Anda di halaman 1dari 18

KAPITALISME,

PERAMPASAN RUANG
HIDUP, DAN EKOLOGI
SOSIAL
(Analisis Dampak Operasional Pabrik PT Acon Indonesia terhadap Lingkungan

Hidup Masyarakat Kec. Gunung Sindur, Kab. Bogor)

Ilam S.
“Dominasi manusia terhadap alam, berdasar
pada dominasi yang nyata dari manusia terhadap manusia”

- Murray Bookchin

Sedikit cerita...

Beberapa waktu yang lalu, sebagai seseorang yang sedang (kebetulan) menempuh
pendidikan di ranah ilmu sosial, saya kerap memandang ekologi sebagai ilmu tentang
tumbuhan, menjaga alam dari kerusakan, dan sebagainya. Cara pandang ini saya akui
terkesan terlalu menyederhanakan dan meremehkan. Pasalnya, saya sama sekali tidak
pernah tertarik dan tidak ingin tertarik pada isu lingkungan. Bagi saya pribadi, isu
lingkungan hanya seputar “jangan membuang sampah ke sungai”; “Mari menanam
1000 pohon”; ataupun “kurangi penggunaan bahan plastik−galakkan 3R!”.

Namun, cara pandang seperti ini langsung cepat berubah ketika saya untuk pertama
kalinya membaca tentang ekologi dan keterkaitannya pada isu sosial. Adalah Judi Bari
dengan artikelnya berjudul Revolutionary Ecology: Biocentrism & Deep Ecology dan
Murray Bookchin dengan tulisan terkenalnya Ecology and Revolutionary Thought (saya
mengucapkan terima kasih banyak pada Bima Satria Putra yang telah
menerjemahkannya!) yang membuat pola pikir saya tentang isu lingkungan berubah.
“Isu lingkungan hidup selalu berkaitan dengan isu sosial dan ekologi merupakan teori
yang berpotensi mampu menjangkau kedalaman isu sosial dan biologis secara
bersamaan”, kira-kira begitulah inti kedua tulisan itu yang mampu saya pahami.

Singkat cerita, saya kemudian secara asal-asalan mulai menulis soal lingkungan di
sekitar saya. Apa yang akan Anda lihat di sini merupakan tulisan pertama saya soal
lingkungan. Saya mengambil kasus yang terjadi di Gunung Sindur, sebuah Kecamatan
yang terletak di Kabupaten Bogor. Pada kecamatan tersebut, terdapat sebuah pabrik
yang dituding mengganggu kehidupan warga yang bermukim di sekitarnya. Kegiatan
pabrik yang menghasilkan limbah asap dengan bau yang menyengat dan suaranya yang
bising, membuat warga sekitar harus khawatir, was-was, dan terganggu. Singkatnya,
telah terjadi perampasan ruang hidup warga yang disebabkan beroperasinya pabrik.
Hal-hal seperti inilah yang kemudian saya amati dan analisis. Saya sangat menerima
hujatan, apalagi cercaan dari Anda para pembaca. Namun, sebelum melakukannya, saya
sarankan agar Anda terlebih dahulu untuk membaca tulisan ini. Jika tidak mau, juga
tidak apa. Saya tidak pernah benar-benar peduli terhadap segala hal, haha.

***

Sebuah Pengantar yang Sama Sekali Tidak Berguna

Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang memfokuskan dirinya pada


peran kapital (modal) yang mencakup nilai kekayaan dan segala isinya seperti aset,
tanah, ataupun barang-barang yang digunakan dalam kegiatan produksinya.
Kapitalisme memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap individu untuk
melakukan kegiatan perekonomian seperti memproduksi, menjual, serta kemudian
mendistribusikannya. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur
nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam
bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya dengan berbagai cara (Kristeva, 2010:
15).

Secara historis, kapitalisme menemukan akar kemuculannya ketika terjadi peralihan


zaman dari feodal menuju modern. Seperti apa yang selalu diungkapkan oleh Karl
Marx, kapitalisme mulai menjadi sistem ekonomi yang dipraktikan di dunia pada
penghujung abad ke-14 dan awal abad ke-15 (Kristeva, 2010: 19). Namun, kapitalisme
mendapat posisi dominannya sebagai “sistem perekonomian untuk banyak pihak” pada
sekitar pertengahan abad ke-19. Dominasi kapitalisme sebagai sistem ekonomi tidak
terlepas dari perannya dalam menggerakan roda pertumbuhan produksi secara cepat dan
efisien. Kapitalisme pada pertengahan abad ke-19 melahirkan suatu kemajuan teknologi
yang kini kita akrab menyebutnya sebagai “Revolusi Industri”. Menurut Jones dan
kawan-kawan (2016: 35), revolusi industri telah memberikan berbagai kemungkinan
mekanisme kerja yang baru untuk menghasilkan barang-barang produksi secara efisien.
Revolusi Industri mendorong kemajuan teknologi yang secara praktis mampu menjadi
stimulus masyarakat untuk berlomba-lomba menghasilkan barang. Mesin-mesin dibuat,
pabrik-pabrik dibangun, serta para pekerja diorganisasi secara sistemik dan terkendali
melalui proses pemisahan yang didasarkan pada tugas-tugas yang terspesialisasi.
Intinya, revolusi industri yang ditandai dengan banyaknya pabrik yang berdiri
merupakan representasi dari kemajuan kapital sekaligus sebagai sebuah awal
munculnya realitas masyarakat kapitalis yang nampak jelas. Sebagai sebuah sistem
ekonomi dominan, kapitalisme hampir diterapkan oleh semua negara di dunia.
Konfigurasinya yang fleksibel serta selalu memberikan hasil yang optimal di pasar
membuat kapitalisme dianggap sebagai sistem ekonomi yang paling menghuni dan
efisien dibandingkan alternatif sistem ekonomi yang lain. Berangkat dari hal tersebut,
maka tidak heran apabila banyak pabrik industri yang sejatinya merupakan salah satu
ciri dari sistem kapital dibangun dan dioperasikan. Biasanya pabrik-pabrik industri ini
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta tanpa campur tangan pemerintah. Dalam
ruang lingkup global, jumlah dari perusahaan itu tentu ada banyak sekali. Menurut
Biery (2013), telah terdapat 27 juta perusahaan yang eksis di negara Amerika Serikat.
Jumlah tersebut juga termasuk perusahaan kecil yang baru menjalankan bisnisnya
dengan skala yang kecil pula.

Jika beralih ke ruang lingkup nasional, Badan Pusat Statisik telah melakukan Sensus
Ekonomi pada tahun 2016. Dari hasil sensus, tercatat jika terdapat sekitar 26 juta
perusahaan di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari hasil Sensus
Ekonomi tahun 2006 yang menemukan ada 22 juta perusahaan di Indonesia. Lebih jauh,
Badan Pusat Stistik dalam sensusnya pada tahun 2016 juga menemukan jika menurut
peta persebarannya, hampir 80% perusahaan berada di Pulau Jawa dan Sumatera
(Agustinus, 2017). Apabila kita mengandaikan bahwa masing-masing perusahaan
memiliki satu pabrik sebagai tempat produkis, maka kesimpulan yang dapat ditarik
ialah terdapat 26 juta pabrik yang beroperasi di Indonesia.

Menurut Jones dan kawan-kawan (2016: 67), produksi industrial yang dilakukan
dengan membangun serta mengoperasikan pabrik telah melahirkan pemukiman-
pemukiman dalam jumlah besar di perkotaan, dengan posisi yang sama untuk pertama
kalinya. Ini menunjukan bahwa walaupun sistem ekonomi kapitalis berhasil
menawarkan mekanisme produksi barang yang efisien, akan tetapi dalam prosesnya ia
justru memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk merusak atau setidaknya
berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat terutama terhadap lingkungannya.
Menurut Ridwan (2010), kerusakan lingkungan sebagai dampak dari maraknya
aktivitas industri di pabrik secara garis besar lebih disebabkan pada polusi yang terjadi
pada area tanah, air, dan udara. Polusi tersebut muncul dari sisa-sisa bahan baku
produksi atau kita biasa menyebutnya sebagai limbah yang dibuang bukan pada
tempatnya. Sering terjadi kasus di mana pabrik tanpa merasa bersalah membuang
limbahnya ke sungai, danau atau laut. Ini tentu sangat mengancam ekosistem yang ada
di tempat tersebut. Lebih jauh, asap gas CO2 (karbon dioksida) yang dikeluarkan
melalui cerobong-cerobong pabrik juga turut membuat lingkungan khususnya kualitas
udara semakin kotor dan tidak layak. Jelas bahwa ini sangat mengancam kehidupan
manusia termasuk lingkungan hidupnya.

Pada tahun 2019, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Andono
Warih melaporkan ada 114 perusahaan atau pabrik di wilayah DKI Jakarta yang
terindikasi memiliki cerobong pembuangan gas sisa. Laporannya tersebut didasarkan
pada kegiatan DLH DKI Jakarta yang mengawasi sejumlah komponen pada operasional
pabrik seperti pemenuhan ketentuan spesifikasi teknis cerobong, baku mutu udara
keluaran, dan kewajiban melakukan pengukuran emisi secara mandiri setiap 6 bulan
oleh industri yang bekerjasama dengan laboratorium lingkungan hidup terakreditasi.
Dengan komponen tersebut, Andono Warih kembali mengatakan jika 90 dari 114
perusahaan yang diawasi memiliki pabrik yang berpotensi mengancam dan mencemari
kualitas udara (Umasugi, 2019). Kasus yang telah dideskripsikan di atas sejatinya
hanya salah satu dari sekian banyak peristiwa pencemaran lingkungan yang muncul dari
aktivitas industri di pabrik. Mengingat banyaknya jumlah perusahaan di Indonesia yang
bergerak di bidang industri, bukan tidak mungkin jika di luar sana masih banyak kasus
perusakan lingkungan hidup oleh aktivitas pabrik. Dalam batas tertentu, perusakan
lingkungan hidup sama saja dengan perampasan ruang hidup bagi manusia, hewan,
tumbuhan dan sebagainya. Hal ini mampu menjadi masalah yang sangat serius apabila
tetap dibiarkan terjadi.
Sekelumit Mengenai Konsep Ekologi dan Ekologi Sosial

Apabila kita melakukan pencarian di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terkait
istilah ekologi, kita akan menemukan sebuah definisi normatif yang mengatakan jika
ekologi merupakan “ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
alam sekitarnya.” Istilah ekologi pertama kali dikemukakan pada tahun 1869 oleh
seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman bernama Ernst Haeckel. Secara etimologis,
istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata, yaitu: oikos dan
logos. Oikos memiliki arti rumah, tempat tinggal, atau habitat, sedangkan logos artinya
ilmu atau pengetahuan. Secara harfiah, maka ekologi juga dapat diterjemahkan sebagai
ilmu tentang makhluk hidup dalam rumah atau ilmu tentang rumah tangga makhluk
hidup (Safitri, 2019: 2).
Karena lahir dari ilmu biologi, maka pada mulanya isu yang dikaji oleh ekologi hanya
sebatas pada konsep hubungan antarkomponen biotik dan abiotik. Namun, setelah
mengalami perkembangan dan perdebatan yang panjang, kini ekologi juga menjadi
ilmu yang secara praktis mempersoalkan bagaimana relasi sosial makhluk hidup
(terutama manusia) sehingga dapat mempengaruhi atau berdampak pada struktur dan
keseimbangan lingkungan. Sebagai sebuah ilmu, tentu ekologi tidak dapat terlepas dari
berbagai paradigma yang menjadi dasar untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan
dengan lingkungan hidup.
Dalam beberapa literatur setidaknya ada beberapa paradigma yang menjadikan
ekologi sebagai suatu ilmu yang bukan lagi berfokus pada lingkungan hidup dan
hubungan makhluk hidup, akan tetap melampaui itu, ia juga melebarkan analisisnya
pada konfigurasi atau sistem sosial yang menjadi basis terjadinya relasi dalam
kehidupan sosial. Beberapa paradigma tersebut ialah: Ekologi Dangkal (Shallow
Ecology), Ekologi Dalam (Deep Ecology), Eko-Marxisme, Eko-Kapitalisme, Eko-
Feminisme, Bioregionalisme, dan Ekologi Sosial (Social Ecology).
Beralih pada pembahasan mengenai ekologi sosial, sejatinya istilah tersebut pertama
kali diperkenalkan oleh seorang ekolog dan aktivis libertarian, Murray Bookchin,
melalui salah satu esainya berjudul Ecology dan Revolutionary Thought yang pertama
kali terbit pada tahun 1964. Ide ekologi sosial dari pemikiran Bookchin sendiri telah
memandang jika kerusakan lingkungan, ekosistem, ataupun struktur tempat tinggal
makhluk hidup dimulai dari relasi sosial manusia yang saling mendominasi satu sama
lain. Pada titik tertentu, gagasan dasar ini jelas telah melampaui sekaligus
berkontradiksi dengan paradigma ekologi dalam (deep ecology) yang menganggap jika
kerusakan ekologi lebih disebabkan pada aktivitas manusia seperti pembangunan dan
kemajuan teknologi atau industri.
Bangunan paling dasar dari paradigma ekologi sosial pun juga dibentuk dan
dikonstruksikan oleh Bookchin sendiri. Bookchin (2018: 174) menyebut jika
naturalisme dialektis merupakan suatu landasan filosofis yang membentuk basis isu
yang dipersoalkan ekologi sosial secara mendasar, yaitu bahwa masalah ekologis yang
dihadapi oleh manusia berasal dari masalah sosial. Berangkat dari landasan filosofis itu,
ekologi sosial kemudian menjelma menjadi teori sosial yang mengeksplorasi dan
mencari lebih dalam tentang implikasi dominasi dan hierarki pada masyarakat dan
lingkungan (Pramesti dan kawan-kawan, tanpa tahun).
Menurut Bookchin (dalam Putra, 2020: 118) persoalan ekologis dengan masalah
sosial adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipishakan. Pemisahan terhadap keduanya
sama halnya dengan melangkah ke jalan buntu; yang dalam arti ini kita tidak akan
pernah bisa menemukan sumber krisis lingkungan yang kian hari terus terjadi dan
seolah tidak terbendung. Bagi sebagian orang, teknologi merupakan penyebab dari
berkembangnya kapitalisme yang begitu cepat sehingga secara langsung berdampak
pada krisis ekologis atau kerusakan lingkungan hidup. Namun, ekologi sosial dalam
pemikiran Bookchin tidak berpikir demikian. Menurutnya, bukan teknologi yang
menjadi persoalan, akan tetapi bagaimana relasi masyarakat yang membuat teknologi
hanya dikuasai segelintir orang, alih-alih digunakan secara kolektif dan sebagai alat
pembebasan.

PT Acon Indonesia, Perampasan Ruang Hidup, dan Kemarahan Warga Kec.


Gunung Sindur Kab. Bogor: Sebuah Deskripsi Kasus
PT Acon Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur
blok beton ringan yang terletak di Kec. Gunung Sindur, Kab. Bogor, Jawa Barat. Pabrik
dari perusahaan ini menjalankan produksinya setiap hari (tujuh hari dalam sepekan)
dengan jumlah jam operasi rata-rata selama sembilan jam perhari. Total, ada sekitar 250
orang yang menjadi pekerja di pabrik ini. Berdasarkan penuturan dari Rudi Suryadi
yang merupakan Human Resources Department (HRD) PT Acon Indonesia, kira-kira
sebanyak 80% dari jumlah total pekerja di pabrik adalah warga yang memang pada
dasarnya tinggal di lingkungan sekitar (Bogor-Kita, 2020). Mengenai hal ini, apabila
kita memandangnya dari sudut pandang ekonomistik, tentu keberadaan pabrik PT Acon
Indonesia tersebut merupakan suatu keadaan yang menguntungkan bagi warga sekitar
karena secara otomatis mereka memiliki kesempatan untuk membangkitkan
kemampuan ekonomi. Sebuah kondisi yang menguntungkan bukan berarti sebuah
kondisi yang sempurna. Dengan kata lain, tidak ada kondisi yang sepenuhnya
menguntungkan; selalu ada masalah yang menyertainya. Barangkali, ungkapan ini
cocok untuk merepresentasikan dampak dari beroperasi pabrik PT Acon Indonesia.
Dampak tersebut tidak hanya berkutat pada ekonomi, akan tetapi juga soal lingkungan.
Berbicara soal dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pabrik PT Acon Indonesia,
tentu pernyataan ini dapat ditebak: operasionalisasi dari pabrik berdampak langsung
pada rusaknya lingkungan hidup serta pada kehidupan masyarakat yang tinggal di
sekitar area pabrik. Keberadaan pabrik akhir-akhir ini mendapat protes dari warga
karena kegiatan pabrik menimbulkan bau yang tak sedap (polusi udara) dan suara yang
bising (polusi suara). Lalu, bagaimana hal ini bisa terjadi? Secara kronologis, tidak
dapat dipastikan kapan tepatnya pabrik PT Acon Indonesia mulai dianggap mencemari
lingkungan. Namun, berdasarkan berita yang ditulis oleh Rama (2020A), persoalan bau
yang ditimbulkan oleh pabrik sebenarnya mulai muncul sejak tahun 2018 dan berhasil
diselesaikan atau dimediasi oleh pihak desa dan unsur Muspika (Musyawarah Pimpinan
Kecamatan) Gunung Sindur.
Namun, setelah beberapa waktu, bau dari pabrik muncul kembali dan mengganggu
aktivitas warga. Dalam beberapa laporan, bahkan terdapat desas-desus yang
mengabarkan jika warga sekitar harus selalu memakai masker demi semata-mata untuk
melindungi kesehatan saluran pernapasan. Karena tidak tahan dengan kondisi yang
telah lama dialami tersebut, maka pada hari Jum’at (28/02/2020) lalu, terdengar kabar
jika warga Kecamatan Gunung Sindur beramai-ramai mendatangi PT Acon Indonesia.
Mereka mengeluhkan jika asap dari pabrik menimbulkan bau sangat menyengat yang
menyebabkan anak-anak sesak nafas (PijarNusa, 2020). Selain mengeluh, kedatangan
warga juga bertujuan untuk menuntut agar pihak perusahaan PT Acon Indonesia segera
menindaklanjuti keluhan warga yang terkena dampak dari pencemaran udara.
Kemudian, apakah tuntutan dari warga yang mendatangi langsung lokasi pabrik
dikabulkan? Jawabannya adalah tidak. Menjelang akhir tahun 2020 tepatnya sekitar
bulan Oktober hingga Desember, kasus ini tampaknya semakin menjadi-jadi. Ungkapan
kemarahan serta kekesalan warga seperti tidak terbendung lagi. Hal ini terbukti dengan
hasil wawancara yang dilakukan oleh tim dari beberapa surat kabar terhadap warga
sekitar yang terlibat aksi demonstrasi untuk menuntut agar pabrik tidak beroperasi lagi.
Salah satunya adalah warga bernama Intan (34). Ia tinggal persis di samping pabrik bata
tersebut. Ia mengeluh kalau aktivitas pabrik menimbulkan asap yang berbau serta suara
yang bising:
“Kepala suka terasa pusing, tenggorokan sakit, sesak nafas, karena
mengirup bau yang sangat menyengat dan kulit anak saya sering gatal-
gatal, bahkan suara mesin pabrik itu berisik banget sehingga sangat
mengganggu,” ujar Intan ketika diwawancarai oleh tim dari surat kabar
bogoronline.com (Ramadhan, 2020).

Kemarahan warga juga tidak hanya diungkapkan melalui aksi demonstrasi ataupun
ketika diwawancari oleh jurnalis yang sedang meliput berita. Dalam ruang maya, warga
juga mengekspresikan kekesalannya di sebuah laman internet yang memuat informasi
seputar profil dari PT Acon Indonesia yaitu id.worldorgs.com. melalui laman tersebut,
warga yang marah memberikan beragam komentarnya. Seperti yang ditulis oleh akun
yang ditemukan oleh penulis dalam laman tersebut:

“Tidak tau menau tentang PT ini, namun semenjak didirikan hingga


sekarang PT ini sudah membuat polusi udara yang baunya sangat tidak
sedap. Kami sebagai warga sekitar yang sudah tinggal lama sebelum PT ini
didirikan sangat terganggu dengan polusi udara tersebut.Untuk para
pemimpin terkait, ayola bergerak tangani masalah ini. Kami tidak
menyalahkan tentang didirikannya PT ini, kami hanya terganggu dengan
bau nya!!!!Mana pemimpin yang katanya pro rakyat?Mana pemimpin yang
katanya selalu mendengar keluhan rakyat?Mana pemimpin yang katanya
akan menindak tegas sesuatu yang bikin rakyatnya tidak merasa aman dan
nyaman?Mana??Kami sebagai warga sudah lapor ke pihak terkait, tp belum
ada tindakan. Bagaimana ini?Kami hanya ingin hidup aman dan nyaman
tanpa gangguan polusi!” (Andri Irdna).
“Parah ini pt acon tiap hr ngeluarin polusi udara warga komplen gak ada
solusi udah satu thn gak beres juga bau bgt tolong di tidak lanjutin izinnya
pak pemerintah pak kades pak kapolsek pak camat tolonglah di tindak
lanjutin” (Emil Adlan)

“Tolong limbah asap pembuangan diperbaiki. Sudah berbulan-bulan seperti


tidak ada solusi untuk mengurangi pencemaran udara (seperti bau aspal
yang membuat sesak nafas bila tercium) di sekitar wilayah pabrik. Terutama
di wilayah Perumahan Griya Cendekia GARUDA. Terima kasih.” (Achmad
Nurti Toni)

“Bau polusinya bikin mual bikin sesak pernafasan.. pagi.. siang.. sore..
malam.. ga tau waktu... 10 bulan sudah bau ini tdak kunjung
hilang..pertemuan cuma pertemuan belaka..dari tingkat desa sampai
kecamatan, polsek...tidak ada hasil...alias NOL..” (Denny Apriyadi)

“NGAKAK LIAT ULASAN MASYARAKAT DISEKITAR PT ACON.


PEMIMPINNYA KELUAR LAH. PENGEN SAYA KASIH AIR KERAS
MUKANYA. SAMA PENGEN NGASIH BOM MOLOTOV PT NYA.
ANCURu00b2 DAH TUH PT” (Thaa.69)
Ekspresi kemarahan warga dalam laman tersebut bermacam-macam. Ada yang
mencoba memberi peringatan dengan tata kalimat yang sopan dan baik, akan tetapi ada
pula yang memberi peringatan dengan disertai unsur ancaman (meskipun mudah
dipahami jika itu bukanlah sesuatu yang serius). Namun, yang terpenting dari semua ini
adalah kita harus memahami bahwa ekspresi kemarahan tersebut merupakan salah satu
indikasi bahwa mereka telah merasa jika ruang hidup mereka diambil dan dirampas.
Karena, bukankah tidak akan ada asap tanpa adanya api?

Rakyat Versus Kapitalisme (dan Pemerintah?): Ekologi Sosial Memandang PT


Acon Indonesia
Sebelum berlabuh pada bahasan seputar analisis kasus PT Acon Indonesia, penulis
ingin terlebih dahulu menyampaikan perbedaan antara perspektif ekologi sosial dengan
perspektif ekologi lainnya yang sebelumnya sudah disinggung secara sekilas pada
bagian sebelumnya. Untuk memudahkan, perbedaan tersebut akan penulis jabarkan
melalui sebuah tabel:
Tabel 1.1. Konsep umum perbedaan paradigma ekologi dalam

memandang sumber kerusakan lingkungan hidup

(dicatut dari Bima Satria Putra, Ekologi dan Anarkisme)

Ekologi Eko- Ekologi


Bioregionalisme
Dalam Marxisme Sosial
Pemerintah Segelintir
Superordinat Manusia Kapitalisme
Terpusat Manusia
Keanekaragaman Sebagian
Subordinat Alam Alam hayati dan besar manusia
masyarakat lokal dan alam

Dalam tabel tersebut, tergambar jelas jika ekologi sosial sangat menekankan
kajiannya pada mekanisme sosial yang dipraktikan oleh manusia. Tidak seperti
paradigma yang lain, ekologi sosial sangat berpusat pada bahasan seputar dominasi
manusia dan hubungannya dengan alam. Hal ini ditegaskan oleh Murray Bookchin yang
dalam suatu artikel pernah menulis, “Dominasi manusia terhadap alam, berdasar pada
dominasi yang nyata dari manusia terhadap manusia”. Berangkat dari konsep umum
tersebut, barangkali yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: secara praktikal, di
mana letak hubungan antara perspektif ekologi sosial dengan kasus yang menyeret PT
Acon Indonesia? Penulis akan mencoba menjelaskannya secara perlahan-lahan.

Wacana mengenai ekologi sosial yang ditawarkan oleh Murray Bookchin didasarkan
atas asumsinya yang menyebut jika isu tentang alam juga berkaitan erat dengan isu
sosial (Murti, 2018: 91). Dari hal tersebut, dapat diandaikan jika sejatinya akar dari
kerusakan lingkungan hidup atau alam adalah terletak pada kehidupan sosial
masyarakat yang dominan. Secara sekilas, ekologi sosial mengambil posisi yang
berkontradiksi dengan realitas kapitalisme. Dalam perpesktif ekologi sosial, kapitalisme
merupakan suatu sistem sosial yang begitu menekankan profit. Unsur-unsur itu terletak
dari bagaimana sistem kapitalisme sangat memfokuskan dirinya pada keberadaan
modal. Berbagai pihak atau perusahaan harus terus mengakumulasi modal agar tidak
mati dan kalah dalam persaingannya di bawah sistem ini. Kondisi yang demikian
akhirnya membuat pihak atau perusahaan untuk terus melakukan aktivitas
memproduksi barang. Tentu, aktivitas tersebut bukanlah tanpa masalah. Dalam konteks
studi kasus dalam makalah ini, kita barangkali telah menemukan relasinya.

Sebagai sebuah perusahaan, seperti yang telah disinggung di atas. sudah pasti PT
Acon Indonesia sangat berorientasi pada profit dalam produksinya. Namun,
aktivitasnya dalam memproduksi barang menimbulkan dampak yang demikian
berpengaruh pada lingkungan serta kehidupan masyarakat sekitar. Limbah asap yang
disinyalir mengandung bahan kimia dan apabila dihirup secara terus-menerus dapat
berbahaya bagi makhluk hidup telah merampas hak warga sekitar untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dengan normal. Ini juga berarti hak warga untuk hidup sehat sangat
terancam dan rentan untuk dilanggar. Dalam berbagai demonstrasi, warga Kec. Gunung
Sindur telah berkali-kali menuntut agar pihak perusahaan menghentikan laju
produksinya. Namun, seperti yang dapat diprediksi, tuntutan dari warga tersebut harus
menemui kesia-siaan. Mengapa begitu?

Dalam masyarakat kapitalis, ciri standar yang paling terlihat adalah adanya
pembagian kelas dalam kehidupan sosial. Segelintir orang berada pada kelas atas dan
sebagian besar orang adalah kelas bawah. Jika mengacu pada analisis Karl Marx, dalam
masyarakat yang dikotomis ini, setiap kelas sosial bertindak sesuai kepentingannya
yang ditentukan oleh situasi yang objektif. Tentu dari sini dapat dipahami jika
perusahaan atau pihak swasta memiliki logikanya sendiri. Sebagai suatu badan
perusahaan, PT Acon Indonesia tentu tidak terlepas dari analisis ini. Dapat diprediksi
dengan mudah jika tuntutan warga yang terus menemui kesia-siaan dikarenakan pihak
perusahaan yang terus ingin menjalankan produksinya. Dalam kacamata Magnis-
Suseno (2016: 22), egoisme pihak perusahaan yang seperti itu bukan lantaran mereka
secara pribadi rakus atau asosial, akan tetapi karena hanya dengan mendapatkan laba
mereka mampu mempertahankan diri dalam persaingan di pasar bebas. Barangkali,
pernyataan ini merupakan suatu alasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan
bagaimana gerakan warga yang berinisiatif menuntut perusahaan agar menghentikan
produksinya terus mengalami kehampaan dan kegagalan. Dampaknya? Tentu saja
terletak pada kondisi yang sama saja: lingkungan di Kec. Gunung Sindur masih
dipenuhi asap dengan bau yang menyengat, dalam kegiatan sehari-hari mereka harus
terpaksa mengenakan masker meski itu hanya untuk tidur sekali pun, suara bising yang
mengganggu telinga terus terdengar, dan terakhir mereka juga harus was-was terhadap
kesehatan saluran pernafasan yang rentan dan terancam.

Dari beragam paradigma ekologi yang telah disebutkan sebelumnya jauh di atas,
bagi penulis sendiri paradigma atau teori ekologi sosial merupakan sebuah pisau
analisis yang sangat tajam untuk menjawab berbagai permasalahan lingkungan.
Orientasi pola pikir yang dikedepankan oleh paradigma ini begitu konsisten untuk
mencurigai bahwa sejatinya permasalahan terhadap lingkungan tidak hanya boleh
dipandang sebagai “permasalahan lingkungan” saja, akan tetapi melampaui itu, juga
harus dipandang sebagai cerminan dari sistem sosial yang bermasalah. Orientasi seperti
ini pun telah membuka ruang bagi ekologi sosial untuk melebarkan sayap kajiannya
pada dimensi politk, di samping dimensi ekonomi yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Dalam dimensi sosial politik, ekologi sosial mengambil peran sebagai suatu teori
yang menentang adanya struktur hierarkis dalam praktik sosial masyarakat. Apabila
dalam dimensi ekonomi ekologi sosial mencurigai sistem ekonomi kapitalisme sebagai
biang keladi dari rusaknya lingkungan hidup, maka dalam dimensi politik pun ekologi
sosial memilih untuk memandang negara sebagai sebuah institusi yang terus
melanggengkan rusaknya lingkungan. Sampai sini, mari kita coba sedikit mengkaitkan
kasus yang sedang dibahas dengan dimensi politik.

Dalam berbagai berita, terungkap jika permasalahan polusi udara yang ditimbulkan
oleh perusahaan dan menggangu warga telah ada sejak sekitar tahun 2018 hingga 2019.
Perkara ini terus dihadapi oleh masyarakat dengan demonstrasi yang cenderung
“damai”. Mereka datang berbondong-bondong untuk mengekspresikan kegelishan,
kekesalan, dan keluhan mereka melalui berbagai narasi dalam orasi serta tidak
ketertinggalan melalui kata-kata yang ditulis di atas papan. Hingga suatu ketika, karena
tidak tahan akan kondisi yang ada, warga Kec. Gunung Sindur pun melakukan unjuk
rasa pada Selasa (1/12/2020) dengan cara yang sedikit lebih “keras” untuk menagih
komitmen perusahaan yang berjanji akan segera mengatasi perkara tersebut. Pada hari
itu, ratusan warga yang sebagian besar berasal dari kalangan ibu-ibu memutuskan utnuk
memblokir akses truk yang membawa barang produksi ke perusahaan. Hal tersebut
dilakukan karena warga tampaknya cukup lelah dan putus asa dengan beragam dialog
serta mediasi yang telah banyak dilakukan, akan tetapi tak kunjung mendatangkan
solusi.

Aksi warga yang terlanjur frustasi ini harus berakhir dengan pembubaran massa yang
dilakukan oleh aparat keamanan polisi sekitar. Kapolsek Gunung Sindur, Kompol
Darmawan meminta masyarakat membubarkan diri dan memberi waktu bagi aparat
menangani persoalan ini. Setelah menandatangani form keberatan ke PT Acon
Indonesia, massa membubarkan diri pukul 17.30 WIB (Rama, 2020B). Apabila
dipikirkan sejenak, pembubaran aksi massa yang hanya menuntut agar ruang hidupnya
tidak dirampas dengan penandatanganan form keberatan tanpa pengabulan tuntutan
agar perusahaan memberhentikan produksi tentu sangatlah aneh, janggal, dan tidak
efisien. Tidak berlebihan apabila menyebut tindakan pemberhentian aksi massa tersebut
sangat merepresentasikan posisi negara yang tidak berpihak pada masyarakat.

Representasi tersebut dalam kasus ini sebenarnya tidak berheti sampai situ.
Kejanggalan lain yang mungkin menjadi bukti kuat keberpihakan negara terlihat pada
momen ketika Dinas Lingkungan Hidup mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan
jika kualitas udara masih dalam ambang batas dan karena itu kualitas udara di sekitar
area perusahaan (termasuk pemukiman warga) masih dianggap sehat oleh pemerintah
(dilansir dari metropolitan.id). Ungkapan ini sudah pasti, lagi-lagi, terasa janggal dan
sangat aneh mengingat banyak warganya yang terus terganggu dan satu per satu jatuh
sakit akibat adanya bau yang menyengat dari limbah asap pabrik.

Beralih dari hal itu, dalam artikelnya yang berjudul Revolutionary Ecology:
Biocentrism & Deep Ecology, seorang aktivis lingkungan bernama Judi Bari pernah
mengungkapkan suatu hal terkait relasi mesra antara perusahaan dengan instansi
negara. Ia berbicara jika pada faktanya, negara melayani perusahaan. Dengan bahasa
yang metaforis ia menambahkan jika “pasukan bersenjatanya bersiap menjaga profit
perusahaan di seluruh dunia dan polisi rahasinya siap untuk menginfiltrasi dan
memusnahkan perlawanan serius di tempatnya” (Bari, 2010). Apa yang dinyatakan oleh
Judi Bari ini sebenarnya meringkas gagasan bahwa selalu ada keberpihakan negara
melalui instansi-instansinya kepada perusahaan sekali pun perusahaan tersebut terbukti
telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dengan sangat jelas, keberpihakan itu
membuat kondisi-kondisi demikian menjadi langgeng dalam kehidupan. Apa yang
terjadi pada warga di Kec. Gunung Sindur mungkin hanya salah satu dari sekian banyak
kasus-kasus serupa yang terjadi di penjuru negara.

Hal-hal semacam inilah yang sedari dulu dibedah oleh teori ekologi sosial.
Fondasinya yang kuat karena mendasarkan diri pada dua isu besar (isu sosial dan
lingkungan) mampu menjadi alat analisis tajam untuk mengungkap bahwa masalah
lingkungan muncul bukan hanya lantaran manusia tidak memedulikan alam, akan tetapi
lebih dari itu, juga lantaran konfigurasi sosial yang dikonstruksikan sedemikian rupa
(penuh hierarki dan dominasi) telah menciptakan suatu kondisi di mana manusia
terpaksa untuk tidak berkemungkinan memerhatikan alam dan lingkungan hidup.
Sumber Pustaka

Agustinus, Michael. 2017. “Ada 3,98 Juta Perusahaan Baru di RI dalam 10 Tahun
Terakhir”. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3485474/ada-398-
juta-perusahaan-baru-di-ri-dalam-10-tahun-terakhir (diakses pada Kamis, 7
Oktober 2021).

Bari, Judi. 1995. “Revolutionary Ecology: Biocentrism & Deep Ecology”.


http://www.judibari.org/revolutionary-ecology.html (diakses pada Minggu, 10
Oktober 2021).

Biery, Mary Ellen. 2013. “4 Things You Don't Know About Private Companies”.
https://www.forbes.com/sites/sageworks/2013/05/26/4-things-you-dont-know-
about-private-companies/ (diakses pada Kamis, 7 Oktober 2021).

Bogor-Kita. 2020. “Manajemen PT Acon Indonesia Tanggapi Protes Warga


Gunungsindur”. https://bogor-kita.com/manajemen-pt-acon-indonesia-tanggapi-
protes-warga-gunungsindur/ (diakses pada Sabtu, 9 Oktober 2021).

Bookchin, Murray. 2018. Ekologi dan Anarkisme: Kumpulan Esai. Terj. Bima Satria
Putra. Diterbitkan oleh Pustaka Catut.

Jones, Pip, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier. 2016. Pengantar Teori-Teori Sosial.
Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2010. Sejarah Ideologi Dunia: Kapitalisme, Sosialisme,
Komunisme, Fasisme, Anarkisme, Anarkisme dan Marxisme, Konservatisme.
Diterbitkan oleh Eye on The Revolution Press dan Institute for Philosophycal and
Social Studies (INPHISOS).

Magnis-Suseno, Franz. 2016. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke


Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Metropolitan. 2020. “Warga Dua Desa Ontrog PT Acon Lagi”.


https://www.metropolitan.id/2020/12/warga-dua-desa-ontrog-pt-acon-lagi/
(diakses pada Sabtu, 9 Oktober 2021).
Murti, Ghanesya. H.ari (2018). Menuju Ecocentrisme: Menapaki Jalan Ekologis yang
Etis. Satwika: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 2(2), 87-94.

PijarNusa. 2020. “Dituding Cemari Udara, PT Acon Indonesia ‘Diontrog’ Warga”.


https://pijarnusa.com/2020/02/28/dituding-cemari-udara-pt-acon-indonesia-
diontrog-warga/ (diakses pada Sabtu, 9 Oktober 2021).

Pramesti, I. Gusti Ayu Diah, Ni Made Ras Amanda Gelgel, and I. Dewa Ayu Sugiarica
Joni. "WACANA EKOLOGI SOSIAL DALAM NOVEL PAK TUA YANG
MEMBACA KISAH CINTA KARYA LUIS SEPÚLVEDA."

Profil PT Acon Indonesia di Kota Bogor, dapat diakses melalui


https://id.worldorgs.com/katalog/bogor/perusahaan/pt-acon-indonesia.

Putra, Moch Rizky Pratama. (2020). Mencari Murray Bookchin dalam Belantara Ilmu
Sosial. The Sociology of Islam, 1(1), 101-143.

Rama, Hironimus. 2020A. “DPRD Kabupaten Bogor Minta PT Acon Indonesia Tutup,
Ini Tanggapan Sekretaris Camat Gunung Sindur”.
https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/07/dprd-kabupaten-bogor-minta-pt-
acon-indonesia-tutup-ini-tanggapan-sekretaris-camat-gunung-sindur (diakses
pada Sabtu, 9 Oktober 2021).

Rama, Hironimus. 2020B. “VIDEO Emak-emak Gunung Sindur Ngamuk dan Geruduk
Pabrik Bata Ringan, Tagih Janji Atasi Polusi Udara”
https://wartakota.tribunnews.com/2020/12/02/video-emak-emak-gunung-sindur-
ngamuk-dan-geruduk-pabrik-bata-ringan-tagih-janji-atasi-polusi-udara (diakses
pada Minggu, 10 Oktober 2021)

Ramadhan, Saeful. 2020. “Hari Ibu, Puluhan Emak Aksi Protes Pabri Bata Hebel di
Gunung Sindur”. http://bogoronline.com/2020/12/hari-ibu-puluhan-emak-aksi-
protes-pabrik-bata-hebel-di-gunung-sindur/ (diakses pada Jum’at, 8 Oktober
2021).

Ridwan, Ita Rustianti. (2010). Dampak industri terhadap lingkungan dan sosial. Jurnal
Geografi Gea, 7(2).

Safitry, Desy. 2019. Ekoturisme dalam Ekologi Sosial. Tangerang: Pustaka Mandiri.
Umasugi, Ryana Aryadita. 2019. “Pemprov DKI: 114 Pabrik di Jakarta Cemari
Lingkungan Lewat Cerobong Buangan Gas Sisa".
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/08/14233721/pemprov-dki-114-
pabrik-di-jakarta-cemari-lingkungan-lewat-cerobong (diakses pada Kamis, 7
Oktober 2021).

Anda mungkin juga menyukai