Anda di halaman 1dari 3

Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia era Jokowi

Memasuki akhir kuartal pertama tahun 2016, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan dengan
masalah "klasik" yang sudah lama mengakar di Indonesia yaitu ketimpangan pendapatan. Presiden
Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk terus mengatasi masalah kemiskinan dan
ketimpangan, baik ketimpangan antargolongan pendapatan maupun ketimpangan antar daerah. Bahkan
saat membuka rapat di Kantor Istana Presiden, Jokowi meminta agar semua kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan dari pemerintah betul-betul dijalankan secara terpadu
dan terintegrasi antar lembaga1 . Bagaimanakah pola pembangunan Indonesia sejak reformasi apakah
pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah dinikmati semua golongan masyarakat dari Sabang sampai
Merauke?

Dalam studi empiris, ada dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan
distribusi pendapatan antargolongan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan berapa kue
nasional yang dinikmati 40 persen golongan pendapatan terendah. Ketimpangan yang meningkat diukur
dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar sebagaimana tercermin dari rasio Gini
yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011)2 dan terakhir masih berada pada angka 0,41 (BPS,
2015).

Data BPS hingga Januari 2016 menunjukkan fakta menarik. Tingkat kemiskinan turun dari 16,66% di awal
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah (2004) menjadi 14,15% di akhir era Kabinet Indonesia
Bersatu I (2009), bahkan turun menjadi 10,96% pada September 2014 di akhir 10 tahun SBY
memerintah, dengan jumlah penduduk miskin masih 27,73 juta orang. Pasca Jokowi memerintah selama
satu tahun, tingkat kemiskinan malah meningkat menjadi 11,13% pada September 2015, dengan jumlah
penduduk miskin mencapai 28,51 juta orang. Memang secara historis rekor kemiskinan ini paling
rendah, baik besaran maupun persentasenya, sejak 1970. Namun, penurunan kemiskinan nyatanya
masih di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan terjadi
pelambatan di akhir era SBY, bahkan ada peningkatan hingga setahun pemerintahan Jokowi.

Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk golongan terendah justru
diikuti kenaikan kue nasional yang dinikmati 20% kelompok terkaya dari 42,2% (2002) menjadi 48,42%
(2011) dan bahkan 48,27% (2014). Sementara kelompok 40% penduduk golongan menengah mengalami
penurunan kue nasional dari 36,9% (2002) menjadi 34,7% (2011) dan 34,6% (2014). Ternyata ada
indikasi kuat terjadi trickle-up effect, efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan kita.

Kedua, ketimpangan antardaerah penting untuk diteliti karena gravitasi aktivitas ekonomi Indonesia
masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke kawasan barat Indonesia (KBI) selama lebih dari
lima dasawarsa terakhir. Betapa tidak. Data BPS hingga triwulan IV 2015 menunjukkan, struktur
perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang
memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 57,9%, yang disusul Sumatera
(22.0%), Kalimantan (9,1%), Sulawesi (5,6%), Bali dan Nusa Tenggara (2,9%) dan Maluku dan Papua
(1,9%). Pembangunan ekonomi Indonesia memang bias ke barat (KBI), yang memegang pangsa sekitar
80% dari kegiatan ekonomi nasional.
Ketimpangan antar wilayah dan pulau terus terjadi. Ketimpangan antardaerah di Indonesia dapat diukur
dengan indeks entropi Theil. Tren indeks entropi Indonesia selama 2001-2007 memperlihatkan bentuk
kurva "U". Periode sebelum tahun 2003 memiliki pola menurun. Hal ini mencerminkan adanya
peningkatan penyebaran pangsa PDRB provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, sampai 2003 terdapat
bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun, pola sebaliknya terjadi pada 2004-2007,
konsentrasi spasial cenderung naik. Namun, pada 2008-2010 tren indeks entropi total kembali menurun.
Indeks entropi menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial lain.
Keunggulan utama indeks ini adalah pada suatu titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran derajat
konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada sejumlah daerah dan subdaerah (baca: pulau dan
provinsi atau provinsi dan kabupaten/kota) dalam suatu negara. Faktor penyebab tren indeks entropi
total 2001-2007 berbentuk kurva "U" adalah meningkatnya indeks entropi antarpulau, tetapi dibarengi
menurunnya entropi dalam pulau selama periode 2001-20103.

Hal ini mencerminkan adanya tren meningkatnya konsentrasi geografis di hanya beberapa pulau
terutama di KBI, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera. Sementara tren indeks entropi dalam satu pulau
cenderung menurun. Hal yang menarik, ternyata terjadi penurunan indeks entropi dalam satu pulau
secara substansial selama 2001-2010. Artinya, ketimpangan antarprovinsi dalam setiap pulau cenderung
turun selama periode itu kendati ketimpangan antar pulau makin meningkat.

Faktor Kelembagaan

Dalam ekonomi pembangunan, teori Gunnar Myrdal menekankan proses divergen yang menyebabkan
ketimpangan makin melebar. Fenomena ini dijelaskan Myrdal sebagai akibat dari proses penyebab
akumulatif (cumulative causation/CC). Myrdal (1957) menyebut adanya dampak kurang menguntungkan
untuk menjelaskan fenomena meningkatnya ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang.
Ia berpendapat, backwash effect lebih besar daripada dampak penyebaran. Dampak penyebaran adalah
dampak dari ekspansi di pusat kegiatan ekonomi ke daerah yang relatif tertinggal melalui kenaikan
permintaan produk pertanian (misalnya bahan pangan), bahan baku, serta barang konsumsi yang
dihasilkan industri kecil.

Inilah yang minim terjadi di Indonesia karena: (1) produk pertanian dan industri masih banyak yang
diimpor dari luar; (2) lemahnya keterkaitan antara usaha besar dan kecil. Teori Myrdal tentang CC tak
menyangkal adanya kemungkinan proses konvergen akibat dampak penyebaran. Penyebabnya adalah
faktor-faktor "non-ekonomi" atau kelembagaan. Karena itu, analisis proses pembangunan yang hanya
menekankan faktor ekonomi menjadi kurang relevan karena faktor kelembagaan, historis, sosial, dan
kultural juga berperan. Meski kinerja ekonomi pasca krisis cenderung membaik, indikator ketimpangan
dan kemiskinan menunjukkan bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi bagi kebanyakan manusia
Indonesia.Bukti-bukti empiris dan fakta menunjukkan, pertumbuhan ekonomi pasca 1998 meningkat
sekitar 4-6% di Indonesia, namun ketimpangan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan Theil
juga meningkat. Bahkan kemiskinan yang cenderung menurun selama era presiden SBY, justru
meningkat di era Jokowi. Dengan kata lain, makin tinggi pertumbuhan, memang jumlah dan tingkat
kemiskinan cenderung sedikit menurun, tetapi ketimpangan antara si kaya dan si miskin cenderung kian
lebar saat pertumbuhan semakin meningkat di Indonesia selama periode 2002-2015.
Masalah ketimpangan ini-dalam praktik-sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering
terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya memberikan
kesejahteraan masyarakat jika regulasi berpihak kepada rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya,
kesenjangan terjadi di mana-mana. Misalnya, di daerah yang miskin dan APBD-nya rendah, para pejabat
dan kepala dinas mengendarai mobil mewah dan tinggal di perumahan mewah. Tak ketinggalan, para
kontraktor sebagai mitra kerja pemda juga ikut menampilkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi perusahaan-perusahaan yang
mengeksploitasi alam secara besar-besaran di daerah, masyarakat di sekitarnya hanya bisa menjadi
penonton sehingga mendorong munculnya kecemburuan sosial, kesenjangan, dan berujung pada tindak
kekerasan.

Inilah "pekerjaan rumah" tidak hanya bagi Presiden Jokowi dan kabinetnya, tapi juga pemerintah
daerah, seluruh komponen masyarakat dan stakeholders lainnya. Faktor kelembagaan, historis, sosial,
dan kultural inilah agaknya yang perlu dibenahi secara lebih serius. Ketimpangan dan kemiskinan
Indonesia perlu menjadi perhatian bersama. Pembangunan jangka menengah ataupun jangka panjang
ke depan perlu lebih diarahkan untuk pemerataan ekonomi antarkota/kabupaten, antarpelaku ekonomi,
dan antarsektor. Solusinya, perlunya paradigma pembangunan development for all, pembangunan
harus berdimensi spasial: tidak hanya sektoral, namun juga memperhatikan di mana lokasi geografis
aktifitas ekonomi dan si miskin untuk menurunkan ketimpangan. Paradigma inclusive development yang
menempatkan dimensi spasial dan mengatasi ketimpangan antardaerah dan golongan masyarakat perlu
jadi prioritas nasional dan daerah.

Anda mungkin juga menyukai