)T ( I −λ W 2 ) AXβ
¿ Iβ
¿β
Sehingga tebukti bahwa ^β merupakan penduga unbias.
Setelah didapatkan sifat unbias maka selanjutnya akan dibuktikan sifat efisien, suatu
penduga dikatakan efisien jika penduga tersebut memiliki variansi yang terkecil, akan
dibuktikan:
^β EGLS =( X T (I −λ W 2)T (I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I − λ W 2)T (I −λ W 2 ) Ay
−1
¿ ( X T (I −λ W 2)T (I −λ W 2) X ) X T (I − λW 2)T ( I −λ W 2 ) A ( Xβ +u )

−1 −1
¿ ( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) A ( Xβ ) + ( X T ( I −λ W 2) T ( I −λ W 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 )T
−1
¿ β + ( X T ( I − λ W 2 )T ( I −λ W 2) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) Au

maka
cov ( β^ EGLS ) =E ( ^β EGLS −E ( β^ EGLS ) )( ^β EGLS −E ( β^ EGLS ) )

¿ E ( β^ EGLS−β )( β^ EGLS−β )
−1
¿ E ( X T ( I −λ W 2 )T ( I − λW 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) Au x
( )
T −1 T T
T
(( X ( I −λ W 2) ( I −λ W 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) Au )
39

−1
¿ E ( X T ( I −λ W 2 )T ( I − λW 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) Au x
( )
T T T T −1
(u ( I − λ W 2 ) ( I −λ W 2) X ( X ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) AX ) )
−1
¿ E ( X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 )T ( I − λW 2 ) Ax
−1
uT u ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X ( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) AX )

¿( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) Ax
−1
E(u T u) ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X ( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) AX )
T
{
Karena E ( ut u )=E (( I − λW 2 ) ε ) ( ( I −λ W 2) A ) ε
−1 −1
}
¿( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) x
T T
{ −1 −1
}
E ( I −λ W 2 ) ε ( ( I −λ W 2 ) ε ) ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) x
T
X ( X T ( I −λ W 2) ( ( I −λ W 2) A ) X)
−1

¿( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) x

E {( I −λ W 2 )−1 ε ε T ( I − λ W 2 )−1T } ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) x
T
X ( X T ( I −λ W 2) ( ( I −λ W 2) A ) X)
−1

¿( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) x
T
( I −λ W 2 ) E ( εεT ) ( I − λ W 2 ) ( I −λ W 2) ( I −λ W 2 ) x
−1 −1T

T
X ( X T ( I −λ W 2) ( ( I −λ W 2) A ) X)
−1

¿( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 ) x
−1 2 −1T T
( I −λ W 2 ) σ I ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) x
T
X ( X T ( I −λ W 2) ( ( I −λ W 2) A ) X)
−1

¿ σ 2 ( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 X T ( I −λ W 2 )T ( I − λ W 2 )
−1 −1T T
( I −λ W 2 ) ( I − λ W 2 ) ( I −λ W 2) ( I −λ W 2 ) x
T
X ( X T ( I −λ W 2) ( ( I −λ W 2) A ) X)
−1

¿ σ 2 ( X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X )−1 ¿
40

T T −1
( I −λ W 2 ) X ¿ (X ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) X )
T
¿ σ 2 ( X T ( I −λ W 2 ) ( ( I −λ W 2 ) A ) X )
−1

T
Sehingga va r ( β^ ) =σ 2 ( X T ( I −λ W 2 ) ( I − λ W 2 ) X ) harus sekecil mungkin agar ^β
−1

efisien.

y−^y T
lim var ( β^ ) =lim σ 2 (X T ( I −λ W 2 )T ( ( I − λ W 2 ) A ) X ) =lim (X ( I − λW 2 )T ( ( I − λW 2 ) A ) X ) =¿ 0 ¿
−1 −1

n→∞ n →∞ n → ∞ n− p

. Sehingga dapat dikatakan bahwa ^β merupakan penduga yang konsisten.


4.4.2 Sifat Penduga Parameter σ 2 SARMA

Penduga σ^ 2 dikatakan penduga unbias parameter σ 2 jika E ( σ^ 2) =σ 2 . Akan dibuktikan:


1
σ^ 2= ( Ay −Xβ )T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) ( Ay−Xβ )
n
1
E ( σ^ 2) = E ¿ ¿
n
T
( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) ¿
( ( I −λ W 2 )T ( I − λW 2 ) Ay )
1
¿ E¿
n
T
( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) Ay ¿ ¿
1
¿
n
[
E ( I −λ W 2 )T ( A T y T −( ^
A T ) ( ^y T ) ) ( I −λ W 2 ) ( Ay−( ^
A T ) ( ^y T ) ) ]
Persamaan model linear spasial penduga untuk setiap pengamatan adalah sebagai
berikut:
y= Xβ
T −1 T
[
¿ X T ( X T ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) X ) ( I − λW 2 ) ( I −λ W 2 ) Ay ] (4.19)

Dari persamaan (4.19) dapat diperoleh:


u=Ay− ^
A ^y
Sehingga
41

1
¿
n
[
E ( I −λ W 2 )T ( A T y T −( ^
A T ) ( ^y T ) ) ( I −λ W 2 ) ( Ay−( ^
A T ) ( ^y T ) ) ]
1
¿ ( I −λ W 2 )T E ( uT u ) ( I −λ W 2) (4.20)
n
berdasarkan persamaan (4.20) diperoleh:
T
T
{ −1
E [ u u ]=E [ ( I −λ W 2 ) ε ][ ( I −λ W 2 ) ε ]
−1
}
1 T
¿ ( I −λ W 2 )T E [ ( I −λ W 2 )−1 ε ] ( I −λ W 2) E [ ( I − λW 2 )−1 ε ]
n
1 T
¿ ( I −λ W 2 )T [ ( I −λ W 2)−1 E ( ε ) ] ( I −λ W 2 ) [ ( I − λ W 2 )−1 E ( ε ) ]
n
1
¿ E [ εε T ]
n
1
¿ σ2I
n
1
¿ σ 2ε
n
Karena E( σ^ 2)≠ σ maka penduga tersebut dikatakan penduga bias sehingga E( σ^ 2)
memuat autokorelasi spasial.

4.4.3 Sifat Penduga ^B SARMA

Penduga ^B merupakan matriks yang didalamnya terdapat pembobot W 2 dan koefisien


bobot. Adapun sifat dari B adalah sebagai berikut:

^B=E
[√ σ2
( Ay−Xβ )¿T
( Ay− Xβ) ¿
]
^B=E ¿

^B=E
[√ σ2
( Ay− Ay )T ( Ay−Ay ) ]
42

Persamaan model linear spasial penduga untuk setiap pengamatan ke-I ( ^y i ) adalah
sebagai berikut:
^y = X ^β

¿ X T [ ( X T BT BX ) X T B T BAy ]
−1
(4.21)
Dari persamaan (4.21) dapat diperoleh:
u=Ay− ^
Ay

Sehingga

^B=E
[√ ] σ2
uT u

σ2
^B=E
√ E ( uT u )
(4.22)

Berdasarkan persamaan (4.22) diperoleh:


T
T
{ −1
E [ u u ]=E [ ( I −λ W 2 ) ε ][ ( I −λ W 2 ) ε ]
−1
}
Maka

σ2
^B=
√ {
E [ ( I −λ W 2 )−1 ε ][ ( I −λ W 2 )−1 ε ]
T
}
σ2
^B=
√{ 2
−1
2
−1 T
[ ( I −λ W ) ][ ( I −λ W ) ] E [ ε ε ]} T

σ2
^B=
√{ [ ( I −λ W ) ][ ( I −λ W ) ] σ }
2
−1

1
2
−1 T 2

^B=
√{ [ ( I −λ W ) ][ ( I −λ W ) ] }
2

^B= ( I −λ W 2 )( I − λ W 2 )T
−1
2
−1 T


43

^B= ( I −λ W 2 )2

^B=( I − λ W 2 )
^B=B
Sehingga terbukti bersifat unbias.

4.4.4 Sifat Penduga Parameter Ω Regresi SARMA

Penduga Ω dikatakan penduga yang unbias jika E ( Ω


^ ) =Ω. Akan dibuktikan:

^ ) = 1 E Ay −X ( [ X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) X ] X T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) Ay)
−1
E (Ω
n { }

−1 T
T T
( T T T
( I −λ W 2 )( I − λW 2 ) Ay−X ([ X ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) X ] X ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) Ay ) )
1
¿
n
[ A ) ( ^y ) ) ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 )T ( A T y T −( ^
E ( Ay− ( ^ AT )( ^y T ) ) ]
Persamaan model linear spasial penduga untuk setiap pengamatan ke-i ( ^y i ) adalah
sebagai berikut:
^y = X ^β
T −1 T
[
¿ X T ( X T ( I −λ W 2 ) ( I −λ W 2 ) X ) X T ( I −λ W 2 ) ( I − λW 2 ) Ay ] (4.23)

Dari persamaan (4.23) dapat diperoleh:


u=Ay− ^
A ^y
Sehingga
1
¿
n
[
E ( I −λ W 2 )T ( A T y T −( ^
A T ) ( ^y T ) ) ( I −λ W 2 ) ] (4.24)

Berdasarkan persamaan (4.24) diperoleh:


T
T
{ −1
E [ u u ]=E [ ( I −λ W 2 ) ε ] [ ( I −λ W 2 ) ε ]
−1
}
Sehingga
44

1 T
¿ ( I −λ W 2 )T E [ ( I −λ W 2 )−1 ε ] ( I −λ W 2) E [ ( I − λW 2 )−1 ε ]
n
1 T
¿ ( I −λ W 2 )T [ ( I −λ W 2)−1 E ( ε ) ] ( I −λ W 2 ) [ ( I − λ W 2 )−1 E ( ε ) ]
n
1
¿ E [ εT ε ]
n
1
¿ σ2I
n
1
¿ σ2
n
^ ) ≠ Ω maka penduga tersebut dikatakan penduga bias sehingga E ( Ω
KarenaE ( Ω ^)

memuat autokorelasi spasial.

4.5 Penerapan Spatial Autoregressive Moving Average pada data Produk


Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ariael dependen dipengaruhi oleh
variabel-variabel independen, yang kemudian melihat apakah ada keterkaitan spasial
antar variabel dependen. Data uang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Lampung tahun
2019.
Setiap data di bentuk dalam data cross setion, yang terdiri dari 15 Kaupaten/Kota di
Lampung. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk variabel dependen serta Jasa Pendidikan,
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, Jasa Perusahaan sebagai variabel independen.

Tabel 4.1 Data Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung


45

Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2010


Kabupaten/Kota
2017 2018 2019
Lampung Barat 4509536.36 4741247.68 4987664.34
Lampung Selatan 27359.53 28797.84 30277.17
Lampung Tengah 43107.05 45456.32 47937.7
Lampung Timur 27496.84 28535.98 29635.03
Lampung Utara 14882707.02 15675555.48 16515.06
Mesuji 6320.64 6656.01 7008.1
Pesawaran 10336.51 10863.52 11408.41
Pesisir Barat 2795953.71 2945567.95 3104316.4
Pringsewu  0  0  7371613.8
Tanggamus 9858.64 10353.18 10874.1
Tulang Bawang Barat 7078.1 7464.8 7866.5
Tulang Bawang 14242.03 15023.25 15847.23
Way Kanan 8654.3 9105.19 9577.8
Bandar Lampung 34921.08 37089.49 39405.27
Metro 3865.01 40484.82 4314.15
46

Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukan bahwa PDRB di Provinsi Lampung tahun


2019 telah tergolong mengalami peningkatan. Namun, beberapa Kabupaten/Kota
tergolong pada tingkat rendah. Selain menggunakan tabel di atas, untuk melihat
gambaran peningkatan PDRB di Provinsi Lampung dapat dilihat dengan gambaran
peta tematik. Peta tematik di klasifikasikan menjadi 3 bagian warna sebagai berikut:

Gambar 4.1 Peta Persebaran PDRB di Provinsi Lampung


Keterangan:

= rendah

= sedang

= tinggi
47

Dimana
1 Tulang Bawang 11 Lampung
. Barat 6. Pesisir Barat . Selatan
2 12
. Bandar Lampung 7. Way Kanan . Lampung Barat
3 13
. Pesawaran 8. Mesuji . Pringsewu
4 14
. Lampung Utara 9. Metro . Tulang Bawang
5 10 Lampung 15 Lampung
. Tanggamus . Tengah . Timur

Berdasarkan Gambar 4.1 Dapat kita lihat bahwa terdapat 12 wilayah yang tergolong
kedalam klasifikasi rendah meliputi Kabupaten/Kota Tulang Baang Barat, Bandar
Lampung, pesawaran, Lampung Utara, Tanggamus, Way Kanan, Mesuji, Metro,
Lampung Tengah, Lampung Selatan, Tulang Bawang, dan Lampung Timur. 2
wilayah berada pada klasifikasi sedang meliputi Kabupaten/Kota Lampung Barat dan
Pesisir Barat,serta 1 wilayah klasifikasi tinggi meliputi Kabupaten/Kota Pringsewu
pada tahun 2019.

4. 6 Menentukan Matriks Pembobot Spasial

Pengaruh spasial yang terdapat dalam model direpresentasikan oleh matriks


pembobot spasial (W). Matriks pembobot spasial digunakan untuk menggambarkan
kedekatan antar wilayah satu dengan lainnya. Matriks ini berukuran n × n dengan n
adalah banyaknya lokasi amatan. Matriks pembobot spasial merupakan matriks
simetris dengan diagonal utama selalu bernilai nol (LeSage, 1997). Selain itu,menurut
Koesfeld (2006), Matriks pembobot spasial (W) adalah matriks biner n x n yang
entrinya adalah 0 atau 1. Matriks pembobot spasial terbagi menjadi rook contiguity,
bishopcontiguity, dan queen contiguity. Berikut adalah gambaran kedekatan wilayah
di Provinsi Lampung menggunakan matriks pembobot spasial dengan pendekatan
queen contiguity:
48

0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0

[ ]
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0
1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0
0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
W ij = 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1
0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0

Pada matriks diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah bertetangga di beri bobot 1 dan
wilayah tidak bertetangga di beri bobot nilai 0. Berikut adalah gambaran kedekatan
wilayah di Provinsi Lampung menggunakan tabel dengan pendekatan queen
contiguity:

Tabel 4.2 Tetangga Setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung dengan queen


contiguity:

Kabupaten/Kota yang
No. Kabupaten/Kota Jumlah Tetangga
bertetangga
Lampung Utara, Way Kanan,
1 Tulang Bawang Barat 5 Mesuji, Lampung Tengah,
Tulang Bawang
2 Bandar Lampung 2 Pesawaran, Lampung Selatan
Bandar Lampung, Tanggamus,
3 Pesawaran 5 Lampung Tengah, Lampung
Selatan, Pringsewu
Tulang Bawang Barat, Way
4 Lampung Utara 4 Kanan, Lampung Tengah,
Lampung Barat
49

Pesawaran, Pesisir Barat,


5 Tanggamus 5 Lampung Tengah, Lampung
Barat, Pringsewu
6 Pesisir Barat 2 Tanggamus, Lampung Barat
Tabel 4.2 Tabel Lanjutan

Kabupaten/Kota yang
No. Kabupaten/Kota Jumlah Tetangga
bertetangga
Tulang Bawang Barat, Lampung
7 Way Kanan 3
Utara, Lampung Barat
Tulang Bawang Barat, Tulang
8 Mesuji 2
Bawang
Lampung Tengah, Lampung
9 Metro 2
Timur

Tulang Bawang Barat,


Pesawaran, Lampung Utara,
Tanggamus, Metro, Lampung
10 Lampung Tengah 10
Selatan, Lampung Barat,
Pringsewu, Tulang Bawang,
Lampung Timur

Bandar Lampung, Pesawaran,


11 Lampung Selatan 4 Lampung Tengah, Lampung
Timur
Way Kanan, Lampung Utara,
12 Lampung Barat 5 Pesisir Barat, Tanggamus,
Lampung Tengah
Tanggamus, Lampung Tengah,
13 Pringsewu 3
Pesawaran
Tulang Bawang Barat, Mesuji,
14 Tulang Bawang 4 Lampung Tengah, Lampung
Timur
Tulang Bawang, Metro,
15 Lampung Timur 4 Lampung Selatan, Lampung
Tengah

4.7 Analisis Regresi dan Uji Asumsi Klasik


50

Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda terhadap produk domestik regional
bruto di 15 kabupaten di Provinsi Lampung diperoleh 3 variabel signifikan karena
masing-masing variabel memiliki nilai p-value<α. Variabel yang dimasukan
kedalam model yaitu Jasa Pendidikan, Jasa Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, Jasa
Perusahaan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selanjutnya akan
dilakukan uji asumsi klasik terhadap model regresi yang terbentuk. Adapun uji
asumsi klasik adalah sebagai berikut:

4.7.1 Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah nilai residual data berdistribusi
normal atau tidak. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan Anderson-
Darling normality Test:

Tabel 4.3 Uji Anderson-Darling normality Test:

Anderson-Darling normality test


p-value 0.3495

Berdasarkan tabel 4.3, diperoleh nilai p-value sebesar 0.3495. Selanjutnya, dengan,
H 0=¿ Galat berdistribusi normal dan H 1=¿ Galat tidak berdistribusi normal serta
nilai α= 0.05. Karena nilai p-value>α, maka dapat kita simpulkan bahwa tidak cukup
bukti untuk menolak H 0. Hal ini berarti residual atau galat dari data tersebut
berdistribusi normal.

4.7.2 Uji Heteroskedastisitas


51

Uji heteroskedastis merupakan uji yang digunakan untuk melihat homogen atau
tidaknya varians dari residual atau galat. Uji heteroskedastisitas dapat dilakukan
dengan mengunakan uji Bruesch-Pagan.

Tabel 4.4 Uji Bruesch-Pagan

studentized Breusch-Pagan test


BP 1.0644
df 1
p-value 0.3022

Berdasarkan tabel 4.4, dengan H 0 adalah ragam error bersifat homogen, H 1 ragam
error tidak homogen (heterogen) dan α =¿ 0.05, diperoleh nilai Bruesch-Pagan
sebesar 1.0644 dan p-value sebesar 0.3022. Karena p-value>α, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H 0, yang artinya tidak terjadi
heteroskedastisitas atau ragam galat homogen.

4.7.3 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi korelasi
antar galat pengamatan. Uji autokorelasi bertujuan untuk memenuhi asumsi
independen yang ada pada model regresi. Uji ini dilakukan dengan uji Moran’I.

Tabel 4.5 Uji Moran’I

Moran I p-value
0.3932657 0.001277
52

Berdasarkan tabel 4.5 dengan hipotesis H 0 adalah tidak ada autokorelasi, H 1 ada
autokorelasi dan selang kepercayaan α= 0.05, diperoleh nilai Moran’I sebesar
0.3932657 dan p-value 0.001277. Karena p-value<α , maka tolak H 0 artinya dapat
disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial. Terlihat pula nilai indeks moran
yaitu 0.393257. Nilai indeks moran berkisar antara -1 sampai dengan 1. Dimana jika
nilai indeks moran positif, maka menunjukan adanya autokorelasi positif.

Dari ketiga uji diatas, dapat disipulkan baha odel yang dibuat memenuhi seluruh
asumsi klasik yaitu asumsi kenormalan, kehomogenan, dan autokorelasi.

4.8 Efek Spasial

Pengjian efek spasial digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
spasial dari pengamatan. Pengujian efek spasial terbagi menjadi dua yaitu uji
dependensi spasial dan heterogenesis spasial.

4.8.1 Uji Dependensi Spasial

Uji dependensi spasial digunakan untuk menunjukan ada atau tidaknya autokorelasi
spasial atau ketergantungan spasial disuatu wilayah dengan wilayah lainnya yang
saling berdekatan. Uji dependensi spasial dapat dilakukan dengan dua cara yaitu nilai
Indeks Moran dan uji Lagrange Multiplier. Berikut ini merupakan tabel uji
dependensi spasial:

Tabel 4.6 Diagnostik Dependensi Spasial


53

UJI MI/db Nilai P-value


Moran''s I(error) -0.04 0.3932657 0.001277
Lagrange Multiplier(lag) 1 6.642323 0.009958
Robust LM(lag) 1 0.089338 0.76502

Tabel 4.6 Tabel Lanjutan

UJI MI/db Nilai P-value


Lagrange 8.37548 0.00380
1
Multiplier(error) 4 3
1.82249 0.17701
Robust LM(error) 1
9 6
Lagrange 8.46482 0.01451
2
Multiplier(SARMA) 2 7

Berdasarkan Tabel 4.6, dengan hipotesis H 0adalah tidak ada autokorelasi spasial, H 1
ada autokorelasi spasial dan selang kepercaaan α =0.05 diperoleh nilai indeks moran
sebesar 0.3932657 dan p-value 0.001277. karena nilai p-value<α,maka tolak H 0, yang
artinya terdapat autokorelasi spasial.

Akan tetapi,penggunaan indeks moran ini tidak benar-benar efektif untuk mendeteksi
ada atau tidaknya autokorelasi spasial data. Sehingga, perlu dilakukan uji dependensi
spasial yang lebih spesifik yaitu uji dependensi spasial terhadap lag,error atau
keduanya dengan menggunakan uji lagrange multiplier. Selanjutnya, dari uji
lagrange multiplier tersebut juga dapat diketahui model yang akan digunakan.

Berdasarkan tabel 4.6, dengan hipotesis H 0 adalah tidak ada autokorelasi lag atau
error, H 1 adalah ada autokorelasi lag atau error dan selang kepercayaan α =0.05,
diperoleh nilai uji lagrange multiplier lag sebesar 6.642323 dengan p-value sebesar
0.009958, karena nilai p-value<α maka tolak H 0 , maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat dependensi spasial terhadap lagnya.
54

Sedangkan nilai uji lagrange multiplier error diperoleh sebesar 8.375484 dengan p-
value 0.003803 , karena nilai p-value<α maka tolak H 0, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat dependensi spasial terhadap errornya. Sehingga, dari pengujian
lagrange multiplier lag dan error ini dapat disimpulkan bahwa kedua model regresi
spasial tersebut dapat digunakan atau signifikan. Artinya model regresi spasial ini
dapat dilanjutkan dengan menggunakan model Spatial Autoregressive Moving
Average.

Berdasarkan tabel 4.6, nilai uji lagrange multiplier (SARMA) diperoleh sebesar
8.464822 dengan p-value 0.014517 , karena nilai p-value<α maka tolak H 0, artinya
terdapat dependensi spasial terhadap lag (SARMA). Sehingga, dari pengujian
lagrange multiplier ini dapat disimpulkan bahwa model regresi spasial yang
digunakan adalah model Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA).

4.8.2 Uji Heterogenitas Spasial

Uji heterogenitas spasial digunakan untuk menunjukan keragaman galat antar lokasi
pengamatan. Uji Heterogenitas spasial dilakukan dengan menggunakan uji Bruesh-
Pagan.

Tabel 4.7 Uji heterogenis Spasial

studentized Breusch-Pagan test


BP 0.38918
df 1
p-value 0.5327
55

Berdasarkan Tabel 4.7, dengan hipotesis H 0 adalah ragam error bersifat homogen,
H 1 raga error tidak homogen dan α =0.005, diperoleh nilai Bruesch-Pagan sebesar
0.38918 dengan df sebesar 1 dan p-value 0.5327. Karena P-value>α, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H 0, yang artinya asumsi
kehomogenan variansinya tidak dilanggar atau varian dari residual homogen.

4.9 Model Spatial Autoregressive Moving Average

Berdasarkan hasil uji menggunakan lagrange multiplier terhadap lag dan error bahwa
semua model signifikan maka model yang tepat digunakan adalah spatial
autoregressie moving average (SARMA). Selanjutnya, akan dilakukan penduga
parameter model spatial autoregressive moving average sebagai beriktut:

Tabel 4.8 Penduga Parameter Model Spatial Autoregressive Moving Average

Variabel Koefisien Std. Error z-value p-value


Intercep
38.02312 38.02312 4.6388 0.00035
t
X1 0.124384 0.058481 2.1269  0.033428
X2 0.142849 0.056427 2.5316 0.011355
X3 -0.123741 0.040413 -3.062 0.002199
Rho -0.14689 0.38983 -0.3768 0.00367
Lambda 0.69352 0.23014 3.0135 0.002583

Tabel 4.8 , dengan H 0 adalah parameter model SARMA tidak signifikan dan H 1
parameter model SARMA signifikan dan selang kepercayaan α = 0.05, diperoleh
bahwa p-value dari masing-masing variabel yang digunakan signifikan. Karena
masing-masing variabel tersebut nilai p-value<α, maka dapat disimpulkan tolak H 0.
Hal ini berarti parameter model SARMA signifikan. Sehingga dapat dibentuk model
SARMA sebagai berikut:
56

n n
Y =38.02312−0.14689 ∑ w ij y i +¿ 0.124 384 X 1 +0.142849 X 2−0.123741 X 3+ 0.69352 ∑ wij ε i ¿
j=1 ,i ≠ j j=1 ,i ≠ j

dengan :
X1 : Jasa Pendidikan
X2 : Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
X3 : Jasa Perusahaan

Berdasarkan model diatas akan diinterpretasikan apabila ketika X 1 naik sebesar 1


satuan maka jumlah nilai Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung
akan naik sebesar 0.124384, apabila X 2 naik sebesar 1 satuan maka jumlah nilai
Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung akan naik sebesar 0.142849,
apabila X 3 naik sebesar 1 satuan maka jumlah nilai Produk Domestik Regional Bruto
di Provinsi Lampung akan berkurang sebesar 0.123741. Selanjutnya Produk Domestik
Regional Bruto di Provinsi Lampung juga dipengaruhi oleh Kabupaten/Kota yang
saling bertetangga. Jika jumlah Produk Domestik Regional Bruto di setiap
Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung naik sebesar 1 satuan maka jumlah Produk
Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung akan berkurang sebesar 0.14689 dan
terdapat interaksi spasial sebesar 0.69352 pada error melalui persinggungan titik dan
sisi.

4.10 Uji Asumsi Regresi Spasial

Setelah diperoleh persamaan regresi spasial dengan SARMA, maka dilakukan uji
asumsi regresi spasial tersebut. Pengujian asumsi pada model SARMA meliputi uji
normalitas dan heteroskedastis.
57

4.10.1 Uji Normalitas

Uji normalitas regresi spasial dengan SARMA dapat dilakukan dengan uji Anderson-
Darling.
Tabel 4.9 Uji Anderson-Darling normality Test

Anderson-Darling normality test


A 0.55307
p-value 0.1388

Berdasarkan tabel 4.9 dapat dilihat bahwa diperoleh nilai Anderson-Darling sebesar
0.55307 dan p-value sebesar 0.1388 dengan H 0 adalah residual berdistribusi normal
dan H 1 residual tidak berdistribusi normal dan selang kepercayaan atau α =0.05.
Karena nilai p-value > , maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk
menolak H 0. Hal ini berarti residual dari data berdistribusi normal.

4.10.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas terhaap model SARMA dapat dilakukan dengan menggunakan


uji Breusch-Pagan:

Tabel 4.10 Uji Breusch-Pagan

studentized Breusch-Pagan test


BP 0.31097
df 1
p-value 0.5771
58

Berdasarkan tabel 4.10 dengan H 0 adalah keragaman antar wilayah sama dan H 1
keragaan antar wilayah tidak sama dan selang kepercayaan atau α =0.05, diperoleh
nilai Bruesch-Pagan sebesar 0.31097 dan p-value sebesar 0.5771. Karena nilai p-
value>α, maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H 0. Hal
ini berarti keragaman antar wilayah sama atau homogen.
59

4.11 Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan model regresi terbaik dapat dilakukan menggunakan nilai koefisien


determinasi ( R2 ) dan nilai Akaike’s Information Criterion (AIC). Apabila
menggunakan nilai koefisien determinasi maka semakin nilai R2 mendekati satu,
maka semakin tinggi pengaruhnya terhadap variabel respon. Sedangkan apabila
menggunakan nilai AIC, model regresi yang baik adalah model dengan nilai AIC
terkecil.

Tabel 4.11 Koefisien Determinasi dan nilai AIC

Uji Nilai
R Regresi Linear 0.999901
R2 Regresi Spasial 0.999922
AIC regresi linear 346.698
AIC regresi spasial 326.657

Berdasarkan Tabel 4.11, dapat dilihat aha nilai R2 model regresi spasial lebih besar
dibandingkan nilai R2 model regresi linear. Sedangkan nilai AIC odel regresi spasial
lebih kecil dibandingkan nilai AIC model regresi linear. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa jumlah nilai Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung tahun
2019 lebih baik di modelkan dengan model SARMA.
V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penduga parameter β dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation
(MLE) yaitu :
−1
^β= ( X T −λ W 2 X T )T ( X−λ W 2 X )
[ ] T
( X T − λW 2 X T ) ( I −λ W 2 ) Ay
Penduga β pada model SARMA merupakan penduga yang tak bias bagi β karena
nilai harapannya sama dengan parameternya, penduga β ragam yang minimum
atau efisien dan konsisten jadi untuk ^β dengan Maximum Likelihood Estimation
merupakan penduga yang tak bias terbaik.
2. Penduga parameter σ 2 dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation
(MLE) yaitu :
1
σ^ 2= ( Ay −Xβ )T ( I −λ W 2 )T ( I −λ W 2 ) ( Ay−Xβ )
n
Karena nilai harapan σ^ 2 tidak sama dengan parameter itu sendiri maka penduga
pada model regresi spasial merupakan penduga yang bias.
3. Penduga parameter ^Bdengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation
(MLE) yaitu :

σ2
^B=
√ ( Ay−Xβ)T (Ay −Xβ)
Penduga ^B pada model SARMA merupakan penduga yang tak bias bagi ^B karena
nilai harapannya sama dengan parameternya, penduga ^B ragam yang minimum
atau efisien dan konsisten jadi untuk ^B dengan Maximum Likelihood Estimation
merupakan penduga yang tak bias terbaik.
54

^ dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation


4. Penduga parameter Ω
(MLE) yaitu :
^ Ay−Xβ)(I − λ W 2) ( ( Ay−Xβ ) ( I − λ W 2 ) )T
Ω=(
^ tidak sama dengan parameter itu sendiri maka penduga
Karena nilai harapan Ω
pada model regresi spasial merupakan penduga yang bias.
5. Pada analisis menggunakan Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) ,
faktor-faktor yang mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi
Lampung tahun 2019 adalah Jasa Pendidikan ( X 1 ¿, Jasa Kesehatan dan Kegiatan
Sosial ( X 2 ¿, dan Jasa Perusahaan ( X 3 ).
6. Berdasarkan peilihan model terbaik, diperoleh nilai R2 lebih besar dan AIC model
SARMA lebih kecil dibandingkan model regresi linear. Sehinga, dapat di
simpulkan bahwa model SARMA merupakan model terbaik dalam menganalisis
kasus jumlah nilai Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Lampung tahun
2019. Model SARMA yang dibentuk adalah sebagai berikut:
n n
Y =38.02312−0.14689 ∑ w ij y i +¿ 0.124 384 X 1 +0.142849 X 2−0.123741 X 3+ 0.69352 ∑ w
j=1 ,i ≠ j j=1 ,i ≠ j
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik., 2020. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2020.
Lampung-Indonesia.

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi, Jakarta: Bumi
Aksara.

Gujarati, Damodar N. 2004. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Anselin, L. 2009. Spatial Regression. Fotheringham AS, PA Rogerson, editor,


Handbook of Spatial Analysis. London : Sage Publications.

Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Kluwer Academic :


Dordrecht.

Baltagi H. Badi & Long Liu. 2012. Testing for Spatial Lag and Spatial Error
Dependence Using Doble Length Artifical Regressions. Stat Papers (2014)
55:477-486

Montgomery, D. C., Peck, E. A., & Vining, G. G. 1992. Introduction to Linear


Regression Analysis. Toronto: John Wiley & Sons.

LeSage, JP., Pace, R.K.2009. Introduction to Spatial Econometrics. Texas State


University San Marcos: CRC Press.

LeSage,JP. 1997. Regression Analysis of Spatial Data. JRAP. 27(2): 83-


94.University of Toledo.

LeSage, JP.1999.The Theory and Practice of Spatial Econometrics.


Toledo:Department of Economics University of Toledo.

LeSage, JP. 1998. Spatial Econometrics.Department of Economics Universityof


Toledo.
LeSage, JP.2011. Pitfallas In Higher Order Model Extensions of Basic Spatial
Regression, Metodology. Texas State University San Marcos:Departement of
Finance and Econometrics.

Mills, Terence C & Patterson, Kerry. (2009). Palgrove Handbook of Econometrics.


Scince.New York:Springer.

Suyono. 2018. Analisis Regresi untuk PenelitianEd. 1. Yogyakarta: Deepublish.

Aroef, M. 1991. Ekonomi Terapan. Bandung: TARSITO.

Pfeiffer,U. et all. 2008. Spatial Analysis in Epidemologi. New York: Oxford


University Press.

Siegel, S. 1986. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial.Penerjemah


Zanzawi Suyuti dan LandungSimatupang. Jakarta : Gramedia.

Lembo, A. J. 2006. Spatial Autocorrelation.Retrieved Oktober 25, 2008, fromCornel


University Departement of Crop and Soil
Sciences:http://www.css.cornell.edu/courses/620/lecture9.ppt.

Imam, G. (2013).Aplikasi AnalisisMultivariate dengan Program IBM SPSS 21Update


PLS Regresi Edisi 7. Semarang: Universitas Diponegoro.

Lee, J., & Wong, D. W.2001. Statistical analysis with ArcView GIS. Canada:John
Wiley & Sons, Inc.

Banerjee,S. 2004. Hierarchical Modeling and Analysis for Spatial Data.Chapman and
Hall/CRC, Boca Raton.

Anda mungkin juga menyukai