Anda di halaman 1dari 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321728227

Profesionalisme Hamba Tuhan

Chapter · August 2017

CITATIONS READS
3 3,586

1 author:

Jamin Tanhidy
sekolah tinggi teologi simpson
7 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

profesionalisme hamba Tuhan View project

Christian Ethics View project

All content following this page was uploaded by Jamin Tanhidy on 11 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Melaksanakan
Amanat Agung
di Abad 21
Bunga Rampai

Penyunting:
Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd

Sekolah Tinggi Teologi

SIMPSON
2017
Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21:
Bunga Rampai

Penyunting: Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd

Copy Editing: Kiki Priskila


Cover: Maria Benedetta Mustika

136 hlm., Times New Roman 11pt.


15 x 23 cm

ISBN: 978-602-60350-5-9

Terbitan I: Agustus 2017.

Penerbit:
Sekolah Tinggi Teologi Simpson
Jl. Agung No. 66, Krajan, Kel. Susukan, Kec. Ungaran Timur,
Kab. Semarang, Jawa Tengah (50526)
Telp. (024) 6924853
Email: penerbitan_publikasi@sttsimpson.ac.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21: Bunga Rampai/


penyunting: I Putu Ayub Darmawan -- Ungaran: Sekolah Tinggi
Teologi Simpson, 2017.
vi, 136 hlm.; 23 cm

ISBN: 978-602-60350-5-9

1. Teologi 2. Pendidikan Kristen


I. Darmawan, I Putu Ayub II. Judul.

ii – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


KATA PENGANTAR

Lahirnya Sekolah Tinggi Teologi Simpson (STT Simpson)


pada 19 Agustus 1983, dengan nama Sekolah Theologia Menengah
Atas (SThMA), merupakan sebuah pergumulan panjang untuk men-
jawab kebutuhan hamba Tuhan, khususnya untuk Gereja Kemah Injil
Indonesia (GKII) Jawa Sumatera dan bertujuan untuk melaksanakan
amanat agung Yesus Kristus. Sekolah tersebut kemudian terus ber-
kembang hingga menjadi perguruan tinggi dengan nama STT Simpson
dan menempati lahan di Krajan, Susukan, Ungaran, Kabupaten Se-
marang. Perjalanan panjang sejak 1983 dipenuhi dengan berbagai tan-
tangan dan Tuhan menolong STT Simpson untuk menghadapi tan-
tangan tersebut. Hingga tahun 2017 ini, STT Simpson berusaha untuk
tetap setia pada amanat agung Yesus Kristus sehingga Injil kerajaan
Allah terus diberitakan. Oleh karena itu, untuk memperingati 34 tahun
(1983-2017) berdirinya STT Simpson, maka disusunlah sebuah buku
bunga rampai yang memuat hasil karya beberapa dosen STT Simpson
dan mitra. Judul yang diambil untuk buku bunga rampai ini adalah
Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21. Judul tersebut dipilih kare-
na adanya kerinduan untuk kembali pada semangat lahirnya STT
Simpson.

Para penulis dari luar STT Simpson yang menyumbangkan


karyanya hingga menjadi sebuah buku yang saat ini berada ditangan
pembaca adalah Dr. Sahat M. Sinaga, M.Th dari STT Harvest Inter-
nasional Semarang, Ev. Sundoro Tanuwidjaja, M.Th dari Pelayanan
Garam Bali, Pdt. Dr. Priyantoro Widodo, M.Th dari STT Baptis Indo-
nesia, Semarang. Sementara dosen STT Simpson yang menyumbang-
kan naskahnya dalam buku ini adalah Ev. I Putu Ayub Darmawan,
M.Pd, Edi Sujoko, M.Pd, Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th, Pdt. Dr. Krido
Siswanto, M.A, M.Th, dan Pdt. Dr. Enggar Objantoro.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – iii


Satu artikel dalam buku ini ditulis oleh Pdt. Samuel Sumule,
M.Div dan artikel tersebut serasa sebuah warisan bagi STT Simpson.
Sebagai salah satu pioner dan pemimpin di STT Simpson1, Pdt.
Samuel Sumule meninggalkan satu tumpuk tulisannya pada anak
pertamanya, Ester Elmi. Tulisan tersebut kemudian diserahkan ke STT
Simpson dan diketik ulang. Rencananya seluruh tulisan tersebut akan
diterbitkan pada tahun 2018, tetapi oleh pertimbangan Bidang Pener-
bitan dan Publikasi STT Simpson, satu bagian dari buku tersebut di-
masukkan dalam bunga rampai ini. Sebelum berpulang ke rumah Bapa
di Surga (Beliau meninggal 17 Maret 2006 di Toraja), Pdt. Samuel
Sumule masih menyempatkan diri berbicara dihadapan seluruh civitas
akademika STT Simpson dan memberi penguatan serta dorongan agar
terus setia mewartakan Injil Kerajaan Surga. Puji Tuhan, dalam ke-
sempatan ini, penyunting memperoleh kesempatan mendengarkan
khotbah yang penuh semangat. Warisan berupa teladan hidup, kese-
tiaan pada Tuhan, dan tulisan yang akan terbit merupakan berkat yang
Tuhan beri bagi STT Simpson. Kesempatan ulang tahun STT Simpson
ke-34, patut rasanya menjadi moment berharga untuk mengingat kem-
bali apa yang Tuhan sudah kerjakan melalui Pdt. Samuel Sumule, oleh
sebab itu memasukkan salah satu tulisan yang menggambarkan se-
mangat beliau dalam buku ini merupakan usaha mengingat kembali
apa yang Tuhan sudah kerjakan melalui Pdt. Samuel Sumule.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada


para penulis yang menyumbangkan pemikirannya dalam bentuk
artikel. Kiranya buku ini dapat meneguhkan panggilan pelayanan
amanat agung Yesus Kristus bagi setiap murid-Nya (Mat. 28:19-20).

Ungaran, 19 Agustus 2017


Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd
Penyunting

1
Pdt. Samuel menjabat sebagai pejabat sementara dari tahun 1984
hingga 1986 dalam masa peralihan dari SThMA yang bertempat di Tandang,
Kota Semarang menjadi Seminari Theologi Simpson (STS) yang kemudian
menjadi STT Simpson dan menempati lahan di Krajan, Susukan, Ungaran,
Kabupaten Semarang.

iv – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................... iii

Daftar Isi ........................................................................................ vi

1. Negeri Pancasila: Panggilan Inklusif Gereja di Indonesia


Oleh Dr. Sahat M. Sinaga, M.Th........................................... 1

2. Mengapa Mengabarkan Injil?


Oleh Pdt. Samuel Sumule, M.Div ......................................... 23

3. Murid Yang Memuridkan


Oleh Ev. I Putu Ayub Darmawan, M.Pd ............................... 33

4. Model Pengembangan Pelayanan Anak


Oleh Edi Sujoko, M.Pd......................................................... 47

5. Janji Manis Teknologi


Oleh Ev. Sundoro Tanuwidjaja, M.Th .................................. 65

6. Profesionalisme Hamba Tuhan


Oleh Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th ............................................ 75

7. Pemimpin yang Sukses dari Perspektif Kepemimpinan


Kristen
Oleh Pdt. Dr. Krido Siswanto, MA ....................................... 91

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – v


8. Makna Gembala Dalam Alkitab Hingga Fungsi Jabatannya
Dalam Gerejawi
Oleh Pdt. Dr. Priyantoro Widodo, M.Th ............................... 103

9. The Contextual Church Leadership


Oleh Pdt. Dr. Enggar Objantoro............................................ 123

Profil Penulis ............................................................................... 135

vi – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


6
Profesionalisme Hamba Tuhan
Pdt. Jamin Tanhidy, M.Th

A. PENDAHULUAN

Tuntutan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kompe-


ten dan memadai dalam sebuah bidang pekerjaan semakin menjadi
perhatian dan diperhitungkan, baik di dalam sebuah organisasi swasta
maupun pemerintah. Kualitas SDM dikedepankan demi peningkatan
kualitas pelayanan dan produktifitas sebuah perusahaan atau organisa-
si itu sendiri. Tendensi ini juga sudah merambah dunia pelayanan, baik
di dalam organisasi gereja maupun lembaga-lembaga Kristen di luar
gereja. Meskipun demikian, masih banyak orang Kristen bahkan di
kalangan hamba Tuhan tak terkecuali, tidak sependapat dalam hal pro-
fesionalisasi1 tugas dan pekerjaan seorang hamba Tuhan atau Roha-
niawan dipandang sebagai sebuah profesi. Kondisi ini terjadi, dalam
pandangan penulis disebabkan oleh kurangnya pemahaman banyak
orang percaya tentang apa yang disebut dengan “Profesi” itu sebenar-
nya. Oleh karena itu, perlu sekali dipahami terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan “profesi” itu sesungguhnya.

1
Menurut Moeliono sebagaimana dikutip oleh Nurdin menjelaskan
profesionalisasi sebagai proses membuat suatu badan organisasi menjadi pro-
fesional, dan hal ini juga berlaku bagi seorang individu yang menjabat profesi
tertentu, misalnya guru, lihat Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Imple-
mentasi Kurikulum (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 13.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 75


Pengertian profesi mengacu kepada jabatan atau pekerjaan se-
seorang yang menuntut adanya pendidikan, latihan dan keahlian para
pemangkunya sehingga tidak dapat dipegang oleh sembarang orang. 2
Pada hakekatnya, dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan sebuah
pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan latihan serta pendi-
dikan khusus, dan tidak dapat dilakukan oleh orang biasa yang tidak
memiliki kemampuan atau keahlihan dan keterampilan khusus dalam
bidang profesi yang dipangkunya. Misalnya, profesi dokter dan penga-
cara. Dalam hal ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang
belum punya latar belakang pendidikan dan skill atau kompetensi se-
bagai seorang dokter atau pengacara.

Selain itu, ada pemahaman keliru yang berkembang di kalang-


an orang percaya (awam maupun rohaniawan) yang memandang se-
butan profesi cenderung berbau sekuler dan mementingkan profit dari-
pada pelayanan dan pengabdian. Hal inilah yang perlu diluruskan se-
bab yang benar adalah bahwa sesungguhnya hakekat profesi juga ti-
dak terlepas dari pengertian sebagai sebuah pekerjaan yang menguta-
makan pengabdian pada masyarakat dan bukan untuk mencari keun-
tungan secara materi/finansial bagi diri sendiri,3 sebagaimana stigma
negatif yang selama ini telah terlanjur melekat dalam dunia kerja pro-
fesional atau sekuler seperti yang telah disinggung di atas.

Setelah kita memahami apa itu hakekat profesi sesungguhnya,


maka jelas ada perbedaan mendasar antara pengertian “pekerjaan”
yang biasa dipahami oleh kebanyakan orang pada umumnya dengan
apa yang dimaksud dengan “profesi”. Sebuah profesi sudah pasti me-
rupakan sebuah bidang pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum ten-
tu menjadi sebuah profesi. Sebagai contoh, semua orang bisa melaku-
kan pekerjaan menyiram bunga, mencuci piring, menyapu dan menge-
pel lantai. Ini adalah jenis pekerjaan biasa yang tidak bisa dipahami
sebagai profesi. Tetapi untuk menjadi seorang dokter atau arsitek ma-

2
Profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keah-
lihan tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak
dapat dipegang oleh sembarang orang, tetepi memerlukan persiapan melalui
pendidikan dan pelatihan secara khusus, lihat Kunandar, Guru Profesional
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), 45.
3
Nurdin, Guru Profesional, 15.

76 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


ka seseorang harus menempuh pendidikan dan memiliki keterampilan
di bidang tersebut. Inilah yang disebut profesi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tugas atau pekerjaan se-


orang hamba Tuhan lebih tepat dipahami sebagai sebuah profesi ka-
rena menuntut adanya panggilan khusus dari Tuhan4 dan pendidikan
khusus (teologi), dibandingkan pekerjaan yang biasa pada umumnya
(seperti pekerjaan menyapu dan mengepel lantai yang bisa dilakukan
siapa saja tanpa harus latihan dan menempuh pendidikan terlebih da-
hulu). Hal ini pula sudah menjadi ketentuan di berbagai organisasi ge-
reja bahwa tidak boleh seseorang sembarangan diangkat dan ditahbis-
kan untuk memangku jabatan pendeta.

Namun demikian, sangat disayangkan bahwa realita yang ter-


jadi di lapangan adalah ada orang-orang percaya (baik awam maupun
pengurus jemaat bahkan hamba Tuhan/rohaniawan) yang menolak arti
jabatan dan pekerjaan seorang hamba Tuhan sebagai sebuah profesi.
Lucunya, mereka ini yang menolak pekerjaan seorang hamba Tuhan
sebagai sebuah profesi, justru memegang keyakinan bahwa jabatan
hamba Tuhan atau pendeta itu tidak boleh dijabat sembarang orang
(dimana pemikiran ini sebenarnya baik disadari atau tidak, sudah ter-
sirat pengertian tentang pekerjaan sebagai sebuah profesi sebagaimana
yang dimaksud dalam tulisan ini). Bahkan, kelompok yang tidak setu-
ju ini menuntut syarat bahwa seorang hamba Tuhan sebaiknya adalah
seorang yang sudah lulus dari sekolah Alkitab atau paling tidak pernah
menempuh pendidikan teologi agar pengajaran, keterampilan dan ka-
rakter yang dimilikinya benar, berkualitas dan baik adanya.

Hal inilah yang penulis maksudkan bahwa pemahaman ten-


tang pekerjaan seorang hamba Tuhan dari kelompok di atas dengan
sendirinya sudah menyiratkan pengertian jabatan dan pekerjaan se-
orang hamba Tuhan/Rohaniawan sebagi sebuah profesi (meski tanpa
disadari karena sempitnya pemahaman tentang apa itu profesi sesung-
guhnya dan stigma negatif yang melekat di dalamnya).

Melanjutkan pembahasan di atas, maka jika kita konsisiten me-


mahami jabatan dan pekerjaan seorang rohaniawan/hamba Tuhan me-

4
Jansen Sinamo, Delapan Etos Kerja Profesional (Bandung: Bina
Media Informasi, 2012), 129.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 77


merlukan karakter yang ilahi, panggilan, pendidikan dan keterampilan
khusus dalam rangka melaksanakan tugas mulia yang dipercayakan
Allah kepadanya. Contohnya seperti menggembalakan, berkhotbah,
konseling, mengajar, memimpin dan menginjil, dll., maka sesungguh-
nya pemahaman ini sudah mencakup apa yang disebut dengan profesi.
Oleh karena itu, tidaklah keliru dan berlebihan bila memahami jabatan
atau pekerjaan seorang hamba Tuhan/Rohaniawan yang melayani
Tuhan sepenuh waktu sebagai sebuah profesi. Sebagai dampaknya,
maka tidak perlu heran apabila kondisi di lapangan pelayanan pada
masa kini, semakin mengedepankan dan menuntut apa yang dikenal
saat ini dengan profesionalisme5 seorang hamba Tuhan/Rohaniawan.
Seiring dengan kondisi ini pula maka tidaklah berlebihan bila seorang
hamba Tuhan dapat disebut sebagai seorang pekerja yang profesional6
di bidangnya.

Setelah panjang lebar menjelaskan hakekat tugas dan peker-


jaan seorang hamba Tuhan sebagai sebuah profesi serta tuntutan pro-
fesionalismenya yang semakin berkembang di dunia pelayanan, maka
dalam bagian selanjutnya akan dibahas referensi dari Alkitab yang
menjadi dasar atau landasan untuk membicarakan lebih luas dan men-
dalam tentang tugas seorang hamba Tuhan/Rohaniawan sebagai se-
orang profesional itu sesungguhnya, profesionalisme dan hak terkait
di dalamnya, seperti yang diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam Su-
ratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus Pasal 9.

B. PROFESIONALISME DALAM PERSPEKTIF ALKITAB

Apakah Alkitab ada membicarakan soal profesionalisme se-


orang hamba Tuhan? Jawabannya jelas ada. Contoh konkrit yang di-
ambil dalam tulisan ini ialah kehidupan dan pelayanan rasul Paulus.
Dalam surat pertama yang ditulis Sang Rasul kepada jemaat di Ko-
rintus, khususnya pasal 9 yang dirujuk dalam tulisan ini, dilatarbela-

5
Profesionalisme adalah kondisi arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu
keahlihan dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sese-
orang, lihat Kunandar, Guru Profesional, 46.
6
Pengertian profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilaku-
kan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memer-
lukan keahlihan, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi, Lihat Kunandar,
Guru Profesional.

78 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


kangi oleh persoalan yang muncul di dalam jemaat Korintus pada
waktu itu yaitu ada jemaat meragukan jabatan Paulus sebagai Rasul
Kristus. Kondisi ini diakibatkan dari perpecahan yang terjadi di dalam
jemaat Korintus dimana ada kelompok jemaat yang menamakan diri
mereka sebagai pengikut Apolos, Petrus/Kefas, Kristus, bahkan
Paulus sendiri pun diidolakan juga, (bandingkan I Korintus 3:4). Besar
kemungkinan, kelompok jemaat yang tidak mengidolakan Paulus,
(terutama kelompok yang mengidolakan Petrus karena ia adalah se-
orang Rasul Kristus), mengkritik legalitas kerasulan Paulus. Guna
menjawab kritikan di atas, Paulus memberikan jawabannya sebagai
berikut:

Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku


telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pe-
kerjaanku dalam Tuhan? Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah
rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul. Sebab hidupmu dalam
Tuhan adalah meterai dari kerasulanku. Inilah pembelaanku terha-
dap mereka yang mengeritik aku (1 Kor. 9:1-3).

Jawaban Paulus di atas sebenarnya menonjolkan profesionalismenya


sebagai seorang hamba Tuhan dengan jabatan sebagai rasul Kristus
yaitu panggilan dan buah pelayanannya. Soal panggilan jelasbahwa
Paulus bertemu dan melihat Yesus di dalam perjalanannya ke Dam-
syik (Damaskus) dimana ia memahami dirinya sendiri sebagai rasul
terakhir yang telah menyaksikan dengan matanya sendiri Kristus yang
bangkit dan dipermuliakan (1 Kor. 15:8) serta ia mengklaim jabatan
rasulinya berdasarkan anugerah Allah. 7 Pengalaman ini telah menjadi
titik balik perubahan dan pertobatan hidupnya. Melalui peristiwa ini
Tuhan memanggilnya secara khusus sebagai rasul untuk melayani-
Nya sepenuh waktu. Pengalaman itu menjadi tanda bahwa ia telah me-
menuhi salah satu syarat bagi seorang yang layak disebut Rasul
Kristus yaitu mempunyai pengalaman pribadi melihat Kristus yang te-
lah bangkit itu (Kis. 1:21-22)8.

7
Willem A. VanGemeren, Progres Penebusan (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2016), 435.
8
Warren W. Wiersbe, Hikmat di Dalam Kristus (Bandung: Kalam
Hidup, 1983), 121.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 79


Jadi Paulus ingin membuktikan bahwa panggilannya sebagai
Rasul dapat dipertanggungjawabkan dan bukan atas kehendaknya sen-
diri. Selain itu, Paulus juga menunjukkan bahwa dirinyalah yang me-
rintis jemaat di Korintus dan mereka adalah buah dari pelayanannya
(lihat 1 Kor. 18:1-21). Inilah aspek profesionalisme Paulus yang perlu
dicermati.

Kedua hal di atas, yaitu pengalaman panggilan khusus sebagai


Rasul Kristus serta hasil atau buah pelayanannya di Korintus, menjadi
meterai kerasulannya sekaligus menunjukkan profesionalisme Paulus
sebagai seorang hamba Tuhan. Di samping itu, jangan dilupakan bah-
wa Paulus sudah mengenyam pendidikan yang tinggi di bawah asuhan
Gamaliel, seorang Rabi (Guru Besar) Yahudi. Hal inilah membuat
Paulus memiliki pendidikan formal yang lebih baik dan pengetahuan
akan Taurat yang lebih mendalam dibandingkan rasul-rasul lainnya.9

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa Paulus memenuhi syarat


disebut sebagai hamba Tuhan dan Rasul yang profesional, yaitu di-
mana Paulus sudah menerima panggilan langsung dari Kristus sebagai
Rasul, hasil atau buah pelayanannya dan latar belakang pendidikan
yang dimilikinya.

Semua hal-hal di atas menjadi alat kelengkapan yang dipakai


Tuhan dan melekat dalam diri Paulus yang melegitimasi profesinya
sebagai rasul Kristus. Bahkan penulis meyakini bahwa Tuhan sudah
menyiapkan Paulus untuk menuliskan dan membukukan rahasia-ra-
hasia firman-Nya. Tidak kurang dari 13 surat telah ditulis oleh sang
rasul dan mengisi susunan kitab Perjanjian Baru yang dipakai jemaat
Kristen pada awal abad masehi dan masih dipakai oleh jemaat Kristen
sampai pada masa kini.

9
Andrew Brake berkomentar bahwa yang menjadikan Saulus (nama
Paulus sebelum mengenal Kristus) begitu hebat adalah latar belakang dan
intelektualitasnya, dimana ia dididik di salah satu universitas terbaik pada
masa itu, yaitu di Tarsus dan belajar di bawah didikan Gamaliel, salah satu
pengajar terhebat di kalangan Yahudi pada masa itu. Ia juga bergabung de-
ngan sebuah kelompok yang secara ketat mengikuti taurat yaitu kaum Farisi
serta fasih berbicara dalam bahasa Yunani, Ibrani dan Aram, lihat Andrew
Brake, Menjalankan Misi Bersama Yesus: Pesan-pesan bagi Gereja dari Ki-
sah Para Rasul (Bandung: Kalam Hidup, 2016), 196.

80 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


Berkaca pada panggilan, buah pelayanan dan latar belakang
pendidikan rasul Paulus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
masa kini setiap orang yang sudah meyakini dan mengalami panggilan
khusus dari Allah untuk melayani sepenuh waktu, dibuktikan dengan
hasil atau buah pelayanannya dan latar belakang pendidikan teologi
yang dimilikinya, layak disebut sebagai seorang yang berprofesi seba-
gai pelayan atau hamba Tuhan dan dituntut menunjukkan profe-
sionalismenya.

C. PROFESIONALISME DAN HAK HAMBA TUHAN

Dalam dunia kerja masa kini, pemakaian istilah “profesional”


di dalamnya melekat pula tuntutan hak atau upah sesuai dengan
kualitas dan produktifitas yang dimiliki seseorang dalam menjabat
profesi tertentu. Seorang Juru masak (chef) yang bekerja di sebuah
hotel bintang lima misalnya, sudah pasti ia diberi honor atau upah
yang tinggi dan sebagai konsekuensinya ia dituntut untuk dapat kreatif
dan inovatif mengolah menu masakan sehingga mampu menjadi
andalan guna memberikan kontribusi positif di tempat dimana ia
bekerja. Sudah pasti juga upah atau honor yang ia terima disesuaikan
dengan produktifitas kerjanya, apalagi jika ia adalah seorang master
chef atau juru masak terkenal.

Yang menjadi masalah ialah apakah tepat jika pemahaman


dan kondisi dunia kerja di atas diterapkan kepada profesi seorang pen-
deta atau Rohaniawan/hamba Tuhan yang melayani Tuhan sepenuh
waktu? Kemudian, layakkah seorang hamba Tuhan menuntut haknya
secara memadai dari tempat dimana ia melayani? Jawabannya masih
menjadi polemik atau pro dan kontra tentunya. Hal ini disebabkan,
pertama oleh karena bidang pelayanan Kristen merupakan bidang pe-
kerjaan yang Non-Profitabel alias tidak berfokus mencari untung se-
mata (sebagaimana yang sering dijumpai dalam organisasi atau peru-
sahaan sekuler pada umumnya). Kedua, adanya realita atau kenyataan
bahwasanya tidak semua gereja atau organisasi Kristen mampu mem-
beri upah atau penghargaan yang tinggi kepada para hamba Tuhan/
Rohaniawan. Jika demikian bagaimana seharusnya kita memaknai
profesi hamba Tuhan dan upah atau hak yang semestinya ia terima?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari simak pandangan


Paulus berkaitan dengan hal ini.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 81


1. Seorang Pekerja Atau Pelayan Tuhan Patut Mendapat Upah
Yang Sewajarnya

Menurut Paulus, seorang pekerja atau pelayan Tuhan patut


mendapat upah yang sewajarnya. Honor atau upah ini dipakai untuk
kehidupan sehari-hari dan menghidupi rumah tangganya, sebagaimana
dicatat dalam surat 1 Korintus 9:4-6 yang berbunyi demikian: “Tidak-
kah kami mempunyai hak untuk makan dan minum? Tidakkah kami
mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perja-
lanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-sauda-
ra Tuhan dan Kefas?”

Nats di atas menjelaskan prinsip pelayanan Rasul Paulus di-


mana ia memegang keyakinan bahwa seorang pekerja atau pelayan
Tuhan, mempunyai hak mendapat tunjangan dari jemaat untuk kebu-
tuhan hidup mereka sehari-hari, termasuk tunjangan keluarga mereka
(khususnya bagi hamba Tuhan yang berumah tangga/mempunyai istri
seperti Kefas/Petrus dan rasul-rasul lainnya yang membawa serta istri-
nya dalam perjalanan pelayanan misi mereka). Meskipun Paulus sen-
diri dalam hal ini tidak menikah, tetapi seandainya ia mempunyai
isteri, maka isterinya pun berhak ditunjang oleh jemaat,10 demikian
penjelasan Wiersbe terhadap nats tersebut di atas.

Kemudian, Paulus melanjutkan pendapatnya tentang upah


atau hak seorang pelayan atau hamba Tuhan dari konteks nats di atas
demikian: “Siapakah yang pernah turut dalam peperangan atas biaya-
nya sendiri? Siapakah yang menanami kebun anggur dan tidak mema-
kan buahnya? Atau siapakah yang menggembalakan kawanan domba
dan yang tidak minum susu domba itu?” (1 Kor. 9:7). Dalam ayat ter-
sebut di atas, Paulus sebenarnya ingin memberikan pengertian dan
menegaskan kepada jemaat di Korintus bahwa pekerjaannya sebagai
hamba Tuhan di dalam jemaat Korintus ibarat seorang prajurit yang
berdiri di garis depan dalam medan perang (karena ia yang memulai
atau merintis berdirinya jemaat Korintus) dan untuk itu ia layak di-
biayai. Paulus juga membandingkan jemaat Korintus sebagai ladang
(kebun anggur) yang sudah diolah dan ditanami olehnya (1 Kor. 3:6-
9)11 dimana ia berhak menikmati buah hasil tanaman yang masih dipe-

10
Ibid.
11
Ibid, 122.

82 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


liharanya sampai saat itu. Demikian pula Paulus ingin menunjukkan
bahwa ia berprofesi layaknya seorang gembala domba yang berhak
atas susu domba-dombanya (suatu gambaran yang lazim pada masa
kini untuk sebutan seorang Gembala Sidang atau Pendeta yang diberi
tugas menggembalakan jemaat atau kawanan domba Allah dalam se-
buah gereja lokal).

Ketiga analogi di atas, pada hakekatnya sama yaitu menjelas-


kan bahwa seorang pelayan atau hamba Tuhan patut dan berhak men-
dapat tunjangan dan hak dari hasil pekerjaannya, hal ini ditegaskan
Wiersbe yang berkomentar dalam konteks nats ini (1 Kor. 3:6-9) de-
mikian: “Jika ini [maksudnya upah] berlaku dalam bidang “sekuler”,
maka ini juga berlaku dalam bidang rohani.”12

Prinsip ini tampak dalam pembelaan Paulus terhadap kritikan


jemaat Korintus yang menuding dirinya mencari untung dengan
mengutip dan menerima persembahan dari mereka. Dalam hal ini,
Paulus mengutarakan suatu pelajaran rohani dari Hukum Taurat ten-
tang upah yang berhak diberikan kepada seorang pekerja melalui se-
buah ungkapan “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang
sedang mengirik!” (Ul. 25:4; I Kor. 9:8-10).13 Dalam kaitan dengan
bagian nats ini, Wiersbe kembali memberi komentar demikian: “Pau-
lus telah membajak tanah di Korintus dan ia bekerja siang dan malam.

12
Ibid.
13
Mungkin ada masalah atau pertanyaan yang muncul di sini, yaitu
asumsi bahwa ajaran Taurat itu tidak relevan lagi diterapkan pada zaman se-
karang ini. Namun demikian, patut dipertimbangkan hal-hal berikut yaitu:
Pertama, Paulus mengutip ajaran dari taurat sebabnya ialah bahwa jemaat
mula-mula masih memakai kitab Perjanjian Lama dan ajaran Musa sebagai
alkitab dalam ibadah mereka, selain ajaran dari para Rasul (bandingkan Kis.
2:42; 15:21), hal ini disebabkan karena Alkitab Perjanjian Baru masih dalam
proses penulisan dan baru dihimpun kemudian. Kedua, ada keterkaitan, ke-
sinambungan, dan kesatuan antara kedua perjanjian (Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru), sebagiamana diungkapkan oleh seorang Bapak gereja dan
teolog terkenal bernama Agustinus yang berpendapat demikian: “Perjanjian
Baru terselubung dalam Perjanjian Lama; Perjanjian Lama dinyatakan dalam
perjanjian Baru, lihat Tony Lane, Runtut Pijar, cetakan ke-9 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012), 10 &122.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 83


Ia telah melihat tuaian dari benih yang ditanamnya. Memang benar
bahwa ia menikmati sebagian buah-buah dari tuaian itu.”14

Penjelasan Wiersbe di atas, membantu kita memahami bahwa


Paulus berkata jujur bahwa memang ia sudah dan berhak menikmati
hasil jerih lelahnya, dan hal ini tidak menyalahi aturan yang diajarkan
Taurat dan adalah kewajiban jemaat untuk menyediakannya, sesuai
kerelaan dan kemampuan yang ada. Juga tidaklah berlebihan bila
Paulus mengharapkan hasil dari semua jerih lelah pelayanan yang
telah ia lakukan dalam jemaat Korintus yang sangat dikasihinya
tersebut, dimana ia sebagai seorang pemberita Injil harus hidup dari
pemberitaan Injil itu (ayat 14).

2. Kewajiban Jemaat dan Sikap Hamba Tuhan

Prinsip yang perlu dipahami berkenaan dengan upah atau ho-


nor seorang hamba Tuhan ialah bahwa memang sidang jemaat Tuhan
berkewajiban memberikan upah yang layak atau hak yang sepatutnya
diterima oleh seorang hamba Tuhan yang melayani, namun tidak wa-
jib bagi seorang hamba Tuhan untuk menuntut atau menerimanya.
Prinsip rohani ini ditegaskan oleh Matthew Henry yang memberi pen-
jelasan terkait maksud atau arti nats di atas (ayat 8-10) demikian:
“Merupakan kewajiban umat untuk memelihara kehidupan pelayan
mereka, oleh karena ketetapan Kristus, walaupun tidak wajib bagi se-
tiap pelayan Tuhan, untuk menuntut atau menerimanya. Ia dapat mele-
paskan haknya, sama seperti yang dilakukan oleh Rasul Paulus.”15

Penjelasan Matthew Henry di atas menekankan bahwa jemaat


Kristen yang tidak mau menyediakan upah yang sepatutnya diterima
oleh seorang pekerja atau pelayan Tuhan yang melayani di dalam se-
buah gereja lokal, melanggar ketetapan Kristus. Namun patut dicerma-
ti dan dipahami betul bahwa meskipun seorang hamba Tuhan berhak
atas upah yang ditetapkan Kristus, namun mereka tidak wajib menun-
tut atau mempergunakan haknya sebagaimana dilakukan oleh Paulus
dari keterangan nats di atas (ayat 12-15). Tujuannya hanya satu, agar
jangan sampai Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya “... menga-

14
Wiersbe, Hikmat Dalam Kristus, 123.
15
Matthew Henry, Tafsiran Surat Roma, 1 & 2 Korintus (Surabaya:
Penerbit Momentum, 2015), 644.

84 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


dakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus” (ayat 12) hanya oleh
karena hal upah. Kata “rintangan” yang dimaksud dalam ayat 12 terse-
but, merupakan sebuah metafora yang berarti “merusak jembatan atau
jalan bagi sebuah pasukan tentara di medan perang”16 demikian ko-
mentar Robertson dan Plummer. Artinya Paulus tidak mau merusak
jalan atau jembatan yang telah dibangun atau dibuatnya sendiri seba-
gai tentara Kristus yang diutus untuk merintis dan menyebarkan Injil
ke seluruh dunia yang beradab ini, hanya gara-gara soal penghidupan
sehari-hari. Jembatan yang dibangunnya bertujuan menjadi jalan bagi
hamba Tuhan lainnya seperti dirinya untuk leluasa melayani dan be-
kerja di Korintus (bnd. 2 Tim. 2:4) di masa mendatang.

Prinsip ini masih relevan dan patut dipertimbangkan pada ma-


sa kini mengingat kondisi dan kompleksitas masalah atau problem di
medan pelayanan, khususnya di pedesaan atau jemaat-jemaat yang be-
lum mampu membiayai secara layak kehidupan hamba Tuhan yang me-
layani mereka. Prinsip ini penting dihidupi agar tugas pemberitaan Injil
dapat dilakukan dengan sebaik mungkin dan mengurangi rintangan-
rintangan yang menghambat pelayanan seorang hamba Tuhan, dalam
hal ini secara khusus soal ekonomi atau penghidupan seorang hamba
Tuhan. Prinsip rohani ini sejalan dengan pengertian profesi sebagai
pekerjaan yang bertujuan memberikan pengabdian pada masyarakat
dan bukan semata-mata untuk mencari keuntungan secara materi/fi-
nansial bagi diri sendiri.

Masalah yang terjadi sekarang ini yaitu mengapa sampai ba-


nyak hamba Tuhan atau Rohaniawan yang menuntut gaji atau upah
yang tinggi kepada jemaatnya, mungkin saja disebabkan oleh pemaha-
man mereka yang sempit akan profesi dan panggilan sebagai seorang
hamba Tuhan itu sesungguhnya atau bisa jadi karena sikap individua-
listis yang muncul karena pengaruh derasnya sekularisme, mate-
rialisme17 dan hedonisme yang melanda budaya manusia saat ini, se-
hingga tanpa disadari banyak hamba-hamba Tuhan jatuh pada sikap
mencari keuntungan dari pelayanannya bahkan marak terjadi sampai

16
William M. Greathouse, et al., Beacon Bible Commentary, Volume
VIII (Kansas City, Missouri: Beacon Hill Press of Kansas City, 1968), 398.
17
Rick Warren berkomentar bahwa lebih banyak orang tidak mela-
yani karena materialisme ketimbang karena hal lainnya, lihat Rick Warren,
The Purpose Driven Life, cetakan ke-10 (Malang: Gandum Mas, 2005), 293.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 85


menyalahgunakan keuangan dalam jemaat atau organisasi yang dila-
yaninya. Sesungguhnya sifat demikian sangat jauh dari sifat dan kehi-
dupan yang diteladankan oleh Paulus dan rekan-rekannya sebagaima-
na yang diuraikan dalam tulisan ini. Meskipun ia berhak atas itu, na-
mun ia tidak mempergunakannya (Ayat 14). Seorang hamba Tuhan
patut menyikapi secara bijaksana soal upah yang patut diterimanya,
dan tetap perlu memberi ruang untuk tidak “ngotot” menuntut dan
mempergunakan haknya bahkan bila perlu melepaskan haknya terse-
but dengan melakukan pekerjaan tangan seperti yang dilakukan Paulus
dan Barnabas, jika kondisi jemaat yang dilayani belum sanggup mem-
beri upah yang layak baginya (ayat 6, 15).

Pertanyaan lain yang perlu diutarakan dalam pembahasan ini


dan perlu diklarifikasi adalah soal mengapa seorang hamba Tuhan/Ro-
haniawan tidak boleh menuntut haknya? Bukankah mereka layak un-
tuk menerima dan menikmati hasil jerih payah mereka? Menarik kita
menyimak jawaban Paulus atas persoalan di atas demikian:

Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendi-


ri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku me-
lakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu
adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku.
Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku
boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak
mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil (Ayat 17-18).

Penjelasan Paulus di atas memberikan alasan mengapa seorang hamba


Tuhan yang bertugas memberitakan Injil seperti dirinya tidak mau me-
nuntut haknya (upahnya) yaitu disebabkan bahwa tugas pemberitaan
Injil itu merupakan tugas kepercayaan yang ditanggungkan oleh Allah
kepada Paulus dan bukan atas kehendaknya sendiri. Bruce menjelas-
kan dalam ayat 15-18 bahwa Paulus menempatkan posisinya sebagai
budak yang tidak membanggakan diri dalam menjalankan tugasnya
sebagai pemberita Injil. Ia harus taat kepada kehendak Tuan-Nya yang
memberikan tugas itu kepadanya. Ia tidak punya pilihan dan sebalik-
nya akan tidak baik baginya jika ia tidak taat.18 Oleh karena alasan ini,

18
F.F. Bruce, The New Century Bible Commentary I & II Corin-
thians (Grand Rapids, Micihingan: Wm. B. Eerdmans Pubuishing Company,
1987), 85.

86 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


maka seorang hamba Tuhan harus memahami bahwa Allah adalah
Tuan yang paling bertanggungjawab memenuhi dan menjamin kebu-
tuhan hidup hamba-hambaNya. Seorang hamba Tuhan dalam hal ini,
patut menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan dari orang-orang
yang dilayaninya (ayat 19-23), dan tahu bahwa tujuan akhir pela-
yanannya ialah mendapatkan kehidupan kekal di sorga bersama
Yesus, Juruselamat (Ayat 24-27) sebagaimana yang diteladankan oleh
Paulus.

D. PENUTUP

Sebagai rangkuman, dapat disimpulkan kembali dalam tulisan


ini bahwasanya pekerjaan seorang hamba Tuhan atau Rohaniawan,
khususnya pendeta dan pemimpin Kristen pada umumnya, layak dise-
but sebagai sebuah profesi yang harus dilandasi oleh panggilan khusus
dari Allah, pendidikan dan kompetensi yang memadai, juga buah pe-
layanan yang dapat dinikmati orang banyak serta kesediaan untuk ti-
dak menuntut upah atau hak yang tinggi dari pelayanannya yang se-
sungguhnya merupakan kepercayaan dari Allah dan pengabdian kepa-
da sesama. Hal ini dipertegas oleh Stephen Tong yang berkomentar
demikian:

Orang yang menuntut hak dan menuntut segala sesuatu yang dapat
diperoleh dari hak itu adalah orang yang belum terlepas dari
egoisme. Tetapi orang yang mengetahui apa artinya menyangkal
diri, memikul salib, dan mengikuti Kristus, serta meneladani se-
mua langkah dan cara hidup Kristus, orang demikian tidak me-
nuntut hak, melainkan menuntut diri bagaimana boleh menjadi
berkat di tangan Tuhan yang dapat dibagikan kepada banyak
orang. 19

Seorang hamba Tuhan semestinya menyadari bahwa baik talenta dan


haknya adalah milik Tuhan dan sebagaimana waktu hidup pun adalah
milik Tuhan dan adalah hak-Nya untuk mempergunakannya.20 Di sini-

19
Prakata Stephen Tong untuk bukunya Mabel Williamson, Tidak-
kah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2 (Surabaya: Penerbit Momentum,
2013), viii-ix.
20
Mabel Williamson, Tidakkah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2
(Surabaya: Penerbit Momentum, 2013), 53.

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 87


lah pengertian pekerjaan dipahami sebagai aktivitas penebusan, suatu
usaha pengudusan – aspek dalam kehidupan yang akan berlangsung
terus sampai di sorga untuk selama-lamanya.21

Tulisan ini juga hendak memberi saran kepada para pelayan


atau hamba Allah yang telah dipanggil oleh-Nya dan dipercaya oleh-
Nya, untuk menyimak perkataan Tuhan Yesus dalam Injil Matius 6:24
yang berbunyi demikian: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada
dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan
mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak
mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah
dan kepada Mamon.” Terkait soal pelayanan dan upah, maka dalam
bagian akhir pembahasan artikel ini penulis ingin mengutarakan ko-
mentar Rick Warren yang diharapkan berguna bagi para hamba atau
pelayan Tuhan tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap uang
demikian: “Bila Yesus menjadi Tuan Anda, maka uang melayani An-
da, tetapi bila uang menjadi tuan Anda, maka Anda menjadi budak-
nya ... Pelayan-pelayan Allah selalu lebih peduli pada pelayanan ke-
timbang uang.”22

Pada akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan mengedepan-


kan sebuah prinsip rohani yang penting disadari dan dimiliki dengan
baik dan tepat menyangkut soal sikap dan motivasi yang benar dalam
menggeluti profesi sebagai hamba Allah yaitu melayani Tuhan dengan
cara menolak tekanan dunia, menjadi teladan dalam ketaatan dan
dedikasi, yang memilih jalan salib daripada jalan yang dipilih orang
banyak, menjadikan pelayanan rohani sebagai sebuah sikap ibadah
dan bukan aktivitas yang hampa belaka.23

DAFTAR PUSTAKA

Brake, Andrew. Menjalankan Misi Bersama Yesus: Pesan-Pesan Bagi


Gereja dari Kisah Para Rasul. Bandung: Kalam Hidup, 2016.

21
David W. Hall & Matthew D. Burton, Calvin dan Perdagangan
(Surabaya: Penerbit Momentum, 2015), 192-193.
22
Warren, The Purpose Driven Life, 293.
23
Hall & Burton, Calvin dan Perdagangan.

88 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21


Bruce, F.F., The New Century Bible Commentary I & II Corinthians.
Grand Rapids, Michingan: Wm. B. Eerdmans Publishing
Company, 1987.
Crowder, Bill., Sorotan Iman. Jakarta: Duta Harapan Indah, 2008.
Greathouse, William M. et al., Beacon Bible Commentary, Volume
VIII.Kansas City, Missouri: Beacon Hill Press of Kansas City,
1968.
Hall, David W. & Burton, Matthew D. Calvin dan Perdagangan.
Surabaya: Penerbit Momentum, 2015.
Henry, Matthew. Tafsiran Surat Roma, 1 & 2 Korintus. Surabaya:
Penerbit Momentum, 2015.
Kunandar, Guru Profesional. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2007.
Lane, Tony. Runtut Pijar, cetakan ke-9. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
Nurdin, Syafruddin. Guru Profesional & Implementasi Kurikulum.
Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Sinamo, Jansen. Delapan Etos Kerja Profesional. Bandung: Bina
Media Informasi, 2012.
VanGemeren, Willem A. Progres Penebusan. Surabaya: Penerbit
Momentum, 2016.
Warren, Rick. The Purpose Driven Life, cetakan ke-10. Malang:
Gandum Mas, 2005.
Wiersbe, Warren W. Hikmat di Dalam Kristus. Bandung: Kalam
Hidup, 1983.
Williamson, Mabel. Tidakkah Kami Mempunyai Hak?, cet. ke-2.
Surabaya: Penerbit Momentum, 2013

Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21 – 89


90 – Melaksanakan Amanat Agung di Abad 21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai